Tumbuhan Tebu (Saccharum officinarum)
Tebu diduga pertama kali ditemukan di New Guinea pada 6000 SM. Namun,
budidaya tanaman ini baru dilakukan pada 1400-1000 SM di India. Dalam bahasa latin, tebu dikenal dengan sebutan 'saccharum', yang berasal dari kata 'karkara'
dalam bahasa Sanskrit atau 'sakkara'
dalam bahasa Prakrit.
Setelah mengalami persilangan dengan spesies-spesies liar dari India dan
Cina, sejak 1000 SM tanaman ini menyebar secara berangsur-angsur ke berbagai
belahan dunia, khususnya wilayah tropis, seperti : Hawaii, Mediterania,
Karibia, Amerika, akhirnya sampai ke kepulauan Melayu. Saat ini, budidaya tebu telah
dilakukan di lebih dari 70 negara di dunia, antara lain : India, Cuba, Brasil, Mexico, Pakistan, Cina, Filipina, Thailand, Indonesia, Malaysia dan Papua Nugini (www.ikisan.com, 2000; Kuntohartono dan Thijsse, 2007).
Morfologi tanaman
tebu dapat dilihat pada Gambar 2. Tebu merupakan sejenis rumput-rumputan yang
memiliki ketinggian sekitar 2-4 meter. Secara garis besar, tanaman tebu
dapat dikelompokkan menjadi 4 bagian, yaitu :
-
Akar : berbentuk serabut, tebal dan
berwarna putih
-
Batang :
berbentuk ruas-ruas yang dibatasi oleh buku-buku, penampang melintang agak pipih, berwarna hijau kekuningan
- Daun : berbentuk pelepah, panjang 1-2
m, lebar 4-8 cm, permukaan kasar dan berbulu, berwarna hijau kekuningan hingga
hijau tua
- Bunga : berbentuk bunga majemuk, panjang sekitar 30 cm.
Budidaya tebu merupakan upaya manusia untuk mengoptimalkan kondisi tanaman
tebu agar memperoleh sumberdaya alam yang dibutuhkannya, sehingga diperoleh
hasil panen yang maksimal, baik dilihat dari sisi produktivitas maupun dari
sisi kualitas. Tanaman tebu yang banyak dibudidayakan di Indonesia umumnya berasal dari
spesies saccharum officinarum (www.ikisan.com,
2000), dengan berbagai varietas, antara lain POY 3016, PS 30, PS 41, PS 38, PS
36, PS 8, BZ 132, BZ 62.
Secara umum, keberhasilan budidaya tebu sangat ditentukan oleh kondisi
agroklimat (iklim, topografi dan kesuburan tanah). Tanaman tebu akan tumbuh optimal
di wilayah tropis yang lembab, yaitu : berada di antara 350 LS - 390
LS, ketinggian tanah 0 - 1.500 mdpl, suhu udara 28 - 340C, kelembaban
minimal 70%, sinar matahari 7 - 9 jam/hari, dan curah hujan 200 mm/bulan.
Pertumbuhan tebu juga didukung oleh sifat-sifat fisik dan kimia dari tanah, seperti
: drainase/permeabilitas, tingkat kemasaman, tekstur, serta kandungan organik dan
hara tanah. Meskipun tanaman tebu dapat tumbuh pada hampir
semua jenis tanah, namun pertumbuhannya akan optimal apabila ditanam pada tanah
yang subur, memiliki drainase yang baik (cukup air tetapi tidak tergenang) dan tingkat
kemasaman (pH) sekitar 6-7. Sementara
tekstur tanah yang sesuai bagi pertumbuhan tebu adalah sedang sampai berat atau
menurut klasifikasi tekstur tanah (Buckman and Brady, 1960) adalah lempung,
lempung berpasir, lempung berdebu, liat berpasir, liat berlempung, liat berdebu
dan liat atau yang tergolong bertekstur agak kasar sampai halus. Ketersediaan unsur
hara minimal yang dibutuhkan oleh tanaman tebu, antara lain adalah : kadar N
total 1,5 ppm; kadar P2O5
75 ppm; dan kadar K2O 150 ppm
Pertumbuhan tanaman tebu umumnya berlangsung selama kurang lebih 12 bulan, terhitung
mulai ditanam hingga dipanen. Tanaman tebu mengalami 4 (empat) fase pertumbuhan,
yaitu :
1. Fase perkecambahan (germination phase), yaitu dimulai sejak penanaman hingga pembentukan
kecambah pada bud (mata), berlangsung selama 30-45 hari, dengan faktor-faktor
berpengaruh antara lain : kadar air, suhu dan aereasi tanah, kadar air, kadar
gula tereduksi, status nutrien akar.
