Aplikasi Mikrobiologi dalam Kehidupan Manusia
Setiap usaha manusia untuk mendalami
suatu ilmu tertentu, sebenarnya secara sadar atau tidak, terdapat dua tujuan
utama, yaitu pengembangan ilmu itu sendiri dan yang kedua kemamfaatannya bagi
umat manusia. Begitu pula dengan mikrobiologi. Untuk tujuan yang kedua
berkembanglah Mikrobiologi Terapan, yang menggunakan prinsip-prinsip
mikrobiologi agar memberikan keuntungan dan manfaat bagi manusia.
Mikroba ada yang
merugikan dan ada yang menguntungkan. Mikroba yang menguntungkan dapat membantu
manusia dalam hal produk dan jasa. Dalam hal produk misalnya mikroba
menghasilkan bermacam zat seperti vitamin, asam organik, melalui fermentasi
dihasilkan makanan dan minuman seperti kecap, tempe, youhart, alkohol, anggur
dan sebagainya. Dalam hal jasa mikroorganisme dapat membantu manusia untuk
menganalisis kandungan suatu bahan tertentu (bioassay), membantu manusia dalam
hal menambang logam-logam tertentu (biomoning).
Salah satu
bentuk terapan mikrobiologi dalam kehidupan manusia yang bertolak dari sifat
yang menguntungkan antara lain Bioremediasi.
Bioremediasi
Bioremediasi adalah usaha yang dilakukan
manusia berupa pemanfaatan jasa mikroba/mahkluk hidup untuk mengembalikan
fungsi dan kondisi lingkungan yang tercemar karena polutan tertentu.
Bioremediasi dapat didefinisikan sebagai penggunaan organisme hidup, terutama
mikroorganisme, untuk mendegradasi pencemar yang
merugikan ke tingkat atau bentuk yang lebih aman.
Proses bioremediasi ini dapat dilakukan secara
bioaugmentasi, yaitu penambahan atau
introduksi satu jenis atau lebih mikroorganisme baik yang alami maupun yang
sudah mengalami perbaikan sifat (improvedigenetically
engineered strains) dan biostimulasi yaitu
suatu proses yang dilakukan melalui penambahan zat gizi tertentu yang
dibutuhkan oleh mikroorganisme atau menstimulasi kondisi lingkungan sedemikian
rupa (misalnya memberi aerasi) agar mikroorganisme tumbuh dan beraktivitas
lebih baik.
Penggunaan beragam spesies
mikroorganisme untuk bioremediasi telah sedemikian luas dan digunakan untuk
mengatasi beragam pencemar baik organik maupun an-organik.
Proses
bioremediasi seringkali diterapkan dalam bentuk interaksi tumbuhan
mikroorganisme (bioremediasi fito-mikrobial),
misalnya penggunaan Pseudomonas putida yang
berasosiasi dengan gandum (Triticum
aestivum) dan Mesorhizobium huakuii
dengan Astragalus sinicus untuk
mengatasi pencemaran Cd.
Usaha menjaga kualitas air oleh
pembudidaya dapat dilakukan dengan tetap mengacu bioremediasi. Proses ini dapat
dilakukan dengan mengkombinasikan sistem penyaringan-penyaringan pasir lambat
dan biofilter. Biofilter pada skala yang besar dapat diwujudkan dalam bentuk
lahan basah (wetland) alami, semi alami dan buatan (contructed wetland).
Bioaugmentasi mikroorganisme seperti Bacillus sp dapat membantu mengurai
materi organik dan/atau optimasi biofilter melalui pembentukan biofilm atau
asosiasi dengan akar tumbuhan air.
Lahan basah
alami, misalnya mangrove, telah dibuktikan peranannya dalam pengendalian
cemaran dari tambak seluas 286 ha melalui resirkulasi ke lahan mangrove seluas
120 ha mampu mengurangi padatan terlarut secara signifikan. Menurut Pillay
(1990) untuk keperluan akuakultur yang berkelanjutan, setiap 1 ha hutan
mangrove yang menjadi tambak, sekurang-kurangnya 3 ha tetap dibiarkan sebagai
hutan. Lingkungan mangrove diketahui memiliki komponen biotik yang beragam dan
khas, termasuk di dalamnya mikroorganisme.
