Breaking News

Pesan Etika Konservasi Biodiversitas Dalam Perspektif Al-Qur’an

Dalam perspektif ajaran Islam, paling tidak ada 6 komponen utama hidup yang wajib dipelihara atau dijaga oleh seluruh umat manusia, yakni : (1) memelihara jiwa (Hifdzul nafs), (2) memelihara akal (hifdzul aql), (3) memelihara harta (hifdzul maal), (4) memelihara agama (hifdzul diin), (5) memelihara keturunan (hifdzul nasl) dan (6) memelihara lingkungan hidup (hifdzul biah). Berkaitan dengan memelihara lingkungan hidup tersebut, banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang memberikan pesan yang dapat dimaknai secara  kontekstual   terkait dengan   prinsip etika konservasi bidoversitas.  “Tidaklah Kami (Allah) alpakan sesuatu pun dalam Al-Kitab (Al-Qur’an) (QS Al-An’aam (6) : 38). Artinya,  Al-Qur’an sebagai kitab yang memuat wahyu Allah Tuhan Yang Maha Mengetahui dan Maha Awal dan Maha Akhir,  tidak akan pernah luput dari semua segi kehidupan di muka bumi ini, baik apa yang sudah terjadi pada masa silam maupun apa yang sedang terjadi dan  yang menjangkau jauh dimasa mendatang, termasuk berbagai pemikiran dan temuan ilmu pengetahuan kontemporer dewasa ini. Bucaille (2005) menyatakan bahwa: ”Bagaimanapun, pertimbangan-pertimbangan ilmiah ini tidak menjadikan kita lupa bahwa Al-Qur’an masih merupakan kitab suci yang paling sempurna. Al-Qur’an pastilah bukan kitab ilmiah semata. Dalam Al-Qur’an, kalau manusia diajak untuk memikirkan tentang teka-teki penciptaan dan berbagai fenomena alam lainnya, akan mudah dilihat bahwa maksud sebetulnya adalah untuk menekankan Kemahakuasaan Allah”.  Bucaille juga menyatakan bahwa : selama berabad-abad, manusia tidak mampu mempelajari data tertentu yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur’an, lantaran mereka tidak memiliki peralatan ilmiah yang memadai. Baru belakangan ini, berbagai ayat dari Al-Qur’an yang berkaitan dengan fenomena alam, mampu dipamahi”.  Jelas bahwa jika dikaji dengan pisau analisis kontemporer dan kontekstual, dapat dipahami banyak isyarat dari ayat-ayat Al-Qur’an yang memberikan pesan penting tentang keharusan melakukan konservasi.


