Vaksin, Antara Halal dan Haram
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah
mengeluarkan fatwa vaksin meningitis yang telah lama ditunggu-tunggu. Vaksin
produk GSK Belgia dinyatakan haram. Produk Novartis Italia dan Zheiyiang
Tianyuan Cina dinyatakan halal (Republika, Rabu 21-7-2010).
Memperhatikan laporan LPPOM MUI yang disampaikan kepada Ketua Komisi Fatwa MUI pada 8 Juli 2010 yang dijadikan bahan pembahasan dalam pengambilan keputusan itu, penulis merasa terpanggil untuk ikut mengkaji masalah ini sepanjang kajian fikih. Berdasarkan laporan tersebut, ada dua titik krusial yang perlu kita cermati. Pertama, tentang asal isolat dan kedua tentang penyiapan master seed.
Asal Isolat
Asal isolat vaksin GSK, Novartis, dan Tianyuan disebutkan dalam laporan LPPOM itu bahwa informasi media isolat awal dari pihak luar tidak memungkinkan lagi untuk dilacak secara lengkap (huruf tebal dari penulis).
Dari penjelasan itu, jelas dapat diketahui media isolat awal dari pihak luar untuk tiga vaksin di atas (GSK, Novartis, dan Tianyuan) adalah sama, yaitu tidak memungkinkan lagi untuk dilacak secara lengkap. Artinya, media isolat awal dari luar, baik untuk GSK, Novartis, maupun Tianyuan, tidak dapat diketahui najis atau suci, halal atau haram.
Bagaimana menghukuminya sepanjang kajian fikih? Ada dua variabel penting yang perlu kita jadikan pedoman untuk mengurai masalah ini. Pertama, bibit bakteri untuk GSK, Novartis, dan Tianyuan diambil dari lembaga riset non-Muslim. Kita mengetahui, yang namanya non-Muslim jelas tidak tahu dan tidak pernah akan membedakan antara najis dan suci atau haram dan halal. Kedua, berbagai sumber menyatakan media isolat dan pengembangbiakkan bakteri pada waktu itu tidak pernah lepas dari najis, terutama enzim babi. Hal ini diperkuat oleh pernyataan 'BD Helping all people live healthy lives' bahwa media Mueller-Hinton dalam pengembangbiakan bakteri mengandung bahan dari babi.
Dengan demikian, berdasarkan kajian ini kita dapat menetapkan bahwa bakteri bibit awal yang diambil dari pihak luar oleh ketiga pabrik vaksin di atas (GSK, Novartis, dan Tianyuan) adalah sama, yakni terkontaminasi dengan unsur najis, terutama babi. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa media isolat dan pengembangbiakan bibit bakteri awal tidak suci atau tidak halal.
Berdasarkan hal ini, kalau kita mengikuti fikih Syafi'i, ketiga vaksin GSK, Novartis, dan Tianyuan di atas jelas najis dan haram, kendati di pabriknya telah dipindahkan ke media suci dan apa pun proses yang terjadi setelah itu. Mengapa demikian? Karena menurut pandangan fikih Syafi'i, najis babi adalah mughalladhah (berat). Apa pun yang bersentuhan dengan unsur babi wajib dicuci dengan air mutlak tujuh kali yang salah satunya harus dicampur dengan debu. Hal itu jelas tidak mungkin dilakukan dalam kaitannya dengan proses pembuatan vaksin. Sebab, sarana dan instalasi pabrik akan terkontaminasi sehingga pembuatan vaksin akan gagal.
Mungkin timbul pertanyaan, bukankah pada produk akhirnya hal itu sudah tidak terdeteksi? Benar, tetapi sejalan dengan fikih Syafi'i, ia tetap dihukumi najis sehingga tidak halal. Karena, dalam fikih Syafi'i ada najis hukmi, yaitu najis yang bendanya tidak dapat dilihat oleh mata.
Lalu, bagimana solusinya? Kita dapat mengikuti fikih Hanafi. Dalam fikih Hanafi, najis babi merupakan najis biasa bukan mughalladhah. Dan, alat pencuci najis tidak hanya terbatas pada air. Zat kimia yang biasa dipergunakan dalam proses pembuatan vaksin, dipandang oleh Mazhab Hanafi sebagai sarana pencuci najis (alat tathhir) yang statusnya sama dengan air. Dengan mengikuti fikih yang luas, semua akan teratasi.
