Buah Pandan (Pandanus jiulianettii Martelli.)
Buah Pandan (Pandanus yulianettii martelli)
merupakan salah satu tumbuhan buah tropik yang dapat tumbuh dalam hutan lindung
di kawasan pegunungan Jayawijaya yang memiliki lima jenis dari
marga Pandanus adalah anggota Pandanaceae yang
paling luas penyebarannya dan kisaran habitat yang ditempatinya di pegunungan
tengah Jayawijaya Papua . Buah pandan
termasuk tanaman endemik, secara umum habitat asal tanaman ini adalah hutan
primer dengan kondisi tanah lembab, subur berhumus, kapur, hingga tanah
berpasir putih yang relatif kering dan miskin zat-zat hara.
Tanaman ini ditemukan tumbuh liar di wilayah Papua dan Papua New Guinea
merupakan suatu suku tumbuhan yang berbentuk semak, perdu atau dengan pohon
batang besar dan tumbuh tegak, bercabang-cabang atau liana. Di wilayah Papua,
tanaman buah pandan ditemukan tumbuh di daerah dengan ketinggian antara
3.500-4000 meter di atas permukaan laut, sehingga tanaman buah pandan
tidak dapat tumbuh pada daerah dataran dibawah 3000 meter di atas permukaan
laut di Papua.
Craven dan de Fretes (1987)
menyatakan bahwa berbagai jenis pandanus sudah sejak lama dimanfaatkan oleh
masyarakat yang tinggal di daerah dataran tinggi Irian Jaya dan Papua New
Guinea. Masyarakat lokal sudah dimanfaatkannya secara ekstensif. Buahnya digunakan
sebagai bahan pangan, sedangkan daunnya untuk membuat tikar dan atap rumah.
Buah pandan memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi untuk kebutuhan
bagi umat manusia, dibandingkan dengan pandanus lainnya. Dalam masyarakat di
tanah papua bagian pedalaman pegunungan tengah jayawijaya buah pandan lebih
dikenal dengan sebutan nama daerah adalah woromo, lim, gawan,
terep dan tawi, sebagai makanan fungsional.
Sebutan nama buah pandan berdasarkan ciri khas tanaman buah
pandan seperti karakteristik daun, batang, biji, daging, dan
ketebalan kulit biji dan daging buah, sedangkan masyarakat umum dengan sebutan kelapa
hutan karena buah pandan hidup di dalam hutan. Buah pandan
yang terdiri dari beberapa kultivar yang belum dikenal oleh
masyarakat luas tetapi masyarakat pegunungan Jayawijaya secara tradisional
sejak dahulu telah mengkonsumsi sebagai makanan sehari-hari diambil dari bagian
biji dan daging buah, karena rasanya gurih enak dan aromanya seperti kelapa
karenanya orang menyebutnya kelapa hutan. Salain itu bagian daun dibuat tikar
dan atap rumah, batang sebagai papan untuk bangunan rumah dan akar sebagai
bahan dasar pembuat tas (noken) khas papua dan teknologi budidaya,
penanganan pascapanen yang sederhana merupakan warisan secara ilmu turun-temurun
dari nenek moyang.
Pada dasarnya terdapat lima
jenis buah pandan di Papua. Namun, secara garis besar diketahui ada 4
jenis terdiri dari 12 kultivar yang dikembangkan oleh masyarakat setempat,
karena memiliki nilai ekonomis, dan sesuai dengan agroekologi buah pandan masing-masing
daerah pegunungan tengah Jayawijaya mempunyai variasi iklim dari suatu daerah
ke daerah lain berbeda-beda menyebabkan munculnya banyak kultivar baru buah
pandan.
Rose (1982), Klasifikasi
tanaman buah pandan adalah sebagai berikut :
Kingdom
: Plant/tumbuhan
Divisi
: Spermaophyta
Kelas
: Angiospermae
Subkelas : Monocotyledonae
Ordo
: Pandanales
Famili : Pandanaceae
Genus :
Pandanus
Spesies : pandanus
yulianti martelli
Buah pandan mempunyai prospek yang cerah untuk dikembangkan di daerah
pedalaman pegunungan Jayawijaya Papua, karena memiliki peluang besar untuk eksplorasi
pangan dari biji dan daging buah. Biji dapat menghasilkan minyak goreng yang
berkualitas baik dari segi kesehatan dibandingkan dengan minyak goreng dari
kelapa sawit dan daging buah dapat menghasilkan tepung untuk pembuatan berbagai
macam jenis makanan olahan. Akar selain pembuatan tas (noken) juga akan
dimanfaatkan sebagai tali pengikat kapal, karena benang dari akar buah pandan
memiliki karakter halus dan kuat. Selain itu daun memiliki peluang besar untuk
membuat berbagi kegiatan lain terutama untuk pembuatan tikar, karena buah
pandan memiliki karakter daun halus, kuat, panjang dan lebar dibandinggkan
dengan daun pandan lain yang memiliki daun kasar tebal dan pendek, namun telah
lama dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan tikar oleh masyarakat di Jawa Barat
dan hasilnya di ekspor (Siti dan Mulyati, 2010). Disamping itu untuk dalam
rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah pedalaman papua melalui
buah pandan ini lebih mudah dan tepat dibandingkan dengan komoditi pertanian
yang lainnya karena pengetahuan secara tradisional telah ada pada mereka.
