Pendekatan Studi Sains Hayati
Pendahuluan
Secara ringkas ilmu hayat/biologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari kehidupan organisme hidup (tumbuhan dan hewan termasuk manusia). Ilmu hayat atau ilmu kehidupan meliputi studi tentang sifat-sifat, klasifikasi dan tingkah laku organisme, bagaimana spesies terlahir dan bagaimana mereka saling berinteraksi dengan lingkungannya, tingkah laku sosial diantara komunitas dan sebagainya.
Dilihat dari sifatnya, ilmu hayat adalah sekumpulan hasil observasi fenomena yang terkait dengan kondisi hidup, hipotesis-hipotesis dan teori-teori mengenai sistem dan kondisi hidup. Arti hidup atau kondisi hidup adalah kondisi yang membedakan antara hewan dan tumbuhan dengan objek anorganik dan organisme yang mati. Artinya tumbuhan dan hewan yang hidup adalah zat organik hidup yang berbeda dengan zat organik hewan dan tumbuhan yang mati.
Keadaan hidup atau hidup yang dipelajari adalah apa-apa dan kondisi dari tumbuhan dan hewan ketika hewan dan tumbuhan tersebut dalam keadaan tidak mati. Ciri-ciri hidup meliputi terjadinya pertukaran dan perputaran zat, perkembangbiakan, pertumbuhan dan perkembangan, respons terhadap stumulus, dan pergerakan. Kajian terhadap ciri-ciri hidup tersebut akan mengarahkan kepada pemahaman apa yang dimaksud dengan hidup menurut ilmu hayat/biologi.
Ilmu Hayat
Pada tataran organisme, ilmu hayat menjelaskan fenomena proses kelahiran, pertumbuhan, proses penuaan, proses kematian dan membusuknya organisme. Selanjutnya dikaji juga tentang kesamaan sifat-sifat di antara anak (filial) dengan tetuanya (induk, parent), dan proses pembungaan tumbuhan. Fenomena lainnya meliputi laktasi penyusuan anak, metamorfosis, penetasan telur, proses penyembuhan dan juga dilengkapi dengan sifat-sifat tropisme. Pada skala yang lebih luas, ilmu hayat juga menelaah domestikasi binatang dan tanaman, juga menelaah keanekaragaman organisme binatang dan tumbuhan (Biodiversitas), perubahan (evolusi) dan kepunahan.
Objek kajian hayati/biologis meliputi klasifikasi dan sistematik, morfologi atau struktur, fisiologi atau operasional hidup, anatomi dan sitologi atau struktur mikroskopik, proses yang khas seperti pertumbuhan dan aspek metabolisme serta kajian aspek aplikasi hayati/biologi seperti rekayasa genetika, transgenik/cloning, kultur jaringan, breeding, hibridisasi dan rekayasa hayati lainnya.
Apabila definisi dan objek kajian hayati hanya yang bersifat wujud empiris rasional saja, maka kajian tersebut bersifat sekuler (menyisihkan wujud yang dimaksud pengetahuan dalam islam) karena objek kajian biologis atau sains yang diisyaratkan atau diberitakan (diperintahkan untuk diperhatikan/dilihat/dipikirkan) oleh wahyu bukan hanya materi alam yang wujudnya tampak (‘alam al-syahadah) tetapi juga alam yang tidak tampak (‘alam al-ghayb). Sebagai sains yang dipandu wahyu, memandang sains islam bersifat holistik dengan tauhid sebagai paradigma makro. Iman dan rasio berpadu dalam sains Islam.
