Hutan mangrove
Hutan mangrove memiliki persyaratan tumbuh yang berbeda dengan tanah
kering. Berdasarkan tempat tumbuhnya hutan mangrove dapat dibedakan pada empat
zone, salah satunya adalah zona Avicennia sp, merupakan zona yang
letaknya diluar hutan bakau, memiliki tanah yang berlumpur, lembek dan sedikit
mengandung humus (Badrudin, 1993). Daerah penyebaran hutan mangrove pada batas
pantai yang mengarah ke laut didominasi oleh Avicennia sp, yaitu jenis bakau yang mempunyai akar gantung (aerial root), selanjutnya pohon bakau
merah Rhizophora (Hutabarat dan
Evans, 1985).
Salah satu yang menjadi sumber antibiotik alami
adalah tumbuhan mangrove, yang merupakan kekayaan alam potensial, kurang lebih
27% populasi mangrove dunia tumbuh di Indonesia. Di Indonesia hutan mangrove
tersebar di sepanjang pantai Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya. Jenis yang
sering ditemukan di Indonesia dan merupakan ciri-ciri utama dari hutan mangrove
adalah genera Avicennia, Sonneratia,
Ceriops, Brugueira, dan beberapa spesies dari genera Rhizophora (Nobbs, and
McGuinness, 1999). Hutan
mangrove atau hutan mangal adalah suatu komunitas tanaman yang hidup di daerah
tropis dan sub tropis pinggir pantai. Terdiri dari lebih kurang 30 famili dan
lebih dari 100 spesies yang berupa pohon atau semak belukar (Nybakken, 1993). Lebih kurang 60-75 %
garis pantai di daerah tropis ditumbuhi oleh hutan mangrove.
Senyawa kimia dari
tumbuhan yang berperan sebagai antimikrobial yaitu dari golongan alkaloid
dikenal sebagai berberina, emitina, kuinina dan tetrametil pirazina ;
dari golongan fenolik biasanya pada jaringan kayu terdapat senyawa asam
amino aromatik, yang berasal dari jalinan asam sikimatnya dapat berperan
sebagai herbisida serta tanin yang biasanya dikenal untuk menyamak
kulit, karena mereka memotong dan mendenaturasi protein serta mencegah proses
pencernaan bakteri. Flavonoid yang mudah larut dalam air pada tumbuhan
berfungsi untuk kerja antimikroba dan antivirus; serta isoprenoid dengan
turunannya saponin triterpenoid merupakan irritan yang kuat dan berperan
sebagai antimikrobial. Sebagian besar fitoaleksin adalah fenil propanoid yang merupakan produk dari asam sikimat,
beberapa diantaranya merupakan senyawa isoprenoid
dan poliasetilena (Rowe,
1989).
Flavonoid ditemukan hampir
pada semua tumbuhan tingkat tinggi. Sedikitnya terdapat 4000 struktur flavonoid
yang telah dilaporkan. Kelas flavonoid lainnya adalah flavon, flavonol, flavanon, flavanonol yang kurang begitu berwarna
terutama pada tumbuhan berkayu (Harborne,
1987).
Salah satu
sifat yang dimiliki oleh suatu antibiotik adalah mempunyai kemampuan untuk
merusak atau menghambat mikroorganisme patogen spesifik. Selanjutnya Efendi (1998), menambahkan bahwa
pathogenitas merupakan salah satu ciri utama mikroorganisme. Mikroba dapat
menimbulkan penyakit, kemampuannya untuk menimbulkan penyakit merupakan ciri
khas organisme tersebut.
Tumbuhan mangrove mengandung senyawa seperti alkaloid,
flavonoid, fenol, terpenoid, steroid dan saponin. Golongan senyawa
ini merupakan bahan obat-obatan modern (Eryanti et al., 1999). Akan dilakukan pengujian produksi antibiotik dari
ekstrak ini terhadap bakteri Vibrio sp
dan diharapkan antibiotik yang dihasilkan dapat digunakan dalam menanggulangi
penyakit kunang-kunang dan vibriosis pada ikan dan udang yang bernilai ekonomis
pada usaha-usaha budidaya.
Dari survey awal yang telah dilakukan, diketahui
bahwa beberapa spesies mangrove (R apiculata, B gymnorhyza) (A. alba, N.
fruticans) memiliki efek antimikrobial terhadap bakteri Vibrio (Effendi,1998). Namun golongan senyawa kimia yang menghambat
bakteri tersebut dan juga efektivitasnya belum diketahui dengan pasti.
Penyakit Vibriosis disebabkan oleh bakteri gram
negatif Vibrio yaitu; V. parahaemolyticus, V. alginolyticus,
dan V. anguillarum. Penyakit tersebut
dapat dideteksi dengan mengisolasi bakteri dari tubuh udang sakit dan
menanamnya pada media agar selektif untuk Vibrio,
yaitu TCBS Agar. Pada media ini
koloni bakteri yang tumbuh tampak berwarna kuning dan hijau (Effendi, 1998).
Dari hasil penelitian
awal (Feliatra, 2000) yang dilakukan terhadap beberapa spesies mangrove
memiliki anti mikrobial terhadap bakteri vibrio sp. Sensitifitas bakteri terhadap beberapa mangrove yang
dilakukan dengan menggunakan diagnosis melalui metoda cakram (paper disk method) dengan mengamati zona
bebas bakteri (clear zone) di sekitar
sampel (Tabel 1).
Tabel 1. Daya hambat beberapa spesies mangrove terhadap bakteri Vibrio sp.
No.
|
Spesies Mangrove
|
Zona bebas
Bakteri
|
1
|
Rhizoopra
apiculata
|
1,5 – 3 mm
|
2.
|
Nypa
fruticans
|
2,5 – 4,5 mm
|
3.
|
Bruiuiera
gymnorrhiza
|
1,5 – 3, 5 mm
|
4.
|
Aviciennia
alba
|
3,5 – 5,5 mm
|
Alam (2000) menyatakan bahwa ekstrak
mangrove dapat menekan laju pertumbuhan Vibrio harveyi. Pada media
lumpur dan air laut. Selanjutnya Yasmon (2000) menyatakan ekstrak mangrove
bersifat antibakteril terhadap bakteri Vibrio parahamolyticus pada media
lumpur dan air laut. Dari sampel yang digunakan bahwa daun mangrove lebih
efektif dibandingkan buah dan kulit mangrove. Siregar (2000) menyatakan bahwa mangrove
Sonneratia ovate memiliki sensitifitas yang lebih tinggi pada bakteri Vibrio
parahaemolyticus pada daun dibandingkan dengan buah dan kulit. Tetapi
sampai saat ini belum diketahui zat bioaktif apa yang dimiliki oleh tumbuhan
mangrove yang dapat menghambat bakteri vibrio sp tersebut.
Post Comment
No comments