Penyiapan master seed
Proses pembuatan vaksin dimulai dari penyiapan master seed. Ada sejumlah vaksin yang menggunakan bahan-bahan dengan media nabati dan mineral (tidak ada bahan dari hewan, termasuk babi). Ada pula yang menggunakan bahan hewani, yaitu L-Cystine dari bulu bebek yang tidak diketahui proses penyembelihannya. Vaksin lain ada yang menggunakan bahan hewani berupa darah kambing segara dan kaldu sapi, L-Cystine dari rambut manusia, dan soya pipton (dari enzim papain, pepaya).
Sejak 2007, vaksin GSK diketahui sudah mempergunakan media nabati dan mineral sehingga sulit untuk dikatakan haram. Mungkin saja muncul pertanyaan, bukankah yang baru itu bibitnya diambil dari yang lama yang medianya bersinggungan dengan enzim babi? Jawabannya adalah hal itu dihukumi suci. Karena sudah lewat proses kimiawi yang cukup lama dan panjang. Bakteri yang ada sekarang sudah keturunan ke-14. Dan, yang diambil untuk bahan vaksin bukan bakterinya, tetapi polisakarida yang dihasilkan dari dinding sel bakteri. Argumentasinya qiyas/analogi, yaitu diqiyaskan kepada benda yang terkena najis yang dipindahkan ke tempat yang suci, kemudian dicuci berkali-kali.
Seperti kain yang terkena najis. Kemudian diambil, diperas, dipindahkan ke tempat yang suci. Kain itu lalu dicuci berkali-kali. Jelas, dalam kondisi semacam itu kain itu telah suci. Dalam pembuatan vaksin itu terdapat proses pencucian 3 kali, 3 kali penyaringan, penjernihan, pengendapan, dan pengeringan. Hal ini telah memenuhi kriteria tathhir syar'i (pencucian secara syara').
Bagaimana dengan Novartis? Seperti telah disebutkan, untuk Novartis dikatakan bahwa media master seed dan working seed maupun media produksi vaksin mengandung bahan hewani, yaitu L-Cystine dari bulu bebek (tidak diketahui proses penyembelihannya). Pertanyaannya adalah apakah bulu bebek yang tidak diketahui proses penyembelihannya itu dihukumi suci ataukah najis? Sebelumnya, perlu kita ketahui bulu bebek yang disembelih secara syar'i hukumnya suci.
Sementara itu, bulu bebek yang tidak disembelih secara syar'i atau dicabut dalam kondisi hewan masih hidup, ada dua pendapat dikalangan fuqaha'. Menurut fikih Syafi'i hukumnya najis dan menurut fikih Hanafi hukumnya suci. Persoalannya, dalam kasus ini tidak diketahui proses penyembelihannya. Karena kasus ini terjadi di negara mayoritas non-Muslim, indikasi yang rajih/kuat menunjukkan kepada kita bahwa bebek itu tidak disembelih secara syar'i. Dengan demikian, kalau mengikuti fikih Syafi'I, bulu bebek itu hukumnya najis. Dan, dihukumi suci kalau mengikuti fikih Hanafi.
Dengan demikian, berdasarkan fikih Syafi'i, vaksin Novartis adalah najis yang oleh karenanya haram dipergunakan. Dan, dihukumi suci yang oleh karenanya halal dipergunakan kalau kita mengikuti fikih Hanafi. Apalagi dalam hal ini (sebagaimana halnya terjadi pada vaksin GSK) telah terjadi proses istihalah.
Lalu, bagaimana vaksin Tianyuan? Seperti disebutkan di atas, media master seed, working seed, dan produksi vaksin mengandung bahan hewani, yaitu darah kambing segar dan kaldu sapi. Selain itu, L-Cystine dari rambut manusia. Dalam vaksin ini terdapat tiga titik kritis yang perlu dicermati. Pertama, darah kambing segar. Kedua, kaldu sapi. Dan ketiga, rambut manusia. Tentang darah kambing segar, ulama fikih telah konsensus mengenai najis dan keharamannya. Keharamannya ditunjukkan secara jelas dan tegas oleh Al-quran (Al-Baqarah 173, Al-Maidah 3, Al-An'am 145).
