Breaking News

AKHLAK MULIA YANG DIGANJARKAN IMAN YANG SEMPURNA

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.    (QS Al-Qalam, 68: 4)
  
Setiap manusia yang sepenuh hati beriman kepada Allah memenuhi semua perintahNya tanpa syarat.  Tekad ini memastikan penyusunan sebentuk kesempurnaan akhlak.  Penaatan seksama perintah-perintah Qur'an-lah yang menyebabkan kesempurnaan akhlak yang menjadi ciri mereka yang beriman sempurna.
   Manusia dapat menggapai semua sifat baik dan terpuji hanya dengan menuruti perintah-perintah Qur'an.  Dalam Qur'an, Allah memerintahkan ketakwaan, keadilan, kesabaran, pengorbanan, kesetiaan, pengabdian, penepatan janji, kepasrahan, kerendahhatian, penenggangan, penyayang, pengasih, pengendalian amarah, dan banyak lagi sifat-sifat akhlak.  Menunjukkan kesempurnaan akhlak ini sebagaimana disajikan dalam Qur'an bergantung pada ketakutan seseorang kepada Allah dan karena itu mengikuti suara nuraninya.  Semakin seseorang takut kepada Allah dan seksama mengikuti apa yang diserukan nuraninya, semakin patuh ia kepada perintah Allah.  Akan tetapi, seseorang yang tidak memiliki sifat-sifat ini gagal menunjukkan tanggung jawab untuk hidup dengan akhlak-akhlak Qur'an.  Ia mungkin memperlihatkan sebagian sifat-sifat akhlak yang diridai Allah, namun, ketika menghadapi keadaan di mana ia merasa kepentingannya dipertaruhkan, ia mungkin menjadi orang yang sama sekali berbeda. 

   Keadaan ini nyata menyingkapkan keunggulan mereka yang telah meraih kedewasaan iman.  Orang yang beriman sempurna tanpa lelah menunjukkan kesempurnaan akhlak di setiap saat kehidupannya.  Kesabaran terbesar, derajat tertinggi pengorbanan dan kepasrahan, cinta terkuat kepada Allah terwujud dalam perilakunya.  Sifat-sifat ini membuatnya seorang yang istimewa.  Dalam kata-kata Qur'an, ia menjadi “imam bagi orang-orang yang bertakwa.”  (QS Al-Furqan, 25: 74)

   Sasaran utama bagi setiap Muslim adalah mencapai kesempurnaan akhlak seperti itu.  Menentukan batas-batas bagi diri mendorong manusia berpuas diri, yang merupakan sikap yang harus gigih dihindari manusia.  Dalam satu ayat, Allah menekankan bahwa rasa puas diri merupakan kerusakan yang sungguh-sungguh:

Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas.  Karena dia melihat dirinya serba cukup.  (QS Al-Alaq, 96: 6-7)

   Karena alasan ini, setiap orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian harus membuat sasaran utamanya adalah hidup dengan nilai-nilai Qur'an dalam cara sebaik mungkin.  Hanya orang dengan sasaran semulia itu dapat berharap meraih surga dan berkumpul dengan para nabi, aulia, syuhada, dan mereka yang bertakwa.  Allah memberitahu kita bahwa hanya ketaatan yang tegas membuat orang berhasil dalam upaya mulia ini:
Dan barang siapa yang menaati Allah dan rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: para nabi, para shiddiqien, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh.  Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.  (QS Al-Nisa, 4: 69)

   Di halaman-halaman berikut, kita akan menelaah kesempurnaan akhlak seperti ini yang mana Allah firmankan secara rinci dalam Qur'an, dan kita akan melihat kepatuhan dan gairah besar yang harus ditunjukkan manusia agar berhasil dalam perjuangan ini.

Nurani Mereka yang Beriman Sempurna

Dari hari manusia dilahirkan, suara yang selalu terus-menerus membisikkan kejahatan mengiringinya.  Bisikan ini berasal dari hawa nafsunya.  Akan tetapi, di samping suara ini ada suara yang tak mungkin salah yang melarang kejahatan dan membimbingnya ke jalan yang lurus.  Suara yang memandu manusia ke kebenaran ini disebut “nurani”.  Allah memperkenalkan kepada kita kedua segi diri manusia ini sebagai berikut:

Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaanNya).  Maka, Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.  Sesungguhnya, beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu.  Dan sesungguhnya, merugilah orang yang mengotorinya.  (QS Al-Syams, 91: 7-10)

   Sebagaimana dikatakan dalam ayat di atas, Allah juga mengilhami manusia agar menghindari kejahatan dirinya sendiri.  Ilham ini diberikan melalui nurani.  Karena itu, nurani adalah, dalam pengertian tertentu, suara Allah yang menghimbau mukmin tentang apa yang baik dan benar.  Karena alasan inilah, nurani adalah kunci ke iman yang sempurna.
   Mereka yang beriman sempurna terus-menerus menyimak suara ini.  Mereka memiliki pemahaman yang amat berbeda tentang nurani dari apa yang dikenal dalam masyarakat.  Menolong orang miskin dan lanjut usia atau bersedekah kepada lembaga-lembaga umumnya dianggap sebagai tanda nurani yang baik.  Namun, selain contoh-contoh tersebut, nurani diabaikan dari hampir semua bidang kehidupan lainnya; orang-orang umumnya merasa tidak perlu menggunakan nurani mereka dan menjalankan kehidupan menuruti nafsu mereka.
   Mereka yang memperhatikan nurani sebagaimana diperintahkan dalam Qur'an hanyalah mereka yang beriman sempurna: sepanjang hidup mereka menyimak nurani untuk semua masalah.  Mendekat kepada Allah dan meraih ridaNya menjadi satu-satunya sasaran dalam hidup, apa pun keadaan atau suasananya.  Tidak kelelahan, kurang istirahat, atau pun kesibukan sehari-hari menyimpangkan mereka dari mengikuti suara ini.  Waktu-waktu tersibuk atau masa-masa susah bukanlah pengecualian; satu peringatan dari nurani cukup bagi mereka untuk segera melihat kebaikan dan berpaling ke sana.
Sebuah contoh akan memperjelas hal ini: bayangkan seorang mukmin yang baru kembali dari perjalanan panjang yang melelahkan; hanya memperoleh beberapa jam tidur, ia kelelahan dan kelaparan.  Tepat saat akan beristirahat untuk memulihkan kekuatannya, ia bertemu dengan seseorang yang sedang kesusahan yang meminta pertolongannya.  Mukmin ini merasakan tiada keraguan dalam mengenyampingkan semua kebutuhan pribadinya dan bersegera memberikan bantuan.  Jika secara lahiriah terlalu lemah menolong sendiri, ia lalu akan mencari seseorang yang akan menggantikannya.  Sementara itu, sebagai balasan atas bantuan ini, ia menghindari sikap-sikap yang akan membangkitkan rasa utang budi di diri si orang susah itu; ia tidak merendahkan diri dengan menyebutkan kebutuhannya atau pengorbanan yang telah dibuatnya.  Hal itu karena ia telah melakukan semua ini untuk meraih rida Allah.  Ia tidak mengharapkan sesuatu sebagai balasan.  Sikap orang-orang seperti dia dikatakan dalam Qur'an sebagai berikut:

“Sesungguhnya, kami memberi makan kamu hanyalah karena mengharap keridaan Allah; tidaklah kami mengharapkan darimu balasan dan tidak pula (ucapan) terima kasih.  Sesungguhnya kami amat takut kepada Tuhan kami pada hari yang muka menjadi masam dan kesulitan timpa-bertimpa.”  (QS Al-Insan, 76: 9-10)

Inilah pengertian nurani orang yang beriman sempurna.  Tak masalah betapa mengerikan keadaan, ia tidak menyeleweng dari mengikuti nuraninya dan tidak pernah berbuat baik dengan harapan akan hadiah.  Pikiran bahwa Allah sadar akan perbuatan itu cukup baginya.
Dalam hal seseorang yang tidak memiliki akhlak yang diakibatkan iman yang sempurna, setiap ketaknyamanan menjadi alasan sah untuk membolehkannya mengabaikan pilihan benar yang dibimbingkan nuraninya.  Kebutuhan-kebutuhan lahiriah seperti kurang tidur, kelelahan, atau kelaparan amat mungkin mengubah sikapnya, membuatnya menjadi orang yang tidak menenggang, tegang, dan pemarah.  Pada saat-saat itu, jangankan menolong orang lain, ia menjadi kasar kepada orang-orang sekitarnya yang mencoba menolongnya.  Jika bersedia membantu orang lain – yang sering merupakan keadaan yang luar biasa – ia pasti bersungut-sungut tentang itu, menggerutui yang ditolongnya dan sebisa mungkin membuatnya merasa berutang budi.
Sebagaimana nampak di sini, ada jurang lebar antara akhlak dan sikap mereka yang beriman sempurna dan mereka yang tidak memiliki sifat-sifat bawaan mulia itu.  Perbedaan ini menjadi jelas pada setiap saat kehidupan mereka dan akan membuat perbedaan besar dalam ganjaran yang akan mereka terima di hari kemudian.