 Al-Jamaly (1981) menyebutkan Al-Qur’an bagi orang Islam adalah  kitab terbesar mengenai filsafat pendidikan dan pengajaran. Pada hakekatnya Al-Qur’an adalah perbendaharaan kebudayaan manusia yang sangat luas …..……. Al-Qur’an adalah kitab pendidikan dan pengajaran.  Sebagai kitab pendidikan,  Al-Qur’an menggariskan empat tujuan pendidikan di dalamnya, yakni : (1)  memperkenalkan kepada manusia sebagai individu,  kedudukannya di antara makhluk dan tanggungjawabnya sebagai pribadi dalam kehidupan ini; (2) memperkenalkan kepada manusia hubungan-hubungan kemasyarakatannya dan tanggung jawabnya terhadap ketenteraman masyarakat; (3) memperkenalkan kepada manusia alam seluruhnya dan menjadikannya mengetahui hikmah Khaliq dalam penciptaan-Nya dan memungkinkan manusia memanfaatkannya; dan (4) memperkenalkan kepada manusia Pencipta alam (Allah) dan  cara beribadah kepada-Nya.
Sebagai  Kitab dari  Allah Tuhan Yang Maha Mengetahui Yang Ghaib dan Maha Mengetahui apa yang akan terjadi yang belum diketahui dan dijangkau oleh keterbatasan pengetahuan manusia, maka setiap perkembangan ilmu pengetahuan komtemporer  yang sering diidentifikasi sebagai penemuan manusia, pasti secara hakiki  telah berada dalam skenario besar Ilmu Allah sebagai Pencipta dan Pemilik Alam Semesta ini, sehingga secara eksplisit (tersurat) maupun implisit (tersirat),  berbagai hal yang berkenaan dengan konservasi biodiversitas pasti telah terkandung di dalamnya. Melalui pemaknaan atas ayat-ayat Al-Qur’an manusia dapat memperoleh pemahaman sesuai konteks permasalahan yang dihadapi manusia, termasuk yang terkait dengan prinsip-prinsip etika konservasi biodiversitas.  Betapapun demikian, Al-Qur’an tentu saja bukanlah kitab tentang konservasi biodiversitas ataupun etika konservasi,  tetapi pasti kandungannya secara kontekstual menjangkau segala hal yang sudah dan akan terjadi (berkembang) dalam perjalanan kehidupan umat manusia, termasuk persoalan yang terkait dengan prinsip-prinsip etika konservasi biodiversitas. 
   Menyadari akan terbatasnya pengetahuan yang kami miliki, terutama terkait dengan kaidah-kaidah didalam memaknai atau menfasirkan Al-Qur’an, maka sangat disadari bahwa apa yang dapat ditelaah dari kandungan Al-Qur’an yang maha luas ini yang kemudian dituangkan sebagai prinsip-prinsip konservasi biodiversitas tentu saja sangat terbatas, dan tidak hanya apa yang dapat dirumuskan di bawah ini. Apa yang ditulis di bawah ini hanya sebagian kecil, namun setidaknya sebagai sebuah wacana awal dalam mendorong pengembangan nilai-nilai etika yang bersumber dari wahyu Allah, sekaligus sebagai manifestasi penunaian salah satu dari enam kewajiban manusia (umat Islam khususnya) didalam memelihara lingkungannya (hifdzul biah),  seperti disebutkan di atas. Kami berlindung kepada Allah dari keterbatasan diri didalam memahami pesan Al-Qur’an tentang konservasi biodiversitas.    Beberapa prinsip etika konservasi biodiversitas yang dapat kami identifikasi dari pesan-pesan ayat Al-Qur’an perlu dipahami dan dikembangkan dalam rangka mendorong terwujudnya masyarakat konservasi,. Dapat diuraikan secara singkat di bawah ini.

Prinsip Pertama:   Tuhan sebagai Pencipta dan Pemilik hakiki segala sesuatu di bumi, dan adanya Keragaman Ciptaan-Nya
Al-Qur’an menggariskan bahwa pencipta dan pemilik hakiki bumi beserta segala isi yang terkandung didalamnya adalah Tuhan. Tuhan pulalah yang menjadi Maha Pemberi segenap keperluan hidup manusia.  Banyak ayat Al-Qur’an menggariskan tentang prinsip ini diantaranya tertuang dalam QS Thaha (20): 6, QS Al-Hijr (15): 20; QS Al-Furqan (25): 59; QS Al-Baqarah (2): 29; QS Qaaf (50): 38; An-Nur (24): 45.
Kepunyaan Allah-lah semua yang ada di langit, semua yang ada di bumi,  semua yang ada diantara keduanya dan semua yang ada di bawah bumi" (QS Thaha : 6). "Dan Kami (Allah) telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan (Kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu bukan pemberi rezekinya" (QS Al-Hijr (15) : 20). "Dialah (Allah) yang menciptakan  langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya dalam enam masa" (QS Al-Furqan 25): 59). "Dialah yang menciptakan bagimu segala yang ada di bumi semuanya ....(QS Al-Baqarah (2): 29).          "Dan sesungguhnya telah Kami (Allah) ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa ....." (QS Qaaf (50): 38).
Prinsip ini menegaskan batasan kepada manusia untuk tidak boleh bertindak melampaui kewenangan sebagai bukan pemilik sebenarnya (hakiki) dari bumi beserta segenap isinya termasuk biodiversitas.  Jangan bertindak mengingkari (dzalim) atas prinsip ini.  "Dan Dia (Tuhan) telah memberikan padamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah tidaklah dapat kamu menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu sangat dzalim (mengingkari)" (QS Ibrahim (14): 34).
Al-Qur’an bahkan juga menunjukkan secara jelas konsep biodiversitas (keanekaragaman hayati) ciptaan-Nya baik jenis flora, fauna dan ekosistem (QS An-Nahl (16):11; Lukman (31) : 10; Fathir (35) : 27-28; Yaasin (36): 34, 71, 80; Al-An'am (6) : 99, 141; Fathir (35): 12).
 “Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, maka sebagian dari hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya, dan sebagian berjalan dengan dua kaki, dan sebagian yang lain berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS An-Nuur (24): 45).
           
