Tanaman kedelai (Glycine max [L.] Merr.)
Tanaman kedelai (Glycine max [L.] Merr.) memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi sebagai sumber protein pada berbagai bahan makanan yang berbahan baku kedelai, seperti tempe, tahu, kecap, tauco, dan toge. Untuk bahan industri, dari biji kedelai dapat dibuat menjadi tepung kedelai maupun diambil minyaknya. Tepung kedelai dapat langsung digunakan untuk bahan makanan seperti: susu, vetsin, dan kue-kue. Minyak kedelai diolah untuk dijadikan margarin dan minyak goreng. Peranan kedelai dalam industri bukan makanan antara lain diolah menjadi kertas, tinta cetak, bahan plastik, dan kosmetik (Suprapto,1999).
Produksi kedelai di Indonesia pada tahun 2009 dengan luas areal tanam 600 ribu hektar naik 31% dari tahun 2008. Namun demikian kenaikan itu belum separuhnya memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga saat ini Indonesia masih mengimpor sekitar 1 juta ton kedelai dari Amerika maupun Brazil (Murkan, 2008). Untuk menambah kebutuhan itu, pemerintah Indonesia menargetkan sasaran produksi kedelai di Indonesia pada tahun 2009 ditetapkan sebesar 1,5 juta ton dengan luas tanam sekitar 1.050.000 hektar, luas panen 997.500 hektar dan produktivitas rata-rata 15,04 ku/ha.
Rendahnya produksi kedelai nasional beberapa tahun terakhir ini antara lain disebabkan oleh belum optimalnya budidaya kedelai sehingga produksi di tingkat petani hanya mencapai sekitar 1,3 ton/ha, sedangkan potensi produksi dari varietas unggul yang dimiliki Indonesia saat ini dapat mencapai 2,0—2,5 ton/ha (Murkan, 2008). Salah satu faktor pembatas produksi kedelai di daerah tropis adalah kemunduran benih yang cepat selama penyimpanan hingga mengurangi penyediaan benih berkualitas tinggi. Pengadaan benih kedelai dalam jumlah yang memadai dan tepat pada waktunya sering menjadi kendala karena daya simpan yang rendah. Sementara itu, pengadaan benih bermutu tinggi merupakan unsur penting dalam upaya peningkatan produksi tanaman. Pengadaan benih sering dilakukan beberapa waktu sebelum musim tanam sehingga benih harus disimpan dengan baik agar mempunyai daya tumbuh yang tinggi saat ditanam kembali.
Kemunduran benih kedelai selama penyimpanan lebih cepat berlangsung dibandingkan dengan benih tanaman lain dengan kehilangan vigor benih yang cepat yang ditunjukkan penurunan perkecambahan benih. Benih yang mempunyai vigor rendah menyebabkan pemunculan bibit di lapangan rendah, terutama dalam kondisi tanah yang kurang ideal. Penurunan vigor benih dapat disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan (Egli dan Tekrony, 1996 dalam Viera et. al., 2001).
Faktor-faktor yang mempengaruhi viabilitas benih selama penyimpanan dibagi menjadi faktor internal dan eksternal. Faktor internal mencakup sifat genetik, daya tumbuh dan vigor, kondisi kulit dan kadar air benih awal. Faktor eksternal antara lain kemasan benih, komposisi gas, suhu dan kelembaban ruang simpan (Copeland dan Donald, 2001). Salah satu cara untuk memperbaiki kondisi benih yang telah mundur (deteorated) adalah dengan metode invigorasi yang dapat memperbaiki kondisi benih yang telah menurun viabilitasnya. Invigorasi yaitu perlakuan fisik, fisiologis, dan biokimia untuk mengoptimalkan viabilitas benih sehingga benih mampu tumbuh cepat dan serempak pada kondisi yang seragam (Basu dan Rudrapal, 1982). Invigorasi didefinisikan sebagai suatu perlakuan pendahuluan pada benih melalui pengontrolan imbibisi air oleh potensial air yang rendah dari media imbibisi. Selama invigorasi terjadi perbaikan fisiologi dan biokimia yang berhubungan dengan peningkatan kecepatan tumbuh, peningkatan keserempakan perkecambahan, dan peningkatan potensial perkecambahan (Khan, 1992). Prinsip dasar perlakuan invigorasi adalah mempertahankan benih dalam keadaan hidrasi sebagian selama periode tertentu sehingga perkecambahan seluruhnya tertunda. Selama proses invigorasi proses imbibisi air diatur oleh potensial osmotik larutan, sehingga mencegah munculnya radikula. Invigorasi diharapkan dapat memperbaiki perkecambahan dan pertumbuhan kecambah saat tanam.