Kesabaran Mereka yang Beriman Sempurna

Bagi orang yang beriman sempurna, cakupan kesabaran tidak terbatas pada menanggung kesusahan dan masalah dengan ketenangan.  Menurut ayat: “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu…”  (QS Al-Imran, 3: 200), sepanjang hidup ia menunjukkan tekad tak goyah untuk seksama memenuhi semua perintah Qur'an, menghindari yang dilarang, menunjukkan kesempurnaan akhlak dalam setiap keadaan, tanpa menjadi cemas atau takut.  Pendeknya, ia berbulat tekad memperlihatkan kesabaran dan sikap baik sebagaimana disarankan agama.  Hal itu karena seseorang dapat mengembangkan sifat bawaan mulia ini hanya jika ia melakukan upaya yang tekun.  Mereka yang beriman sempurnalah yang menunjukkan kesabaran selagi berupaya demikian.  Sebagaimana diberitahukan Nabi Muhammad SAW kepada Muslim dalam hadis berikut, mereka mengetahui bahwa kesabaran itu hadiah untuk mereka dari Allah:
“Tak seorang pun dapat diberi hadiah lebih baik dan lebih mewah daripada kesabaran.”  (Bukhari dan Muslim)
   Itulah mengapa kesabaran meliputi seluruh kehidupan orang yang beriman sempurna dan mewujud dalam semua perbuatan dan sikapnya.  Orang yang beriman sempurna menunjukkan kesabaran luar biasa dalam penaatan perintah Tuhan kita, “Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik.”  (QS Al-Ma’arij, 70: 5)  Ia memperlihatkan kesabaran dalam kerendah-hatian dan menjadi orang yang paling rendah hati; ia menunjukkan kesabaran dalam tidak mendahulukan diri sendiri dan menjadi orang yang paling banyak berkorban …
   Contoh berikut dalam Qur'an tentang kesabaran yang tersingkap selagi menunjukkan kesempurnaan akhlak akan memberikan kita pemahaman yang lebih baik tentang gagasan ini:

Dan tidakkah sama kebaikan dan kejahatan.  Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antara kamu dan dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.  Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.  (QS Fushilat, 41: 34-35)

   Sebagaimana ditunjukkan ayat itu, Allah memerintahkan manusia menanggapi perbuatan jahat dalam cara sebaik mungkin dan menekankan bahwa hanya mereka yang sabar dapat berhasil melakukannya.  Contoh ini dengan gamblang memperlihatkan bahwa jika kesempurnaan akhlak mesti ditunjukkan, penting  untuk bersabar.  Tidak pernah merasa gusar menghadapi peristiwa-peristiwa yang tampaknya buruk merupakan sifat lain mukmin yang beriman sempurna.  Di sisi lain, saat mendapatkan nikmat yang dianugerahkan kepadanya, ia tidak menjadi teranja.
   Seseorang bisa sangat dermawan, mengorbankan diri dan sangat rendah hati pada masa tertentu kehidupannya.  Atau, ia mungkin tetap tabah menghadapi kesusahan.  Akan tetapi, kegagalan menunjukkan sifat bawaan terpuji ini di bawah keadaan tertentu, dan karena itu memiliki sejumlah batasan atau titik lemah, mungkin memansukhkan upaya sebelumnya seseorang untuk bertindak benar.  Orang harus menghayati semua nilai-nilai ini dalam wataknya.  Sifat-sifat ini harus jauh dari peniruan, pemalsuan, kedangkalan atau kesementaraan; semua itu harus menjadi pembentuk-pembentuk bangunan Qur'aniah yang mapan.  Allah juga menyatakan bahwa menunjukkan terus-menerus nilai-nilai kebajikan yang telah menjadi bagian terpadu watak seseorang adalah terpuji di mata Allah: “Tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”  (QS Al-Kahfi, 18: 46)
   Kesabaran adalah salah satu tanda terpenting ketulusan mukmin dan upayanya mendekat kepada Allah: orang hanya dapat menunjukkan kesabaran dalam kaitan dengan ketulusan dan kedekatannya dengan Allah.  Mereka yang beriman sempurna yang bertekad menunjukkan sifat-sifat ini bersaing dengan mukmin lain dalam bersabar.  Jika membuat pengorbanan dibutuhkan, mereka membawakan diri dengan benar dan membawa semua sumberdaya harta dan tenaga ke dalam kancah.  Perhatian kita ditarik ke sifat ini dalam sebuah ayat yang berbunyi: “Orang-orang yang sabar karena mencari keridaan Tuhannya…”  (QS Al-Ra'd, 13: 22)  Menghadapi kesukaran, orang-orang seperti mereka berpaling kepada Allah tanpa menyimpan perasaan tertekan atau ketakpastian apa pun dalam hatinya.  Hal ini juga diungkapkan oleh Nabi kita SAW:
“Menakjubkan sungguh urusan mukmin.  Baginya ada kebajikan dalam semua urusannya, dan ini hanya bagi mukmin.  Jika sesuatu yang menyenangkan terjadi, ia bersyukur, dan itu baik baginya; dan ketika sesuatu yang menyusahkan terjadi, ia bersabar, dan itu baik baginya.”  (Muslim)
   Orang sering salah menafsirkan kesabaran dan mengiranya sebagai “menahan diri terhadap sesuatu”.  Ini cuma makna kait jauh kesabaran yang dialami dan dirasakan oleh orang yang beriman sempurna, sebab “menahan diri terhadap sesuatu” merupakan bentuk wajib ketabahan yang diperlihatkan di hadapan keadaan yang menekan dan menyakitkan.  Akan tetapi, kesabaran yang ditunjukkan demi tujuan Allah bukanlah sumber ketertekanan, melainkan penyebab kegirangan dan kebahagiaan luar biasa.  Orang yang beriman sempurna menunjukkan kesabaran demi meraih rida Allah, dan karena itu tidak menjadi tertekan.  Sebaliknya, dengan harapan menerima nikmat dan ganjaran yang Allah janjikan sebagai balasan bagi kesabarannya, ia menarik kegembiraan besar dari situ.  Allah memberitahu kita dalam Qur'an bahwa kesabaran membuat tertekan kafirin:

Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu.  Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu.  (QS Al-Baqarah, 2: 45)

Kesabaran orang yang beriman sempurna begitu besar sehingga kesabaran dan kegigihannya memohon tidak goyah, walaupun ia tidak dapat melenyapkan masalah atau mencapai keinginannya hingga kematian menjemput.  Ia mengetahui bahwa Allah mengendalikan segalanya dan bahwa ia akan meraih ganjaran besar sebagai balasan kesabarannya.  Karena alasan ini, ia puas terhadap Allah apa pun keadaan yang dihadapi, ia beriman kepada sifat pengasih dan penyayangNya yang abadi, dan menaruh kepercayaannya kepadaNya.  Jika Allah tidak segera mengabulkan doanya, ia pasti mengetahui ada kebajikan dan keindahan lebih besar tersembunyi di dalamnya.  Ia tidak pernah melupakan bahwa Allah mengabulkan semua doa dan memberikan ganjaran luar biasa bagi mereka yang sabar.  Dan janjiNya sungguh benar.  Satu ayat berbunyi: “…Siapakah orang yang lebih benar perkataan(nya) daripada Allah?”  (QS Al-Nisa, 4: 87)  Mukmin yang sadar akan kenyataan ini berpikir bahwa Allah mungkin akan memberinya lebih banyak nikmat namun, sebelumnya, Dia ingin ia tumbuh lebih dewasa.  Mukmin yang teladan dalam kepasrahan mereka dirujuk dalam Qur'an sebagai: “Orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: ‘Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun’ (sungguh kita berasal dari Dia dan sungguh kepadaNya kita kembali).”  (QS Al-Baqarah, 2: 156)
   Sungguh, Allah menganjurkan para hambaNya agar bersabar dalam menghadapi kesukaran yang mereka temui dan memberi kabar gembira bahwa mereka akhirnya akan memetik manfaat besar:

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan.  Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.  (QS Al-Baqarah, 2: 155)

   Mukmin menerapkan kesabaran sepanjang hidupnya.  Ia menaati perintah Tuhannya: “Dan untuk Tuhanmu, bersabarlah kamu.”  (QS Al-Muddatstshir, 74: 7) pada setiap saat kehidupannya.  Akhirnya ia akan menemui Tuhannya dan diganjar dengan surgaNya.  Malaikat-malaikat di pintu gerbang surga akan menyalaminya sebagai berikut: “(sambil mengucapkan): ‘salamun`alaikum bima shabartum’ (salam bagimu karena kesabaranmu).  Alangkah baiknya tempat kesudahan itu.”  (QS Al-Ra'd, 13: 24)

Pemahaman akan Rasa Sayang Mereka

yang Beriman Sempurna


“… termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang.”  (QS Al-Balad, 90: 17)

   Manusia, secara alamiah, cenderung merasakan kegembiraan dari hidup dengan nilai-nilai Qur'an dan merasa nyaman dengan kumpulan akhlak ini: “Maka hadapkanlah wajahmu lurus kepada agama (Allah); (tetaplah) atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu…”  (QS Al-Rum, 30: 30)  Karena hal ini, orang yang beriman sempurna biasanya memiliki semacam rasa kasih dan sayang yang dihimbaukan Qur'an.  Ketika mukmin mematuhi nilai-nilai Qur'an, Dia mewujudkan nama-nama indahNya, ar-Rauf (Maha Ramah) dan ar-Rahman (Maha Pengasih), pada mereka.  Allah Maha Pengasih dari pengasih, dan Maha Penyayang.  Allah menarik perhatian kepada sifat kasih dan sayangNya yang tak berhingga:

… Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka.  (QS Al-Taubah, 9: 117)

… Dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang ".  (QS Yusuf, 12: 92)

… Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.  (QS Al-Hajj, 22: 65)

   Rasulullah SAW melukiskan rasa sayang Allah kepada mukmin dengan cara ini:
“Allah menunjukkan kasih sayang hanya kepada mereka di antara hamba-hambanya yang penyayang.”  (Bukhari, Muslim)
   Karena memiliki kesempurnaan akhlak ini, mereka yang beriman sempurna itu penyayang dan pengasih kepada manusia.  Namun, pemahaman rasa sayang mereka sangat berbeda dengan pengertian yang meluas di masyarakat.  Karena merupakan wujud dari rasa sayang Allah, rasa sayang mereka mengambi bentuk yang layak mendapatkan rida Allah dan sesuai dengan Qur'an.  Mereka mengetahui bahwa pemahaman rasa sayang yang dibentuk oleh syarat tatanan yang tidak Qur'ani akan menjadi rasa sayang yang “jahat”.
   Misalnya, selagi menolong orang lain, apakah pertolongan ini demi tujuan kebajikan atau maksud yang tidak menyenangkan Allah menjadi syarat utama bagi orang yang beriman sempurna.  Jika pertolongan ini diminta demi maksud-maksud baik, maka rasa sayang orang yang beriman sempurna akan menggerakkan mereka memberikan segala macam bantuan.  Namun, tidak pernah ia mau membantu seseorang yang akan memanfaatkan pertolongannya untuk melaksanakan perbuatan haram.  Inilah rasa sayang sejati yang Allah ridai.  Mencegah seseorang dari kesalahan dan memandunya ke jalan yang lurus merupakan kebajikan dan rasa sayang sejati, untuk mana bakal pendosa akan sangat bersyukur di hari kemudian, walaupun mungkin ia gagal meresapi nilai pentingnya di dunia ini.
   Mukmin tidak menunjukkan rasa kasih dan sayang kepada mereka yang telah menjadikan menentang nilai-nilai agama sasaran utama mereka.  Syarat yang diajukan Qur'an tentang hal ini adalah sebagai berikut:

Muhammad itu utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengannya keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka…  (QS Al-Fath, 48: 29)

   Mukmin hanya menunjukkan rasa sayang kepada “mukmin”, hamba-hamba Allah yang setia.  Di sisi lain, sikap mereka kepada kafirin sangat tegas dan yakin.  Mereka tidak menunjukkan kasih sayang, sebab inilah jenis “rasa sayang yang jahat” tersebut di atas.  Sikap yang diambil orang-orang seperti mereka kepada mukmin diperjelas dalam ayat: “Jika mereka menangkap kamu, niscaya mereka bertindak sebagai musuh bagimu dan melepaskan tangan dan lidah mereka kepadamu dengan menyakiti(mu); dan mereka ingin supaya kamu (kembali) kafir.”  (QS Al-Mumtahanah, 60: 2)  Karena itu, jelaslah tidak bijaksana untuk memperlihatkan rasa sayang kepada orang yang menyimpan kebencian mendalam kepada mukmin dan mencari kesempatan memamerkannya.
   Di samping ini, kasih dan sayang yang ditunjukkan mereka yang beriman kepada mukmin lainnya sungguh-sungguh teladan dan unik.  Rasa sayang ini diiringi oleh sifat-sifat kemanusiaan seperti pengorbanan, timbang rasa, pemaaf, pengasih, dan penghormatan.  Mereka yang beriman sempurna mengetahui kebutuhan-kebutuhan lahiriah dan batiniah mukmin lain bahkan sebelum mukmin itu mengungkapkannya, dan tidak membuang waktu demi memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu karena kasih sayang mendalam yang mereka rasakan kepada mukmin tersebut.  Sama dengan setiap masalah lain, Nabi kita SAW memberikan teladan terbaik dengan kesempurnaan akhlak yang ditunjukkannya dalam hal rasa kasih dan sayang.  Rasa kasih dan sayang yang dirasakan Nabi kita SAW terhadap Muslim dijelaskan dalam ayat berikut:

Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.  (QS Al-Taubah, 9: 128)

   Sebagaimana terlihat dalam ayat di atas, kasih dan sayang yang Nabi kita SAW rasakan bagi mukmin begitu besar sehingga penderitaan mereka amat menekannya.  Inilah pemahaman rasa sayang bagi mereka yang beriman sempurna.

Pengorbanan Diri Mereka yang
Beriman Sempurna
Hanya menakuti Allah dan beriman kepada hari kemudian yang memandu manusia untuk berkorban tanpa mengharapkan hadiah apa pun sebagai balasannya; mereka yang takut kepada Tuhan mengharapkan pahala hanya dari Allah.  Karena alasan ini, tidak seperti orang-orang yang melalaikan nilai-nilai agama, mereka yang beriman sempurna tidak membuat pembedaan di antara manusia atau masalah selagi berkorban.
Akan tetapi, dalam masyarakat jahiliah (diliputi kebodohan), kebanyakan orang tidak memiliki pemahaman halus tentang pengorbanan.  Alasan utamanya adalah sifat mementingkan diri sendiri, sebuah sifat bawaan yang berhulu pada kejauhan dari nilai-nilai Islam.  Dalam masyarakat yang jauh dari nilai-nilai agama, setiap orang utamanya atau hanya memperhatikan diri sendiri dan benar-benar mengabaikan kebutuhan dan keutamaan orang lain.
   Sikap orang yang beriman sempurna lagi-lagi sepenuhnya berbed; ia, di atas segalanya, adalah seseorang yang telah menyucikan diri dari hasrat nafsu-nafsu rendah semacam itu.  Sungguh, hanya mukmin yang telah mengatasi hasrat yang tak pernah puas dalam dirinya dan telah berhasil mengendalikannya dapat berkorban dan bertimbang rasa dalam pengertian sebenarnyanya.  Sungguh, keimanan sempurna mendorong kesempurnaan akhlak bahwa mukmin menganggap kepentingan dan kebutuhan saudara-saudaranya lebih utama daripada kepentingan dan kebutuhan diri sendiri.  Inilah keimanan sempurna, kepasrahan sejati, dan nurani sejati.  Qur'an memberikan contoh berikut:

Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka.  Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan.  Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.  (QS Al-Hasyr, 59: 9)