Prinsip Kedua: Manusia sebagai wakil Tuhan (Khalifah) yang bertugas sebagai pengelola dan pemakmur bumi.
            Prinsip ini menggariskan bahwa manusia hanya berstatus sebagai wakil Tuhan dengan tugas utama mengelola dan memakmurkan bumi, sehingga tidak dibenarkan bertindak melampaui batas kewenangan tersebut. Upaya pengembangan pemanfaatan semua sumberdaya ciptaan Tuhan sebagai Pemilik hakiki  harus dikhidmatkan bagi kepentingan dan kemaslahatan kemakmuran bumi; menyimpang dari prinsip ini berarti menyalahi dan berdampak negatif terhadap kehidupan di bumi. Al-Qur’an menggariskannya dalam banyak ayat, diantaranya tertuang dalam QS Al-Baqarah (2): 30; QS Huud (11): 61 sebagai berikut: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah (wakil) di muka bumi" (QS Al-Baqarah (2): 30)."Dia (Allah) telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu  sebagai pemakmurnya" (QS Huud (11) : 61).

Prinsip Ketiga: Keseimbangan dan Keterukuran Alam Ciptaan
            Al-Qur’an menggariskan prinsip tentang sifat keseimbangan dan keterukuran alam sebagai ciptaan Tuhan. Karakter sumberdaya alam yang seimbang dan terukur mengharuskan manusia sebagai wakil Tuhan dengan tugas utama pemakmur dan penjaga bumi untuk senantiasa bertindak dalam koridor karakter dasar sumberdaya  yang seimbang dan terukur tersebut.  Menyimpang dari prinsip ini pasti akan menimbulkan ketidakseimbangan dan gangguan pada sistem alam yang seimbang dan terukur tersebut.  Diantara ayat Al-Qur’an yang menggariskan prinsip ini adalah  QS Al-Mulk (67): 3; QS Al-Hijr (15): 19 dan 21; Al-Qamar (54): 49 dan Al-Furqan (25): 2.
            "Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya (sumbernya), dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu" (QS Al-Hijr (15): 21). "Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu melihat sesuatu yang tidak seimbang" (QS Al-Mulk (67): 3). ”…dan Dia telah menciptakan segala sesuatu dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya” (QS Al-Furqan (25): 2).  "Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran" (QS Al-Hijr (15) : 19).

Prinsip Keempat: Prinsip larangan berbuat kerusakan di muka bumi dan dampak kerusakan bumi.
            Banyak ayat Al-Qur’an menegaskan tentang prinsip larangan membuat kerusakan di muka bumi, diantaranya seperti digariskan pada QS Al-Baqarah (2): 11; Al-A’raf (7): 56; An-Nahl (16): 34; Al-Qashash (28): 77; Asy-Syu’araa (26): 151-152).
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Allah memperbaikinya (Surah Al-A’raf (7) ayat 56). “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi (QS Al-Baqarah (2): 11). Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan" (QS Al-Qashash (28): 77).
Al-Qur’an juga menegaskan bahwa dengan sifat dasarnya yang seimbang dan terukur, maka sebenarnya semua kerusakan yang terjadi di muka bumi adalah akibat ulah perbuatan manusia. "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)" (QS Ar-Rum (30): 41).  Al-Qur’an juga menegaskan larangan mengikuti perintah pemimpin manapun yang menyebabkan kerusakan di atas bumi. “ …..dan janganlah  kamu mentaati perintah orang-orang yang melewati batas,  yang membuat kerusakan di muka bumi dan tidak mengadakan perbaikan" (QS Asy-Syu'araa' (26) : 151-152).

Prinsip Kelima: Larangan memanfaatkan sumberdaya secara berlebih-lebihan (boros) dan melampaui batas.
           
Al-Qur’an juga menegaskan tentang prinsip larangan pemanfaatan sumberdaya secara berlebih-lebihan (boros) dan melampaui batas, selain menyalahi karakter dasar sumberdaya yang seimbang dan terukur, tetapi lebih dari itu juga menyalahi prinsip hakekat keberadaan manusia dengan fungsi dan tugas utama sebagai pemakmur dan pengelola bumi.  Hal ini antara lain seperti digariskan dalam QS Al-Baqarah (2): 190; Al-An’am (6): 141; Al-Isra’ (17): 27; QS Al-Furqan (25): 67; QS Al'Alaq  (96): 6-7.
 "Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya yang bermacam-macam itu bila dia berbuah dan tunaikan haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin), dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan" (QS Al-An'am (6) : 141).
"Sesungguhnya para pemboros itu adalah saudara-saudara syetan" (QS Al-Isra' (17): 27).            "Janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas" (QS Al-Baqarah (2): 190).
             