2. Fase pertunasan (tillering phase), yaitu fase pembentukan tunas yang akan menentukan
populasi tanaman, berlangsung kurang lebih 75 hari, dengan faktor-faktor
berpengaruh : sinar matahari, varietas, suhu, kadar air, pupuk.
3. Fase pemanjangan batang (grand growth phase), yaitu fase perpanjangan batang tebu,
berlangsung sekitar 120-150 hari. Dalam kondisi yang optimal, dimana kebutuhan
air, pupuk, suhu udara dan sinar matahari terpenuhi, kecepatan perpanjangan
batang dapat mencapai 4-5 ruas per bulan.
4. Fase pematangan (maturity and ripening phase), yaitu fase pembentukan dan
penyimpanan gula, berlangsung sekitar 90 hari. Air dan makanan yang diserap oleh
akar diangkut menuju daun. Dengan bantuan sinar matahari, bahan-bahan tersebut akan
bereaksi dengan karbondioksida di udara untuk membentuk gula (sukrosa). Gula
yang terbentuk disimpan di dalam batang, dimulai dari bagian bawah dan berangsur-angsur
naik ke bagian atas batang.
Pada pola
monokultur, penanaman tebu umumnya dilakukan : (1) pada bulan Juni - Agustus
untuk tanah berpengairan, atau (2) pada akhir musim hujan untuk tanah tegalan
atau sawah tadah hujan. Penanaman tebu meliputi berbagai kegiatan, yaitu : Persiapan bibit,
berupa bibit pucuk, bibit batang muda, bibit rayungan atau bibit siwilan,
dengan kebutuhan sekitar 20.000 bibit per hektar, Persiapan tanah, meliputi kegiatan pembuatan parit
dan lubang tanam, Penanaman,
dilakukan dengan 2 cara, yaitu: (1) bibit diletakkan di sepanjang aluran, ditutup
tanah setebal 2-3 cm, dan disiram; (2) bibit diletakkan melintang di sepanjang
selokan, dengan jarak tanam 30-40 cm.
Pemeliharaan
tanaman tebu dilakukan secara bertahap, yaitu :
1.
Penyulaman
tanaman yang tidak tumbuh dengan baik
2.
Penyiangan
gulma di sekitar tanaman
3.
Pembubunan
tanah, meliputi pembersihan rumput-rumputan, pembalikan guludan, penghancuran
dan penambahan tanah
4.
Perempalan
atau pengeletekan, untuk melepaskan daun-daun kering pada ruas-ruas tebu,
umumnya dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu : sebelum gulud akhir, umur 7 bulan
dan 4 minggu sebelum tebang
5.
Pemupukan,
umumnya dilakukan sebanyak 2 kali, yaitu : Pada saat tanam hingga 7 hari
setelah tanam, dengan dosis anjuran: 7 gram urea, 8 gram TSP dan 35 gram KCl
per tanaman (120 kg urea, 160 kg TSP dan 300 kg KCl per hektar) dan 30 hari
setelah pemupukan pertama, dengan dosis anjuran: 10 gram urea per tanaman (200
kg urea per hektar)
6.
