Breaking News

Manfaat Tanaman Pandanus

Hasil penelitian Ina dan Totok (2006), tentang peningkatan teknik pengolaan pandan.  Tujuan penelitian adalah untuk memperoleh informasi proses pengeringan dan pewarnaan untuk meningkatkan kualitas daun pandan sebagai bahan baku barang kerajinan.  pengeringan dan pewarnaan untuk meningkatkan kualitas daun pandan sebagai bahan baku industri kerajinan. Metode Pegujian yang dilakukan adalah pengujian sifat mekanik (kekuatan tarik) dan analisa kimia yang terdiri dari analisa lignin dan selulosa. Selain itu dilakukan pengujian hasil pewarnaan ketahanan terhadap sinar. (a). Analisis komponen kimia Cara pengambilan/persiapan bahan untuk analisis dilakukan berdasarkan standar dan prosedur yang berlaku di laboratorium Puslitbang Hasil Hutan, Bogor. Setiap contoh digiling halus dan diayak sampai didapat serbuk yang lolos saringan 40 mesh dan tertahan pada saringan 60 mesh. Analisis sifat kimia yang terdiri dari kadar lignin dilakukan berdasarkan standar D-1106-56 dan penetapan kadar holoselulosa dilakukan menurut metode Norman dan Jenkin, (b).   Analisis sifat mekanik Pengujian yang dilakukan adalah kekuatan tarik pandan setelah diberi perlakuan dengan menggunakan SNI 08-0276. Kekuatan tarik serat adalah beban maksimal yang dapat ditahan oleh suatu contoh uji hingga putus. (c).  Pengujian hasil pewarnaan daun pandan Metode yang dilakukan berdasarkan pada SNI 08-0289-1989 (Tahan luntur warna terhadap cahaya terang hari). Pengujian dilakukan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Kerajinan dan Batik di Yogyakarta. Evaluasi hasil pewarnaan dilakukan terhadap kenampakan visualnya (skala nilai 1-4). Makin tahan terhadap sinar, maka makin tinggi nilainya.

Data hasil pengujian sifat fisiko dan mekanik daun pandan dicermati dengan rancangan percobaan acak lengkap berpola faktorial. Sebagai faktor adalah kondisi daun pandan (A), terdiri dari dua taraf, yaitu segar (a1) dan kering (a2); macam zat warna yang digunakan (B), yaitu zat warna sam (b1) dan zat warna basa (b2); dan suhu pengovenan (C) terdiri dari 3 taraf yaitu 50 °C (c1), 60 °C (c2) dan 70 °C (c3). Ulangan masing-masing taraf kombinasi perlakuan dilakukan sebanyak 2 kali. Sekurangnya pengaruh faktor dalam bentuk tunggal (A, B, C) atau bentuk interaksi (AB, AC, BC, ABC) nyata, maka pencermatan data dilanjutkan dengan uji beda jarak Duncan.

Hasilnya melaporkan bahwa komponen kimia pandan dari Banten, Pandeglang banyaknya mengandung air di dalam struktur dinding sel suatu pohon hidup pada dasarnya tetap konstan dari musim ke musim, meskipun banyaknya air dalam rongga sel daun mungkin berubah-ubah. Air di dalam rongga sel pada daun digunakan sebagai bahan untuk fotosintesis. Kandungan air daun pandan yang telah mengalami perlakuan berkisar antara 7,88-9,14%. Selanjutnya menurut uji Duncan (Tabel 3) menunjukkan bahwa yang berasal dari pandan segar, zat warna asam dengan suhu pengovenan 70°C (A1B1C3) menghasilkan kadar air yang berbeda nyata dengan semua contoh perlakuan. 