Adapun pada saringan pasir lambat, peran
biofilter dilakukan oleh mikroorganisme yang membutuhkan biofilm pada permukaan
substrat dan mengurai materi-materi organik terlarut yang mengalir bersama air
dan menurunkan kadar ammonia secara cepat sehingga memperbaiki kualitas air.
Optimasi biofilter dapat dilakukan dengan kultivasi tumbuhan air (makrofit) seperti Typha latifolia (ekor kucing), Eichornia
crassifass (eceng gondok), Lemna sp
(duckwet) dan Scirpus valiaus untuk
air tawar dan penggunaan makrofit seperti Gracillaria
dan Ulva untuk air laut.
Sejumlah penelitian mengemukakan
optimasi penggunaan air limbah akuakultur menggunakan kombinasi antara grazer animals misalnya tiram (Saccostrea comnurcialis), ciliata dan alga makrofit, misalnya Gracillaria edulis, secara signifikan
memperbaiki kualitas air limbah, baik pada system resirkulasi maupun
non-resirkulasi ditunjukkan oleh penurunan populasi bakteri, fitoplanton dan
bahan padat tersuspensi. Tumbuhan air mampu meningkatkan penguraian materi
limbah 2 – 3 kali lebih banyak, karena perakaran tanaman menjadi tempat yang
ideal bagi mikroorganisme yang berperan dalam dekomposisi atau biodegradasi
absorpsi mineral oleh tanaman, dan mineralisasi. Kehadiran mikroorganisme dalam
jumlah tinggi di sekitar perakaran tidak terlepas dari mekanisme pompa oksigen
yang dilakukan tanaman yang mampu mentransfer oksigen ke rhizosfer.
( Sumber: Di
atas Langit ada Langit, Orasi ilmiah oleh Prof.Drs. Agus Irianto, M.Sc, Ph.D
Guru Besar Unsoed, 12 Mei 2007)
Mencuci Lahan Tercemar dengan Kuman
Ke mana tumpahan minyak dan oli dari
bengkel mobil atau motor, pom bensin, dan stasiun kereta api mengalir? Fakta
menunjukkan tumpahan tersebut merembes ke dalam tanah dan mencemari tanah. Hal
yang sama terjadi pada limbah pengeboran minyak bumi yang dialirkan ke kolam
lumpur sisa pengeboran (drilling mud).
Akibat tak ada proteksi memadai, cairan hidrokarbon sering bocor dan merembes
ke dalam tanah.
Untuk mencegah dampak yang lebih parah,
para pengelola lokasi tersebut sedang mencari teknik pemuliaan lokasi (remediasi)
lahan tercemar. Salah satu yang dilirik adalah bioremediasi , yang banyak
digunakan memulihkan tanah yang tercemar senyawa hidrokarbon.
Bioremediasi
mengandalkan reaksi mikrobiologis dalam tanah. Tehnik ini mengkondisikan
mikroba sedemikian rupa sehingga mampu mengurai senyawa hidrokarbon yang
terperangkap dalam tanah.
Bioremediasi
dapat dilakukan langsung di lokasi tanah tercemar (in-situ). Kita tidak perlu repot menggali tanah dan memindahkannya
ke lokasi khusus. Di Amerika Serikat (AS), teknik ini banyak diadopsi sebab
biaya penggalian dan pemindahan tanah tergolong mahal. Sementara pada
bioremediasi ex-situ, tanah yang tercemar digali dan dipindahkan ke dalam
penampungan yang lebih terkontrol, lalu diberi perlakuan khusus dengan memakai
mikroba. Bioremediasi ex-situ bisa lebih cepat dan mudah terkontrol, dibanding
in-situ, karena mampu meremediasi jenis kontaminan dan jenis tanah yang
beragam.
Kunci sukses bioremediasi adalah
dilakukannya karakterisasi lahan (site
characterization) dan treatability
study. Menurut Idrus Maxdoni Kamil, ahli teknik lingkungan dari Institut
Tehnologi Bandung (ITB), karakterisasi lahan tercemar, bukan hal yang rumit.