Sebagaimana dikatakan ayat di atas, bahkan jika orang yang beriman sempurna sedang membutuhkan, ia lebih suka memenuhi kebutuhan dan keutamaan saudara-saudaranya.  Lebih jauh lagi, pengutamaan yang mulia ini tidak terbatas pada kejadian-kejadian tertentu; sifat ini timbul dari sikap yang menyaput seluruh kehidupannya.  Bahkan jika ia lapar, kurang tidur dan kelelahan, harfiahnya dalam keadaan yang buruk secara lahiriah, ia mendahulukan bagi kebutuhan–kebutuhan mukmin lain dan merasakan tiada kesulitan dalam mengenyampingkan kebutuhannya sendiri.  Sambil melakukan hal ini, ia tidak pernah merasakan ketertekanan.  Lebih-lebih, ia seksama menghindari melakukan sesuatu demi membuat pihak lain merasa berutang budi.
   Ketika mereka yang tidak hidup dengan nilai-nilai agama membuat pengorbanan wajib, mereka pasti membuat sasaran “kedermawanan” merasakan ketakpuasan mereka.  Mereka menampakkan amarah dan ketaksabaran yang mereka rasakan jauh di dalam dengan pandangan gusar atau sikap masam.  Akan tetapi, orang beriman sejati tidak pernah merendahkan diri untuk menunjukkan sikap masam demi membuat pihak lain mencatat pengorbanannya.  Sebaliknya, ia membawakan diri paling mulia dan menyerahkan hak-haknya dengan sukarela, sebab pengetahuan Allah akan pengorbanan itu sudah cukup baginya.  Karena alasan ini, pada sebagian besar kesempatan, pihak lain tidak pernah merasakan bahwa sebuah pengorbanan telah dibuat.


Kerendahhatian Mereka yang

Beriman Sempurna


"…  Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa.  Karena itu, berserah dirilah kamu kepadaNya, dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).”  (QS Al-Hajj, 22: 34)

Pengertian Qur'an tentang kerendahhatian adalah pengakuan kedudukan seseorang sebagai hamba Allah yang tak sempurna dan menjalankan seluruh kehidupannya dalam penerimaan kenyataan ini.  Sikap sebaliknya tak terpikirkan oleh orang yang dapat menghargai Penciptanya.  Dialah Yang menciptakan manusia, Yang memberi dan mengambil jiwanya, dan Yang mengatur semua urusan.  Tiada tuhan melainkan Dia, Dia Maha Pengasih, Paling Pengasih.  Dia meliputi segala sesuatu, Dia memiliki kekuasaan atas segala sesuatu, Dia Yang menciptakan takdir, Dia Yang mendengar, melihat, dan mengetahui segala sesuatu.  Allah tinggi di atas segalanya.  Dia tidak membutuhkan apa pun.  Dia tidak alpa maupun lupa. 
   Di sisi lain, manusia adalah makhluk tak sempurna yang tidak mampu menciptakan apa pun.  Lebih jauh, ia sendiri diciptakan dan tidak mengetahui apa pun selain daripada yang telah diajarkan Allah kepadanya.  Setiap saat ia bergantung pada ribuan nikmat yang dianugerahkan Allah kepadanya.  Bahkan, jika satu saja dari nikmat-nikmat ini hilang, ia menjadi lemah dan putus asa.  Ia makhluk tak sempurna yang terus-menerus memerlukan nikmat-nikmat Allah agar bertahan hidup. 
   Tidak rendah hati itu melawan sifat paling alamiah manusia yang lemah dan tak sempurna di hadapan Allah.  Karena itu, orang yang beriman sempurna tidak pernah gagal melihat kelemahan dirinya.  Kesadaran ini yang ia bangun melalui perenungan, adalah apa yang mengilhaminya dengan semangat rendah hati, dan ini mewujud di raut wajah, penampilan, pembicaraan, maupun di setiap sifat bawaannya.  Misalnya, hanya orang yang rendah hati dapat menerima peringatan.  Ia senang mendengar kecaman atau nasehat apa pun yang datang dari mukmin.  Sungguh, orang yang beriman sempurna bahkan tidak berkeberatan atas kecaman tentang sesuatu yang ia paling seksama; ia menerima nasehat dan berjuang demi perbaikan tindakan-tindakannya.  Ketika diberitahu ia salah tentang sesuatu padahal benar, ia menerima kecaman ini dengan kedewasaan, sebagaimana dalam contoh Nabi Yusuf AS:

Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku....  (QS Yusuf, 12: 53)

   Karena pemahaman akan kerendahhatian semacam itu menghindarkannya dari merasa puas diri dan akibatnya membanggakan kecerdasan, ia menarik manfaat dari semua peringatan, nasehat, dan kecaman.  Orang yang, gagal mengingat ketaksempurnaannya, membanggakan kecerdasannya dan dengan angkuh berpaling dari Allah, menganut sikap yang bertentangan dengan sifat paling alamiahnya.  Allah menarik perhatian ke kenyataan bahwa inilah hasrat yang tak tergapai:  “Sesungguhnya orang-orang yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah (keinginan akan) kebesaran yang mereka sekali-kali tiada akan mencapainya...” (QS Al-Mukmin, 40: 56)  Allah tidak mencintai siapa pun yang membanggakan diri:

Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan dimuka bumi dengan angkuh.  Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.  (QS Luqman, 31: 18)

Nabi Muhammad SAW juga menyarankan mukmin untuk menunjukkan kerendahhatian satu sama lain:
“(Allah) telah menyingkapkan kepadaku bahwa kalian harus menerapkan kerendahhatian sehingga tidak saling menindas.”  (Riyadhush Shalihin)
Si sombong dan si pembangga diri telah melupakan penciptaan serta kelemahan lahiriah dan kecerdasan mereka di hadapan Allah, yang merupakan sifat-sifat iblis sebagaimana dijelaskan Qur'an.  Allah menciptakan Adam dan memerintahkan semua malaikatNya bersujud di hadapannya.  Menganggap dirinya lebih unggul daripada manusia, iblis memberontak terhadap Allah dan tidak mengindahkan perintah ini.  Sikap jahat iblis dijelaskan dalam Qur'an:

(Ingatlah) Ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah.  Maka, apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh (ciptaan)Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya.”  Lalu, seluruh malaikat-malaikat itu bersujud, kecuali Iblis; dia menyombongkan diri dan dia termasuk orang-orang yang kafir.  Allah berfirman: “Hai Iblis, apakah yang menghalangi kamu bersujud kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tanganKu?  Apakah kamu menyombongkan diri, ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?“  Iblis berkata: “Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.”  Allah berfirman: “Maka keluarlah kamu dari surga; sesungguhnya kamu orang yang terkutuk, sesungguhnya kutukanKu tetap atasmu sampai hari pembalasan.”  (QS Shad, 38: 71-78)

   Inilah keadaan mereka yang memperlakukan manusia dengan keangkuhan karena berpaling dari Allah.  Yakin setinggi-tingginya akan kemampuan diri sendiri, mereka tidak menghargai pendapat orang lain.  Mereka bersikeras dengan cara berpikir mereka sendiri, yang merupakan kecenderungan yang menyebabkan mereka terseret menjauh dari nilai-nilai Qur'an.  Lebih penting lagi, mereka yang gagal mengenali kelemahan diri di hadapan Allah akan dikirim ke neraka:

Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, mereka itu penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.  (QS Al-A’raf, 7: 36)

   Di sisi lain, mereka yang beriman sempurna akan dibalas dengan surga karena menghindari sikap tercela seperti itu:

Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi.  Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.  (QS Al-Qashash, 28: 83)

 

Sifat Pemaaf  Mereka yang Beriman Sempurna


"...  Orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang...” (QS Al-Imran, 3: 134)

   Manusia rentan membuat kesalahan.  Ia ada di bumi untuk dicoba.  Ia hanya bisa tumbuh dewasa sambil menghayati nilai-nilai Qur'an dan menyucikan diri dari kesalahan-kesalahannya.  Inilah bagaimana ia meraih kesempurnaan akhlak.  Sungguh, ayat-ayat tentang taubat dalam Qur'an menunjukkan kelemahan manusia.  Allah, Pencipta manusia, yang paling mengetahui kelemahan-kelemahan ini dan menyatakan ia akan mengampuni mereka yang melakukan kejahatan karena lalai, namun kemudian segera bertaubat dan membuat perbaikan atas kesalahan-kesalahan mereka:

Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanya taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.  (QS Al-Nisa, 4: 17)

   Jika seseorang tulus dipandu oleh kebijaksanaan dan nuraninya, namun masih tidak dapat mencegah membuat kesalahan, maka ia boleh berharap akan ampunan Allah.  Dalam banyak ayat, Allah memberitahu kita bahwa Dia pengampun dan penyayang.  Satu ayat berbunyi:

Kabarkanlah kepada hamba-hambaKu, bahwa sesungguhnya Akulah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.  (QS Al-Hijr, 15: 49)

   Sebagaimana ayat ini memberitahu kita, Allah mengampuni kesalahan-kesalahan manusia.  Karena itu, akan tidak patut bagi manusia jika tidak memaafkan kesalahan.  Di samping  itu, Allah menasehati mukmin agar menjadi pemaaf:

Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.  (QS Al-A’raf, 7: 199)

Sesuai dengan perintah Allah, mereka yang beriman sempurna menganut sikap pemaaf kepada mukmin.  Tak diragukan, inilah tanda nurani yang unggul.  Hal ini karena, biasanya, orang merasa sulit memaafkan kesalahan akibat kesalahan sering menyebabkan kerusakan lahir atau batin.  Mereka bahkan tidak dapat mengendalikan amarah dan merasa tidak ragu menunjukkannya.  Namun, sebagaimana dianjurkan ayat di atas, mukmin adalah "… orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang …" (QS Al-Imran, 3: 134)

Sesuai dengan perintah Allah, mukmin tidak menyerah, namun lebih memilih memaafkan.  Mereka mengetahui bahwa sikap terbaik yang dapat mereka anut terhadap orang yang membuat kesalahan adalah mendesaknya berbuat lebih baik.  Satu ayat berbunyi: "Tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman." (QS Al-Dzariat, 51: 55)
   Dalam ayat lain Allah mengatakan, "… hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada.  Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu?  Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS Al-Nur, 24: 22)  Ketika membuat kesalahan dan dengan tulus menyesalinya, seorang mukmin menginginkan Allah dan mukmin lain memaafkannya dan memperoleh kepercayaan mereka.  Menemui sikap memaafkan membuatnya menyadari betapa agung nikmat pengampunan dari Allah dan betapa damai hal itu.  Karena alasan ini, mereka yang beriman sempurna saling memaafkan dan ingin dimaafkan.  Pasti, inilah sikap yang memperoleh rida Allah:

...  Jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang..  (QS Al-Taghabun, 64: 14)

Pemahaman terhadap Keadilan Mereka
yang Beriman Sempurna 

"Sesungguhnya Allah menyuruh(mu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan.  Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran."  (QS Al-Nahl, 16: 90)

   Dalam Qur'an, Allah memerintahkan mukmin tidak menyimpang dari keadilan apa pun keadaannya:

Wahai orang-orang yang beriman!  Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu.  Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya.  Maka, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran.  Dan jika kamu memutar-balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.  (QS Al-Nisa, 4: 135)

Mereka yang beriman sempurna seksama menaati perintah ini dan menegakkan keadilan bahkan jika akibat-akibatnya dapat menyusahkan mereka atau orang-orang yang mereka cintai.  Mereka tidak pernah melupakan bahwa mereka harus bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan mereka di hari kemudian dan bahwa mereka akan dihadapkan di hari itu dengan setiap perbuatan baik atau buruk yang mereka lakukan.  Karena alasan ini, tak satu pun sasaran-sasaran yang mungkin mereka raih di dunia ini tampak lebih baik daripada rida Allah yang mereka harap tercapai di hari kemudian.
   Salah satu sifat terpenting mukmin yang taat adalah bahwa mereka telah memilih cara “orang-orang yang terdepan”.  Karena alasan ini, mereka selalu menunjukkan sikap dengan mana mereka berharap meraih kesenangan Allah.  Mereka bertindak dengan kesadaran bahwa “untuk setiap hari di mana matahari terbit, ada pahala sedekah bagi orang yang menegakkan keadilan di antara manusia” (Bukhari) sebagaimana dikatakan Rasulullah SAW.  Karena itu, ikatan keluarga maupun keuntungan duniawi pribadi tidak mencegah mereka dari menjalankan keadilan.  Dalam Qur'an, Allah memerintahkan yang berikut:

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia, supaya kamu menetapkan dengan adil.  Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.  Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.  (QS Al-Nisa, 4: 58)

   Dalam ayat lain, Allah memerintahkan mukmin berlaku adil sekalipun terhadap orang-orang yang mereka merasa benci, dan karena itu tidak menyimpang dari kebenaran dan ketakwaan:

Hai orang-orang yang beriman!  Hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil.  Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorongmu untuk berlaku tidak adil.  Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat dengan takwa.  Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.  (QS Al-Maidah, 5: 8)

Memiliki sifat-sifat ini, mereka yang beriman sempurna, yang seksama menaati perintah Allah, menjadi menyolok oleh sikap mulia yang mereka anut.  Anggota-anggota dari masyarakat di mana nilai-nilai agama tidak dipedulikan termakan oleh hasrat menuntut balas terhadap orang-orang kepada siapa mereka menyimpan amarah dan menaruh dendam.  Mereka berhenti mengikuti nurani dan hawa nafsu mengendalikan keputusan-keputusan mereka.  Amarah yang mereka rasakan dan dendam yang mereka tanggung jauh di dalam hati mengaburkan nalar dan penilaian mereka.  Karena itu, mereka sering membuat keputusan-keputusan yang tidak benar.
   Untuk meraih pemahaman keadilan menurut pengertian Qur'an, seseorang harus mampu menahan hasrat hawa nafsunya dan mengikuti nuraninya.  Di samping  itu, ia harus bertekad menahan amarahnya dan berpikir menurut nalar Qur'an.  Sungguh, mereka yang beriman sempurna memiliki semua watak ini.  Sesuai dengan ayat  "...  Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." (QS Al-Hujurat, 49: 9) , mereka tidak pernah menyeleweng dari keadilan.

Mereka yang Beriman Sempurna

Menyerukan Kebajikan


"Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”  (QS Al-Imran, 3: 104)

Mereka yang beriman sempurna seksama menaati perintah Allah ini.  Mereka “menyerukan kebajikan dan mencegah kejahatan” sepanjang hidup.  Qur'an memberikan kita makna cermat dari “menyerukan kebajikan dan mencegah kejahatan”.
“Menyerukan kebajikan” menurut pengertian Qur'an adalah mengajarkan seseorang sifat-sifat Allah, dan membuatnya mengerti bahwa ia perlu mencintai Allah dan menakutiNya.  Ini supaya ia mengerti bahwa hari kemudian itu kebenaran mutlak dan bahwa ia akan dinilai sesuai dengan Qur'an.  Hal ini mendorongnya untuk mendengar nuraninya dan menjadi mukmin yang tulus, berbulat tekad, penuh cinta, penuh hormat, pengasih, penyayang, penenggang, pemaaf dan suka berkorban.  Singkatnya, “menyerukan kebajikan” adalah mendesak orang lain agar sungguh-sungguh hidup dengan nilai-nilai Qur'an.  Inilah kebajikan sejati.  Hal ini karena desakan semacam itu akan memastikan kehidupan terbaik di dunia ini dan sesudahnya, dan menyelamatkan bakal pendosa dari siksa abadi di neraka.
Di sisi lain, “mencegah kejahatan” adalah menangkal orang dari mengikuti Setan, membuatnya menyucikan diri dari hasrat mementingkan diri, kepura-puraan, kemunafikan, kesombongan, keangkuhan terhadap Allah, ketakjujuran, dan menganut sikap yang akan tidak menyenangkan Allah.  Inilah bagaimana mereka yang beriman sempurna menghimbau satu sama lain untuk menerima kebenaran.  Allah mengartikan orang-orang seperti mereka dalam Qur'an sebagai berikut:

Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh.  (QS Al-Imran, 3: 114)

   Sebagai balasan atas upaya mereka, mereka tidak mengharapkan hadiah apa pun.  Mereka bermaksud hanya menaati perintah-perintah Qur'an dan karena itu meraih kesukaan Tuhan kita.  Sepanjang sejarah, utusan-utusan Allah memperingatkan kaumnya sebagaimana yang dilakukan Nabi Nuh AS:

Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.  (QS Al-Syu’ara, 26: 109)

Contoh lain yang disebutkan dalam Qur'an adalah parkataan Nabi Musa AS kepada Firaun.  Allah memerintahkan:

Tatkala Tuhannya memanggilnya di lembah suci, yakni, Lembah Thuwa: “Pergilah kamu kepada Firaun, sesungguhnya dia telah melampaui batas.  Dan katakan (kepada Firaun): ‘Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan)? Dan kamu akan kupimpin kejalan Tuhanmu agar supaya kamu takut kepadaNya.’”  Lalu Musa memperlihatkan kepadanya mukjizat yang besar.  Tetapi Firaun mendustakan dan mendurhakai.  Kemudian dia berpaling seraya berusaha menantang (Musa).  Maka dia mengumpulkan (pembesar-pembesarnya), lalu berseru memanggil kaumnya (seraya) berkata: ”Akulah tuhanmu yang paling tinggi”.  Maka, Allah mengazabnya dengan azab di akhirat dan azab di dunia.  Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang yang takut (kepada Tuhannya).  (QS Al-Nazi’at, 79: 16-26)

Sebagaimana dijelaskan dalam ayat-ayat di atas, Nabi Musa AS menghimbau Firaun agar beriman kepada Allah, namun ia langsung menolak dan memberontak terhadap Allah.  Sikap tercela Firaun ini melepaskan Musa AS dari tanggung jawabnya terhadap Firaun, sebab ia hanya bertanggung jawab menyerukan kebajikan dan mencegah kejahatan.  Allah-lah yang memandu hati manusia ke jalan yang lurus atau menyesatkannya. 
Akan tetapi, tugas seorang mukmin untuk menyerukan kebajikan tidak terbatas hanya pada menghimbau orang ke jalan yang lurus.  Mereka juga menyerukan mukmin lain untuk mendesak mereka meraih pemahaman lebih dalam akan nilai-nilai Qur'an, menyucikan diri dari kesalahan-kesalahan, dan membuat mereka memperlihatkan kesempurnaan akhlak.  Seorang mukmin menyerukan kebajikan kepada saudara-saudaranya dan melarang kejahatan.  Ia ingin mereka meraih rida Allah dan diganjar dengan ditempatkan setinggi-tingginya di surga. 
   Mereka yang beriman sempurna tidak menyampaikan akhlak agama hanya melalui kata-kata; cara mereka membawakan diri dan seluruh kehidupan mereka juga wujud dari akhlak ini.  Bukan hanya berbicara tentang makna persahabatan, kebulatan tekad, atau ketulusan, mereka sendiri memperlihatkan ketulusan dan kebulatan tekad dan karena itu menjadi teladan untuk diikuti.  Perilaku mereka menyampaikan makna ketulusan jauh lebih baik daripada kata-kata.  Hal ini berlaku bagi semua sifat-sifat akhlak yang disebutkan dalam Qur'an.  Orang yang beriman sempurna menunjukkan keikhlasan berkorban, kerendahhatian, pengampun, keadilan, penyayang, kejujuran – singkatnya, apa pun yang berkaitan dengan kesempurnaan akhlak, dengan hidup menerapkan nilai-nilai ini.  Inilah apa yang paling berkesan bagi orang lain.  Sungguh, orang yang bergembar-gembor tentang pentingnya pengorbanan diri, namun berkali-kali bertindak mementingkan diri, tidak akan pernah amanah atau nampak tulus di mata orang lain.
   Jelaslah bahwa ia yang tulus hidup dengan nilai-nilai yang diucapkannya pasti akan menarik nurani orang lain.

Keberpalingan kepada Allah Mereka

yang Beriman Sempurna


"Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat.  Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepadaKu.  Maka, hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)Ku dan hendaklah mereka beriman kepadaKu, agar mereka selalu berada dalam kebenaran."  (QS Al-Baqarah, 2: 186)

Allah meliputi segala sesuatu.  Dia lebih dekat kepada manusia daripada urat nadi lehernya.  Dialah Yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.  Allah mengetahui apa pun yang terjadi pada manusia; tidak sekeping pun pikiran dapat tersembunyi dariNya.  Mukmin  mengetahui hal ini dan mengakui bahwa ia hanya perlu berpikir demi memohon sesuatu kepada Allah.  Bahkan jika pikiran ini tersembunyi di dada seseorang, Allah mendengarnya dan tak terbantahkan? mengabulkan doa seseorang karena Allah adalah sahabat, pelindung, dan penolong mukmin.
Menurut Qur'an, doa adalah keberpalingan manusia kepada Allah dalam segala ketulusan, mencari perlindungan dalam kekuatanNya yang tak berhingga dan tak terikat, dan memohon akan pertolongan dariNya.  Doa adalah hubungan pribadi seseorang dengan Allah.  Semua pikiran dan keinginan manusia tetap tersimpan di antara ia dan Allah.  Karena itu, tidak ada kemungkinan terkecil sekalipun berlaku sombong dalam bentuk pemujaan ini.  Ini adalah pemujaan yang dibangun sepenuhnya di atas ketulusan.
Mereka yang merasakan dalam-dalam bahwa Allah lebih dekat kepada mereka daripada siapa pun dan apa pun, bahwa Dia mendengar dan mengabulkan semua doa, dan yang hidup dengan kebenaran-kebenaran ini, adalah mereka yang beriman sempurna.  Mereka lagi-lagi adalah orang-orang yang berpaling kepada Allah dengan hati yang tulus dan mengetahui kelemahan-kelemahan diri sebagai manusia di hadapan keMahaKuasaanNya.  Lebih jauh mereka mengetahui hanya Allah Yang mengabulkan semua doa dan menyelamatkan manusia dari semua kesulitan dan masalah. 
   Tidak hanya dalam masa-masa susah atau musibah, namun setiap saat mereka yang beriman sempurna berpaling kepada Allah, karena mengetahui tidak ada satu saat pun dalam kehidupannya manusia tidak memerlukan Allah.  Mereka tidak menunggu musibah menimpa sebelum berdoa kepada Allah.  Mereka mengetahui bahwa inilah sebentuk pemujaan, tugas seorang hamba kepada Penciptanya, dan satu cara penting agar lebih mendekat kepada Allah.  Senyatanya, inilah salah satu sifat terpenting yang membedakan mereka dari orang-orang lain.  Akhlak yang ditunjukkan oleh mereka yang berdoa kepada Allah saat dalam kesusahan, namun bersegera memutar badan seketika dilepaskan dari kesusahan dijelaskan dalam ayat berikut:

Dan apabila manusia ditimpa bahaya, dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk, atau berdiri.  Tetapi, setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya.  Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan.  (QS Yunus, 10: 12)

   Di sisi lain, mereka yang beriman sempurna adalah orang-orang yang berpaling kepada Tuhannya apakah sedang dalam kesenangan ataupun dalam kesusahan, sebab mereka memahami pandangan yang diberikan oleh ayat:  "…Tuhanku tidak mengindahkanmu, melainkan kalau ada ibadatmu… ." (QS Al-Furqan, 25: 77)

   Mereka berdoa sebagaimana dilukiskan dalam Qur'an.  Dalam satu ayat, Allah memerintahkan yang berikut:

Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.  (QS Al-A’raf, 7: 205)

Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.  (QS Al-A’raf, 7: 55)

   Sebagaimana nampak jelas, Allah meminta doa yang rendah hati dan penuh takut dari hamba-hambaNya.  Karena, dalam doa mereka, satu-satunya syarat yang ditetapkan Allah bagi hamba-hambaNya adalah ketulusan.  Tuhan kita, kepada siapa kita bermohon, mengetahui dan mendengar apa yang kita ucapkan maupun pikiran terdalam kita.  Sadar akan hal ini dan mengikuti naluri, mereka yang beriman sempurna kadang berdoa diam-diam dan kadang keras, namun tak pernah mereka menjadikan doa sebuah sandiwara, sebab, dalam Qur'an, Allah menarik perhatian pada pentingnya “memanggil Allah, memurnikan agamaNya”:

Dialah Yang hidup kekal, tiada Tuhan melainkan Dia; maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadat kepadaNya.  Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.  (QS Al-Mukmin, 40: 65)
   Mukmin “merasakan keberadaan Allah” selagi berdoa.  Sambil berdoa, tidak hanya mereka menyampaikan permohonan kepada Allah, namun juga merasakan dalam-dalam kesatuan dengan Allah, keberadaanNya, keagunganNya dan kekuatannya yang tak berhingga.  Dalam Qur'an, Allah memerintahkan sebagai berikut:

Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadatlah kepadaNya dengan penuh ketekunan.(QS Al-Muzzammil, 73: 8)

   Selagi berdoa, mereka yang beriman sempurna menjaga pikiran agar tersaput oleh ingatan akan nama-nama indah Allah.  Nama-nama Allah membuat kita meraih pemahaman lebih baik tentang sifat-sifat Allah.  Mukmin yang memanggilnya, sadar bahwa Dialah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, sungguh-sungguh meresapi kedekatanNya kepada hamba-hambaNya dan kasihNya.  Sungguh, orang dapat berdoa kepada Allah dengan menyebutkan nama-nama indahNya:

Hanya milik Allah asmaa-ul husna (nama-nama indah), maka bermohonlah kepadaNya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-namaNya.  Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.  (QS Al-A’raf, 7: 180)

   Sebagaimana juga benar dalam perkara-perkara lain, doa yang tulus merupakan sifat yang terbaik diperlihatkan dalam diri para nabi Allah.  Dalam Qur'an, ketulusan doa-doa para nabi ditekankan khusus:

Ia (Sulaiman) berkata: ”Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi.”  (QS Shad, 38: 35)

Musa berdoa: ”Ya Tuhanku, ampunilah aku dan saudaraku dan masukkanlah kami ke dalam rahmatMu, dan Engkau adalah Maha Penyayang di antara para penyayang.”  (QS Al-A’raf, 7: 151)

   Dalam sebuah hadis, kita membaca doa Rasulullah SAW berikut ini:
“Ya Tuhanku!  Tuhan Tujuh Langit dan Tuhan Singgasana yang agung, Tuhan kami dan Tuhan segalanya, Pencipta tumbuhan dan pepohonan; kumencari pertolongan dariMu terhadap kejahatan semua makhluk; Engkaulah yang Pertama, tidak sesuatu pun sebelumMu.  Engkaulah yang Terakhir, tidak sesuatu pun sesudahMu.”  (Muslim)
Mukmin juga bersabar dalam doanya.  Sebagaimana dikatakan ayat, mereka "jadikan sabar dan shalat sebagai penolong…”  (QS Al-Baqarah, 2: 45) dari Allah.  Kepasrahan mereka kepada Allah dan kepercayaan yang mereka taruh padaNya menyebabkan kesabaran dan tekad sedemikian.  Mukmin merasa yakin bahwa Allah pasti akan mengabulkan doanya.  Ia tidak pernah berputus asa dan terus memohon kepadaNya: "… Jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah.  Sesungguhnya tiada yang berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.    (QS Yusuf, 12: 87)
   Orang yang beriman sempurna menakuti Allah dan berdoa kepadaNya dengan penghormatan dan kesabaran besar.  Ia berdoa kepada Tuhannya di setiap saat; pada waktu dan tempat yang tak diperkirakan, mukmin menyisihkan waktu untuk berdoa kepada TuhanNya dengan sungguh-sungguh.  Bahkan dalam saat-saat tersibuknya, ia mencari perlindungan dariNya, bermohon kepadaNya dan meminta petunjukNya.  Ia melakukan semua ini karena mengetahui inilah cara termudah untuk lebih mendekat kepada Allah, untuk meraih rida dan surgaNya.  Tak ada penghalang yang akan mencegah orang seperti dia dari lebih mendekat kepada Penciptanya.  Allah hanya menginginkan hamba-hambaNya berpaling kepadaNya dengan hati yang tulus.  Allah memerintahkan yang berikut dalam Qur'an:

Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (berhala), (yaitu) tidak menyembahnya, dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; karena itu, sampaikanlah berita itu kepada hamba-hambaKu.  (QS Al-Zumar, 39: 17)

Sikap-sikap Teladan yang Diambil Mereka yang Beriman Sempurna dalam Masa-masa Susah
Sebelum membahas sikap-sikap yang dianut mereka yang beriman sempurna di masa-masa susah, kita perlu memiliki pemahaman yang sebenarnya tentang cara mereka merasakan kesusahan.  Mereka yang beriman sempurna adalah mereka yang benar-benar meresapi bahwa dunia ini adalah tempat yang dirancang khusus untuk menempatkan manusia ke dalam cobaan.  Mereka juga benar-benar mengetahui bahwa gagasan “kesusahan” diciptakan untuk membedakan antara “orang-orang yang sungguh-sungguh beriman” dan “orang-orang yang di hatinya ada penyakit”.  Masa-masa susah dan masalah adalah saat-saat penting bagi makhluk yang memungkinkan mereka membuktikan ketulusan mereka dalam beriman.  Karena itu, berlawanan dengan makna biasanya, “kesusahan” sungguh-sungguh “nikmat” bagi orang yang beriman sempurna.
Karena kesan ini, mereka menaruh kepercayaan kepada Allah saat menemui kesukaran.  Sementara itu, mereka tidak pernah lupa berdoa bahwa Allah tidak akan membebani mereka dengan yang lebih daripada kemampuan mereka menanggungnya:

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.  Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.  (Mereka) berdoa: ”Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.  Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami.  Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya.  Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami.  Engkau Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.”  (QS Al-Baqarah, 2: 286)

   Dalam menghadapi kesusahan, mereka mengerti bahwa itu adalah cobaan “yang mereka mempunyai kekuatan untuk menanggungnya” dan karena itu mencoba menunjukkan kepasrahan mereka kepada Allah dan kepercayaan mereka kepadaNya dengan cara sebaik mungkin.  Mereka mengetahui bahwa sikap-sikap yang mereka anut pada masa-masa senang dan yang mereka perlihatkan dalam masa-masa susah tidaklah sama di mata Allah.  Dalam hal ini, Allah memberikan contoh berikut:

Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka.  Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat.… (QS Al-Nisa, 4: 95)

   Sebagaimana ditekankan ayat di atas, mereka yang mencari rida Allah di masa-masa susah lebih unggul daripada mereka yang tidak berupaya apa pun.  Pegangan erat kepada agama mereka dalam masa-masa susah seperti itu menyingkapkan kebesaran iman mereka.  Sukar menilai ketulusan seseorang yang berkorban di masa-masa mudah.  Menempatkan manusia ke dalam cobaan melalui kesukaran adalah cara Allah membedakan antara mereka yang bersungguh-sungguh dan mereka yang pendusta.
   Cobaan Allah pada mukmin dengan kesukaran-kesukaran memiliki maksud lain.  Telah mengalami kesukaran membuat seseorang menghargai lebih baik nilai sebuah nikmat dan membuatnya merasa lebih bersyukur.  Ini karena kesukaran dan kesakitan mendewasakan jiwa manusia.  Kesukaran-kesukaran di dunia ini membuat manusia mampu membuat pembandingan antara yang baik dan yang buruk, kelebihan dan kekurangan, kenyamanan dan keresahan.  Hanya melalui pembandingan-pembandingan ini seorang manusia menghargai nilai nikmat lahiriah dan batiniah yang ia rasakan.  Lebih penting lagi, kesukaran-kesukaran ini membuatnya mampu sungguh-sungguh mengerti bagaimana ia membutuhkan Allah dan memahami kelemahannya di hadapanNya.
   Macam kesukaran melalui mana seseorang dapat ditempatkan ke dalam cobaan di dunia ini diterangkan sebagai berikut:

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan.  Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.  (QS Al-Baqarah, 2: 155)

Seorang mukmin yang mengingat ayat ini menyiapkan diri bagi kesukaran-kesukaran bahkan sebelum menemuinya dan berjanji kepada Allah bahwa ia akan menunjukkan ketabahan dalam kesabaran dan kepasrahan, dan tetap mengabdi, apa pun keadaan menjadi.  Keimanan sempurnanya menyebabkankan sikap mulia ini.  Dalam menghadapi ketakutan, kelaparan tak terperi, kemiskinan, cedera atau kehilangan orang terkasih, ia tetap bertekad berpuas diri dengan Allah dan menganut sikap bersyukur kepadaNya.  Ia melihat semua keadaan itu sebagai cara untuk lebih mendekat kepada Allah dan untuk meraih surga.  Satu ayat berbunyi:

Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.  Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh.  (Itu telah menjadi) Janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur’an.  Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah?  Maka bergembiralah dengan jual-beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.  (QS Al-Taubah, 9: 111)

   Mukmin yang telah mencapai kedewasaan iman ini sadar bahwa orang tidak dapat meraih ganjaran akbar seperti surga hanya dengan mengatakan: “Saya beriman”:

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan:”Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?  Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.  (QS Al-Ankabut, 29: 2-3)
  
Lagi di ayat yang lain Allah menarik perhatian kita ke kebenaran penting ini:

Apakah kamu mengira kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelummu?  Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: ”Bilakah datangnya pertolongan Allah?“ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.  (QS Al-Baqarah, 2: 214)

