MENGEMBANGKAN ETIKA KONSERVASI BIODIVERSITAS
Etika konservasi (conservation ethic)
dapat dibangun dengan dua prinsip
pendekatan, yakni pendekatan antroposentris
dan biosentris. Pendekatan antroposentris menekankan pada akibat
tindakan orang mengenai sumberdaya alam
atau lingkungan terhadap kepentingan orang lain. Artinya, etika konservasi ini
mengatur bagaimana seharusnya seseorang itu bertindak atau berbuat terhadap
sumberdaya alam (SDA) dan lingkungannya secara baik dan benar agar tidak
menimbulkan dampak negatif terhadap kepentingan orang lain, sekaligus mengatur
hukum atau sanksi bila terjadi pelanggaran.
Sebagai contoh, jika kita
menebang pohon atau membakar hutan, hendaknya mempertimbangkan dampaknya terhadap
kepentingan masyarakat sekitar dalam menjadikan hutan itu sebagai sumber penghidupan
mereka. Jika kita menebang hutan yang
pada gilirannya dapat mengganggu kehidupan masyarakat sekitar karena terjadi
banjir, maka kita akan dipandang
melakukan tindakan yang salah atau tidak beretika atau tidak bermoral. Sedangkan
pendekatan biosentris menekankan pada akibat tindakan orang atau
sekelompok orang mengenai sumberdaya alam atau lingkungan tanpa mempertimbangan
ada-tidaknya akibat terhadap orang lain melainkan lebih kepada dampaknya
terhadap kelestarian orgamisme flora-fauna itu di alam. Artinya lebih
menekankan pada akibat tindakan orang atau sekelompok orang terhadap
kepentingan kelestarian biologis (flora-fauna) dari SDA atau lingkungan
tesebut. Misalnya, jika kita menebang sesuatu pohon dalam hutan, harus
mempertimbangkan dampak penebangan pohon itu terhadap kepentingan burung atau
satwa tertentu yang menggunakan pohon itu untuk kepentingan kelangsungan hidupnya, baik sebagai sumber pakan, tempat
berteduh maupun sebagai tempat
berkembangbiak.
Mengacu pada pandangan itulah, sebenarnya
dapat dirumuskan beberapa argumentasi etik yang membenarkan perlunya konservasi
biodiversitas atau perlindungan terhadap sesuatu spesies langka
dan spesies tanpa nilai ekonomi yang jelas, sebagaimana dikemukakan oleh
Primack (1993) dan Primack et al.
(1998) sebagai berikut:
1. Setiap spesies memiliki hak untuk hidup, karena setiap spesies memiliki
nilai intrinsik, nilai untuk kebaikannya sendiri, meskipun tidak berhubungan
dengan kebutuhan manusia.
2. Semua spesies saling tergantung satu
sama lain. Spesies berinteraksi dengan cara yang kompleks sebagai bagian dari
komunitas alami. Hilangnya satu spesies memiliki konsekwensi yang jauh bagi anggota
lain di dalam komunitas, sehingga secara etik semua spesies harus dijaga
kelestariannya.
3. Manusia harus hidup di dalam keterbatasan ekologi seperti spesies lainnya.
Artinya manusia harus berhati-hati untuk meminimalkan kerusakan ini karena akan
mempengaruhi manusia juga.
4. Manusia harus bertanggungjawab sebagai penjaga dan pelindung bumi. Karena
jika kita merusak sumberdaya alam bumi dan menyebabkan kepunahan spesies, maka
generasi mendatang harus membayarnya dengan standar dan kualitas hidup yang
lebih rendah.
5. Menghargai kehidupan manusia dan keanekaragaman manusia sebanding dengan
menghargai keanekaragaman hayati.
6. Alam memiliki nilai spiritual dan estetika yang melebihi nilai ekonominya.
Hampir setiap orang membutuhkan kehidupan liar dan lansekap secara estetika,
dan banyak orang menganggap bumi sebagai ciptaan yang agung dengan kebaikannya
sendiri dan nilai yang harus dihargai. Oleh karena itu harus dijaga dan dipertahankan keberadaannya.
7. Keanekaragaman hayati dibutuhkan untuk menentukan asal kehidupan. Dua
misteri utama dunia filosofi dan ilmu pengetahuan adalah bagaimana kehidupan
timbul dan bagaimana keanekaragaman hidup yang ditemukan di muka bumi saat ini
ada. Ribuan ahli biologi bekerja untuk memecahkan misteri ini dan sudah
mendekati jawabannya. Jika suatu spesies punah, bukti-bukti menjadi hilang, dan
misteri ini menjadi sulit dipecahkan.
