KETAHANAN PANGAN DAN TEKNOLOGI PRODUKTIVITAS MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN INDONESIA
Pangan
adalah kebutuhan yang paling mendasar dari suatu bangsa. Banyak contoh negara
dengan sumber ekonomi cukup memadai tetapi mengalami kehancuran karena tidak
mampu memenuhi kebutuhan pangan bagi penduduknya. Sejarah juga menunjukkan
bahwa strategi pangan banyak digunakan untuk menguasai pertahanan musuh. Dengan
adanya ketergantungan pangan, suatu bangsa akan sulit lepas dari cengkraman
penjajah/musuh. Dengan demikian upaya untuk mencapai kemandirian dalam memenuhi
kebutuhan pangan nasional bukan hanya dipandang dari sisi untung rugi ekonomi
saja tetapi harus disadari sebagai bagian yang mendasar bagi ketahanan nasional
yang harus dilindungi.
Jumlah penduduk Indonesia saat ini mencapai 216 juta jiwa
dengan angka pertumbuhan 1.7 % per tahun. Angka tersebut mengindikasikan
besarnya bahan pangan yang harus tersedia. Kebutuhan yang besar jika tidak
diimbangi peningkatan produksi pangan justru menghadapi masalah bahaya
latent yaitu laju peningkatan produksi di dalam negeri yang terus menurun. Sudah
pasti jika tidak ada upaya untuk meningkatkan produksi pangan akan menimbulkan
masalah antara kebutuhan dan ketersediaan dengan kesenjangan semakin melebar.
Keragaan laju peningkatan produksi
tiga komoditi pangan nasional padi, jagung dan kedelai tersebut sebagaimana
tampak dalam tabel 1.
Keragaan di atas menunjukkan
bahwa laju pertumbuhan produksi pangan nasional rata-rata negatif dan cenderung
menurun, sedangkan laju pertumbuhan penduduk selalu positif yang berarti
kebutuhan terus meningkat. Keragaan total produksi dan kebutuhan nasional dari
tahun ke tahun pada ketiga komoditas pangan utama di atas menunjukkan
kesenjangan yang terus melebar; khusus pada kedelai sangat memprihatinkan.
Kesenjangan yang terus meningkat ini jika terus di biarkan konsekwensinya
adalah peningkatan jumlah impor bahan pangan yang semakin besar, dan kita
semakin tergantung pada negara asing.
Pada komoditi jagung meskipun pada
tahun 1996 terjadi penurunan produksi, namun pada tahun 1998 justru terjadi
surplus (ekspor) meskipun hanya kecil. Hal ini diduga karena banyak masyarakat
yang memanfaatkan lahan tidur untuk komoditas jagung. Namun pada tahun-tahun berikutnya
sampai saat ini produksi jagung cenderung turun dan impor semakin besar (lebih
dari 2 juta ton/tahun).
Produksi kedelai nasional tampak
mengalami kemunduran yang sangat memprihatinkan. Sejak tahun 2000, kondisi
tersebut semakin parah, dimana impor kedelai semakin besar. Hal ini terjadi
antara lain karena membanjirnya Impor akibat fasilitas GSM 102, kredit Impor
dan “Triple C” dari negara importir yang dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh
importir kedelai Indonesia, disisi lain produktivitas kedelai nasional yang rendah
dan biaya produksi semakin tinggi di dalam negeri. Akibat kebijakan di atas
harga kedelai impor semakin rendah sehingga petani kedelai semakin terpuruk dan
enggan untuk menanam kedelai. Dampaknya pada harga kedelai petani tidak bisa
bersaing dengan membanjirnya kedelai Impor dan petani kedelai tidak
terlindungi.
Melihat kenyataan tersebut
seakan kita tidak percaya sebagai negara agraris yang mengandalkan pertanian
sebagai tumpuan kehidupan bagi sebagian besar penduduknya tetapi pengimpor
pangan yang cukup besar. Hal ini akan menjadi hambatan dalam pembangunan dan
menjadi tantangan yang lebih besar dalam mewujudkan kemandirian pangan bagi
bangsa Indonesia. Oleh karena itu diperlukan langkah kerja yang serius untuk
mengoptimalkan sumber daya yang ada dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan
dalam negeri.
Permasalahan Produksi Dan Upaya Mengatasi Masalah Pangan
Nasional
Rendahnya laju peningkatan
produksi pangan dan terus menurunnya produksi di Indonesia antara lain
disebabkan oleh: (1) Produktivitas tanaman pangan yang masih rendah dan terus
menurun; (2) Peningkatan luas areal penanaman-panen yang stagnan bahkan terus
menurun khususnya di lahan pertanian pangan produktif di pulau Jawa. Kombinasi
kedua faktor di atas memastikan laju pertumbuhan produksi dari tahun ke tahun
yang cenderung terus menurun. Untuk mengatasi dua permasalahan teknis yang
mendasar tersebut perlu dilakukan upaya-upaya khusus dalam pembangunan
pertanian pangan khususnya dalam kerangka program ketahanan pangan nasional.
Upaya Meningkatkan Produktivitas Tanaman Pangan
Rata-rata produktivitas tanaman
pangan nasional masih rendah. Rata-rata produktivitas padi adalah 4,4 ton/ha
(Purba S dan Las, 2002) jagung 3,2 ton/ha dan kedelai 1,19 ton/ha. Jika
dibanding dengan negara produsen pangan lain di dunia khususnya beras,
produktivitas padi di Indonesia ada pada peringkat ke 29. Australia memiliki
produktivitas rata-rata 9,5 ton/ha, Jepang 6,65 ton/ha dan Cina 6,35 ton/ha (
FAO, 1993).