Murray dan Wilson (1987) melaporkan kemunduran benih dapat dikendalikan dengan cara "invigorasi" melalui proses hidrasi-dehidrasi. Menurut Khan (1992) perlakuan pada benih adalah untuk memobilisasi sumber-sumber energi yang ada dalam benih untuk bekerja sama dengan sumber-sumber energi yang ada di luar atau di lingkungan tumbuh untuk menghasilkan pertanaman dan hasil yang maksimal. Perlakuan benih yang telah dikenal antara lain presoaking dan conditioning. Menurut Khan (1992) presoaking adalah perendaman benih dalam sejumlah air pada suhu rendah sampai sedang, sedangkan conditioning adalah peningkatan mutu fisiologi dan biokimia (berhubungan dengan kecepatan dan perkecambahan, perbaikan serta peningkatan potensial perkecambahan) dalam benih oleh media imbibisi potensial air yang rendah (larutan atau media padatan lembab) dengan mengatur hidrasi dan penghentian perkecambahan.
Kemunduran benih (deteriorated) dapat dicirikan sebgai berikut:
1. Gejala Fisiologis: perubahan warna benih, mundurnnya perkecambahan, mundurnya toleransi terhadap penyimpanan, sangat peka terhadap radiasi, mundurnya pertumbuhan kecambah, mundurnya daya kevigoran (kekuatan tumbuh), meningkatnya jumlah kecambah abnormal
2. Gejala Biokhemis: perubahan dalam respirasi, perubahan enzim, perubahan pada membrane sel/ dinding sel, perubahan laju sintesis, perubahan persediaan makanan, kerusakan kromosom.
Benih yang telah mengalami kemunduran, perkecambahan dapat diperbaiki melalui invigorasi. Penelitian-penelitian tentang invigorasi masih terbatas pada pengujian tahap perkecambahan di lapang dan pengaruhnya terhadap produksi belum pada viabilitas yang dihasilkan dari benih tanaman yang telah mengalami invigorasi. Dalam penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui pengaruh invigorasi menggunakan cara hidrasi-dehidrasi yang diterapkan pada benih sumber yang telah mengalami penyimpanan selama 8 bulan pada viabilitas benih kedelai varietas Anjasmoro.
Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan hidrasi-dehidrasi dapat meningkatkan viabilitas benih. Hasil penelitian Nuryanti (1996) memperlihatkan perlakuan hidrasi-dehidrasi pada benih padi menghasilkan peningkatan daya berkecambah sebesar 5% dan kecepatan berkecambah sebesar 7,789% per hari pada status daya berkecambah 90,7%, 81,3%, dan 50,7%. Selain itu juga menurut penelitian Erawan (1996) bahwa pada benih jagung dengan tingkat viabilitas tinggi (DB = 98,7%) dan rendah (DB = 36,0%), perlakuan hidrasi-dehidrasi tidak berpengaruh; perlakuan hidrasi-dehidrasi hanya berpengaruh pada tingkat viabilitas sedang (DB = 58,7%).
Hasil penelitian Basu et al. (1978) menunjukkan bahwa perlakuan hidrasi-dehidrasi pada benih yute dapat meningkatkan penampilan di lapang, di samping itu produksi serat per tanaman lebih tinggi pada benih yang diperlakukan dengan cara direndam-dikeringkan. Hadiana (1996) menyatakan bahwa perlakuan presoaking atau conditioning secara nyata efektif meningkatkan viabilitas dan vigor benih kenaf sebelum penyimpanan, dapat meningkatkan daya berkecambah potensi tumbuh, keserempakan tumbuh, dan bobot kering kecambah normal.
Berdasarkan latar belakang yang ada penelitian ini dilaksanakan untuk menjawab masalah yang dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh invigorasi dengan cara hidrasi-dehidrasi pada benih sumber yang telah disimpan 8 bulan dalam meningkatkan viabilitas benih kedelai varietas Ajasmoro.
2. Bagaimana pengaruh peningkatan dosis pupuk NPK susulan saat berbunga yang diberikan pada tanaman dari benih sumber yang diinvigorasi dengan cara hidrasi-dehidrasi dalam menghasilkan viabilitas benih kedelai varietas Anjasmoro.
3. Bagaimana respons tanaman yang benih sumbernya diinvigorasi dengan hidrasi-dehidrasi terhadap peningkatan dari NPK susulan pada saat berbunga dalam viabilitas benih kedelai varietas Anjasmoro.
No comments