Breaking News

Ekologi Hutan

Istilah ekologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu oikos yang berarti rumah atau tempat tinggal atau tempat hidup atau habitat, dan logos yang berarti ilmu, telaah, studi, atau kajian (Soemarwoto, 1983; Irwan, 1992; Resosoedarmo dkk., 1986). Oleh karena itu, secara harfiah ekologi berarti ilmu tentang makhluk hidup dalam rumahnya atau ilmu tentang tempat tinggal makhluk hidup.

Ekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya (Soerianegara dan Indrawan, 1982; Resosoedarmo dkk., 1986). Irwan (1992), ekologi adalah ilmu pengetahuan mengenai hubungan antara organisme dengan lingkungannya. Dapat juga didefinisikan bahwa ekologi adalah ilmu yang mempelajari pengaruh faktor lingkungan terhadap makhluk hidup. bahwa ekologi adalah ilmu yang mencoba mempelajari hubungan antara tumbuhan, binatang, dan manusia dengan lingkungan tempat mereka hidup; bagaimana kondisi kehidupannya, dan mengapa mereka ada atau hidup di lingkungan tersebut.

Kendeigh (1980) mengemukakan bahwa ekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara organisme yang satu dengan organisme yang lain serta lingkungannya. Hubungan timbal balik itu merupakan kenyataan yang telah terbukti sebagai respon organisme dalam cara-caranya berhubungan dengan organisme lain maupun dengan semua komponen lingkungannya. Hubungan timbal balik atau yang dikenal dalam pengetahuan ekologi sebagai interaksi antara organisme dengan lingkungannya, sesungguhnya merupakan hubungan yang sangat erat dan kompleks, sehingga ekologi disebut juga sebagai biologi lingkungan (Odum, 1993).

Lingkungan merupakan gabungan dari berbagai komponen fisik maupun hayati yang berpengaruh terhadap kehidupan organisme yang ada di dalamnya. Jadi, lingkungan di sini mempunyai arti luas mencakup semua hal yang ada di luar organisme yang bersangkutan, misalnya radiasi matahari, suhu, curah hujan, kelembapan, topografi, parasit, predator, dan kompetitor (Kendeigh, 1980; Heddy, Soemitro, dan Soekartomo, 1986).

Odum (1993) menyatakan bahwa ekologi adalah suatu studi tentang struktur dan fungsi ekosistem atau alam dan manusia sebagai bagiannya. Struktur ekosistem menunjukkan suatu keadaan dari sistem ekologi pada waktu dan tempat tertentu termasuk keadaan densitas organisme, biomassa, penyebaran materi (unsur hara), energi, serta faktor-faktor fisik dan kimia lainnya yang menciptakan keadaan sistem tersebut. Fungsi ekosistem menunjukkan hubungan sebab akibat yang terjadi secara keseluruhan antar komponen dalam sistem. Hal ini jelas membuktikan bahwa ekologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari seluruh pola hubungan timbal balik antara makhluk hidup yang satu dengan makhluk hidup lainnya, serta dengan semua komponen yang ada di sekitarnya.