Pengairan
dan penyiraman, minimal dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu : pada saat penanaman,
fase pertumbuhan vegetatif dan fase
pematangan
7.
Pengendalian
hama (penggerek, tikus) dan penyakit (fusarium pokkahbung, dongkelan, noda kuning, penyakit nanas, noda cincin,
busuk bibit, blendok, virus mozaik) secara rutin.
Kegiatan pemanenan
dilakukan pada saat tebu mencapai masak, yaitu kondisi dimana kandungan gula di sepanjang batang
seragam, kecuali pada beberapa ruas di bagian pucuk dan pangkal batang. Pada
umumnya, kemasakan tebu akan terjadi pada usia tanaman sekitar 12 bulan, dan kriteria yang umumnya digunakan untuk menilai kematangan tebu adalah kandungan sukrosa. Analisa kemasakan tebu pada saat menjelang panen sangat
diperlukan untuk mengetahui waktu panen yang paling tepat agar diperoleh
rendemen yang optimal.
Pola Penyebaran
Tanaman Tebu Di Indonesia Dan Potensi
Budidaya tanaman tebu dapat dijumpai di berbagai wilayah
Indonesia, khususnya Jawa dan Sumatera, dengan pola penyebaran sebagai berikut
Secara keseluruhan, lahan perkebunan tebu di Indonesia saat ini mencapai kurang
lebih 400.000 hektar
(Tabel 1.), dimana sebagian
besar (lebih dari 95%) di antaranya berada di Jawa dan Sumatera, dan sisanya berada
di Sulawesi.
Tabel 1. Lahan
Perkebunan Tebu
Nama Provinsi
|
Luas Kebun (ha)
|
Persentase (%)
|
Sumatera Utara
|
13.140
|
3,30
|
Sumatera Selatan
|
12.479
|
3,13
|
Lampung
|
105.915
|
26,59
|
Jawa Barat
|
21.956
|
5,51
|
Jawa Tengah
|
50.958
|
12,80
|
DI Yoyakarta
|
3.282
|
0,82
|
Jawa Timur
|
171.915
|
43,17
|
9.398
|
2,36
|
|
Gorontalo
|
9.217
|
2,31
|
TOTAL
|
398.260
|
100,00
|
Sumber
: BKPM, 2008.
Secara rinci di bawah ini diuraikan potensi tanaman
tebu masing-masing daerah,yaitu :
a. Jawa Timur
Dengan total lahan tebu seluas 171.915 hektar, saat ini wilayah Jawa Timur
merupakan sentra gula terbesar di Indonesia. Departemen Perindustrian
melaporkan bahwa pada tahun 2008 Indonesia memiliki 58 pabrik gula (PG), dimana
31 PG tersebut beroperasi di wilayah Jawa Timur dengan kapasitas giling total
mencapai 86.278 TCD (ton cannes per day). Di wilayah ini, perkebunan tebu sangat
didominasi oleh perkebunan rakyat, sementara pengelolaan pabrik gula dilakukan
oleh BUMN, yaitu PTPN X mengelola 11 PG berkapasitas 34.300 TCD, PTPN XI mengelola
16 PG berkapasitas 36.278 TCD, dan PT.RNI I mengelola 4 PG berkapasitas 15.700
TCD.
b. Lampung
Sentra gula terbesar kedua di Indonesia
adalah Lampung. Di wilayah ini, terdapat PG Bungamayang yang dikelola PTPN VII dengan
kapasitas giling 6.250 TCD, dan
4 buah PG berskala besar yang dikelola perusahaan swasta, yaitu PT Gula Putih
Mataram, PT Sweet Indo Lampung, PT Indo Lampung Perkasa, dan PT Gunung Madu
Plantation, dengan kapasitas produksi total sebesar 650.000 ton/tahun. Saat
ini, telah beroperasi sebuah pabrik etanol berskala besar yaitu PT Indo Lampung
Distillery, dengan kapasitas produksi sebesar 50 juta liter/tahun.