Selain dari nilai manfaat langsung dari buah pandan juga memiliki nilai
manfaat tidak langsung yaitu sebagai pengatur hidrologi air juga melindungi
tumbuhan dan hewan lain disekitarnya, karena buah pandan memiliki ciri
khas tumbuh dibawah tegakan lebih baik daripada tumbuh tanpa naungan, sehingga
petani memiliki pengetahuan unik dalam sistem budidaya buah pandan dibawah
naungan dari tegakan hutan lindung. Pengetahuan ini dari turun temurun
khususnya masyarakat pegunungan Jayawijaya pada umumnya. Karena hutan mempunyai
pengaruh untuk buah pandan tumbuh baik dan menghasilkan buah yang tersedia
pangan bagi masyarakat setempat.
Anonimous (1993) menyebutkan bahwa masyarakat yang tinggal di daerah
pedalaman papua merupakan suku terpencil yang tinggal di pegunungan Jayawijaya
yaitu suku Dani. Papua Selatan sejak akhir abad 14 suku ini hidup di bawah
suatu sistem struktur sosial dan aturan adat yang sangat ketat. Aturan adat
suku Dani mencakup segala aspek kehidupan, dari sistem kepercayaan, mata
pencaharian, kehidupan sosial dan aturan-aturan tentang kehidupan sehari-hari.
Selain contoh-contoh di atas, aturan adat ini juga mencakup pengaturan
sistem pertanian ladang berpindah. Wilayah mereka dibagi ke dalam 2 zonasi
berdasarkan struktur dan fungsinya yaitu zonasi pertama yang berupa hutan
kampung, zonasi kedua merupakan daerah hutan lindung yang tidak boleh
dibuka menjadi ladang berpindah. Sistem pengelolaan yang memberikan banyak
keuntungan ini belum banyak dipahami oleh masyarakat di luar komunitas selain suku
Dani.
Dalam sejarah
perkembangan kelompok masyarakat tradisional di seluruh dunia pada umumnya
sistem pertanian lahan berpindah, sama halnya dengan kelompok masyarakat di
pegunungan tengah jayawijaya, namun agak berbeda sejarahnya, mereka telah
mempunyai suatu bentuk pengetahuan lokal/tradisional tentang alokasi wilayah
pengelolaan sumber daya alam dengan sistem pertanian ladang tetap di
dalam hutan lindung sebagai kebun buah pandan dan hutan kampung sebagai
budidaya pertanian lainnya . Pengetahuan yang biasa disebut Pengetahuan Ekologi
Tradisional (Traditional Ecological Knowledge) ini didapat dari
akumulasi hasil pengamatan pada kurun waktu yang lama dan diwariskan secara
turun-temurun. Kelompok masyarakat pegunungan tengah jayawijaya
mempunyai tradisional aturan tata guna lahan tersendiri, namun umumnya
sama dalam beberapa prinsip dasar. Sebagai kelompok masyarakat yang telah hidup
lama berdampingan dengan alam sekitarnya, mereka menyadari pentingnya
kelestarian alam. Perlindungan ini ternyata mempunyai arti penting bagi
ekosistem sekitarnya, karena hutan berfungsi sebagai penyangga kekayaan
sumber genetik (genepool), sebagai habitat dari hewan liar, melindungi
tanah dari erosi, menjaga hidrologi air ketika hujan dan kemarau, untuk menjaga
mikroklimat, pelindung dari angin, produksi sumber humus, penyedia pestisida
alami, penyedia makanan, dan lain sebagainya (Sunaryo dan Joshi, 2003).
Sistem pertanian ladang atau perladangan telah lama dikenal masyarakat
luas dan telah lama pula dipraktekkan di berbagai negara tropis di Asia,
Amerika dan Afrika, termasuk di negara Indonesia (Sutanto,2003) . Sistem
pertanian ladang di pegunungan tengah Jayawijaya memiliki karakter khusus,
yaitu menggarap lahan pertanian secara berpindah-pindah di lahan hutan kampung.
Para peladang, menebang hutan untuk ditanami tanaman umbi-umbian dan tanaman
lainnya secara terus menurus pada lahan yang ,sama menyababkan tanah semakin
menjadi miskin unsur hara bagi tanaman. Pada saat lahan diberokan,
berlangsung proses suksesi alami menuju terbentuknya hutan sekunder. Hutan
sekunder tersebut dapat dibuka kembali sebagai ladang, dan dengan demikian daur
pemanfaatan lahan untuk pertanian dimulai kembali bahwa bila masa bero
berlangsung cukup lama, struktur dan komposisi hutan sekunder tersebut hampir
mendekati struktur dan komposisi hutan primer.
Sedangkan sistem ladang pertanian tetap di dalam hutan (kebun buah pandan) dapat menunjukkan bahwa jumlah total biomasa dari hutan primer telah menyediakan waktu puluhan sampai ratusan tahun sehingga hutan primer setelah tersedia kadar nutrien bertambah secara signifikan bagi tanaman pertanian dan siklus nutrisi serta mekanisme konservasi dijaga baik oleh siklus berulang dari sistem perladangan tetap di dalam hutan primer, sehingga lahan tetap di hutan primer merupakan lahan hidup yang menghasilkan berbagai jenis makanan dan materi lainnya . Disamping itu hutan primer juga memiliki komponen abiotik dan komponen biotik yang mencakup produser, konsumen dan pengurai secara alamiah sehingga hasil produk pertanian tidak memiliki dampak yang negatif bagi umat manusia . Namun saat ini komoditi pangan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi belum ada yang mampu dapat tumbuh dan berkembang dengan baik dibawah naungan tegakan hutan primer dengan produksi dalam jumlah yang lebih besar tujuan untuk pasar, oleh karena itu dirasa penting untuk melakukan penelitian ilmiah akademik komoditi pertanian yang sesuai kearifan lokal berkenaan dengan meningkatkan pendapatan masyarakat di sekitar hutan yang menentukan pengelolaan hutan yang berkelanjutan.
No comments