Prinsip Keenam: Semua fauna (binatang) di bumi memiliki hak yang sama dengan manusia  sebagai sesama umat Tuhan dan Larangan membunuh spesies apapun tanpa alasan syar’i.

            Al-Qur’an menegaskan perihal kedudukan semua binatang (fauna) di muka bumi sebagai sesama umat seperti halnya manusia. Artinya mereka juga memiliki hak hidup dan hak untuk diperlakukan secara baik dan benar sesuai karaker dasarnya. Tidak boleh meniadakan hak hidup mereka tanpa alasan yang dibenarkan (syar’i).  “Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu (manusia). Tiadalah Kami (Tuhan) alpakan sesuatupun di dalam penciptaannya (Al-Kitab), kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpun” (QS Al-An’am (6): 38). “Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan lain beserta Allah, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan alasan yang benar .. (QS Al-Furqan (25): 68).

Prinsip Ketujuh: Perintah mempelajari (berpikir) tentang gejala alam (hewan & tumbuhan)
Al-qur’an juga secara tegas menggariskan prinsip yang terkait dengan keharusan mempelajari  atau berpikir tentang fenomena alam dalam rangka mengembangkan pola pengelolaan yang benar dan sejalan dengan karakter dasar sumberdaya alam sebagai ciptaan Tuhan. Diantara ayat-ayat Al-qur’an yang menggariskan prinsip ini adalah QS An-Nahl (16): 11, 66-67; Al-Mulk (67): 19, 30; Qaaf (50): 7-8; Ar-Ra’du (13): 4; Al-Fathir (35): 27; Al-Ghaasyiyah (88): 17-20.

Prinsip Kedelapan:  Setiap orang atau komunitas harus bertanggungjawab atas seluruh perbuatannya dan akan menerima akibatnya di dunia maupun di akhir, sebesar atau sekecil apapun juga.
Al-Qur’an menggariskan bahwa setiap perbuatan manusia di dunia ini siapapun dia akan diminta pertanggungjawabannya di dunia ini maupun di akhirat nanti, sebesar biji sawi sekalipun perbuatan itu. Setiap perbuatan manusia secara individual maupun kelompok dipastikan akan memperoleh balasan (ganjaran), apakah perbuatan baik ataupun jelek. Al-Qur’an menegaskannya didalam beberapa ayat berikut : QS Al-Zalzalah (99); 7-8; An-Naazi’aat (79): 34-41; Al-An’am (6): 132; Al-A’raf (7): 6-9; Yunus (10): 52.

Prinsip Kesembilan: Semua manusia memiliki kedudukan yang sama di muka bumi dan keharusan membangun  kerjasama  dalam kebaikan untuk kemasalahatan di bumi.
Al-Qur’an menetapkan bahwa semua manusia, tanpa membedakan suku bangsa sesungguhnya memiliki kedudukan yang sama dan harus memperoleh perlakuan yang sama. Yang membedakannya adalah kebajikan yang diperbuatnya yang menghantarkannya menjadi mulia sebagai orang yang bertaqwa dalam pandangan Tuhan.  Untuk itulah maka setiap manusia atau komunitas diprintahkan untuk saling kenal-mengenal dan saling membantu di dalam berbuat kebajikan dan dilarang untuk saling tolong-menolong didalam berbuat kerusakan; setiap orang wajib bertindak adil terhadap siapapun   dan dalam keadaan apapun. Diantara ayat Al-Qur’an yang menggariskan tentang prinsip tersebut, yakni QS Al-Hujuran (49): 13; Al-Maidah (5): 2, 8; Al-An’am (6): 152.
Itulah sembilan prinsip etika yang dapat dipetik dari ayat-ayat Al-Qur’an yang dapat dikembangkan menjadi prinsip-prinsip yang terkait dengan etika konservasi biodiversitas yang selanjutnya perlu dikembangkan dan ditanamkan kepada manusia dalam mewujudkan suatu masyarakat konservasi. Tentu ditinjau dari luasnya kandungan Al-Qur’an dan kesadaran akan keterbatasan yang kami miliki, maka sesungguhnya apa yang diuraikan disini masih terlalu terbatas. Upaya keras masih harus dilakukan terus-menerus dalam upaya mewujudkan masyarakat yang berpegang teguh dan menerapkan prinsip-prinsip etika konservasi dalam seluruh perihidup dan kehidupannya baik secara individual maupun komunitas. 

No comments