c. Jawa Barat
Budidaya tebu terkonsentrasi di wilayah Pantura (Cirebon, Majalengka,
Subang dan Kuningan), dan didominasi oleh lahan tegalan tanpa irigasi. Saat ini,
wilayah Jawa Barat memiliki 5
PG dengan kapasitas giling total 13.400 TCD.
d. Jawa Tengah
Perkebunan tebu di wilayah Jawa Tengah terbagi menjadi 2 bagian, yaitu : (1)
wilayah Pantura Barat (Pekalongan, Pemalang, Tegal, Brebes), pengelolaan kebun oleh
PG pada tanaman pertama, kemudian keprasannya dilanjutkan oleh petani, serta (2)
wilayah Pantura Selatan dan Timur (Sragen, Tasikmadu, Klaten, Rembang, Pati,
Kudus), pengelolaan kebun oleh rakyat. Saat ini, wilayah Jawa Tengah memiliki 8
PG dengan kapasitas giling total 18.985 TCD.
e. Wilayah
Lainnya
Wilayah lain yang telah melakukan budidaya tebu adalah
Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Yogyakarta, Sulawesi
Selatan dan Gorontalo, namun dalam jumlah yang masih sangat terbatas. Pabrik
gula yang beroperasi di wilayah tersebut berjumlah 8 PG, dengan rincian : 2 PG
di Sumatera Utara (8.000 TCD), 1 PG di Sumatera Selatan (5.000 TCD), 1 PG di Yogyakarta
(3.250 TCD), 3 PG di Sulawesi Selatan
(8.000 TCD) dan 1 PG di Gorontalo.
Secara ringkas, kinerja perkebunan tebu
dan pabrik gula Indonesia selama 5 tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 : Data Statistik Tebu dan Gula Indonesia (2004
– 2008)
Tahun
|
Luas
Lahan (hektar)
|
Produksi
Tebu (ton)
|
Produksi Gula (ton)
|
Produktivitas
(ton tebu/ha)
|
Rendemen
(%)
|
2004
|
344.800
|
26.754.000
|
2.052.000
|
77,59
|
7,67
|
2005
|
381.800
|
31.139.000
|
2.242.000
|
81,56
|
7,20
|
2006
|
384.000
|
29.101.000
|
2.267.000
|
75,78
|
7,79
|
2007
|
400.500
|
33.292.000
|
2.660.000
|
83,13
|
7,99
|
2008*
|
405.600
|
34.707.000
|
2.780.000
|
85,57
|
8,01
|
Sumber : Ditjenbun
2009 dan P3GI 2008 (diolah)
Pada periode 2004-2009, perkebunan tebu Indonesia telah mengalami perluasan
lahan dari 344.800 hektar menjadi 405.600 hektar, atau rata-rata per tahun sebesar
15.200 hektar; serta peningkatan produksi tebu dari 26.754.000 ton menjadi
34.707.000 ton, atau rata-rata per tahun sebesar 2.000 ton. Di sisi lain, pada
periode yang sama produksi gula nasional meningkat dari 2.052.000 ton menjadi
2.780.000 ton, atau rata-rata per tahun sebesar 182.000 ton.
Kinerja kebun dapat dilihat dari produktivitas lahan yaitu berat tebu yang
dihasilkan per hektar, sementara kinerja pabrik dapat dilihat dari rendemen yaitu
persentase berat gula terhadap berat tebu. Pada tahun 2008, produktivitas lahan
yang dicapai oleh perkebunan tebu di Indonesia rata-rata adalah 85,57 ton per
hektar, dan rendemen yang dicapai oleh pabrik gula rata-rata adalah 8,01%.