Adapun ekologi hutan adalah cabang dari ekologi yang khusus mempelajari ekosistem hutan. Hutan dipandang sebagai suatu ekosistem karena hubungan antara masyarakat tetumbuhan pembentuk hutan dengan binatang liar dan alam lingkungannya sangat erat. Oleh karena itu, hutan yang dipandang sebagai suatu ekosistem dapat dipelajari dari segi autekologi maupun sinekologinya (Soerianegara dan Indrawan, 1982). Dari segi autekologi, maka di hutan bisa dipelajari pengaruh suatu faktor lingkungan terhadap hidup dan tumbuhnya suatu jenis pohon yang sifat kajiannya mendekati fisiologi tumbuhan, dapat juga dipelajari pengaruh suatu faktor lingkungan terhadap hidup dan tumbuhnya suatu jenis binatang liar atau margasatwa. Bahkan dalam autekologi dapat dipelajari pola perilaku suatu jenis binatang liar, sifat adaptasi suatu jenis binatang liar, maupun sifat adaptasi suatu jenis pohon. Dari segi sinekologi, dapat dipelajari berbagai kelompok  jenis tumbuhan sebagai suatu komunitas, misalnya mempelajari pengaruh keadaan tempat tumbuh terhadap komposisi dan struktur vegetasi, atau terhadap produksi hutan. Dalam ekosistem hutan itu bisa juga dipelajari pengaruh berbagai faktor ekologi terhadap kondisi populasi, baik populasi tumbuhan maupun populasi binatang liar yang ada di dalamnya. Akan tetapi pada prinsipnya dalam ekologi hutan, kajian dari kedua segi (autekologi dan sinekologi) itu sangat penting karena pengetahuan tentang hutan secara keseluruhan mencakup pengetahuan semua komponen pembentuk hutan, sehingga kajian ini diperlukan dalam pengelolaan sumber daya hutan.

Hutan dipandang sebagai suatu ekosistem adalah sangat tepat, mengingat hutan itu dibentuk atau disusun oleh banyak komponen yang masing-masing komponen tidak bisa berdiri sendiri, tidak bisa dipisah-pisahkan, bahkan saling memengaruhi dan saling bergantung. Berkaitan dengan hal tersebut, perlu diperhatikan beberapa definisi tentang hutan sebagai berikut.

(1)    Hutan adalah kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI No. 41 Tahun 1999).

(2)    Hutan adalah lapangan yang ditumbuhi pepohonan yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya atau ekosistem (Kadri dkk., 1992).

(3)    Hutan adalah masyarakat tetumbuhan yang dikuasai atau didominasi oleh pohon-pohon dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan di luar hutan (Soerianegara dan Indrawan, 1982).

(4)  Hutan adalah masyarakat tetumbuhan dan binatang yang hidup dalam lapisan dan di permukaan tanah dan terletak pada suatu kawasan, serta membentuk suatu kesatuan ekosistem yang berada dalam keseimbangan dinamis (Arief, 1994).

Jika ditelaah lebih mendalam tentang beberapa pengertian atau definisi tentang hutan tersebut, maka di dalam pengertian hutan itu terkandung dan erat kaitannya dengan proses alam yang saling berhubungan. Di antara proses alam yang dimaksudkan antara lain (Arief, 1994), sebagai berikut :

1.    Proses yang berkenaan dengan siklus air dan pengawetan tanah, dan disebut dengan proses hidrologi. Ini berarti bahwa hutan merupakan gudang penyimpanan air dan tempat penyerapan air hujan maupun embun yang akhirnya akan mengalir air ke sungai­-sungai di tengah hutan yang memiliki mata air, dan proses ini berlangsung secara teratur mengikuti irama alam. Selain itu, adanya komunitas tumbuhan yang membentuk hutan bisa berperan untuk melindungi tanah dari kekuatan erosi, serta melestarikan siklus unsur hara di dalamnya.

2.      Proses pengendalian iklim maupun pengaruh iklim terhadap eksistensi hutan. Vegetasi pembentuk hutan merupakan komponen alam yang mampu mengendalikan iklim melalui pengendalian fluktuasi atau perubahan unsur-unsur iklim yang ada di sekitarnya, misalnya temperatur, kelembapan, angin, dan curah hujan, serta menentukan kondisi iklim setempat dan iklim makro. Sebaliknya, unsur-unsur iklim tersebut adalah komponen alam yang memengaruhi kehidupan. Sehingga curah hujan (air), radiasi matahari, temperatur, kelembapan, dan angin semuanya sangat memengaruhi kehidupan yang ada di permukaan bumi.