Faktor dominan penyebab
rendahnya produktivitas tanaman pangan adalah (a) Penerapan teknologi budidaya
di lapangan yang masih rendah; (b)Tingkat kesuburan lahan yang terus menurun
(Adiningsih, S, dkk., 1994), (c) Eksplorasi potensi genetik tanaman yang masih
belum optimal (Guedev S Kush, 2002).
Rendahnya penerapan teknologi budidaya tampak dari besarnya kesenjangan potensi produksi dari
hasil penelitian dengan hasil di lapangan yang diperoleh oleh petani. Hal ini disebabkan
karena pemahaman dan penguasaan penerapan paket teknologi baru yang kurang
dapat dipahami oleh petani secara utuh sehingga penerapan teknologinya
sepotong-sepotong (Mashar, 2000). Seperti penggunaan pupuk yang tidak tepat,
bibit unggul dan cara pemeliharaan yang belum optimal diterapkan petani belum
optimal karena lemahnya sosialisasi teknologi, sistem pembinaan serta lemahnya
modal usaha petani itu sendiri. Selain itu juga karena cara budidaya petani yang menerapkan budidaya
konvensional dan kurang inovatif seperti
kecenderungan menggunakan input pupuk kimia yang terus menerus, tidak menggunakan
pergiliran tanaman, kehilangan pasca panen yang masih tinggi 15 – 20 % dan
memakai air irigasi yang tidak efisien. Akibatnya antara lain berdampak pada
rendahnya produktivitas yang mengancam kelangsungan usaha tani dan daya saing
di pasaran terus menurun. Rendahnya
produktivitas dan daya saing komoditi tanaman pangan yang diusahakan
menyebabkan turunnya minat petani untuk mengembangkan usaha budidaya pangannya,
sehingga dalam skala luas mempengaruhi produksi nasional.
Untuk
mengatasi permasalahan di atas pemerintah harus memberikan subsidi teknologi kepada petani dan melibatkan
stakeholder dalam melakukan percepatan perubahan (Saragih, 2003). Subsidi
teknologi yang dimaksud adalah adanya modal bagi petani untuk memperoleh atau
dapat membeli teknologi produktivitas dan pengawalannya sehingga teknologi
budidaya dapat dikuasai secara utuh dan efisien sampai tahap pasca panennya.
Sebagai contoh petani dapat memperoleh dan penerapan teknologi produktivitas
organik hayati (misal : Bio P 2000 Z), benih/pupuk bermutu dan mekanisasi pasca
panen dan sekaligus pengawalan pendampingannya.
Tingkat kesuburan lahan pertanian produktif terus menurun; revolusi hijau dengan mengandalkan pupuk dan pestisida
memiliki dampak negatif pada kesuburan tanah yang berkelanjutan dan terjadinya
mutasi hama dan pathogen yang tidak diinginkan. Sebagai contoh lahan yang terus
dipupuk dengan Urea (N) cenderung menampakkan respon kesuburan tanaman
seketika, tetapi berdampak pada cepat habisnya bahan organik tanah karena
memacu berkembangnya dekomposer dan bahan organik sebagai sumber makanan
mikroba lain habis (< 1%). Pemakaian pupuk kimia, alkali dan pestisida yang
terus menerus menyebabkan tumpukan residu yang melebihi daya dukung lingkungan
yang jika tidak terurai akan menjadi “racun tanah” dan tanah menjadi “Sakit”.
Akibatnya disamping hilangnya mikroba pengendali keseimbangan daya dukung
kesuburan tanah, ketidak-seimbangan mineral dan munculnya mutan-mutan Organisme
Pengganggu Tanaman (OPT) yang kontra produktif. Di lahan sawah/irigasi dengan
berbagai upaya program revolusi hijau yang telah ada tidak lagi memberikan
kontribusi pada peningkatan produktivitas karena telah mencapai titik jenuh
(Levelling Off) dan produktivitas yang terjadi justru cenderung menurun.
Upaya yang harus dilakukan
adalah melakukan Soil Management
untuk mengembali-kan kesuburan tanah dengan memasukkan berbagai ragam mikroba
pengendali yang mempercepat keseimbangan alami dan membangun bahan organik
tanah, kemudian diikuti dengan pemupukan dengan jenis dan jumlah yang tepat dan
berimbang serta teknik pengolahan tanah yang tepat. Telah diketahui bahwa
mikro-organisme unggul berguna dapat diintroduksikan
ke tanah dan dapat diberdayakan agar
mereka berfungsi mengendalikan keseimbangan kesuburan tanah sebagaimana mestinya.
Selain
itu, sekumpulan mikro-organisme diketahui menghuni permukaan daun dan ranting.
Sebagian dari mereka ada yang hidup mandiri, bahkan dapat menguntungkan tanaman
(Mashar, 2000). Prinsip-prinsip hayati yang demikian telah diungkapkan dalam kaidah-kaidah
penerapan pupuk hayati (misal : Bio P 2000 Z).
Eksplorasi
potensi genetik tanaman
yang masih belum optimal tampak pada kesenjangan hasil petani dan hasil
produktivitas di luar negeri atau hasil dalam penelitian. Dalam hal ini
teknologi pemuliaan telah mengalami kemajuan yang cukup berarti dalam
menciptakan berbagai varietas unggul berpotensi produksi tinggi. Meskipun upaya
breeding modern, teknologi transgenik
dan hibrida dirancang agar tanaman yang dikehendaki memiliki kemampuan genetik
produksi tinggi (Gurdev S Kush, 2002), tetapi jika dalam menerapkannya di
lapangan asal-asalan, maka performa keunggulan genetiknya tidak nampak. Hasil
penggunaan varietas unggul di lapangan seringkali masih jauh dari harapan. Penyebabnya
adalah masih belum dipahaminya teknik budidaya sehingga hasil yang didapat
belum menyamai potensinya, apalagi melebihi.