Struktur ilmu hayat/biologi meliputi sub bidang :
1. Botani : ilmu yang membahas dan menelaah tentang tumbuh-tumbuhan.
2. Zoologi : ilmu yang membahas dan menelaah tentang binatang.
3. Antropologi fisik : mempelajari kelahiran primata, perkembangan manusia (Evolusi “ilmu sekuler barat”), forensik dan genetika populasi. (Antropologi budaya dipelajari pada sains sosial)
Struktur ilmu hayat ditinjau dari sub disiplin meliputi :
A. Berdasarkan dimensi/ukuran /skala wujud objek telaahan meliputi :
1. a. Biologi molekuler : mempelajari struktur/ sifat molekul organisme
b. Genetika molekuler dan,
c. Biokimia
2. Biologi Sel : mempelajari sel.
3. Fisiologi, Anatomi dan Histologi : mempelajari objek yang besar (multiseluler)
B. Berdasarkan jenis bidang kajian meliputi.
1. Biologi perkembangan (Embriologi) : mempelajari perkembangan/pertumbuhan
organisme individu /ontogeni)
2. Genetika : mempelajari sifat-sifat keturunan yang diturunkan dari tetua kepada
keturunannya.
3. Etologi : menelaah tingkah laku kelompok-kelompok organisme
4. Sistematika : mempelajari hubungan tingkatan spesies.
5. Ekologi : mempelajari saling ketergantungan antara populasi dan lingkungan
hidupnya.
6. Astrologi/Xenobiologi : mempelajari kemungkinan kehidupan yang ada di luar bumi.
Penciptaan Yang Sempurna dan Seimbang
Wahyu Allah dalam surat al-A’laa ayat 1: dapat dijadikan salah satu ayat landasan tauhid yang munasabah dengan pemikiran tentang sains makhluk ciptaan Allah.
ﻰﻟﻋﻷﺍ ﻚﺑﺭ ﻡﺴﺍ ﺢﺒﺴ
“Ucapkan kesucian atas nama tuhan engkau yang maha tinggi.
Tafsir Al-Azhar menjelaskan “maha tinggi berarti yang maha tunggal” tidak ada yang lebih tinggi yang menjadi sekutu bagi Allah.
Ayat kedua : “Yang telah menciptakan, lalu membentuk dengan seimbang”.
Observasi empiris dan rasional terhadap fenomena alam membuktikan demikian seimbang dan harmonisnya kondisi wujud organisme di alam ini.: Terwujud kondisi ekuilibrium/keseimbangan “balance of nature” di alam ini. Telaah terhadap organ tubuh hewan, keseimbangan alam dan kehidupan tumbuhan, sampai keseimbangan komponen gas yang ada di atmosfir.
Al-Qur’an surat Yasin ayat 80 memberikan isyarat/panduan akan terbentuknya energi zat organik (karbohidrat) dan energi gas pembakar (oksigen: gas O2). Gas sumber kehidupan biologis hewan dan tumbuhan di udara yaitu gas O2 dan karbon dioksida (CO2) selamanya dikendalikan oleh mekanisme biologis tumbuh-tumbuhan dan hewan..
Tumbuhan memerlukan/menyerap gas CO2 sebagai bahan baku dalam proses fotosintesis dan mengeluarkan/dihasilkan gas oksigen (O2) dalam proses penyusunan tersebut. Allah menciptakan manusia dengan aktivitasnya aktivitas dan gerak fisiknya bergantung pada suplai energi nutrisi dari makanan dan suplai oksigen dari aktivitas bernafas. Pada saat menarik nafas, dimasukkan oksigen, dan pada saat mengeluarkan nafas, dikeluarkan gas CO2, Demikian juga, aktivitas kehidupan manusia yang banyak mengemisi/mengeluarkan gas racun. Gas CO2 adalah zat yang bersifat racun bagi hewan dan manusia, tetapi tumbuhan justru memerlukan CO2 tersebut untuk bahan baku proses fotosintesis.
Tidak ada yang percuma apa yang diciptakan Allah. (...ﻼﻃﺎﺒ ﺍﺫﻫ ﺕﻗﻠﺧ ﺎﻣ ﺎﻧﺒﺮ...)
Quraish Shihab dalam Rustam Effendi (2003:71) menyebutkan bahwa ada sekitar 750 ayat al-Quran yang memberitakan alam semesta dan fenomenanya yang memerintahkan manusia untuk mengetahui dan memanfaatkannya. Sebagaimana Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 29 “ ﺎﻌﻴﻤﺠ ﺽﺭﻷﺍ ﻰﻔ ﺎﻣ ﻢﻜﻟ ﻖﻟﺧ ﻯﺫﻟﺍ ﻮﻫ”.