3.    Proses yang berkaitan dengan kesuburan tanah. Tanah hutan merupakan tempat pembentukan humus yang utama dan tempat penyimpanan unsur-unsur mineral yang dibutuhkan oleh tetumbuhan dan akan memengaruhi komposisi dan struktur vegetasi hutan yang terbentuk. Kesuburan tanah sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain jenis batuan induk yang membentuknya, kondisi selama dalam proses pembentukan, tekstur dan struktur tanah, kelembapan tanah, suhu tanah, air tanah, topografi wilayah, vegetasi, dan organisme hidup. Semua faktor tersebut yang menyebabkan terbentuknya bermacam-macam formasi hutan dan vegetasi hutan.

4.       Keanekaragaman hayati. Hutan merupakan gudang plasma nutfah (sumber genetik) dari berbagai jenis tumbuhan (flora) dan binatang (fauna). Jika hutan rusak, dapat dipastikan akan terjadi erosi plasma nutfah yang akan berakibat punahnya berbagai kehidupan yang tadinya ada di hutan serta menurunnya keanekaragaman hayati. Perlu diperhatikan bahwa keanekaragaman hayati merupakan sumber daya alam yang sangat bermanfaat.

5.      Kekayaan sumber daya alam. Hutan merupakan sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia karena dapat memberikan sumbangan hasil alam yang cukup besar bagi negara. Selain itu, hutan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitar hutan sebagai sumber pemenuhan kebutuhan hidupnya baik berupa kayu, binatang liar, pangan, rumput, maupun obat-obatan.

6.    Objek wisata alam. Hutan mempunyai potensi yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber inspirasi, sarana untuk mengenal dan mengagumi keagungan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, dan sebagai tempat rekreasi.

Berdasarkan atas komposisi jenis organisme yang dikaji, maka ekologi digolongkan menjadi dua sebagai berikut.

1.     Autekologi, yaitu ekologi yang mempelajari suatu spesies organisme atau organisme secara individu yang berinteraksi dengan lingkungannya. Contoh autekologi misalnya mempelajari sejarah hidup suatu spesies organisme (baik tumbuhan maupun binatang), perilaku, dan adaptasinya terhadap lingkungan. Jadi, jika kita mempelajari hubungan antara pohon Pinus merkusil dengan lingkungannya, maka itu termasuk autekologi. Contoh lain adalah mempelajari perilaku hidup siamang (Hylobates syndactylus) di habitat aslinya, mempelajari kemampuan adaptasi badak jawa (Rhinoceros sundaicus) di suatu taman nasional Pulau Sumatra, mempelajari kemampuan adaptasi pohon merbau (Intsia palembanica) di padang alang-alang, dan lain sebagainya.

2.     Sinekologi, yaitu ekologi yang mempelajari kelompok organisme yang tergabung dalam satu kesatuan dan Baling berinteraksi dalam daerah tertentu. Misalnya mempelajari struktur dan komposisi spesies tumbuhan di hutan rawa, hutan gambut, atau di hutan payau, mempelajari pola distribusi binatang liar di hutan alam, hutan wisata, suaka margasatwa, atau di taman nasional, dan lain sebagainya.

Berdasarkan atas habitat suatu spesies atau kelompok spesies organisme, maka ekologi dapat digolongkan sebagai berikut.

1.    Ekologi daratan (terestrial), yaitu mempelajari hubungan timbal balik antara organisme dengan organisme lainnya serta dengan semua komponen lingkungan yang ada di wilayah daratan. Contoh wilayah daratan adalah tegalan, kebun, ladang, hutan lahan kering, padang rumput, atau. gurun.

2.    Ekologi air tawar (freshwater), yaitu mempelajari hubungan timbal balik antara organisme dengan organisme lainnya serta dengan semua komponen lingkungan yang ada di wilayah perairan tawar. Contoh wilayah perairan tawar adalah danau, sungai, kolam, sumur, rawa, atau. sawah.