Kadar air tertinggi terdapat pada contoh pandan segar, zat warna asam dan pengovenan selama 50°C (A1B1C1) yaitu 9,14% dan kadar air terendah terdapat pada contoh pandan segar, zat warna asam dan suhu oven selama 70°C (A1B1C3) yaitu 7,36%. Dapat dilihat bahwa suhu oven 70°C menghasilkan kadar air yang rendah bahkan bila dibandingkan dengan kontrol (pandan masyarakat) meskipun tidak terlalu jauh berbedanya. Daun pandan memiliki kadar air yang cukup tinggi (9%) disebabkan mempunyai epidermis yang memiliki kutikula (lapisan berlilin), kutikula menghambat pertukaran gas antara daun dan atmosfer sehingga mencegah kehilangan air yang berlebihan. Selanjutnya dibandingkan dengan kontrol (tanpa perlakuan), ternyata kadar air daun pandan yang mengalami perlakuan (A, B, dan C) lebih tinggi. Analisis keragaman menunjukkan bahwa kondisi daun (A) berinteraksi dengan macam zat warna (B) mempengaruhi kadar lignin. Sedangkan suhu oven (C) tidak berpengaruh nyata. Demikian pula interaksinya dengan kondisi daun dan macam zat warna (AC, BC dan ABC) tidak berpengaruh nyata terhadap kadar lignin.  Lignin adalah suatu polimer yang komplek dengan berat molekul yang tinggi. Lignin terdapat di antara sel-sel dan di dalam dinding sel. Diantara sel-sel, lignin berfungsi sebagai perekat untuk mengikat sel bersama-sama. Dalam dinding sel, lignin sangat erat hubungannya dengan selulosa dan berfungsi memberikan ketegaran pada sel. Kandungan lignin daun pandan berkisar antara 18-22%,  Contoh pandan segar (A1) atau yang direbus terlebih dahulu dan ditambah dengan soda kostik secara rata-rata memperlihatkan kadar lignin yang lebih rendah dibandingkan dengan pandan yang tidak dimasak (pandan kering) (A2). Hal ini disebabkan lignin dan mungkin lemak-lemak alam lainnya larut bila dikerjakan dengan alkali (soda kostik). Pengerjaan dengan soda kostik selain memberikan akibat yang menguntungkan yaitu menambah daya serap, juga memberikan dampak yang merugikan dengan larutnya lignin dan lemak alam yang ikut menopang kekuatan serat. Selanjutnya kadar lignin daun pandan yang tidak mengalami perlakuan (kontrol) berada pada selang kisaran kadar lignin daun pandan yang mengalami perlakuan berupa kondisi daun, macam zat warna dan suhu oven.  Kadar holoselulosa, ternyata macam zat warna (B) berinteraksi dengan suhu oven (C) dan mempengaruhi kadar holoselulosa tersebut (Tabel 2). Demikian pula interaksi antara kondisi daun (A) dengan suhu oven (C) berpengaruh nyata terhadap kadar holoselulosa.

Selulosa adalah bentuk polisakarida sebagai hasil fotosintesis dalam tumbuh-tumbuhan. Struktur selulosa terdiri dari unit-unit anhidro glukosa yang terikat satu sama lain pada atom C ke satu dan atom C ke empat dengan beta konfigurasi. Selulosa mempunyai fungsi untuk memberikan kekuatan tarik pada suatu sel, karena adanya ikatan kovalen yang kuat pada cincin piranosa dan antar unit gula penyusun selulosa, semakin tinggi kadar selulosa maka kelenturan juga semakin tinggi. Selanjutnya berdasarkan hasil uji beda jarak Duncan menunjukkan bahwa terdapat terdapatnya variasi kandungan selulosa pada daun pandan. Kandungan selulosa pada daun pandan berkisar antara 83-88 persen. Kandungan selulosa tertinggi terdapat pada contoh pandan segar, zat warna basa dengan suhu oven 70°C (A1B2C3) dan contoh pandan kering, zat warna asam dengan suhu oven 60°C (A1B1C2) dan terendah terdapat pada contoh pandan segar zat warna asam dengan suhu oven 50 dan 60°C (A1B1C1 dan A1B1C2). Pandan dari masyarakat memiliki nilai selulosa yang lebih kecil yaitu sebesar 76 persen. Apabila dilihat secara keseluruhan, maka pandan yang menggunakan zat warna asam memiliki kadar selulosa yang lebih kecil bila dibandingkan dengan yang menggunakan zat warna basa, hal ini disebabkan karena zat warna asam, adalah zat warna yang pada pencelupannya menggunakan asam sebagai bahan bantunya, dengan demikian besar kecilnya dosis asam yang digunakan akan berpengaruh terhadap serat selulosa, sebab umumnya serat selulosa tidak tahan terhadap asam mineral, sehingga alternatif pemakaiannya harus diperhitungkan secara benar. Di samping itu tidak semua golongan zat warna asam dapat mencelup serat selulosa. Selanjutnya kadar holoselulosa daun pandan tanpa perlakuan atau kontrol (76,37%) ternyata nilainya berada di bawah kadar untuk daun pandan yang diberi perlakuan yaitu pada selang 83,27 – 88,72 %.