Nilai Islami dalam Ilmu Hayat
Naquib Al-Attas dalam Adi Setia (2005 : 54) menyebutkan ilmu yang datang dari Allah diperoleh melalui cara atau saluran:
1. Pancaindera (sound senses/hawass salimah) yang meliputi pancaindera eksternal (peraba, perasa, pencium, pendengaran dan penglihatan) dan pancaindera internal (common sense, representation, estimation, recollection/retention dan imagination)
2. Khabar yang benar (khabar shadiq) berdasarkan autoritas (naql) yang meliputi : otoritas multak (otoritas ketuhanan (al-Qur’an) dan kenabian (hadist rosulullah saw.); otoritas nisbi (kesepakatan alim ulama/tawatur dan khabar orang terpercaya secara umum.
3. Intelek (intellect/’aql) yang meliputi: ‘akal sehat /sound reason dan ilham/intuition/hads/wildan.
Akal merupakan faktor utama dalam proses mendapatkan ilmu. Faktor akal ini yang membedakan manusia dari hewan, maka dapat diterima dalam menemukan ilmu biologi Islam, penggunaan pancaindera yang sehat dan akal yang sehat untuk memahami kebenaran hakekat dari fenomena hayati organisme tumbuhan dan hewan/manusia yang hidup.
Saintis/biologiwan mencari hakekat atau realitas dibalik alam fenomenal yang dlahir yang mampu merangkum berbagai performens hayati. Akan tetapi pencarian ilmu biologis kurang atau sedikit sekali menggunakan daya ilhami, karena ontologi biologi yang mensifatkan demikian, yang berbeda dengan sains sosial atau psikologi. Fenomena biologi umumnya bersifat fisik yang mudah ditangkap oleh indera. Oleh karena itu biologiwan sedikit mendapat penjelasan secara ilhami. Meskipun demikian , dalam perjalanannya sering kita dengar berita dari para penemu sains terjadinya “lucky discovery”. Penemuan yang muncul tiba-tiba. Ilham/intuisi yang mengakhiri kemandegan saintis dalam pencarian ilmunya.
Aristoteles 300 SM menyatakan pemikirannya, bahwa binatang mahluk kecil itu munculnya begitu saja dari benda yang mati. Pemikiran itu dianut juga oleh Needham, pendeta orang Irlandia yang pada tahun 1745-1750 mengadakan percobaan dan penelitian dengan variasi emulsi dan cairan biji-bijian, daging dan substrat lainnya. Air rebusan yang disediakan disimpan rapat-rapat dalam wadah tertutup, namun mikroorganisme dapat muncul dan hidup pada media tersebut. Kesimpulannya, kehidupan baru dapat muncul dari benda yang mati. Pendapat ini terkenal dengan teori abiogenesis (mahluk muncul begitu saja dari barang mati) atau juga disebut teori generatio spontanea (mahluk itu terjadi begitu saja muncul secara spontan). Tetapi kemudian, pendapat Aristoteles dan Needhan tersebut dibantah oleh Spallanzani (1729-1799) yang membuktikan bahwa perebusan dan penutupan botol yang dilakukan Needhan tidak akurat.
Percobaan Schultze 1836 dan Schroeder dan Dusch pada 1854 serta Louis Pasteur tahun 1865 membuktikan bahwa tidak ada kehidupan baru dari benda mati. Pendapat ini dikenal dengan semboyan Omne vivum ex ovo, omne ovum ex vivo (kehidupan itu berasal dari telur, dan telur itu berasal dari sesuatu yang hidup). Penelitian saintis barat tersebut belum dapat menjawab dari mana asal mahluk kecil (bakteri) bermula. Mereka berhenti disana, tidak ada panduan atau petunjuk yang mengarahkan pada suatu keyakinan yang berada di luar rasio mereka.