3.    Ekologi bahari, yaitu mempelajari hubungan timbal balik antara organisme dengan organisme lainnya serta dengan semua komponen lingkungan yang ada di wilayah perairan asin atau lautan.

4.    Ekologi estuarin, yaitu mempelajari hubungan timbal balik antara organisme dengan organisme lainnya serta dengan semua komponen lingkungan yang ada di wilayah perairan payau. Contoh wilayah perairan payau adalah muara sungai, daerah perairan pantai dan teluk.

5.    Ekologi hutan, yaitu mempelajari hubungan timbal batik antara organisme dengan organisme lainnya serta dengan semua komponen lingkungan yang ada di ekosistem hutan.

6.    Ekologi padang rumput, yaitu mempelajari hubungan timbal balik antara organisme dengan organisme lainnya serta dengan semua komponen lingkungan yang ada di ekosistem padang rumput.

Mempelajari ekologi hutan merupakan kegiatan manusia secara menyeluruh dengan tujuan mengarahkan atau memelihara ekosistem hutan dalam keadaan yang memungkinkan untuk selalu bisa dijadikan sebagai sumber pemenuhan kebutuhan manusia sepanjang masa. Mengingat hutan merupakan suatu ekosistem, dan setiap ekosistem apapun dibentuk oleh banyak komponen baik komponen hayati maupun komponen non hayati, maka semua informasi tentang masing­-masing komponen sangat penting, dan untuk itu diperlukan bidang ilmu yang relevan terhadap kajian komponen ekosistem. Oleh karena itu, beberapa bidang ilmu yang relevan dengan ekologi hutan diuraikan sebagai berikut (Arief, 1994; Soerianegara dan Indrawan, 1982).

 Tanah adalah tubuh alam (bumi) yang berasal dari berbagai campuran hasil pelapukan oleh iklim dan terdiri atas komposisi bahan organik dan anorganik yang menyelimuti bumi, sehingga mampu menyediakan air, udara, dan hara bagi tumbuhan, serta sebagai tempat berdiri tegaknya tumbuh-tumbuhan. Ilmu tanah murni disebut pedologi, sedangkan ilmu yang mempelajari tanah dari sudut pandang sebagai faktor tempat tumbuh disebut edafologi. Kesuburan tanah memengaruhi keadaan tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di atasnya. Kesuburan tanah akan berpengaruh terhadap tipe vegetasi yang terbentuk serta berpengaruh terhadap keproduktifan hutan. Oleh karena itu, tanah merupakan salah satu faktor pembatas alam yang memengaruhi pertumbuhan semua spesies tumbuhan, struktur, dan komposisi vegetasi, sehingga akan berpengaruh terhadap tipe hutannya.

Indriyanto (2005) menyatakan bahwa kajian dari segi autekologi terhadap makhluk hidup yang ada di dalam hutan hampir sama dengan kajian fisiologi (fisiologi tumbuhan maupun fisiologi hewan). Telah dikemukakan bahwa fisiologi mempelajari proses kerja yang terjadi dalam tubuh organisme. Salah satu proses yang terjadi di dalam tubuh organisme ada proses yang bersifat kimia yang dinamakan proses biokimia. Sebagai contoh pengetahuan tentang proses pembentukan resin pada pohon anggota genus Pinus, pembentukan damar pada pohon anggota famili Dipterocarpaceae, pembentukan lateks pada pohon Hevea brassiliensis, Dyers costulata, pembentukan kopal pada pohon anggota genus Agathis, pembentukan kemenyan pada pohon Styrax benzoin, dan pengetahuan tentang proses biokimia lainnya sangat diperlukan. Hal ini dimaksud­kan agar dapat diketahui unsur-unsur lingkungan apa yang ber­pengaruh terhadap produksi resin, damar, lateks, kopal, atau kemenyan.