Selain menganalisis sifat kimia, daun pandan juga diuji sifat fisiknya yaitu gaya tarik dan ketahanan pandan terhadap sinar. Sifat fisik dan ketahanan pandan terhadap sinar. Kekuatan merupakan salah satu sifat serat yang sangat penting supaya serat-serat tersebut tahan terhadap tarikan-tarikan pada waktu pengolahan selanjutnya. Kekuatan dalam keadaan basah yang diperlukan lebih rendah dari keadaan kering karena pengerjaan atau pengolahan selanjutnya dilakukan pada keadaan kering. Kekuatan tarik serat adalah beban maksimal yang dapat ditahan oleh suatu contoh uji hingga putus. Kekuatan tarik pandan berkisar antara 2,3 – 6,0 kg. Sedangkan pandan masyarakat memiliki kekuatan tarik 5 kg. Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa kondisi daun (A) berinteraksi dengan suhu oven (C) mempengaruhi kekuatan tarik. Demikian pula halnya dengan macam zat warna (B), tetapi interaksinya (BC, ABC) tidak berpengaruh nyata terhadap kekuatan tarik. Kekuatan tarik merupakan salah satu sifat serat yang sangat penting supaya serat-serat tersebut tahan terhadap tarikan-tarikan pada waktu pengolahan selanjutnya. Kekuatan dalam keadaan basah yang diperlukan lebih rendah dari keadaan kering karena pengerjaan atau pengolahan selanjutnya dilakukan pada keadaan kering. Dari data dapat dilihat bahwa kekuatan tarik atau gaya tarik pandan sangat bervariasi. Tetapi dapat dilihat bahwa contoh pandan segar yang direbus dan ditambah dengan soda kostik (A1) serta menggunakan zat warna asam (B1) memiliki nilai gaya tarik yang lebih kecil bila dibandingkan dengan contoh pandan kering (A2) dan menggunakan zat warna basa (B2). Hal ini kemungkinan disebabkan larutnya kadar lignin dan lemak alam lainnya yang berpengaruh pada kekuatan serat pada waktu dikerjakan dengan alkali dan zat warna asam pada dosis tertentu berpengaruh pada serat selulosa, sebab pada umumnya serat selulosa tidak tahan terhadap asam mineral (Anonimous, 1985). Kekuatan tarik daun pandan tanpa perlakuan (kontrol) yaitu 5,1 kg berada pada selang kekuatan tarik daun pandan yang diberi perlakuan yaitu 2,3 – 6,0 kg.

Nilai ketahanan sinar hasil pencelupan pandan masyarakat menunjukkan nilai yang sama dari pandan hasil pemutihan. Nilai ketahanan sinar berkisar antara 2-3. Meskipun nilai ketahanan sinar pandan yang menggunakan zat warna asam lebih tinggi sedikit dari pandan yang menggunakan zat warna basa, secara visual pandan yang menggunakan zat warna basa menghasilkan warna yang lebih terang dan lebih meresap pada serat pandan dibandingkan bila menggunakan zat warna asam. Hal ini mungkin disebabkan sifat zat warna itu sendiri terhadap pandan, dimana zat warna tersebut akan terserap dengan kondisi dan konsentrasi yang berbeda-beda, sedangkan secara teoritis, zat warna basa tidak mempunyai afinitas terhadap serat selulosa. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan  dapat disimpulkan bahwa :

1.    Hasil analisa komponen kimia daun pandan adalah kadar air berkisar antara 7-9 persen; kadar lignin 18-22 persen; kadar selulosa 83-88 persen. Sedangkan kekuatan tarik pandan berkisar antara 2-6 kg dan ketahan pandan terhadap sinar berkisar antara 2 - 3. 2.