Untuk mendapatkan performa hasil
maksimal dari tanaman unggul baru yang diharapkan memerlukan
persyaratan-persyaratan khusus “Presisi”
dalam budidayanya seperti kesuburan lahan, pemupukan, mengamankan dari OPT
(Anonim, 2003) dan/atau perlakuan spesifik
lainnya. Pada kenyataannya baik tanaman unggul seperti padi VUB, Hibrida dan
PTB; dan kedelai serta Jagung hibrida akan mampu berproduksi tinggi jika
pengawalan manajemen budidayanya dipenuhi dengan baik, tetapi jika tidak justru
terjadi sebaliknya. Hasilnya lebih rendah dari varietas lokal. Hal ini berarti
bakal calon penerapan varietas unggul berproduktivitas tinggi harus dilakukan
pengawalan dan manajemen teknologi penyerta dengan baik dan diterapkan secara
paripurna. Untuk hal tersebut petani harus diberikan dampingan dan
memanejemen budidaya secara intensif.
Upaya Menambah Perluasan
Lahan Pertanian Baru
Sulitnya
melakukan peningkatan produksi pangan nasional antara lain karena pengembangan
lahan pertanian pangan baru tidak seimbang dengan konversi lahan pertanian
produktif yang berubah menjadi fungsi lain seperti permukiman. Lahan irigasi Indonesia
sebesar 10.794.221 hektar telah menyumbangkan produksi padi sebesar 48.201.136
ton dan 50 %-nya lebih disumbang dari pulau Jawa (BPS, 2000). Akan tetapi
mengingat padatnya penduduk di pulau Jawa keberadaan lahan tanaman pangan tersebut
terus mengalami degradasi seiring meningkatnya kebutuhan pemukiman dan pilihan
pada komoditi yang memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi seperti
hortikultura. Jika tidak ada upaya khusus untuk meningkatkan produktivitas
secara nyata dan/atau membuka areal baru pertanian pangan sudah pasti produksi
pangan dalam negeri tidak akan mampu mencukupi kebutuhan pangan nasional.
Dari
sisi perluasan areal lahan tanaman pangan ini upaya yang dapat ditempuh adalah:
(1) Memanfaatkan lahan lebak dan pasang surut termasuk di kawasan pasang surut
(Alihamsyah, dkk, 2002) (2) Mengoptimalkan lahan tidur dan lahan tidak
produktif di pulau Jawa. Kedua pilihan di atas mutlak harus di barengi dengan menerapkan
teknologi produktivitas mengingat sebagian besar lahan tersebut tidak subur
untuk tanaman pangan.
Luas lahan pasang surut dan Lebak di Indonesia diperkirakan
mencapai 20,19 juta hektar dan sekitar 9,5 juta hektar berpotensi untuk
pertanian serta 4,2 juta hektar telah di reklamasi untuk pertanian (Ananto,
E.,2002). Memanfaatkan lahan lebak dan Pasang Surut dipandang sebagai peluang
terobosan untuk memacu produksi meskipun disadari bahwa produktivitas di lahan
tersebut masih rendah. Produktivitas rata-rata tanaman pangan padi, Jagung dan
Kedelai di lahan lebak/pasang surut dengan penerapan teknologi konvensional
hasilnya masih rendah yaitu : secara berturut turut sekitar 3,5 ton/ha; 2,8
ton/ha dan 0,8 ton/ha. Kendala utama pengembang di lahan ini adalah keragaman
sifat fisiko-kimia seperti pH yang rendah, kesuburan rendah, keracunan tanah
dan kendala Bio fisik seperti pertumbuhan gulma yang pesat, OPT dan cekaman Air
(Moeljopawiro, S., 2002)
Ditemukannya
teknologi baru (misalnya Bio P 2000 Z) dengan memanfaatkan mikroba penyubur dan
pengendali kesuburan alami tanah di lahan lebak dan pasang surut memberikan
bukti bahwa produktivitas tanaman pangan tersebut mampu lebih tinggi dibanding
produktivitas konvensional di lahan subur atau produktivitas rata-rata nasional
yaitu: 5,5 - 8 ton/ha padi; 2,5 – 3,5 ton/ha kedelai dan 5 – 8 ton/ha jagung
JPK). Ternyata dengan sistem demikian masalah
tersumbatnya produksi komoditi pertanian dapat dipecahkan. Efek mikroba
memiliki manfaat yang besar dalam mengendalikan lingkungan mikro tumbuh kembang
tanaman yang secara sinergi memberikan manfaat: (1) diredamnya faktor
penghambat tumbuh kembang tanaman yang dijumpai dalam tanah termasuk
menetralkan kemasaman lahan, (2) adanya produksi senyawa bio-aktif seperti
enzim, hormon, senyawa organik, dan energi kinetik yang memacu metabolisme
tumbuh kembang akar dan bagian atas tanaman (3) pasok dan penyerapan hara oleh
akar makin efesien, lancar, dan berimbang, (4) ketahanan internal terhadap hama
dan penyakit meningkat. Budidaya dengan menerapkan teknologi ini secara baik di
lahan jenis tersebut mampu menghasilkan produktivitas yang tinggi sehingga usaha
tani pangan di lahan tersebut akan dapat bersaing. Menjadikan lahan lebak dan
pasang surut untuk usaha pertanian harus didukung dengan teknologi dan
infrastruktur yang memadai sehingga luasan lahan ini dapat menjadi pendukung
dan buffer untuk peningkatan produksi pangan dan swasembada.
