Breaking News

VIGOR DAN VIABILITAS BENIH

K
emunduran benih yang menyebabkan menurunnya vigor dan viabilitas benih merupakan awal kegagalan dalam kegiatan pertanian sehingga harus dicegah agar tidak mempengaruhi produktivitas tanaman. SADJAD (1994) menguraikan vigor benih adalah kemampuan benih menumbuhkan tanaman normal pada kondisi suboptimum di lapang, atau sesudah disimpan dalam kondisi simpan yang  suboptimum dan ditanam dalam kondisi lapang yang optimum. Viabilitas benih merupakan daya hidup benih yang dapat ditunjukkan dalam fenomena pertumbubannya, gejala metabolisme, kinerja kromosom atau garis viabilitas sedangkan viabilitas potensial adalah parameter viabilitas dari suatu lot benih yang menunjukkan kemampuan benih menumbuhkan tanaman normal yang berproduksi normal pada kondisi lapang yang optitum. Kemunduran benih adalah mundurnya mutu fisiologis benih yang dapat menimbulkan perubahan menyeluruh di dalam benih, baik fisik, fisiologi maupun kimiawi yang mengakibatkan menurunnya viabilitas benih (SAD.JAD), 1972).
Menurut TOOLE, TOOLE dan GORMAN (dalam ABDUL. BAKI dan ANDERSON. 1972), kemunduran benih dapat ditunjukkan oleh gejala fisiologis sebagai betikut: (a) terjadinya perubahan warna benih (b)tertundanya perkecambahan; (c) menurunnya, toleransi terhadap kondisi lingkungan suboptimum selama perkecambahan (d) rendahnya toleransi terhadap kondisi simpan yang kurang sesuai (e) peka terhadap radiasi; (f) menurunnya pertumbuhan kecambah; (g) menurunnya daya berkecambah, dan (h) meningkatnya jumlah kecambah abnormal.  ABDUL BAKI dan ANDERSON (1972) mengemukakan indikasi biokimia dalam benih yang mengalami kemunduran viabilitas adalah sebagai berikut : (a)  perubahan aktivitas enzim (b) perubahan laju respirasi; (c) perubahan di dalam cadangan makanan; (d) perubahan di dalam membran, dan (e) kerusakan kromosom.
Dalam kegiatan pertanian, terjadinya kemunduran benih merupakan salah satu faktor penyebab menurunnya produktivitas tanaman sehingga hal ini hanrus dihindari. BASU dan BANDOPANDHYAY (1983) mengemukakan bahwa benih kenaf dan yute dengan vigor rendah akan menghasilkan pertanaman yang tidak seragam, kemampuan tumbuh di lapang yang rendah, dan penurunan produktivitas. Hasil-hasil penelitian menunjukkan dengan memberikan perlakuan pada benih yang memperlihatkan gejala kemunduran, dapat memperbaiki kondisi benih.
MURRAY dan WILSON (1987) melaporkan kemunduran benih dapat dikendalikan dengan cara "invigorasi" melalui  proses hidrasi-dehidrasi. SADJAD (1994) mendefinisikan invigorasi sebagai proses bertambahnya vigor benih. Dengan demikian perlakuan invigorasi adalah peningkatan vigor benih dengan memberikan perlakuan pada benih. Menurut KHAN (1992) perlakuan pada benih adalah untuk memobilisasi sumbersumber energi yang ada dalam benih untuk bekerja sama dengan sumber-sumber energi yang ada di luar atau di lingkungan tumbuh untuk menghasilkan pertanaman dan hasil yang maksimal.
Perlakuan benih yang telah dikenal antara lain presoaking dan conditioning. Menurut KHAN (1992) presoaking adalah perendaman benih dalam sejumlah air pada suhu rendah sampai sedang, sedangkan conditioning adalah peningkatan mutu fisiologi dan biokimia (berhubungan dengan kecepatan dan perkecambahan, perbaikan serta peningkatan potensial perkecambahan) dalam benih oleh media imbibisi potensial air yang rendah (larutan atau media padatan lembab) dengan mengatur hidrasi dan penghentian perkecambahan. Benih menyerap air sampai potensial air dalam benih dan media pengimbibisi sama (dicapai keseimbangan potensial air). Hasil percobaan menunjukkan bahwa presoaking dalam periode singkat menghasilkan efek yang cukup baik terhadap peningkatan perkecambahan dan pertumbuhan kecambah. Pengeringan tidak mengurangi pengaruh positif dari presoaking (KIDD and WEST dalam KHAN, 1992). Percobaan presoaking dalam larutan kimia (sodium fosfat 2 x 10-4M; sodium thiosulfat 2 x 10-4M ; tannic acid 2 x 10-5M) dan air selama 2 jam dan dipping dalam air selama 5 menit diikuti pengeringan dilakukan pada benih kenaf dan yute oleh BASH dan BANDOPANDHYAY (1983). Hasilnya adalah perlakuan presoaking berpengaruh baik pada benih yang bervigor sedang.
Hasil penelitian BASU et al. (1978) menunjukkan perlakuan hidrasi-dehidrasi pada benih yute dapat meningkatkan penampilan di lapang, di samping itu produksi serat per tanaman lebih tinggi pada benih yang diperlakukan dengan cara direndam-dikeringkan. HADIANA (1996) melaporkan perlakuan presoaking atau conditioning secara nyata efektif meningkatkan viabilitas dan vigor benih kenaf sebelum penyimpanan, dapat meningkatkan daya berkecambah potensi tumbuh, keserempakan tumbuh, dan bobot kering kecambah normal.
Sri Hartati et al (1999) Perlakuan invigorasi menggunakan air, sodium fosfat, sodium thiosulfat, dan tannic acid dapat digunakan untuk meningkatkan vigor dan viabilitas benih kenaf yang memiliki vigor awal 60 % tetapi tidak efektif untuk benih yang memiliki vigor awal 40 %. Dengan perlakuan invigorasi pada lot benih 60 %, terjadi peningkatan vigor keserempakan tumbuh berturut-turut sebesar 12.67 persen pada perlakuan yang menggunakan tannic acid (2 x 10-5M), 16 persen pada perlakuan air, 17.33 % pada perlakuan sodium thiosulfat (2 x 10-4M), dan 20 persen pada perlakuan sodium fosfat (2 x 10-4M). Peningkatan daya berkecambah mencapai 7 % pada perlakuan invigorasi menggunakan sodium fosfat (2 x 10-4M). Dengan perlakuan invigorasi menggunakan air dan sodium thiosulfat (2 x 10- 4M), terjadi peningkatan daya simpan benih berdasarkan penurunan nilai daya hantar listrik (DHL) berturut-turut  sebesar 23.35 Mmhos/g dan 24.59 Mmhos/g. Perlakuan invigorasi pada benih dengan vigor awal 60 % dapat meningkatkan daya tumbuh di lapang sebesar 7.33-8.89 %, tinggi tanaman sebesar 11.21-19.31 cm, diameter batang mencapai 1.87 cm, dan bobot batang segar per plot mencapai 6.33 kg.

No comments