2.    Pewarnaan daun pandan dengan menggunakan zat warna basa menghasilkan warna yang lebih baik dan cerah serta rata-rata kadar lignin dan kadar selulosa yang lebih besar daripada menggunakan zat warna asam. Nilai ketahahan terhadap sinar untuk daun pandan yang menggunakan zat warna basa adalah 2-3. 3.

3.    Contoh daun pandan dengan perlakuan keadaan tidak segar, menggunakan zat warna basa dengan suhu pengovenan 70°C rata-rata menghasilkan kadar air, kadar ligin dan selulosa serta gaya tarik yang baik.

Secara tradisional pandan digunakan oleh masyarakat di kawasan Malesia dan Pasifik untuk berbagai macam keperluan sehari-hari. Pemanfaatan padan di bagian barat Malesia (termasuk kawasan barat Indonesia) tidak seluas di bagian timur Malesia (termasuk kawasan timur Indonesia) dan Pasifik (Powel, 1976; Stone, 1982, 1984; Leigh, 2002). Di bagian barat Indonesia umumnya hanya daun pandan yang digunakan, seperti untuk bahan penyedap makanan (pandan wangi P. amaryllifolius Roxb.) dan pemanfaatan lain hanya sebatas untuk peralatan rumah tangga seperti tikar, topi, keranjang, dan upacara adat (pandan samak P. odoratissimus; pandan bidur P. dubius Spreng. dan cangkuang P. furcatus Roxb.). Di Lombok (Nusa Tenggara Barat), daun pandan digunakan dalam upacara adat perang-perangan yang berkaitan dengan prosesi kesuburan tanah (Keim, 2007).

Hasil pengamatan dan wawancara diketahui bahwa pemanfaatan pandan samak di lokasi penelitian hanya untuk kebutuhan bahan baku anyaman seperti tikar dan keperluan rumah tangga lainnya dan tidak dijumpai adanya tradisi penggunaan pandan samak untuk upacara adat. Selain pandan samak, masyarakat di Jawa Barat khususnya di daerah Tasikmalaya, juga mengenal takson lain yang dibudidayakan guna dimanfaatkan daunnya sebagaimana layaknya pada pandan samak. Takson ini dikenal dengan nama daerah jaksi atau pandan jaksi, jaksi jalu dan pandan temen (Susiarti dan Rahayu, 2006).

Perbedaan ketiga takson tersebut didasarkan pada ukuran panjang daun, warna, tektur dan duri pada daun serta sistem perakaran. Di antara ketiga tanaman pandan budidaya ini, pandan jaksi adalah yang paling umum

ditanam dan digunakan pengrajin pandan Tasikmalaya karena tektur daunnya lebih halus sehingga lebih mudah untuk dianyam untuk berbagai keperluan. Berbeda dengan pandan samak, pandan-pandan tersebut di atas ditemukan dan dibudidayakan di daerah pegunungan. Lebih jauh lagi, pandan-pandan ini ditemukan tidak pernah berbunga, ukuran daun lebih pendek, tekstur yang lebih halus dan lunak sehingga lebih mudah untuk dianyam.

Keim et.al (2006) bahwa pandan jaksi kemungkinan besar adalah cangkuang, jenis yang juga diketahui terdapat di Jawa Barat, tumbuh di pedalaman (termasuk dataran agak tinggi), dan juga dibudidayakan serta dimanfaatkan daunnya (Backer, 1925; Backer dan Bakhuizen v.d. Brink Jr., 1968). Cangkuang diketahui ditanam oleh masyarakat Sunda pada tempat-tempat suci Hindu-Sunda atau yang dikeramatkan seperti yang ditemukan di Subang yang dikenal sebagai situs candi Cangkuang. Berbeda dengan masyarakat di Tasikmalaya dan Subang, masyarakat di Ujung Kulon hanya mengenal tanaman budidaya pandan laut (P. odoratissimus), mereka  menyebutnya dengan pandan samak  dan pandan wangi (P. amaryllifolius Roxb.) sebagai jenis-jenis pandan yang dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Meski di Ujung Kulon juga ditemukan P. furcatus dan bidur P. dubius Spreng. Lebih lanjut Keim et al,. (2006), masyarakat setempat tidak membudidayakan serta memanfaatkannya sebagaimana pandan samak.