Mengenai kaldu sapi tidak dijelaskan apakah sapinya disembelih secara syar'i ataukah tidak. Untuk itu, dalam rangka kehati-hatian/ihtiyath, yang rajih/kuat mengharuskan kita menghukumi najis. Mengenai rambut manusia, semua ulama fikih konsensus haram dipergunakan untuk obat atau bahan pembantu. Mengapa? Bukan karena najisnya? Tetapi, karena manusia adalah makhluk Allah yang mulia dan terhormat yang oleh karenanya organ atau jaringannya wajib dihormati dan dimuliakan, tidak boleh diperlakukan seperti jenis hewan yang lain. Al-quran menegaskan bahwa Allah telah memuliakan anak manusia (Al-Isra' 70).
Berdasarkan ini semua, vaksin Tianyuan Cina hukumnya jelas haram dan tidak ada alasan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk menyatakan halal. Mungkin timbul pertanyaan. Bukankah pada produk akhirnya bahan-bahan tadi sudah tidak terdeteksi? Terkait dengan darah dan kaldu sapi yang terindikasi kuat najis, dalam fikih Syafi'i, tidak ada jalan keluar, kendati pada produk akhir tidak terdeteksi. Sebab, hal itu tetap dihukumi najis, yaitu najis hukmi. Ada jalan keluar kalau kita berpegang pada kaidah istihalah Hanafi. Maka, bisa menjadi suci.
Bagaimana dengan rambut manusia? Di sini tidak ada jalan keluar. Kaidah istihalah tidak berlaku di sini. Sebab, dalam masalah rambut manusia, bukan karena kenajisannya, tetapi karena status terhormat dan kemuliaannya. Jadi, mengatakan vaksin Cina halal tidak ada landasan syar'inya.
Khusus untuk vaksin GSK dan Novartis, maka akan kembali pada pandangan berbeda. Kalau ingin mengatakan haram, ikutilah fikih Syafi'i dengan argumentasi seperti telah diuraikan. Dan, kalau Anda ingin menyatakan halal, ikutilah pandangan fikih Hanafi dengan argumentasi di atas.
Bagaimana dengan vaksin Tianyuan Cina? Tidak ada jalan keluar, baik menurut fikih Syafi'i atau Hanafi. Vaksin Cina jelas haram. Tidak ada solusi untuk membuka pintu kehalalannya karena ada problem krusial yang tidak ditemukan pada GSK dan Novartis, yaitu adanya rambut manusia pada master seed, working seed, dan media produksinya. Akhirnya, marilah kita berlindung kepada Allah SWT semoga tidak termasuk orang-orang yang berani mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Wallahu A'lam.
Memperhatikan laporan LPPOM MUI yang disampaikan kepada Ketua Komisi Fatwa MUI pada 8 Juli 2010 yang dijadikan bahan pembahasan dalam pengambilan keputusan itu, penulis merasa terpanggil untuk ikut mengkaji masalah ini sepanjang kajian fikih. Berdasarkan laporan tersebut, ada dua titik krusial yang perlu kita cermati. Pertama, tentang asal isolat dan kedua tentang penyiapan master seed.
Asal Isolat
Asal isolat vaksin GSK, Novartis, dan Tianyuan disebutkan dalam laporan LPPOM itu bahwa informasi media isolat awal dari pihak luar tidak memungkinkan lagi untuk dilacak secara lengkap (huruf tebal dari penulis).
Dari penjelasan itu, jelas dapat diketahui media isolat awal dari pihak luar untuk tiga vaksin di atas (GSK, Novartis, dan Tianyuan) adalah sama, yaitu tidak memungkinkan lagi untuk dilacak secara lengkap. Artinya, media isolat awal dari luar, baik untuk GSK, Novartis, maupun Tianyuan, tidak dapat diketahui najis atau suci, halal atau haram.
Bagaimana menghukuminya sepanjang kajian fikih? Ada dua variabel penting yang perlu kita jadikan pedoman untuk mengurai masalah ini. Pertama, bibit bakteri untuk GSK, Novartis, dan Tianyuan diambil dari lembaga riset non-Muslim. Kita mengetahui, yang namanya non-Muslim jelas tidak tahu dan tidak pernah akan membedakan antara najis dan suci atau haram dan halal. Kedua, berbagai sumber menyatakan media isolat dan pengembangbiakkan bakteri pada waktu itu tidak pernah lepas dari najis, terutama enzim babi. Hal ini diperkuat oleh pernyataan 'BD Helping all people live healthy lives' bahwa media Mueller-Hinton dalam pengembangbiakan bakteri mengandung bahan dari babi.
