Breaking News

Hubungan Hutan dan Masyarakat Setempat

Menurut Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa hutan ialah suatu kesatuan ekosistem berupa hampran lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Sementara Rahmawati (2004) bahwa hutan sebagai sumberdaya alam yang memberikan manfaat bagi kesejahteraan manusia, baik baik manfaat tangible yang dirasakan secara langsung, maupun manfaat intangible yang dirasakan secara tidak langsung. Manfaat langsung seperti penyediaan kayu, satwa dan hasil tebang. Sedangkan manfaat tidak langsung seperti manfaat rekreasi, perlindungan pengaturan tata air, serta pencegahan erosi. Sedangkan istilah masyarakat setempat dijelaskan pula dalam Undang-Undang tersebut di atas ialah kesatuan sosial yang terdiri dari warga negara Republik Indonesia yang tinggal di dalam dan atau di sekitar hutan, yang membentuk komonitas yang didasarkan pada mata pencaharian yang berkaitan dengan hutan, kesejahteraan, keterikatan tempat tinggal, serta pengaturan tata tertib kehidupan bersama. Teori ini sangat relevan dengan perilaku masyarakat setempat sekitar pegunungan Jayawijaya, karena masyarakat yang ada disana hidup berkelompok tinggal di sekitar/pinggiran hutan lindung yang memerlukan lahan dan ruang untuk hidup.

Hubungan hutan dan masyarakat setempat tidak lepas dari konsep ekosistem yaitu suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya (Soemarwoto, 2004). Selanjutnya Soerjani, Ahmad dan Munir (1987) lebih jauh menyatakan bahwa ekosistem dicirikan dengan berlangsungnya pertukaran materi dan transformasi energi yang sepenuhnya berlangsung diantara berbagai komponen dalam sistem itu sendiri atau dengan sistem lain di luarnya, sehingga antara hutan dan masyarakat setempat bukan tidak mungkin memiliki saling ketergantungan. Namun beberapa kebijakan pemerintah bahwa sumberdaya alam hanya diperlakukan sebagai komoditi dan alat produksi, tanpa memperhatikan subsistem sosio-kultural dan masyarakat yang sehurusnya merupakan bagian dari sistem alam dan kehidupan (Riyanto, 2006). Hal ini tentunya membutuhkan dukungan sumberdaya alam atau hutan untuk mewujudkan hal tersebut. 

Ketergantungan masyarakat setempat terhadap hutan sebenarnya sudah berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun.  Tentu saja orientasi dan motivasi ketergantungan tersebut tidak akan sama antar generasi atau antar satu kelompok masyarakat di suatu wilayah dengan kelompok masyarakat di wilayah lainnya.  Kondisi ini bias saja dan senantiasa berubah sesuai dengan perkembangan budaya dan perekonomian seiring dengan keterbukaan wilayah sebagai dampak pembangunan.  Perubahan motivasi yang umum di jumpai ialah dari skala subsistem menuju ke semi-komersial atau bahkan komersial (Sardjono, 2004). Soemarwoto (1983), menyatakan perubahan suatu sistem (termasuk sistem sosial) pada dasarnya merupakan konsekuensi logis dari suatu pembangunan.  Sejalan dengan kondisi yang terjadi pada kawasan pegunungan Jayawijaya yang sudah terdampak dari pembangunan wilayah dan akses pemekaran Kabupaten baru ke wilayah masyarakat setempat, sehingga sistem sosial di masyarakat sedang mengalami perubahan yang menuju pada skala komersial, sementara luasan lahan pertanian semakin terbatas.

 Selanjutnya dijelaskan disini bahwa ketergantungan masyarakat lokal terhadap hutan dalam tingkatan tertentu juga harus dilihat dari keuntungan yang juga bias diperoleh sumberdaya itu sendiri dari masyarakat sekitarnya yaitu terjaga kelestarian struktur dan fungsi yang dimilikinya. Dengan kata lain terdapat saling ketergantungan (Interdependence) antara masyarakat dan sumberdaya hutan di sekitarnya. Berdasarkan penelitian yang dilaksanakan di beberapa lokasi kegiatan kehutanan di Provinsi Kalimantan Timur (Sardjono, et all. 1998) mengidentifikasikan berbagai bentuk interdependence hutan dan masyarakat sesuai dengan perkembangan wilayahnya serta pengelompok-kannya dalam empat pola. Dengan sedikit modifikasi ke empat pola tersebut disajikan sebagai berikut :

