Breaking News

Pengaruh Alkohol Terhadap Sistem Endokrin dan Fungsi Seksual


Walaupun banyak orang percaya bahwa alkohol dapat meningkatkan aktivitas seksual, tetapi efek yang sebaliknya lebih sering teramati. Banyak obat yang disalahgunakan termasuk alkohol mempunyai efek disinhibisi yang pada awalnya dapat meningkatkan libido. Namun, penggunaan alkohol jangka panjang dan berlebihan sering menyebabkan penurunan fungsi seksual. Alkohol dapat menyebabkan disfungsi ereksi pada pria setelah penggunaan akut maupun kronis. Insidensi disfungsi ereksi dapat terjadi sampai pada 50% pasien alkoholisme kronis (Fleming et al., 2007). Van Thiel et al., (1978) mencatat bahwa disfungsi ereksi sangat sering  terjadi di antara  pasien dengan kerusakan hati yang lebih parah (Emanuele, 1998).        
                  Selain itu, banyak pecandu kronis akan mengalami atrofi testikular dan penurunan fertilitas (Fleming et al., 2007) serta pengurangan ciri seksual sekunder pria (misalnya, pengurangan rambut wajah dan dada, pembesaran payudara, dan pergeseran posisi lemak dari perut ke  daerah pinggul) (Emanuele, 1998). Laporan klinis berupa ginekomastia dan atrofi testis pada pecandu alkohol dengan sirosis menghasilkan dugaan adanya kekacauan dalam keseimbangan hormon steroid (Masters, 2002). Hal ini  terjadi pada 75% pria dengan  sirosis alkoholik lanjut (Lloyd dan Williams 1948).
      Sejumlah penelitian lain juga telah menunjukkan bahwa  penyalahgunaan alkohol pada pria dapat menyebabkan gangguan  produksi testosteron dan penyusutan testis (atrofi testis)  (Adler 1992). Atrofi testis terutama disebabkan hilangnya sel-sel sperma dan penurunan diameter tubulus seminiferus (Van Thiel et al., 1974). Mekanisme yang terlibat dalam hal ini kompleks dan kemungkinan melibatkan perubahan fungsi hipotalamus dan efek toksik alkohol langsung pada sel Leydig (Fleming et al.,  2007). Produk metabolisme alkohol yaitu asetaldehida memiliki sifat toksik ke sel Leydig daripada alkohol itu sendiri (Van Thiel et al., 1983; Santucci et al., 1983).                            
     
Penelitian yang dilakukan untuk mengetahui apakah ada hubungan efek alkohol terhadap hipotalamus dan hipofisis dilakukan dengan mengeluarkan hipofisis anterior tikus. Peneliti menumbuhkannya secara invitro dengan ada atau tidaknya alkohol. Hasilnya menunjukkan alkohol menurunkan kadar LH bahkan dengan hipofisis yang sudah terisolasi tersebut, setidaknya sebagian bertindak langsung ke hipofisis (Van Thiel et al., 1983; Santucci et al., 1983). Hal ini selaras dengan penelitian Emanuelle (1998) yang menyebutkan bahwa atrofi testis mungkin disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu salah satunya adalah efek alkohol pada LH dan FSH yang merangsang pertumbuhan testis. Faktor lain yaitu karena efek alkohol yang merusak testis, serta faktor lain, seperti malnutrisi, akibat pengobatan dengan berbagai obat, dan penyalahgunaan obat-obatan selain alkohol (Emanuelle, 1998).
      Konsumsi alkohol juga menyebabkan penurunan aktivitas enzim yang berperan dalam sintesis hormon kelamin jantan. Alkohol dehidrogenase yang berada pada testis, dalam keadaan normal mampu mengubah retinol menjadi retinal. Menurut Wright (1991), alkohol menyebabkan kegagalan sintesis retinal di dalam testis. Kegagalan sintesis retinal ini akan menyebabkan gangguan spermatogenesis, karena retinal merupakan senyawa yang esensial untuk berlangsungnya spermatogenesis. Pada akhirnya hal tersebut akan menyebabkan penurunan jumlah lapisan sel spermatogenik (Nugroho, 2007). Alkohol menyebabkan kegagalan hipotalamus dan hipofisis untuk mensekresikan Gonadotrophine Releasing Hormon (GnRH), FSH, dan LH (Wright, 1991; Rees, 1993), selanjutnya akan diikuti oleh kegagalan sel Leydig untuk mensintesis testosteron dan sel Sertoli tidak mampu melakukan fungsinya sebagai nurse cell (Nugroho, 2007).  
            Selain menimbulkan gangguan pada hipotalamus dan hipofisis, alkohol juga bertindak sebagai inhibitor bagi enzim 5 α-reduktase. Enzim ini digunakan untuk mengubah prohormon (testosteron) menjadi bentuk aktifnya yaitu 5 α-dihidrotestosteron. Tidak adanya testosteron dalam bentuk aktif menyebabkan proses spermatogenesis tidak terjadi, yang pada akhirnya menyebabkan gangguan pada proses spermatogenesis. Hal ini akan menyebabkan penurunan jumlah lapisan sel spermatogenik  (Nugroho, 2007).

No comments