Sebuah ekosistem terdiri atas komponen hayati (makhluk hidup) dan non hayati yang antara kedua komponen tersebut saling berinteraksi (Odum, 1993). Sehingga hubungan timbal balik (interaksi) antara tumbuhan, binatang, manusia, dan unsur lingkungan lainnya di mana tumbuhan, binatang, atau manusia itu hidup, bagaimana mereka hidup, dan mengapa mereka hidup di suatu habitat.

Cagar alam dan suaka margasatwa, taman burung dan taman wisata, taman laut, taman nasional, hutan lindung, dan hutan produksi, semuanya merupakan suatu ekosistem. Manusia yang memanfaatkan atau mengelola ekosistem tersebut harus mempunyai pengetahuan ekologi (ekologi hutan) dan mau menerapkan dalam setiap kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan hutan, sehingga hutan dapat dimanfaatkan secara maksimal dan kelestariannya terjamin. Bahkan seharusnya pengetahuan ekologi hutan menjadi prasyarat bagi profesi rimbawan, bagi para. petugas yang mengelola ekosistem hutan, bagi para pecinta alam dan lingkungan, dan bagi siapa pun yang ingin memanfaatkan atau mempunyai kepentingan dengan ekosistem hutan (Manan, 1978). Dengan demikian, kesalahan yang mungkin terjadi dalam melakukan pengelolaan terhadap semua jenis ekosistem hutan dapat dicegah dan dihindari.

Dalam bidang pembinaan hutan, dapat dikemukakan bahwa silvikultur sesungguhnya sama dengan penerapan ekologi hutan untuk aspek budi daya pohon hutan. Manan (1978) menyatakan bahwa pentingnya menerapkan konsep ekologi dalam perhutanan, hal itu sebagai respons terhadap adanya upaya penanaman secara monokultur yang dilakukan besar-besaran. Sesungguhnya yang dinamakan silvikultur intensif (intensive silviculture) itu hanya bisa bertahan jika dilakukan pemberian pupuk, pemberantasan hama dan penyakit, Beserta perlindungan secara intensif terhadap kebakaran. Gejala tersebut sudah mulai tampak dan terasa dalam pengelolaan hutan jati dan hutan tusam di Indonesia, sehingga memang lebih baik berhati­hati dalam membangun hutan monokultur, tegakan murni, ataupun hutan seumur dalam Skala besar.

Berdasarkan atas uraian di atas, maka logis (masuk akal) bahwa setiap langkah dan tindakan manusia dalam mengelola sumber daya alam seperti air, tanah, mineral, minyak bumi, energi, dan hutan akan selalu mengakibatkan perubahan yang positif maupun negatif. Dalam hal demikian, pengetahuan ekologi dapat membantu manusia untuk memanfaatkan dan melestarikan sumber daya alam. Oleh karena itu, di bidang perhutanan, kesalahan pengelolaan hutan dapat dihindari jika semua orang yang terkait dengan ekosistem hutan itu memahami aturan main ekologi yang disebut sebagai konsep ekologi.

Penebangan hutan atau penjarangan pohon yang dilakukan terlalu keras, kesalahan memilih jenis pohon untuk reboisasi, pemasukan jenis asing tanpa pengujian dan percobaan lapangan terlebih dahulu, konversi hutan alam di pegunungan menjadi hutan tanaman monokultur, penebangan hutan tanpa keahlian rimbawan, pembakaran hutan, perladangan berpindah, dan kegiatan lain yang merusak ekosistem hutan, semuanya akan berakibat parch dan mengancam kelestarian sumber daya hutan di Indonesia. Dengan demikian, para rimbawan dan calon rimbawan harus berpandangan jauh ke depan tentang kelestarian hutan, dan perlu membekali diri dengan pengetahuan ekologi hutan. Menurut saran yang dikemukakan oleh Manan (1978): "Lebih baik berhemat dalam memanfaatkan kekayaan nasional berupa hutan daripada di kemudian hari kita dan generasi kita mewarisi jutaan hektar padang alang-alang yang gersang."

No comments