Memang data yang diperlukan cukup banyak, seperti sifat dan struktur geologis
lapisan tanah, lokasi sumber pencemar dan perkiraan banyaknya hidrokarbon yang
terlepas dalam tanah . Sifat-sifat lingkungan tanah juga harus diketahui, mulai
dari derajat keasaman (pH), kelembaban hingga kandungan kimia yang sudah ada.
Karakterisasi lahan berfungsi pula mengetahui keberadaan dan jenis mikroba yang
ada dalam tanah. Setelah data terkumpul, kita bisa melakukan modeling untuk
menduga pola distribusi dan tingkat pencemarannya. Salah satu tehnik modeling
yang kini banyak dipakai adalah bioplume
modeling dari US-EPA. Di sini diperhitungkan juga faktor perubahan
karakteristik pencemar akibat reaksi biologi, fisika, kimia yang dialami dalam
tanah. Dalam riset doktornya di Utah State University, Amerika Serikat, Maxdoni
melakukan tehnik bioventing. Cara ini merupakan
salah satu tehnik in-situ untuk memulihkan lahan yang tercemar bahan
bakar jet JP-4 , di Pangkalan Udara Meliter Hill, tempat Angkatan Udara AS
merawat mesin pesawat tempur utamanya F-16 Figting Falcon. “ Tanpa modeling
yang baik, jutaan dolar akan sia-sia karena melakukan bioremediasi di bagian
yang salah. Dan jangan lupa untuk mempelajari betul karakteristik bahan
pencemar.” Tegas Maxdowi.
Soal
treatability studi, Sri Harjati, peneliti laboratorium Mikrobiologi Lingkungan,
Pusat Antar Universitas ITB menerangkan, di Laboratorium kami mencoba
membiakkan mikroba yang cocok dengan senyawa hirokarbon pencemar, dimulai dari
mikroba dalam tanah tercemar sendiri.”ujarnya. Pengkondisian paling sederhana
adalah dengan menambahkan senyawa nutrient agar
reaksi mikroorganismenya optimal. Jika gagal, dicoba dengan mikroba lain
akan sangat membantu.
Rekayasa genetika terkadang juga perlu
jika mikroba alamiah tak memuaskan hasilnya. Treatability studi juga akan
menyimpulkan apakah reaksi dapat berlangsung secara aerob atau anaerob.
Dalam pilot project bioremediasi di
stasiun kereta api Bandung, Sri Harjati dan kawan-kawan berhasil mengkondisikan
mikroba aerobic asli (indigeneous) agar mampu mengurai oli, solar, dan senyawa
hidrokarbon berat lainnya yang sudah terperangkap di dalam tanah stasiun. Semua
yang berhasil dilakukan di pilot project dilaksanakan langsung di lokasi-lokasi
yang ditentukan oleh karakteristik lahan. Namun karena dasarnya adalah hasil
laboratorium dan pendugaan matematis, tidak heran jika ada beberapa hambatan
pada awalnya “mikroba yang berhasil dibiakkan di laboratorium sering terhambat
perkembangannya akibat kalah bersaing dengan mikroba lain, jamur atau protozoa
yang sudah ada dalam tanah. Dalam pilot project di stasiun Bandung dengan
tehnik ex-situ, yaitu landfarming dan
bioaugmentation, kandungan senyawa
hidrokarbon dalam tanah diturunkan sampai 70 hingga 90 persen setelah lima
bulan .Bioremediasi in-situ memang belum banyak dipraktekkan di Indonesia.
Padahal potensinya sangat tinggi mengingat tanah kita sangat kaya akan berbagai
jenis mikroba. Apalagi tanah di Indonesia sangat lembab. Peralatan canggih
sudah tersedia di beberapa laboratorium. Ahlinya sudah tersebar di berbagai
institusi, seperti ITB, UNPAD, IPB, LIPI, Lemigas, BPPT dan beberapa perusahaan
perusahaan swasta lainnya
No comments