Dalam kaitan dengan P. odoratissimus, masyarakat Ujung Kulon mengenal dua entitas yang berbeda di mana mereka membedakan antara takson yang dibudidayakan (disebut dengan pandan samak) dan yang liar (disebut dengan pandan laut). Masyarakat Ujung Kulon memahami dengan baik meskipun menempatkan keduanya ke dalam dua entitas yang berbeda, mereka menempatkan keduanya sebagai berkerebat sangat dekat, lebih dekat daripada dengan cangkuang atau bidur. Pembubuhan kata “laut” dalam nama daerah pandan “laut” dapat ditafsirkan bahwa masyarakat Ujung Kulon memahamniya sebagai takson liar darimana pandan samak dahulu diambil oleh leluhur mereka untuk dibudidaya.

Daun muda pandan yang masih lentur dengan panjang 1 m atau lebih diambil untuk bahan anyaman. Bagian ujung dan pangkal daun dipotong sehingga berukuran 80-100 cm. Duri di bagian tepi daun dihilangkan dengan menggunakan alat yang disebut “panyucuk”, kemudian daun dibelah memanjang dengan “panyoak” menjadi 4 bagian. Daun yang telah dibelah menjadi 4 tersebut dikenal dengan sebutan “aray”. Lebar aray dapat diatur dengan panyoak. Makin sempit lebar array, hasil anyaman semakin halus, kemudian getah atau lendir yang terdapat pada aray dihilangkan dengan menggunakan “pamaut” sehingga aray menjadi lentur dan mudah untuk dianyam. Setelah aray terkumpul sebanyak 1 genggam (dihasilkan dari sekitar 20 lembar daun pandan), lalu diikat, dijemur atau dikering anginkan selama sekitar 2-3 jam, kemudian dilipat menjadi 4 bagian, selanjutnya direbus selama 6 jam. Setelah itu didiamkan atau direndam dalam air selama 2 jam dengan tujuan untuk menghilangkan sisasisa lendir yang masih menempel pada daun. Aray yang telah dimasak, dijemur kembali di bawah sinar matahari selama 2 hari dan hasilnya disebut “aray putihan” atau “aray bodas” (bodas artinya putih). Sebelum dianyam aray putihan ini dipukul-pukul perlahan-lahan atau dipaut kembali agar menjadi lemas dan permukaannya halus.

Proses awal menganyam disebut ”ngelabang” karena bentuknya seperti kaki kelabang- dan akhir menganyam disebut”ngaput” yaitu menutup bagian tepi anyaman. Sebelum dipasarkan, hasil anyaman tikar dijemur kembali agar terlihat tidak kusam. Lamanya perebusan dan ukuran aray merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi mutu hasil anyaman. Jika pada penjemuran kurang sinar atau cuaca mendung maka hasil anyaman tampak berwarna putih kusam, sedangkan jika perebusan aray kurang lama maka aray mudah patah pada saat dianyam. Proses menganyam “samak” tikar atau “kaneron” tas membutuhkan waktu selama 2 hari. Setiap 1 lembar tikar dengan ukuran 1,20 x 2 m memerlukan 3 ikatan aray bodas, sementara untuk kaneron sebanyak 2 ikatan. Menurut penuturan penduduk, selain pandan samak, daun cangkuang dan bidur juga dapat dianyam, namun kurang umum dilakukan karena hasil anyaman daun kedua jenis tersebut kurang halus dan kurang awet (hanya bertahan sekitar 2 tahun saja), sementara hasil anyaman pandan samak dapat bertahan hingga 4 tahun. Pandan “laut” (hidupan liar dari pandan samak) tidak diminati sebagai bahan baku anyaman karena struktur daunnya yang kaku dan getas (mudah patah) sehingga proses pemasakannya akan memakan waktu yang jauh lebih lama.