Dengan demikian, berdasarkan kajian ini kita dapat menetapkan bahwa bakteri bibit awal yang diambil dari pihak luar oleh ketiga pabrik vaksin di atas (GSK, Novartis, dan Tianyuan) adalah sama, yakni terkontaminasi dengan unsur najis, terutama babi. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa media isolat dan pengembangbiakan bibit bakteri awal tidak suci atau tidak halal.
Berdasarkan hal ini, kalau kita mengikuti fikih Syafi'i, ketiga vaksin GSK, Novartis, dan Tianyuan di atas jelas najis dan haram, kendati di pabriknya telah dipindahkan ke media suci dan apa pun proses yang terjadi setelah itu. Mengapa demikian? Karena menurut pandangan fikih Syafi'i, najis babi adalah mughalladhah (berat). Apa pun yang bersentuhan dengan unsur babi wajib dicuci dengan air mutlak tujuh kali yang salah satunya harus dicampur dengan debu. Hal itu jelas tidak mungkin dilakukan dalam kaitannya dengan proses pembuatan vaksin. Sebab, sarana dan instalasi pabrik akan terkontaminasi sehingga pembuatan vaksin akan gagal.
Mungkin timbul pertanyaan, bukankah pada produk akhirnya hal itu sudah tidak terdeteksi? Benar, tetapi sejalan dengan fikih Syafi'i, ia tetap dihukumi najis sehingga tidak halal. Karena, dalam fikih Syafi'i ada najis hukmi, yaitu najis yang bendanya tidak dapat dilihat oleh mata.
Lalu, bagimana solusinya? Kita dapat mengikuti fikih Hanafi. Dalam fikih Hanafi, najis babi merupakan najis biasa bukan mughalladhah. Dan, alat pencuci najis tidak hanya terbatas pada air. Zat kimia yang biasa dipergunakan dalam proses pembuatan vaksin, dipandang oleh Mazhab Hanafi sebagai sarana pencuci najis (alat tathhir) yang statusnya sama dengan air. Dengan mengikuti fikih yang luas, semua akan teratasi.
Penyiapan master seed
Proses pembuatan vaksin dimulai dari penyiapan master seed. Ada sejumlah vaksin yang menggunakan bahan-bahan dengan media nabati dan mineral (tidak ada bahan dari hewan, termasuk babi). Ada pula yang menggunakan bahan hewani, yaitu L-Cystine dari bulu bebek yang tidak diketahui proses penyembelihannya. Vaksin lain ada yang menggunakan bahan hewani berupa darah kambing segara dan kaldu sapi, L-Cystine dari rambut manusia, dan soya pipton (dari enzim papain, pepaya).
Sejak 2007, vaksin GSK diketahui sudah mempergunakan media nabati dan mineral sehingga sulit untuk dikatakan haram. Mungkin saja muncul pertanyaan, bukankah yang baru itu bibitnya diambil dari yang lama yang medianya bersinggungan dengan enzim babi? Jawabannya adalah hal itu dihukumi suci. Karena sudah lewat proses kimiawi yang cukup lama dan panjang. Bakteri yang ada sekarang sudah keturunan ke-14. Dan, yang diambil untuk bahan vaksin bukan bakterinya, tetapi polisakarida yang dihasilkan dari dinding sel bakteri. Argumentasinya qiyas/analogi, yaitu diqiyaskan kepada benda yang terkena najis yang dipindahkan ke tempat yang suci, kemudian dicuci berkali-kali.
Seperti kain yang terkena najis. Kemudian diambil, diperas, dipindahkan ke tempat yang suci. Kain itu lalu dicuci berkali-kali. Jelas, dalam kondisi semacam itu kain itu telah suci. Dalam pembuatan vaksin itu terdapat proses pencucian 3 kali, 3 kali penyaringan, penjernihan, pengendapan, dan pengeringan. Hal ini telah memenuhi kriteria tathhir syar'i (pencucian secara syara').
Bagaimana dengan Novartis? Seperti telah disebutkan, untuk Novartis dikatakan bahwa media master seed dan working seed maupun media produksi vaksin mengandung bahan hewani, yaitu L-Cystine dari bulu bebek (tidak diketahui proses penyembelihannya). Pertanyaannya adalah apakah bulu bebek yang tidak diketahui proses penyembelihannya itu dihukumi suci ataukah najis? Sebelumnya, perlu kita ketahui bulu bebek yang disembelih secara syar'i hukumnya suci.