1).  Pola Ekstrasi

Pola ini dijumpai pada kelompok masyarakat tradisional yang lokasinya tidak langsung berdekatan dengan industri.  Pemanfaatan sumberdaya terbatas kebutuhan yang dikendalikan etika dan norma yang berlaku. Pandangan bahwa lingkungan sosial merupakan bagian dari ekosistem yang lebih luas mendorong pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana.  Dengan demikian struktur sumberdaya walaupun ada perubahan tetapi dengan resiliensi yang dimilikinya mampu memperbaiki diri dan mengembalikan fungsinya kembali.

2).  Pola Eksploitasi

Pola ini merupakan konsekuensi dari peningkatan populasi (termasuk akibat migrasi) dan peningkatan kebutuhan hidup yang menyebabkan sistem sosial terpisah dari sistem hutan guna meningkatkan aliran manfaatnya.  Kondisi ini dijumpai pada daerah-daerah terbuka yang berada di sekitar pusat pembangunan ekonomi dengan tingkat migrasi dari luar yang relatif tinggi (termasuk desa-desa baru yang dihuni masyarakat pendatang). Struktur dan fungsi hutan mengalami degradasi akibat aliran baik (dalam bentuk pemeliharaan dan rehabilitasi) yang kurang diperhatikan.

3).  Pola Konfrotasi

Pola ini ditujukan khusus pada wilayah-wilayah hutan yang dapat dikonversi ataupun bahkan kawasan konservasi yang memiliki kekayaan sumberdaya alam mineral. Adapun konflik kepentingan yang tinggi mengakibatkan tidak adanya kejelasan akan keselarasan kepentingan pembangunan ekonomi dan kebutuhan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan yang dibutuhkan oleh masyarakat lokal.  Struktur dan fungsi hutan alam (dengan demikian juga manfaat yang diberikan pada masyarakat) akan sangat tergantung dari input dan tujuan yang ingin dicapai, untuk itu sistem sosial tidak integral dengan sistem alam atau hutan.

4).  Pola Kooperasi

Pola ini pada dasarnya merupakan konsep pola ideal yang merupakan alternatif pendayagunaan saling ketergantungan masyarakat lokal dengan sumberdaya hutan disekitarnya. Pola ini adanya kepentingan paralel antara upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat (sistem sosial) dan mempertahankan kesinambungan struktur dan fungsi sumberdaya hutan (sistem alam)  aliran fungsi dan manfaat dari sistem sosial dalam perspektif kelestarian tidak cukup sama besarnya dengan pemanfaatan sistem alam, tetapi bilamana mingkin justru lebih besar.  Kondisi ini penting ditinjau dari : (1)  aspek demografi peningkatan penduduk beserta tuntutan kebutuhan hidup); dan (2) aspek daya dukung lingkungan yang dapat menurun tanpa upaya memandai. Pola ini tampaknya yang menjadi paradigma baru pembangunan kehutanan yaitu community based and ecosystem ariented

Dari berbagai pola yang disebutkan di atas, kawasan HLPJ sudah mengarah kepada pola konfrontasi mengingat banyak terjadi konflik kepentingan baik secara vertikal maupun horizontal, sehingga hal ini menjadi landasan untuk menemukan pelestarian yang tepat berdasarkan kondisi internal dan eksternal wilayah untuk menyelamatkan ekosistem hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

Beberapa pola hubungan antara hutan dan masyarakat dengan pola yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut sangat berkaitan dengan perkembangan kondisi wilayah.  Pada kondisi wilayah yang belum banyak tersentuh pembangunan dan masyarakat masih menganggap sumberdaya hutan pemenuhan kebutuhan yang bersifat subsistem, maka pola interaksinya cenderung pada pola ekstrasi.  Hutan pada wilayah yang lebih maju karena sudah tersentuh pembangunan dan masyarakatnya sudah berpikir ke arah komersialisasi akibat dari tuntutan hidup yang berkembang, maka pola interaksinya cenderung pada pola eksploitasi dan konfrontasi. Sementara pola kooperasi adalah pola yang paling ideal karena adanya keseimbangan kepentingan antara tuntutan hidup masyarakat setempat dengan tuntuntan pelestarian hutan.