Lahan kering di Indonesia sebesar 11 juta hektar yang sebagian
besar berupa lahan tidur dan lahan marginal sehingga tidak produktif untuk
tanaman pangan. Di Pulau Jawa yang padat penduduk, rata-rata pemilikan lahan
usaha tani berkisar hanya 0,2 ha/KK petani. Namun, banyak pula lahan tidur yang
terlantar. Ada
300.000 ha lahan kering terbengkelai di Pulau Jawa dari kawasan hutan yang
menjadi tanah kosong terlantar. Masyarakat sekitar hutan dengan desakan ekonomi
dan tuntutan lapangan kerja tidak ada pilihan lain untuk memanfaatkan
lahan-lahan kritis dan lahan kering untuk usaha tani pangan seperti jagung,
padi huma dan kedelai serta kacang tanah. Secara alamiah hal ini membantu
penambahan luas lahan pertanian pangan, meskipun disadari bahwa produktivitas
di lahan tersebut masih rendah, seperti jagung 2,5 – 3,5 ton/ha dan padi huma
1,5 ton/ha dan kedelai 0,6 – 1,1 ton/ha, tetapi pemanfaatannya berdampak
positif bagi peningkatan produksi pangan.
Melihat kenyataan di atas maka solusi terbaik
adalah: (1) pemerintah sebaiknya memberikan ijin legal atas hak pengelolaan
lahan yang telah diusahahan petani yaitu semacam HGU untuk usaha produktif
usaha tani tanaman pangan sehingga petani dapat memberikan kontribusi berupa
pajak atas usaha dan pemanfaatan lahan tersebut, (2) memberikan bimbingan
teknologi budidaya khususnya untuk menerapkan teknologi organik dan Bio/hayati
guna meningkatkan kesuburan lahan dan menjamin usaha tani yang berkelanjutan
dan ramah lingkungan dan (3) Melibatkan stakeholder dan swasta yang memiliki
komitmen menunjang dalam sistem Agribisnis tanaman pangan sehingga akan
menjamin kepastian pasar, Sarana Input teknologi produktivitas dan nilai tambah
dari usaha tani terpadunya. Pengelolaan lahan kering untuk pertanian dapat
dilakukan dengan menerapkan teknologi produktivitas organik agar memberikan
kontribusi yang nyata bagi peningkatan produksi pangan dan kesejahteraan
masyarakat. Sebagai contoh jika 150.000 ha lahan ini digunakan untuk budidaya
Jagung jika dengan tambahan teknologi produktivitas organik dapat menghasilkan
rata-rata 6,5 ton/ha yang dilakukan dengan 2 kali MT maka akan terjadi
penambahan produksi sebesar: 1,95 juta ton jagung, berarti akan mensubstitusi
lebih dari 60% impor Jagung. Multiple effek dari usaha tani tanaman pangan ini
sangat berarti dalam upaya meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat
sekitar dan bagi kepentingan nasional.
Mencapai Swasembada Pangan 2003
– 2010 Untuk Mewujudkan Kemandirian Dan Ketahanan Pangan Nasional
Membangun Ketahanan pangan berbasis Agribisnis pangan
rakyat di Indonesia perlu mendapatkan perhatian serius. Pada
tahun 1984 swasembada pangan pernah tercapai yang diukir sebagai prestasi
gemilang saat itu, namun tahun-tahun selanjutnya semakin merosot sehingga
upaya-upaya mempertahankan dan mencukupi kebutuhan pangan nasional semakin
terancam. Proyek pembukaan lahan pertanian sejuta hektar lahan gambut di
Kalimantan Tengah, implementasi BIMAS, INSUS, SUPRA INSUS; tampaknya tidak
memberikan manfaat bahkan dalam dasawarsa terakhir kita terjebak dalam kesejangan
pangan dan dengan produksi pangan nasional semakin terancam dan impor pangan
dijadikan sebagai solusi instan. Seharusnyalah dibangun kembali kerangka pembangunan
pertanian berkerakyatan dan berorientasi kemandirian dan kesejahteraan
yang merata di dalam sistem agribisnis yang terpadu. Masalah penyediaan pangan
untuk penduduk harus dipandang secara utuh, bukan sekedar dinilai secara untung
rugi saja tetapi lebih jauh dicermati pada aspek politik, dan sosialnya karena
di dalam pandangan nasional ketahanan pangan harus merupakan bagian dari
ketahanan nasional.
Menempatkan pangan sebagai bagian menempatkan
kepentingan rakyat, bangsa dan negara serta rasa nasionalisme untuk melindungi, mencintai dan memperbaiki
produksi pangan lokal harus terus dikembang-majukan. Pertanian pangan termasuk
di kawasan transmigrasi hendaknya jangan dipandang sebagai lahan untuk menyerap
tenaga kerja atau petani dikondisikan untuk terus memberikan subsidi bagi
pertumbuhan ekonomi sektor lain dengan tekanan nilai jual hasil yang harus
rendah dan biaya sarana produksi terus melambung. Tetapi seharusnya petani
pangan mendapatkan prioritas perlindungan oleh pemerintah melalui harga jual
dan subsidi produksi karena petani membawa amanah bagi ketahanan pangan, petani
pangan perlu mendapatkan kesejahteraan yang layak. Dalam hal ini adalah wajar
jika pemerintah berpihak kepada petani dan pelaku produksi pertanian pangan
karena merupakan golongan terbesar dari masyarakat Indonesia .