Pemanfaatan Saat Ini
a. Gula (sucrose)
Sebagai produk utama dari pengolahan tebu, pemanfaatan gula
di Indonesia masih difokuskan untuk keperluan pangan, baik dikonsumsi secara langsung
maupun diolah lebih lanjut menjadi gula rafinasi. Saat ini, nilai rendemen yang
dicapai oleh pabrik gula sangat bervariasi, yaitu sekitar 7-9% untuk pabrik gula
yang dikelola BUMN, dan sekitar 9-11% untuk pabrik gula yang dikelola swasta.
b. Tetes (molasses)
Tetes merupakan produk samping dari proses
pemisahan sirup low grade dan massecuite
(masakan). Tetes tidak layak
untuk dikonsumsi langsung karena di dalam tetes terdapat banyak kotoran-kotoran
non gula yang dapat membahayakan kesehatan.
Produksi tetes Indonesia sebesar 1,4 juta ton pada tahun 2007, dengan
rincian : 0,6 juta ton untuk bahan baku etanol, 0,6 juta ton untuk bahan baku
MSG dan pakan ternak, dan sisanya 0,2 juta ton diekspor (Aprobi, 2008).
c. Ampas (bagasse)
Ampas merupakan hasil samping dari
proses ekstraksi tebu, dengan komposisi : 46-52% air, 43-52% sabut dan 2-6%
padatan terlarut. Departemen Pertanian melaporkan bahwa produksi tebu nasional saat
ini adalah 33 juta ton/tahun (Dirjenbun, 2008). Dengan asumsi bahwa persentase
ampas dalam tebu sekitar 30-34%, maka pabrik gula yang ada di Indonesia berpotensi
menghasilkan ampas tebu rata-rata sekitar 9,90-11,22 juta ton/tahun.
Saat ini, pemanfaatan ampas yang paling
utama adalah bahan bakar boiler di pabrik gula, di samping sebagai bahan baku partikel
board, pulp, dan bahan-bahan kimia seperti furfural, xylitol, dan plastik.
d. Blotong (filter mud)
Blotong merupakan hasil samping dari
proses pemurnian nira, berupa padatan yang mengandung sekitar 2-3% gula. Sampai
saat ini, pemanfaatan blotong masih terbatas sebagai pupuk.
e. Pucuk
Tebu (top
cane)
Pucuk tebu
merupakan sisa hasil panen banyak digunakan sebagai pakan ternak baik dalam
bentuk segar maupun dalam bentuk awetan (silase).
Prospek Pemanfaatan Sebagai Bahan Baku Bioenergi
Bioetanol merupakan jenis bahan bakar nabati yang
digunakan sebagai substitusi bensin. Senyawa bioetanol terbuat dari
tumbuh-tumbuhan, baik berupa bahan
bergula, bahan berpati atau bahan berselulosa. Sebagai substitusi bensin, senyawa
etanol dipersyaratkan berupa fuel grade ethanol (FGE) dengan kadar etanol minimal
99,5%-volume.
Pada
umumnya, campuran bahan bakar bensin dan bioetanol dinyatakan dengan E-X, dimana
X menunjukkan persentase bioetanol dalam bahan bakar. Sebagai contoh, E-10 menunjukkan
bahwa bahan bakar tersebut terdiri dari 10% FGE dan 90% bensin.
Ketersediaan Bahan Baku
Produk samping dari proses pengolahan gula yang sangat potensial untuk dijadikan
bahan baku etanol adalah tetes (molasse), dikarenakan kandungan gula yang masih
sangat tinggi, yaitu sekitar 30-35%. Di samping tetes, produk samping lain yang dapat dikonversi menjadi etanol
adalah ampas (bagasse), dikarenakan mengandung 37,65% selulosa dan 27,97% hemiselulosa.
Namun, saat ini produksi ampas umumnya
terserap habis untuk keperluan bahan bakar boiler, sehingga ketersediaan ampas untuk
keperluan lainnya sangat terbatas.