Kawasan HLPJ yang sedang terdampak dari pembangunan wilayah sehingga mengalami peningkatan jumlah kerusakan hutan, tentu masyarakat tidak lagi menjadi komponen ekosistem hutan seperti pola ekstrasi, tetapi sudah pola eksploitasi bahkan pola konfrontasi.  Kondisi seperti ini sangat berdampak pada kelestarian HLPJ, sehingga diperlukan perencanaan yang matang dalam pengeloaan kawasan, agar fungsi utama HLPJ terjaga.  Oleh karena itu dalam penetilian ini ingin mencari suatu komoditi  unggul yang tepat sesuai karakteristik wilayah kelola di hutan sebagai landasan pengelolaan kawasan tersebut ke depan.

Sebenarnya amat mudah dipahami bilamana sebagian besar masyarakat di wilayah-wilayah pedesaan atau pendalaman di luar Jawa mengantungkan kehidupan dan penghidupannya dari sumberdaya hutan, mengingat lebih dari 60 % dari luas wilayah datarannya berupa hutan.  Ketergantungan tersebut tidak sebatas pada aspek produksi hutan, tetapi juga fungsi perlindungan tata klimat yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat lokal secara langsung maupun tidak langsung dari ekosistem tersebut, dalam mempertahankan hidup (axistence) dan peningkatan kesejahteraan mereka (Welfare) (Sardjono, 2004).  Secara jelas hal tersebut disajikan pada tabel 

Tabel.  Berbagai Manfaat yang Diperoleh oleh Masyarakat Lokal dari Sumberdaya Hutan di Sekitarnya.

Hutan

Manfaat Bagi Masyarakat Lokal

Langsung

Tidak Langsung

Produksi

·      Hasil hutan kayu dan turunannya (konstruksi berat,atap/dinding, peralata, kayu bakar/arang);

·      Hasil hutan Nir-Kayu (a.l. buah-buahan, biji-bijian, sayur-mayur, rempah-rempah, binatang buruang, getah-getahan, rotan bambu, gaharu, sarang, burung, madu);

·      Areal untuk bercocok tanam/berladang;

·         Penghasilan (semi komersial dan);

·         Pelestarian kegiatan budaya lokal yang berbasis produk hutan (a.l. upacara “beliant” masyarakat dayak);

·         Pelestarian dan perkembangan industri rumah tangga masyarakat;

Lindung

·      Tanah (kesuburan tanah, kelembaban, erosi air dan angin, bentang alam);

·      Tata air (air bersih, proteksi banjir, dan kekeringan);

·      Keaneka ragaman hayati (flora dan fauna, mikroorganisme);

·         Keterjaminan produktivitas pertanian dan kemandirian pangan;

·         Kesehatan dan kesejahteraan masyarakat;

·         Pelestarian pengetahuan dan teknologi tradisional (a.l. budidaya tanaman, berburu binatang, pembuatan zat pewarna dan racun, pemanenan madu);

Tata Klimat

·      Iklim mikro (kesejukan, dan curah hujan lokal);

·      Udara bersih (penghasilan oksigen dan menyerap karbondioksida);

·      Sinar matahari;

·      Polusi udara (fitter debu dan partikel padat lainnya, serta kebisingan);

·         Kenyamanan dan kedamaian kehidupan pedesaan;

·         Mendukung kehidupan yang sehat dan sejahtera;

·         Mengurangi dampak bencana alam (misalnya kemarau panjang dan kebakaran hutan);

Lain-Lain

·      Tabas tanah dan/atau tanda kepemilikan lahan;

·      Perlindungan tempat-tempat keramat/dihormati termasuk tanah atau hutan adat;

·         Mendukung pelestarian identitas kelembagaan lokal (a.l. gotong-royong, pewarisan, ganti rugi);

·         Melestarikan etika konservasi dan pergaulan hidup anggota masyarakat;

Sumber  :  Sardjono 2004

Tabel di atas menunjukkan berbagai manfaat dari hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat setempat. Manfaat yang diperoleh berupa manfaat langsung dan tidak laungsung sesuai dengan fungsi hutannya.  Manfaat tidak langsung sebagai manifestasi positif yang diterima masyarakat setempat dari manfaat langsung, sehingga pada gilirannya kedua manfaat yang diterima tersebut dapat disejahterakan masyarakat setempat.

 


No comments