Kebijakan Impor pangan yang menonjol sebagai program
instant untuk mengatasi kekurangan produksi justru membuat petani semakin
terpuruk dan tidak berdaya atas sistem pembangunan ketahanan pangan yang
tidak tegas. Akibat over suplai pangan dari impor seringkali memaksa harga jual
hasil panen petani menjadi rendah tidak sebanding dengan biaya produksinya
sehingga petani terus menanggung kerugian. Hal ini menjadikan bertani pangan
tidak menarik lagi bagi petani dan memilih profesi lain di luar pertanian, sehingga
ketahanan pangan nasional mejadi rapuh.
Melihat kondisi saat ini dan trend produksi pangan
yang semakin tergantung impor dan bergesernya pola konsumsi masyarakat maka
untuk mencapai kemandirian pangan ke depan harus dilakukan melalui upaya-upaya
terpadu secara terkonsentrasi pada peningkatan produksi pangan nasional yang
terencana mulai “presisi” di sektor hulu – proses (on farm) dan hilirnya. Yang
perlu ditekankan adalah: peningkatan produktivitas dan penerapan teknologi
bio/hayati organik, perluasan areal pertanian pangan dan optimalisasi
pemberdayaan sumber daya pendukung lokalnya, kebijakan tataniaga pangan dan
pembatasan impor pangan, pemberian kredit produksi dan subsidi bagi petani
pangan, pemacuan kawasan sentra produksi dan ketersediaan silo untuk stock
pangan sampai tingkat terkecil dalam mencapai swasembada pangan di setiap
daerah. Untuk itu pemacuan peningkatan produksi pangan nasional harus ditunjang
dengan kesiapan dana, penyediaan lahan, teknologi, masyarakat dan
infrastrukturnya yang dijadikan sebagai kebijakan ketahanan pangan nasional.
Padi
Dalam kurun waktu
satu dasa warsa ke depan Indonesia
harus mampu mandiri dalam memenuhi kebutuhan pangan bagi masyarakat-nya. Tabel
2 menggambarkan keragaan pemacuan produksi dan pengurangan impor padi yang
dipandang rasional.
Dengan asumsi pertumbuhan penduduk rata-rata per tahun
1,5 % dan impor beras sekitar 1,5 - 2 juta ton pada tahun 2003 dan produksi
dalam negeri sekitar 52 juta ton, maka untuk mencapai swasembada pada tahun
2010 diperlukan trend peningkatan produksi sebesar 1,8 – 2,1 % pertahun. Peningkatan
ini sangat rasional dan dapat dilakukan dengan melihat potensi produk-tivitas
yang dapat ditingkatkan dan potensi ketersediaan lahan baru yang dapat dibuka
seperti lahan pasang surut, lebak dan lahan kering untuk padi (Suprihatno, dkk,
1999; Irianto, Gatot, dkk., 2002).
Jagung
Pada tahun 2002
impor jagung mencapai 2,2 juta ton dan sejak tahun 2000 pertumbuhan produksinya
menunjukkan trend yang cenderung negatif. Melihat potensi yang ada bahwa hal
upaya memacu produksi jagung dalam 10 tahun kedepan masih dapat dilakukan,
bahkan sekalipun untuk dapat mencapai surplus (ekspor). Dengan menciptakan
tingkat pertumbuhan produksi 2 % sampai 6,5 %per tahun maka pada tahun 2010 Indonesia akan
dapat mengekspor jagung. Hal ini sangat rasional untuk dapat diwujudkan dan
dicapai mengingat masih banyak lahan tidur dan lahan kering potensial yang
dapat dimanfaatkan secara optimal untuk dapat meningkatkan produksi jagung.
Peluang penerapan teknologi produktivitas Bio hayati organic dan penerapan
benih hibrida untuk meningkatkan produktivitas dari rata-rata 3,5 ton/ha
menjadi lebih dari 6,5 ton/ha di lahan tersebut masih sangat rasional apalagi
agribisnis jagung telah didukung dengan tersedia dan kesiapan stakeholder dari
hulu sampai hilirnya.
Kedelai
Upaya mendongkrak
produksi kedelai memang berat mengingat ada sekitar 70 % kebutuhan kedelai
dipenuhi dari impor. Terus membanjirnya impor kedelai tahun 2000 memiliki
dampak yang tragis bagi petani kedelai dan untuk dapat mencapai imbangan impor
harus ada perlakuan khusus dengan mengembalikan kepercayaan petani kembali
bertanam kedelai. Upaya perimbangan impor dan pertumbuhan produksi kedelai jika
produksi dapat terus ditingkatkan secara linear dari 13 % di tahun 2003 terus
tumbuh meningkat hingga 20 % pada tahun 2010. Selama dasawarsa ke depan (2003 – 2013), yang rasional
dilakukan adalah menekan impor dengan substitusi dari produksi dalam negeri
sampai tinggal 10 – 20 % impor. Hal ini relevan dengan kondisi saat ini dan
dapat terjadi jika ada pengaturan tata niaga untuk kepastian harga yang layak
saat petani panen raya dan menciptakan produktivitas kedelai yang tinggi
sehingga menurunkan biaya produksinya per satuan hasil.