Kebiasaan menganyam tampaknya merupakan tradisi yang telah dilakukan sejak dahulu oleh masyarakat di Jawa (Backer 1925; Hofstede 1925), termasuk di Ujung Kulon. Menurut informasi masyarakat, saat ini kegiatan menganyam pandan di Ujung Kulon hanya dijumpai di beberapa daerah seperti Ciundil, Legon Pakis, Tanjung Lame dan Cegok. Hanya di Ciundil bahan baku daun pandan untuk kerajinan anyaman dipanen dari tanaman yang dibudidaya, sementara di kedua lokasi lainnya diambil dari tumbuhan liar. Menurut keterangan masyarakat, pandan samak pertama kali dibudidayakan di Ciundil pada tahun 1950-an. Kegiatan budidaya tersebut ditengarai sudah jauh lebih tua dari yang diketahui, karena Hofstede (1925) dan Backer (1925) telah mencatat bahwa masyarakat di Jawa Barat, termasuk Ujung Kulon, telah lama menanam pandan samak untuk kebutuhan seharihari. Catatan di seputar tahun 1950-an lebih mengacu kepada penanaman secara luas untuk kegiatan perekonomian. Kegiatan menganyam daun pandan di Ciundil sebagian besar dilakukan oleh kaum wanita. Kaum pria umumnya membantu dalam pengambilan daun dan memasarkan hasil anyaman. Sekitar 90% dari jumlah KK di Ciundil dapat menganyam daun pandan samak untuk tikar (tikar samak). Pembuatan tikar selain untuk memenuhi kebutuhan sendiri, juga untuk diperdagangkan. Dalam 1 bulan pengrajin dapat  menghasilkan 10-15 lembar tikar samak yang diperdagangkan dengan harga jual Rp. 10.000-15.000 per lembarnya. Karena tidak semua penduduk mempunyai pohon pandan samak, maka pembagian hasil penjualan antara pemilik pohon dan pengrajin adalah 2 : 1.

Kendala yang dihadapi pengrajin pandan adalah pemasarannya. Menurut mereka saat ini dalam 1 bulan hanya terjual 5-10 tikar. Berdasarkan hasil pengamatan penyebab rendahnya daya jual tikar samak masyarakat Ujung Kulon terutama disebabkan oleh masih sederhananya teknik penganyaman serta tidak digunakannya pewarna sehingga tikar masih nampak kusam dan kurang menarik. Penyuluhan tentang teknik penganyaman yang lebih baik dengan ditunjang oleh pewarnaan yang lebih kaya dan variatif sangat dianjurkan dengan harapan dapat meningkatkan nilai jual tikar produksi masyarakat Ujung Kulon tersebut.

Berbeda dengan Ciundil, di Legon Pakis dan Tanjung Lame kegiatan menganyam tikar samak hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Kedua lokasi tersebut terletak di dalam kawasan Taman Nasional Ujung Kulon, sehingga pengambilan daun sangat dibatasi karena eksploitasi yang berlebihan dikhawatirkan dapat mengganggu pelestarian ekosistem kawasan Taman Nasional.

Lebih lanjut susiarti dan Rahayu (2010) bahwa masyarakat Ujung Kulon memanfaatkan daun pandan pantai (Pandanus odoratissimus) untuk pembuatan aneka kebutuhan rumah tangga, terutama tikar. Masyarakat mengenal dua entitas yang berbeda untuk dua taksa yang diidentifikasi sebagai P. odoratissimus, pandan samak dan pandan “laut”. Keduanya dianggap berkerabat dekat dengan pandan “laut” yang merupakan hidupan liar untuk pandan samak. Meskipun mengenal dengan baik cangkuang (P. furcatus) dan bidur (P. dubius), keduanya tidak dipakai sebagai bahan baku anyaman. Hanya di Ciundil pandan samak tercatat dibudidayakan masyarakat. Perlu adanya penyuluhan tentang teknik menganyam dan penerapan model (desain) dan tata warna yang lebih bervariasi guna meningkatkan nilai jual tikar samak masyarakat Ujung Kulon. Peningkatan nilai jual diharapkan akan meningkatkan volume penjualan dan pada akhirnya akan menarik lebih banyak keterlibatan anggota masyarakat dalam industri kerajinan tersebut serta akhirnya akan melestarikan tradisi kerajinan daun pandan Ujung Kulon.

No comments