   Ayat-ayat ini menyingkapkan bahwa, dalam kepatuhan kepada hukum Allah yang tak bisa diubah, segenap manusia yang pernah muncul di bumi telah menghadapi kesukaran-kesukaran ini.  Mereka juga diuji dengan menempatkan harta dan jiwa mereka sebagai taruhan; mereka juga dihadapkan dengan kekejaman dan tekanan dari kafirin dan karenanya perbedaan antara mukmin sejati dan yang tidak tulus menjadi tampak.  Itulah mengapa, saat seorang mukmin mengenal Qur'an, ia mulai menyiapkan diri bagi peristiwa-peristiwa ini.  Akan tetapi, peristiwa-peristiwa ini, yang terjadi sejalan dengan saripati cobaan, mungkin tidak sama tepat dengan yang terjadi dalam keadaan di zaman Nabi kita SAW.  Di zaman kita, kita mungkin menemui kesukaran-kesukaran dalam keadaan yang sangat berbeda.
   Seorang manusia yang telah meraih keimanan sempurna mengetahui bahwa setiap peristiwa merugikan yang dialaminya adalah, tanpa kecuali, cobaan dari Allah.  Macam musibah yang dihadapinya mungkin kelaparan, kehilangan harta atau jiwa, maupun cobaan-cobaan yang mungkin ia temui di dalam kehidupan sehari-hari.  Kadang kala semua macam kesusahan datang silih berganti.  Seseorang mungkin kehilangan orang tercinta pada waktu yang tak terduga.  Di saat yang sama, ia mungkin menghadapi masalah keuangan.  Semua tekanan ini mungkin dilipatgandakan oleh masalah kesehatan yang parah.  Sementara itu,  melihat semua ini sebagai kesempatan, iblis mungkin mencari cara menggoda si orang yang menderita ini.  Di tengah-tengah kesulitan ini, seorang mukmin lain mungkin meminta bantuannya.  Di bawah semua keadaan, orang yang beriman sempurna menanggapi dengan sikap yang paling menyenangkan Allah dan tidak pernah membuat siapa pun yang meminta bantuannya menjadi sadar akan kesukaran-kesukaran yang sedang digelutinya.  Nada suaranya, raut wajahnya atau bahasa tubuhnya menyampaikan keikhlasannya membantu.
   Orang yang beriman sempurna menunjukkan semua kesabaran dan kebijaksanaan-kebijaksanaan akhlak mulia ini karena pengabdian, penghormatan, ketakutannya, dan kepasrahannya kepada Allah.
   Contoh di atas dengan jelas menyampaikan hal bahwa tak masalah betapa mengerikan keadaan menjadi, orang yang beriman sempurna tidak pernah menyimpang dari perilaku dan sikap bijaksana.  Sadar bahwa semua musibah yang menimpa manusia adalah atas kehendak Allah, ia mencari penghiburan dan pemecahan hanya dari Allah.  Dunia ini bukan apa-apa melainkan persinggahan sementara baginya; ia akan tinggal di sini hanya untuk masa waktu tertentu dan lalu berangkat; apa yang penting adalah menjalankan kesabaran di bawah semua keadaan, hidup dengan nilai-nilai yang menyenangkan Allah dan meraih ridaNya.
   Apa pun dalam kehidupan di dunia ini fana adanya.  Seorang manusia harus secara azasi mengingat bahwa ia sedang dicoba dengan peristiwa-peristiwa sementara dan, berdasarkan pada akibat cobaan-cobaan ini, sebuah tempat abadi menantinya di hari kemudian.  Tempat sejati manusia adalah hari kemudian.  Bahkan jika seseorang mengalami kesakitan, kesukaran, atau tekanan  yang terparah di dunia ini, semua itu akhirnya lenyap atau akan disudahi oleh kematian.
   Hal ini juga berlaku untuk yang sebaliknya.  Tiada nikmat yang dirasakan seseorang di dunia ini sungguh-sungguh miliknya.  Ketika kematian menjemput, ia akan meninggalkan semua itu.  Mungkin saja bahwa seseorang yang menjalani kehidupan bermain-main di dunia ini akan berakhir dalam siksa neraka.  Apa yang kami maksudkan di sini adalah, mutu kehidupan menyenangkan yang manusia rasakan di dunia ini bukan sebuah syarat; karena hidup bukan apa-apa melainkan cobaan.  Orang yang telah melalui kesukaran-kesukaran di dunia ini mungkin orang yang layak hidup bahagia di surga.  Hal itu karena di dunia ini, ia mengangkat Allah sebagai sahabat, dan menerapkan kesabaran untuk meraih ridaNya.  Orang-orang ini akan mengatakan yang berikut di hari kemudian:

Dan mereka berkata: "Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan duka cita dari kami.  Sesungguhnya Tuhan kami benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.  Yang menempatkan kami dalam tempat yang kekal (surga) dari karuniaNya; di dalamnya kami tiada merasa lelah dan tiada pula merasa lesu.”  (QS Fathir, 35: 34-35)

Sikap yang Ditunjukkan Orang yang Beriman
Sempurna ketika Nikmat Dianugerahkan kepadanya
Sebagian besar orang – dalam kata-kata Qur'an – "berbangga" ketika Allah menyirami mereka dengan nikmat-nikmat setelah sejumlah tekanan yang mereka lalui.  Melupakan Pemberi semua nikmat ini, mereka segera memalingkan wajah mereka.  Akan tetapi, Allah berfirman, "...  Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri.”  (QS Al-Qashash, 28:  76)
   Mereka yang sungguh beriman adalah mereka yang tidak pernah berbangga pada nikmat yang mereka nikmati dan yang sadar bahwa semua nikmat itu dari Tuhan mereka.  Mereka tak pernah gagal mempertimbangkan kenyataan bahwa mereka membutuhkan Allah pada masa-masa sejahtera dan tenteram maupun masa-masa susah.  Bahwa Allah dapat menarik kembali nikmatNya setiap saat Dia kehendaki dan membiarkan mereka kekurangan merupakan kenyataan yang tidak pernah mereka lupakan.  Dengan pola pikir ini, dalam kekurangan atau kelapangan, dalam kemudahan atau kesulitan, mereka selalu menganut sikap bersyukur kepada Allah.
   Mereka yang beriman sempurna menakuti hukuman Hari yang mengerikan.  Mereka mengetahui Allah akan menghukum orang-orang yang tak bersyukur kepadaNya.  Bahwa Allah akan menghukum orang-orang yang tak bersyukur dikatakan dalam sebuah ayat:

Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka.  Dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir.  (QS Saba', 34: 17)

   Sama seperti kesulitan, nikmat juga bagian dari cobaan ke dalam mana Allah tempatkan hamba-hambaNya di dunia ini.  Sebagaimana Nabi Sulaiman AS ungkapkan:

“Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mencobaku apakah aku bersyukur atau mengingkari akan nikmatNya.  Dan barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri, dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia!”  (QS Al-Naml, 27: 40)

   Sikap yang diambil mukmin beriman sempurna terhadap nikmat-nikmat adalah bersegera mencari perlindungan Allah dan merasa bersyukur kepadaNya, sadar bahwa semua itu cobaan.  Dan lalu ia mengubah nikmat-nikmat ini menjadi amal kebajikan demi meraih rida Allah.
   Akan tetapi, seseorang perlu mengingat bahwa nikmat-nikmat yang Allah timbunkan pada hamba-hambaNya tidak terbatas hanya lahiriah.  Keimanan, kecantikan, kebijaksanaan, kepiawaian menilai, dan kesehatan yang baik merupakan juga nikmat-nikmat besar atas mana mukmin harus bersyukur.  Dalam Qur'an, Allah menarik perhatian kita pada tak berhingga nikmat yang diterima manusia: "Dan Dia telah memberikan kepadamu keperluanmu dari segala apa yang kamu mohonkan kepadaNya.  Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya ....   (QS Ibrahim, 14: 34)
   Pengkajian Qur'an dan kehidupan para nabi menyingkapkan bahwa kekayaan dan kekuasaan yang dianugerahkan kepada mereka tidak pernah menyimpangkan mereka dari menerapkan keadilan atau menunjukkan kesempurnaan akhlak.  Mereka mempertahankan kerendahhatian mereka di hadapan Allah dalam semua keadaan.  Dalam Qur'an, Allah memuji kebijaksanaan akhlak mulia hamba-hambaNya ini dan menetapkan mereka sebagai:


Orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah kembali segala urusan.  (QS Al-Hajj, 22: 41)

No comments