Menerapkan kebijakan tata niaga kedelai, pembatasan
impor (tarif bea masuk) dan insentif/subsidi bagi petani produsen dipandang
perlu pada komoditas ini karena merupakan komoditi hajat hidup orang banyak
(Inkopti, 2001), jika memang keputusan kemandirian pangan sebagai keputusan
politik untuk ketahanan pangan. Persoalan teknologi produktivitas kedelai dan
lahan sebenarnya bukan lagi sebagai permasalahannya, hanya saja jika petani
tidak diberikan subsidi teknologi, produktivitasnya tetap rendah (< 1,2
ton/ha) dan biaya produksi per satuan produk menjadi tinggi sehingga ke
depannya tidak dapat bersaing dipasaran bebas. Upaya ini perlu dilakukan dengan
dengan menerapkan kebijakan yang simultan untuk merangsang pertumbuhan tinggi
baik dengan melibatkan stakeholder pelaku bisnis kedelai dari hulu hingga
hilir, teknologi, petani, perbankan dan pemerintah.
Harus diciptakan
kondisi yang kondusif untuk memberikan perlindungan pada petani. Menciptakan
dan mewujudkan kemandirian pangan nasional agar lebih ditekankan pada peran
petani serta stakeholder yang mengawal sistem produksi dari keterjaminan penyediaan
teknologi, sarana produksi hingga industri hilirnya. Fasilitas kebijakan yang
memberikan kemudahan petani pangan mendapatkan subsidi teknologi, mekanisasi
dan fasilitasi penunjang budidaya (seperti infrastruktur untuk pertanian
seperti irigasi dan jalan, dan kredit produksi), perlindungan pasar serta
kebijakan impor terbatas diperlukan untuk kembali menggairahkan pertanian
pangan. Dalam hal ini perlu adanya rencana dan pedoman yang jelas dan
sistematis sebagai komitmen bagi stakeholder khususnya dari pemerintah melalui Departemen
Pertanian dan departemen terkait dalam mewujudkan kemandirian pangan nasional
yang tangguh sebagai keputusan nasional yang didukung oleh pemerintah daerah
sebagai pelaksana di lapangan.
Upaya menciptakan
kemandirian pangan dengan mengembangkan produksi sumber pangan alternatif
substitusi pangan impor dilakukan seiring dengan pemacuan tiga komoditi pangan
utama di atas. Sumber pangan karbohidrat yang dapat dimanfaatkan untuk
substitusi pangan impor seperti kentang, jagung putih dan umbi-umbian.
Mengembangkan sumber pangan alternatif ini justru memiliki nilai ekonomis
tinggi karena disamping produktivitas per hektarnya tinggi, pangan tersebut
sebagai bahan baku
industri. Dengan keragaman sumber bahan pangan yang dikonsumsi dan dapat
diproduksi di dalam negeri diharapkan dapat menekan impor pangan secara nyata
dan mengurangi ketergantungan pangan dari luar negeri sehingga ketahanan dan
kemandirian pangan nasional semakin mantap.
Peran
Teknologi Produktivitas Organik Dalam Menunjang Ketahanan Pangan Yang
Berkelanjutan
Subsidi teknologi
yang menjadi bagian penting dari upaya menciptakan ketahanan pangan yang
tangguh, harus mengutamakan teknologi produktivitas yang ramah lingkungan. Teknologi
tersebut harus telah terbukti memberikan kontribusi yang nyata bagi peningkatan
produktivitas dan teruji bukan hanya untuk meningkatkan produktivitas tanaman
pangan tetapi juga mampu menjaga kelestarian produksi dan ramah lingkungan.
Disamping itu teknologi yang diterapkan harus bersifat sederhana, mudah
dimengerti dan dilaksanakan petani sehingga dapat diterapkan di lapangan secara
utuh dan memiliki kawalan/pendampingan di lapangan untuk menjamin
keberhasilannya.
Sebagai contoh
teknologi pupuk hayati Bio P 2000 Z yang diramu dari kumpulan mikro-organisme
indegenus terseleksi bersifat unggul berguna yang dikondisikan agar dapat hidup
harmonis bersama saling bersinergi dengan kultur mikro-organisme komersial
serta dibekali nutrisi dan unsur hara mikro dan makro yang berguna bagi mikroba
dan komoditas budidaya. Sekumpulan mikro-organisme unggul berguna dikemas dalam
pupuk hayati Bio Perforasi terdiri dari dekomposer
(Hetrotrop, Putrefaksi), pelarut mineral dan phospat, fiksasi nitrogen,
Autotrop (fotosintesis) dan mikroba fermentasi serta mikroba penghubung
(seperti Mycorrhiza) yang bekerja bersinergi dan nutrisi bahan organik
sederhana, seperti senyawa protein/peptida, karbohidrat, lipida, Vitamin,
senyawa sekunder, enzim dan hormon; serta unsur hara makro: N, P, K, S, Ca, dan
lainnya berkombinasi dengan hara mikro: seperti Mg, Si, Fe, Mn, Zn, Mn, Mo, Cl,
B, Cu, yang semua unsur yang disebut di atas diproses melalui cara fermentasi.
Bio Perforasi secara
komprehenship membentuk dan mengkondisikan keseimbangan
ekologis alamiah melalui sekumpulan jasa mikro-organisme unggul berguna
yang dikondisikan, bersinergi dengan
mikroba alami indogenus dan nutrisi; dan dengan menggunakan prinsip “mem-bioperforasi“ secara alami oleh zat
inorganik, organik dan biotik pada mahluk hidup (seperti tanaman) sehingga memacu
dan/atau mengendalikan pertumbuhan dan produksinya. Ternyata dengan sistem
demikian masalah tersumbatnya produksi komoditi pertanian dapat dipecahkan
(Mashar, 2000).