Sementara itu, bulu bebek yang tidak disembelih secara syar'i atau dicabut dalam kondisi hewan masih hidup, ada dua pendapat dikalangan fuqaha'. Menurut fikih Syafi'i hukumnya najis dan menurut fikih Hanafi hukumnya suci. Persoalannya, dalam kasus ini tidak diketahui proses penyembelihannya. Karena kasus ini terjadi di negara mayoritas non-Muslim, indikasi yang rajih/kuat menunjukkan kepada kita bahwa bebek itu tidak disembelih secara syar'i. Dengan demikian, kalau mengikuti fikih Syafi'I, bulu bebek itu hukumnya najis. Dan, dihukumi suci kalau mengikuti fikih Hanafi.
Dengan demikian, berdasarkan fikih Syafi'i, vaksin Novartis adalah najis yang oleh karenanya haram dipergunakan. Dan, dihukumi suci yang oleh karenanya halal dipergunakan kalau kita mengikuti fikih Hanafi. Apalagi dalam hal ini (sebagaimana halnya terjadi pada vaksin GSK) telah terjadi proses istihalah.
Lalu, bagaimana vaksin Tianyuan? Seperti disebutkan di atas, media master seed, working seed, dan produksi vaksin mengandung bahan hewani, yaitu darah kambing segar dan kaldu sapi. Selain itu, L-Cystine dari rambut manusia. Dalam vaksin ini terdapat tiga titik kritis yang perlu dicermati. Pertama, darah kambing segar. Kedua, kaldu sapi. Dan ketiga, rambut manusia. Tentang darah kambing segar, ulama fikih telah konsensus mengenai najis dan keharamannya. Keharamannya ditunjukkan secara jelas dan tegas oleh Al-quran (Al-Baqarah 173, Al-Maidah 3, Al-An'am 145).
Mengenai kaldu sapi tidak dijelaskan apakah sapinya disembelih secara syar'i ataukah tidak. Untuk itu, dalam rangka kehati-hatian/ihtiyath, yang rajih/kuat mengharuskan kita menghukumi najis. Mengenai rambut manusia, semua ulama fikih konsensus haram dipergunakan untuk obat atau bahan pembantu. Mengapa? Bukan karena najisnya? Tetapi, karena manusia adalah makhluk Allah yang mulia dan terhormat yang oleh karenanya organ atau jaringannya wajib dihormati dan dimuliakan, tidak boleh diperlakukan seperti jenis hewan yang lain. Al-quran menegaskan bahwa Allah telah memuliakan anak manusia (Al-Isra' 70).
Berdasarkan ini semua, vaksin Tianyuan Cina hukumnya jelas haram dan tidak ada alasan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk menyatakan halal. Mungkin timbul pertanyaan. Bukankah pada produk akhirnya bahan-bahan tadi sudah tidak terdeteksi? Terkait dengan darah dan kaldu sapi yang terindikasi kuat najis, dalam fikih Syafi'i, tidak ada jalan keluar, kendati pada produk akhir tidak terdeteksi. Sebab, hal itu tetap dihukumi najis, yaitu najis hukmi. Ada jalan keluar kalau kita berpegang pada kaidah istihalah Hanafi. Maka, bisa menjadi suci.
Bagaimana dengan rambut manusia? Di sini tidak ada jalan keluar. Kaidah istihalah tidak berlaku di sini. Sebab, dalam masalah rambut manusia, bukan karena kenajisannya, tetapi karena status terhormat dan kemuliaannya. Jadi, mengatakan vaksin Cina halal tidak ada landasan syar'inya.
Khusus untuk vaksin GSK dan Novartis, maka akan kembali pada pandangan berbeda. Kalau ingin mengatakan haram, ikutilah fikih Syafi'i dengan argumentasi seperti telah diuraikan. Dan, kalau Anda ingin menyatakan halal, ikutilah pandangan fikih Hanafi dengan argumentasi di atas.
Bagaimana dengan vaksin Tianyuan Cina? Tidak ada jalan keluar, baik menurut fikih Syafi'i atau Hanafi. Vaksin Cina jelas haram. Tidak ada solusi untuk membuka pintu kehalalannya karena ada problem krusial yang tidak ditemukan pada GSK dan Novartis, yaitu adanya rambut manusia pada master seed, working seed, dan media produksinya. Akhirnya, marilah kita berlindung kepada Allah SWT semoga tidak termasuk orang-orang yang berani mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Wallahu A'lam.
No comments