Sebagaimana telah disampaikan bahwa pada tahun 2008 produksi tebu nasional
sebesar 34,707 juta ton, luas lahan tebu nasional sebesar 405.600 hektar dan produktivitas
lahan rata-rata sebesar 85,57 ton tebu per hektar. Dengan asumsi bahwa kandungan
tetes dalam tebu sebesar 4,5%, maka setiap hektar kebun tebu berpotensi
menghasilkan tetes sekitar 3,85 ton, atau secara nasional produksi tetes diperkirakan
mencapai sekitar 1,56 juta ton pada tahun 2008.
Dengan asumsi bahwa
faktor konversi tetes menjadi etanol adalah 1 : 4, yaitu untuk menghasilkan 1
liter etanol diperlukan bahan baku sebanyak 4 kg tetes (Aprobi, 2008), maka produksi
tetes nasional sebanyak 1,56 juta ton tetes dapat dikonversi menjadi 0,39 juta kliter
etanol (FGE). Berdasarkan perhitungan-perhitungan di atas, diperoleh bahwa
setiap hektar kebun tebu dapat menghasilkan sekitar 0,96 kliter etanol (FGE). Namun,
sekitar 0,6 juta ton tetes dimanfaatkan
sebagai bahan baku pada industri MSG dan pakan ternak (Aprobi, 2008), sehingga
tetes yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar hanya sekitar 0,96 juta ton tetes,
atau setara dengan 0,24 juta kliter etanol (FGE).
Saat ini, terdapat sebanyak 10 pabrik etanol berbahan baku tebu yang
beroperasi di Indonesia, dengan produksi total sebesar 183,2 juta liter per
tahun, dengan rincian sebagai berikut :
Tabel 3 : Produksi Bioetanol Indonesia (2004 – 2008)
No
|
Nama
Perusahaan
|
Kapasitas
(juta liter/tahun)
|
Lokasi
|
|
1
|
Molindo Raya
|
50
|
Lawang, Jawa
Tengah
|
|
2
|
PTPN XI
|
7
|
Jatiroto,
Jawa Tengah
|
|
3
|
Indo
Acidatama
|
45
|
Solo, Jawa
Tengah
|
|
4
|
Madu Baru
|
7
|
||
5
|
PSA Palimanan
|
7
|
||
6
|
Nabati Saran
|
3,6
|
||
7
|
Indo Lampung
Dist
|
50
|
Lampung
|
|
8
|
Permata Sakti
|
5
|
||
9
|
Molasindo
|
3,6
|
||
10
|
Basis Indah
|
5
|
||
Total
|
183,2
|
Sumber : SBRC-IPB. 2009
Di sisi lain, kebutuhan bensin dalam negeri saat ini sekitar 20,44 juta kliter (BPH
Migas, 2009). Dalam kondisi saat ini, dimana secara nasional produksi etanol
maksimal hanya sebesar 0,24 juta kliter, maka pencapaian target substitusi E-5 memerlukan tambahan produksi
etanol sebesar 0,76 juta kliter.
Penambahan produksi etanol dapat diperoleh melalui perluasan lahan perkebunan
tebu kurang lebih 800.000 hektar.
Negara lain yang
menggunakan bahan baku tebu sebagai bioetanol adalah Brazil. Negara tersebut merupakan produsen bioetanol terbesar di dunia, dengan
pangsa produksi melampaui 70% dari produksi etanol dunia. Brazil menggunakan bahan baku berupa tebu (campuran nira
dan tetes). Dengan lahan perkebunan tebu seluas 3,6 juta hektar pada tahun
2006, Brazil telah memproduksi etanol sebanyak 16,3 milyar liter, sehingga
produktivitas yang dicapai oleh Brazil pada tahun 2006 sekitar 4.500 liter
etanol per hektar, sementara produktivitas yang dicapai oleh USA sekitar 3.000
liter etanol per hektar.
No comments