Melalui jasa
mikro-organisme unggul yang sebelumnya telah dikondisikan terhadap lingkungan
tumbuh kembang tanaman serta dibekali nutrisi dan unsur hara, faktor pembatas produksi
dan kendala tumbuh asal tanah dan lingkungan dapat direndam sehingga tanaman
dapat dipacu berproduksi tanpa menggangu hasil rekayasa konstelasi genetik yang
telah dimiliki tanaman sebelumnya. Hal ini seiring dengan tujuan meningkatkan
produktivitas hasil dari tanaman varietas unggul yang memiliki potensi genetik
tinggi seperti padi Hibrida, PTB dan padi unggul lain yang akan dikembangkan
untuk daerah-daerah kritis lebak rentan cekaman kesuburan tanah yang labil.
Seperti daerah transmigrasi Penggunaan mikroba Bio P 2000 Z secara teratur dan
sesuai anjuran ternyata mampu mendongkrak potensi produksi tanaman yang
bersangkutan melebihi referensi Genetik yang dimilikinya dan cekaman anasir
penghambat dalam tanah.
Keunggulan penerapan teknologi Bio Perforasi pada padi
adalah meningkatnya produktivitas dan kualitas beras. Pada padi unggul nasional
memacu bertambahnya anakan produktif rata-rata 19 – 35 anakan dan kuatnya perakaran
(gambar A), tahan rebah dan serangan penggerek batang; malai lebih besar
(berisi) sehingga dibanding tanpa Bio P2000Z pada volume gabah kering giling
(GKG) yang sama rendemen meningkat 30% - 40%. Karena proses keseimbangan hara
ini beras lebih jernih dan tidak mudah remuk/patah saat digiling.
Kesimpulan
1. Laju pertumbuhan produksi pangan nasional dalam
dasa warsa terakhir rata-rata cenderung terus menurun sedangkan laju
pertumbuhan jumlah penduduk terus meningkat yang berarti semakin meningkat ketergantungan
pangan nasional pada impor merupakan bahaya laten bagi kemandirian dan
ketahanan pangan nasional.
2. Produksi pangan yang terus menurun lebih disebabkan
karena: produktivitas hasil budidaya petani rata-rata masih rendah dan
perluasan areal lahan pertanian stagnan serta lahan yang ada cenderung menurun
kualitasnya sehingga perlu upaya mengatasi permasalahan tersebut dengan
terobosan yang konstruktif dalam produktivitas dan perluasan lahan.
3. Meningkatkan produktivitas dapat ditempuh melalui
cara antara lain: menerapkan teknologi budidaya produktivitas tinggi dengan
memberikan subsidi teknologi kepada petani seperti teknologi pupuk hayati Bio P
2000 Z; melakukan Soil Management di lahan pertanian dengan mengintroduksikan
agen mikroba penyubur dan nutrisi (seperti pupuk berimbang) untuk mengembalikan
keseimbangan alami yang membangun kesuburan tanah dan tanaman diatasnya;
melakukan eksplorasi potensi genetik tanaman yang memiliki performa tanaman
unggul hasil maksimal seperti varietas hibrida dan tipe baru dengan memberikan
perlakuan presisi kawalan teknologi yang sesuai sehingga efisiensi hasil
maksimal dapat tercapai .
4. Upaya memacu pertumbuhan produksi pangan dengan
membuka areal Lahan pertanian baru yang dapat di gunakan untuk pertanian produktif
adalah potensi lahan pasang surut dan lahan lebak, serta lahan kering yang
sebagian besar belum tergarap secara optimal dengan disertai penerapan
teknologi produktivitas.
5. Untuk mewujudkan swasembada dan kemandirian serta
ketahanan pangan dalam satu dasawarsa ke depan (2010), diperlukan perangkat
kebijakan yang mengarah pada perbaikan implementasi sistem agribisnis dan
tataniaga (impor) bahan pangan. Disamping itu laju pertumbuhan produksi
nasional harus dipacu pertahun secara bertahap, pada komoditas padi/beras dari
tahun 2003 sebesar 1,8 % menjadi 2,1% pada tahun 2010, komoditas jagung dari 2
% tahun 2003 menjadi 6,5 % tahun 2010, dan kedelai 13 % tahun 2003 terus
meningkat menjadi 20 % pada tahun 2010.
6. Penerapan teknologi organik seperti Bio P 2000 Z
yang memanfaatkan sinergi jasa mikroba unggul mampu meningkatkan produktivitas
tanaman lebih tinggi dari teknologi pupuk konvensional/kimia dan memiliki
manfaat memperbaiki kesuburan lahan serta menjaga produktivitas tinggi lahan
yang berkelanjutan.