Rasio mereka bergerak pada sesuatu yang tidak empiris. Mereka mulai berpikir analisis-historis (sesuatu yang tidak dialami). Mahluk hidup atau bakteri itu adalah entitas mikroorganisme yang wujudnya tersusun dari makro-molekul protein (daging), sedangkan protein tersusun dari molekul asam amino (NH2). Memang rasional, elemen/unsur zat lemas atau nitrogen (N) dan hidrogen H2 dan sulfida H2S berlimpah dialam ini. Atmosfir (udara) bebas mengandung +78% gas nitrogen dan H2 dapat terlisis dari air (H2O), maka mereka menggunakan teori evolusi bahwa bakteri tersebut muncul melalui evolusi atau perubahan dari anasir yang ada di bumi yaitu dari zat nitrogen dan hidrogen. Memang sekarang orang sudah dapat menyusun molekul protein sintetis dengan alat mesin yang sangat canggih, tetapi satu hal yang tidak dapat dibuat adalah “hidup”. Bakteri adalah mahluk hidup yang dapat bergerak dan berbiak, bukan hanya molekul protein (daging) yang tidak bernyawa.
Hanyalah wahyu yang dapat menjawab pertanyaan dari mana dan bagaimana substansi protein itu menjadi hidup. Al-Quran dalam surat al-Mu’minun ayat.14 memberikan panduan bagaimana fase-fase peristiwa (urutan-urutan) penciptaan makhluk (embriologi). Pada fase akhir, Allah menyatakan
“…ﺭﺧﺁ ﺎﻗﻟﺨ ﻩﺎﻧﺄﺷﻧﺃ ﻢﺜ”. Dengan ditiupkan roh ke dalam tubuhnya, maka jadilah makhluk.
Tugas saintis ahli embriologi untuk mengelaborasi fase-fase perkembangan embrio tersebut sehingga dikenali lebih jelas bagaimana agar embrio berkembang normal berdasarkan perhitungan kesehatan. Adapun permasalahan ruh pada mahluk hidup sulit dijelaskan, karena memang manusia hanya diberi sedikit ilmu tentang ruh itu ( Al-Quran surat Bani Israil)
Wujud alam nyata ini relatif, yang wujudnya bergantung kepada tuhan, menjadi ghayb bagi manusia karena dimensi jarak, diisyaratkan dalam wahyu seperti yang tersurat dalah surat Ar-Rahman 33 :
...ﺍﻮﺫﻔﻧﺎﻔ ﺽﺭﻷﺍﻮ ﺕﺍﻮﻣﺳﻟﺍ ﺭﺎﻃﻗﺃ ﻦﻤ ﺍﻮﺫﻓﻧﺘ ﻥﺃ ﻢﺘﻌﻂﺗﺴ ﻥﺇ ﺲﻧﻹﺍﻭ ﻦﺠﻟﺍ ﺭﺸﻌﻣ ﺎﯿ
Wujud yang jauh di sana, yang ghayb tidak tampak dengan mata menjadi objek kajian sains Islam
Menjadi tidak tampak dengan mata telanjang , seperti wujud materi mikroorganisme (organisme super-mikroskopik : virus) yang dimensi besarnya hanya ukuran mili mikron dan hanya dapat dilihat dengan bantuan mikroskop elektron yang memiliki magnifikasi >100.000 kali. Organisme ini tidak tampak dengan mata telanjang karena sangat kecil dimensi wujudnya. Dalam surat al-Baqarah, wahyu Allah “...ﻰﯾﺤﺘﺴﯾ ﻻ ﷲﺍ ﻥﺇ” telah mengisyaratkat adanya wujud atau objek yang sangat kecil.
Sering terjadi proses metabolisme kuratif yang diluar kendali rasio dan ilmu manusia. Ketika diagnosis dokter atau analisis praktisi biologi menyimpulkan bahwa perkembangan fatogen/penyakit dalam organ tubuh mahluk tidak dapat dihentikan (penyakit tidak dapat disembuhkan), tetapi Allah pencipta kehidupan menentukan lain.