Lampiran
(tabel 1, 2, 3, 4)
Tabel.1
Pertumbuhan
Per Tahun Peroduksi Beras, Jagung, Kedelai, 1992-1993
Komoditi
|
1992
|
1993
|
1994
|
1995
|
1996
|
1997
|
1998
|
1999
|
2000
|
2001
|
2002
|
2003
|
Padi
|
7.99
|
0.12
|
3.18
|
6.75
|
2.73
|
-3.37
|
-0.28
|
3.31
|
2.03
|
-2.77
|
1.82
|
0.04
|
Jagung
|
28.36
|
-19.68
|
6.25
|
22.12
|
12.87
|
-5.76
|
15.95
|
-9.49
|
5.14
|
-3.41
|
1.92
|
1.42
|
Kedelai
|
20.17
|
-8.63
|
-8.37
|
7.41
|
-9.69
|
-10.56
|
-3.76
|
5.91
|
-26.41
|
-16.74
|
-21.06
|
13.36
|
Penduduk
|
1.4
|
1.42
|
1.45
|
1.52
|
1.55
|
1.57
|
1.59
|
1.61
|
1.63
|
1.66
|
1.69
|
1.72
|
Tabel. 2
Target Produksi dan
Proyeksi Impor Padi Nasional Tahun 2000 - 2010
(000
ton)
|
2000
|
2001
|
2002
|
2003
|
2004
|
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
Kebutuhan
|
52,055
|
52,114
|
52,078
|
53,000
|
53,795
|
54,601
|
55,421
|
56,252
|
57,096
|
57,952
|
58,822
|
Produksi
|
49,429
|
49,144
|
50,078
|
51,000
|
51,941
|
52,900
|
53,877
|
54,890
|
56,023
|
57,191
|
58,387
|
Impor
|
2,626
|
2,970
|
2,000
|
2,000
|
1,854
|
1,701
|
1,544
|
1,362
|
1,073
|
761
|
435
|
Tabel. 3
Target Produksi dan
Proyeksi Impor Jagung Nasional Tahun 2000 - 2010
(000
ton)
|
2000
|
2001
|
2002
|
2003
|
2004
|
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
Kebutuhan
|
10.500
|
11.000
|
11.500
|
11.663
|
11.832
|
12.016
|
12.196
|
12.339
|
12.564
|
12.753
|
12.945
|
Produksi
|
9.676
|
9.165
|
9.278
|
9.409
|
9.625
|
9.969
|
10.445
|
11.065
|
11.735
|
12.466
|
13.285
|
Impor
|
824
|
1.835
|
2.222
|
2.254
|
2.213
|
2.047
|
1.251
|
1.314
|
229
|
257
|
-340
|
Tabel. 4
Target Produksi dan
Proyeksi Impor Kedelai Nasional Tahun 2000 - 2010
(000
ton)
|
2000
|
2001
|
2002
|
2003
|
2004
|
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
Kebutuhan
|
2.295
|
2.335
|
2.376
|
2.417
|
2.460
|
2.503
|
2.547
|
2.541
|
2.637
|
2.025
|
2.730
|
Produksi
|
1.017
|
923
|
837
|
915
|
1.010
|
1.126
|
1.271
|
1.453
|
1.653
|
1.685
|
2.380
|
Impor
|
1.277
|
1.412
|
1.558
|
1.902
|
1.450
|
1.376
|
1.276
|
1.138
|
951
|
697
|
350
|
Daftar Pustaka
Abdullah
Buang. 2002. Pengenbangan Padi Tipe Baru.
Makalah disampaikan Pada Seminar Temu Lapang BALITPA di KP. Pusakanegara,
Subang 26 September 2002
Alihamsyah T., Muhrizal Sarwani dan Isdianto Ar-Riza.
2002. Komponen Utama Teknologi
Optimalisasi lahan Pasang Surut Sebagai Sumber Pertumbuhan Produksi Padi Masa
Depan. Makalah disampaikan Pada Seminar IPTEK padi Pekan Padi Nasional di
Sukamandi 22 Maret 2002.
Ananto
Eko. 2002. Pengembangan Pertanian Lahan
rawa Pasang Surut Mendukung Peningkatan Produksi Pangan. Makalah disampaikan Pada Seminar IPTEK padi Pekan Padi
Nasional di Sukamandi 22 Maret 2002.
Anonim.
2003. Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Pangan dalam Kaitannya dengan Sistem Pertanian Organik. Makalah
Pengembangan Teknologi Padi di Hotel Kaisar Maret 2003.
Anonim.
2001. Pemberdayaan Usaha Anggota koperasi
Produsen tempe
Tahu Indonesia (KOPTI) Melalui Pemberian Insentif Pemerintah kepada INKOPTI. Inkopti.
Anonim.
2003. Penelitian dan Pengembangan tanaman
Pangan dalam Kaitannya dengan Sistem Pertanian Organik. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanaman Pangan.
BPS
( Biro Pusat Statistik). 2001.
Stasistik Indonesia 2000. BPS
Jakarta.
FAO. 1993. Rice
In human Nutrition. Food and Nutrition Series. FAO,
Rome .
Gurdev
S. khush. 2002. Food Security By Design:
Improving The Rice Plant in Partnership With NARS. Makalah disampaikan Pada Seminar IPTEK padi Pekan Padi
Nasional di Sukamandi 22 Maret 2002.
Purba S. dan Las I. 2002, Regionalisasi Opsi Strategi Peningkatan Produksi Beras. Makalah
disampaikan pada Seminar IPTEK padi Pekan Padi Nasional di Sukamandi 22 Maret
2002.
Mashar Ali Zum, 2000, Teknologi Hayati Bio P 2000 Z Sebagai Upaya untuk Memacu Produktivitas
Pertanian Organik di Lahan Marginal. Makalah disampaikan
Lokakarya dan pelatihan teknologi organik di Cibitung 22 Mei 2000.
Moeljopawiro Sugiono. 2002. Bioteknologi Untuk Peningkatan Produktivitas dan Kualitas Padi. Makalah
disampaikan Pada Seminar IPTEK padi Pekan Padi Nasional di Sukamandi 22 Maret
2002.
Sri
Adiningsih J., M. Soepartini, A. kusno, Mulyadi, dan Wiwik Hartati. 1994. Teknologi untuk Meningkatkan Produktivitas
Lahan Sawah dan Lahan Kering. Prosiding Temu Konsultasi Sumberdaya Lahan
Untuk Pembangunan Kawasan Timur Indonesia di Palu 17 – 20 Januari 1994.
No comments