Naquib Al-Attas dalam Adi Setia (2005 :57) menyebutkan bahwa akal atau intelek merupakan jembatan yang menghubungkan antara alam inderawi yang lebih rendah tahap wujudnya dengan alam ruhani yang lebih tinggi tahap wujudnya serta yang menjadi sumber kepada alam inderawi. Melalui akal, manusia mampu mengalami tahap wujudi yang lebih tinggi itu. Melalui akal juga manusia mampu memadukan aspek jasmaninya dengan aspek ruhaninya. Dengan demikian manusia mampu mencapai pemahaman atau ilmu tentang fenomena dan naumena sekaligus.
Sebagai biologiwan Islam akan menyakini, dibalik metabolisme hayati yang bekerja secara rasional yang relatif pasti itu, terdapat kepastian yang mutlak dari kekuasaan penggerak kehidupan. Setelah Allah menciptakan, Allah pun memeliharanya dan memberikan arahannya (ﻯﺪﻬﻔ ﺭﺪﻗ ﻯﺬﻠﺍ ﻭ , surat al-A’laa)
Biologiwan yang mengkaji sains empiris atau alam hidup yang wujudnya tampak sekarang semakin mendekat ke arah pemikiran alam yang tidak tampak, tetapi harus diyakini kewujudannya/eksistensinya, seperti wujud gelombang suara dan gelombang magnetik, wujud tenaga listrik. Ilmu tersebut adalah ilmu empiris, tetapi hakekatnya melampaui alam yang tampak. Kajian dalam mikrobiologi tanah, wujud fisik seonggok tanah, tanah yang tampak pejal, masif, padat dan pasip tidak bergerak, akan terlihat oleh seorang mikrobiologiwan sebagai sebuah bangunan kandang peternakan yang lengkap dengan fasilitas untuk perkembangbiakan, sehingga suatu saat ia akan memanen ternaknya dengan memperoleh keuntungan yang berlimpah. Biologiwan memandang tanah tersebut sebagai materi yang dinamis dan hidup. Demikian juga saintis fisika, dalam kajian solid material (zat padat). Apa yang tampak kepadanya dari sebatang besi tidak sama dengan apa yang sedang terwujud di dalam rasionya. Apabila batang besi itu dialiri arus listrik, maka akan terdapat wujud aliran listrik yang deras pada zat besi yang padat tersebut, dan jika batang besi tersebut ditempelkan pada ujung/lidah api, maka akan terbayang molekul-molekul zat besi itu sedang bergerak (hakikat panas) seolah-oleh wujud zat cair padahal dia sedang menghadapi sebatang besi yang padat dan sangat keras.
Epistemologis sains “empiris-ghoyb” tersebut akan mempengaruhi ontologi yang selama ini dianut oleh sains empiris logis.
Nasim Butt (1996 : 72) mengatakan sedemikian terbatasnya kemampuan sainstis dalam mengobservasi dan mendeskripsi realita , kemampuan akal dan kapasitas pancainderanya terbatas, maka wahyu memandu dengan mengingatkan agar manusia sadar, tidak terpesona dengan keberhasilan penemuan-penemuan sains dan hasil penelitian ilmiah. Peringatan tersebut diantaranya pada ayat-ayat terakhir surat Yasin ayat 77-83.
Langkah penyusunan dan pencarian (enquiry) pengetahuan/ilmu hayat secara sistematis meliputi upaya observasi fenomena atau fakta empiris alami dan melalui pengamatan perlakuan (eksperimen).
Observasi langsung di lapangan (in situ), pada beberapa kasus yang mungkin, dapat dilanjutkan dengan pengamatan di tempat dengan kondisi terkendali atau terkontrol (in vitro ) melalui pekerjaan isolasi, dilanjutkan dengan pekerjaan kultur/kultivasi di habitat buatan. Contoh pengamatan terhadap mikroorganisme.
Langkah pengamatannya :
-1. Mikroorganisme yang dicurigai sebagai penyebab (penyakit/simtom atau gejala) akan selalu ada pada organisme yang sakit.
-2. Mikroorganisme tersebut diambil dari tempat asal hidupnya (in situ) untuk ditumbuhkan/dilakukan piaraan dalam biakan murni.
-3. Jika mikroorganisme itu ditularkan kembali pada organisme (binatang yang sehat) harus menyebabkan sakit/gejala penyakit yang sama.
-4. Biakan yang sudah diisolasi harus dibuktikan bahwa penyakit disebabkan oleh mikroorganisme tersebut.
4. Mikroorganisme yang diobservasi dapat diidentifikasi dan dideskripsi.
Langkah penelitian eksperimen biologi (sains alami yang relatif eksak)
1.Perumusan masalah : Permasalahan empiris (ayat kauniyah) atau isyarat ilmiah dari ayat Qauliyah.
2. Perumusan hipotesis : prediksi dan asumsi-asumsi.
3. Penyusunan perancangan penelitian (experiment design). Prosedur atau langkah dalam perancangan penelitian adalah sebagai berikut :
a. Perancangan perlakuan (treatment design). Faktor perlakuan yang akan diteliti dapat sederhana/tunggal atau faktorial/majemuk. Perlakuan faktorial dilakukan untuk efisiensi dan dapat mengamati pengaruh interaksi diantara berbagai level perlakuan sekaligus.
b. Perancangan lingkungan (environmental design). Rancangan bergantung pada sifat dan jenis perlakuan. Perlakuan di laboratorium (lingkungan terkendali) atau di lapangan.
c. Rancangan respons. Penentuan jenis dan jumlah variabel pengamatan /observasi.
d. Rancangan Analisis (statistika) dan pengujian hipotesis.
Ilmu yang Tidak Netral/Sarat Nilai
Kegunaan mempelajari ilmu hayat adalah agar dapat memahami fenomena, gejala dan fakta alam hayati dan menggunakan pemahaman itu untuk tindakan perbaikan dan upaya pelestarian alam hayati dan meningkatkan kesejahteraan manusia dan mahluk lainnya serta untuk dapat memahami dan menyakini alam makhluk hidup sebagai ciptaan Allah. Klimaksnya manusia akan tunduk mengucapkan subhanallah bahwa Allah menciptakan alam dan makhluk hidup itu secara terencana, tertib dan tidak bathil. Ilmu hayat sebagai ilmu yang menelaah ayat-ayat kauniyah tidak bebas nilai (netral) tetapi sarat/penuh dengan nilai-nilai, dalam hal ini nilai islami.
Bagaimana kegunaan dan pentingnya sains Islami dilaksanakan, Nasim Butt (1996) telah membuat perbandingan antara sains barat dan sains yang dipandu dengan ajaran Islam sebagai berikut :
Sains Barat | Sains Islam |
1. Percaya pada rasionalitas. | 1. Percaya pada wahyu |
2. Sains untuk sains | 2. Sains adalah sarana untuk mendapatkan ridlo Allah, bentuk ibadah spritual dan sosial. |
3. Satu-satunya metode untuk mengetahui realitas | 3.Banyak cara berlandaskan akal dan wahyu untuk mengetahui realitas |
.4. Netralitas emosional sebagai prasyarat menggapai rasionalitas | .4. komitmen emosional sangat penting untuk mengangkat usaha-usaha sains spiritual maupun sosial. |
5. Tidak memihak, ilmuwan harus peduli hanya pada produk pengetahuan baru dan akibat penggunaannya | 5. Pemihakan pada kebenaran, yaitu apabila sains merupakan salah satu bentuk ibadah, maka seorang ilmuwan harus peduli pada akibat-akibat penemuannya sebagaimana terhadap hasilnya, maka harus baik secara moral dan mencegai ilmuwan agar tidak jadi agen tidak bermoral. |
6. Tidak ada bias, vaditas pernyataan sains hanya bergantung pada bukti penerapannya dan bukan pada ilmuwan yang menjalankannya. | 6. Adanya subjektivitas. Arah sains dibentuk oleh kriteria subjektif, validitas sebuah pernyataan sains bergantung baik pada bukti-bukti pelaksanaannya maupun pada tujuan dan pandangan orang |
7. Penggantungan pendapat, pernyataan sains hanya dibuat atas dasar bukti yang menyakinkan. | 7. menguji pendapat, pernyataan sains selalu dibuat atas dasar bukti yang tidak menyakinkan, ketika bukti yang menyakinkan dikumpulkan biasanya terlambat. |
8. Reduksionisme, cara dominan untuk mencapai kemajuan sains. | 8. Sintesis, cara doninan meningkatkan kemajuan sains, termasuk sintesis sains dan nilai-nilai. |
9. Fragmentasi, sains adalah sebuah aktivitas yang rumit, maka harus dibagi ke dalam disiplin-disiplin dan subdisiplin | 9. Holistik, pemahaman interdisipliner |
10. Universalisme, meskipun sains itu universal, namun buahnya hanya untuk mereka yang mampu membelinya. Dengan demikian bersifat memihak | 10, Universalisme, buah sains adalah untuk seluruh ummat manusia, ilmu pengetahuan , kebijaksanaantidak dapat diukur atau dijual |
11. Individualisme yang menyakini bahwa ilmuwan harus menjaga jarak dengan permasalahan sosial, politik dan ideologis. | 11. Orientasi masyarakat, Pencarian sains adalah kewajiban masyarakat |
12. Netralitas, sains adalah netral, baik atau buruk. | 12. Orientasi nilai, sebagai mana aktivitas manusia yang sarat nilai. Sains yang menjadi benih perang adalah jahat. |
13. Loyalitas kelompok, hasil pengetahuan baru melalui penelitian adalah aktivitas penting dan pelu dijungjung tinggi. | 13. Loyalitas pada tuhan dan makhluknya. Hasil pengetahuan baru adalah cara memahami ayat-ayat Allah. |
14. Kebebasan absolut, setiap pengekangan atau penguasaan penelitian sains harus dilawan | 14. Manajemen sains merupakan sumber yang tidak ternilai, harus digunakan untuk kebaikan |
15. Tujuan memebenarkan sarana, karena penelitian ilmiah adalah mulia dan penting bagi kesejahteraan ummat manusia, maka setiap sarana termasuk manfaat hewan hidup, kehidupan manusia, dan janin dibenarkan untuk sarana penelitian. | 15 Tujuan tidak membenarkan sarana, tidak ada perbedaan antara tujuan dan sarana, keduanya harus halal yakni memenuhi batas-batas etika dan moral. |
Demikian idealnya moralitas sains yang dipandu wahyu , sebagai contoh metode percobaan untuk menentukan efikasi (kemujaraban) konsentrasi atau dosis zat kimia pestisida yang diukur dengan satuan LD50 (lethal dosage) perlu dilakukan untuk mengendalikan efek pengrusakan yang liar (drift effect). Apabila suatu populasi spesies dapat mati dengan pestisida yang berkatagori LD50 rendah (angka LD50 lebih besar), maka tidak bijaksana jika digunakan pestisida berkatagori LD50 tinggi.
Tantangan globalisasi dan kecanggihan informatika serta teknik komunikasi telah memalingkan arah para pengelola ilmu. Ilmu dianggap komoditi yang harus diperjualbelikan. Dampaknya Universitas tertarik pada pelayanan program studi yang mudah dijual, sehingga konsep ilmu berubah dari mengenal kholiq menjadi fokus pada kemahiran. Universitas berubah menjadi pabrik penghasil tenaga kerja, bukan menjadi pusat perkecambahan ide-ide murni dan besar.
Dengan demikian, UIN/IAIN/STAIN tidak boleh latah terbawa arus meterialistis dan berpikir fragmatis sesaat, tetapi sebagai perguruan tinggi islam yang dibangun untuk mencari keridlaan Allah harus menyongsong ide-ide suci dan besar yaitu menjadi pesemaian ilmuwan pemikir dan pencetus ide pembangun ummat, pengawal tauhid., menjadi universitas yang melahirkan benih-benih penemu dan penggali sumber kehidupan hakiki bukan semata pencetak pekerja. Wallahu a’lam.
* DR. Ir. M. Subandi, Drs.,MP
Dekan Fakultas Sains dan Teknologi
Doktor Ilmu Pertanian alumnus Univ. Padjadjaran
No comments