Dalam rangka mendorong pengembangan etika dunia bagi kehidupan
berkelanjutan, maka pada tahun 1991
dalam suatu pertemuan yang diprakarsai oleh World
Conservation Union dan dihadiri oleh banyak pakar dunia dari berbagai agama,
telah dirumuskan Elemen Etika Dunia untuk Kehidupan Berkelanjutan (Hamilton 1993), sebagai berikut:
1. Setiap manusia adalah bagian dari komunitas kehidupan dari semua makhluk
hidup yang saling berhubungan antar sesama, antar generasi sekarang dan
generasi yang akan datang, kemanusiaan dan bersandar dari alam. Mencakup juga
keragaman budaya dan alam.
2. Setiap manusia memiliki hak asasi yang sama, mencakup hak untuk hidup, kemerdekaan
dan keamanan personal, hak untuk bebas berbicara, berpikir, beragama, bebeas
menyelidiki dan mengungkapkan hasil penyelidikannya; kedamaian bertemu dan
berkumpul; berpartisipasi dalam pemerintahan; pendidikan dan mendapatkan
sumberdaya dalam dunia yang terbatas untuk suatu standar kehidupan yang layak.
Tidak ada individu, kemunitas, atau bangsa yang berhak menghilangkan hak
pihak yang lain untuk memenuhi kebutuhan
dasarnya.
3. Setiap orang dan setiap masyarakat berhak menghormati hak-hak tersebut dan
bertanggungjawab untuk melindungi ha-hak tersebut.
4. Setiap bentuk kehidupan memerlukan pernghargaan secara bebas dari manusia.
Pengembangan manusia tidak boleh menekan keutuhan alam atau daya hidup spesies
lain. Orang harus menghargai semua ciptaan secara layak dan melindungi mereka
dari kekejaman, menghindari penderitaan dan pembunuhan yang tidak perlu.
5. Setiap orang harus bertanggungjawab terhadap dampak dari tindakannya
terhadap alam. Orang harus memelihara proses ekologis dan keragaman alam dan
memanfaatkan setiap sumberdaya alam dengan hemat dan efisien, menjamin bahwa
pemanfaatan mereka terhadap sumberdaya alam yang dapat diperbaharui secara
berkelanjutan.
6. Setiap orang harus mengarahkan bersama-sama secara adil manfaat dan biaya
dari pemanfaatan sumberdaya diantara berbagai komunitas dan kelompok
kepentingan, diantara generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Setiap
generasi harus meninggalkan untuk masa yang akan datang suatu dunia yang
beragam dan produktif. Pembangunan oleh masyarakat atau generasi tidak boleh
membatasi peluang dari generasi atau masyarakat yang lain.
7. Perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dan semua kekayaan alam yang
ada merupakan suatu tanggungjawab dunia yang melewati batas semua kulturak,
idelogi dan wilayah geografi. Tanggungjawab itu bersifat individual maupun
kolektif.
Secara global baik argumentasi etik maupun rumusan elemen etik seperti dikemukakan
di atas tidak bisa dilepaskan dari pengaruh
pandangan barat yang modern dan pandangan timur yang tradisional
Pandangan timur lebih menekankan
pada pendekatan mental dengan usaha
pengembangan spiritualitas dan pengurangan sifat-sifat ego, tanpa kekerasan dan
meletakkan manusia sebagai bagian tak terpisah dari alam; kelestarian biodiversitas
menjadi fokus perhatian. Sebaliknya pandangan
barat lebih menekankan pada pendekatan teknologi, meningkatkan usaha pemenuhan
seluruh kebutuhan hidup manusia (konsumerisme), bertindak dengan kekerasan serta
mengembangkan ekonomi dengan prinsip pertumbuhan yang sebesar-besarnya, lebih
antroposentris atau berpusat pada kepentingan manusia dengan memandang manusia
merupakan satu bagian tersendiri dari alam. Pandangan barat menekankan pada
keseluruhan usaha meningkatkan produktivitas sumberdaya alam bagi kemaslahatan
manusia dengan penggunaan teknologi sebagai kekuatan utamanya. Dalam perspektif barat tersebut, jelas terlihat bahwa pandangan baratlah yang hampir mendominasi pemikiran
kebanyakan penggerak konservasi di dunia ini yang lebih dibangun atas dasar
prinsip pendekatan antroposentris dan biontris, lebih sekularis yang alpa
terhadap kesadaran dan panggilan pertanggunjawaban Ilahiah (transedental). Pandangan barat lebih menekankan pada kepercayaan
terhadap kekuatan akal pemikiran manusia dan andalan teknologi sebagai faktor
penting dalam pengendalian pemanfaatan
sumberdaya alam, lepas dari semangat dan kesadaran emosi dan spiritualitas
manusia sebagai suatu kekuatan penting. Berbeda halnya dengan pandangan Timur,
yang menempatkan pengendalian mental (emosi) dan pengembangan spiritualitas
sebagai salah satu ciri penting dan mendasar dalam usaha pemenuhan kebutuhan
hidupnya. Pandangan timur ini antara lain diwakili oleh kultur negara-negara
timur seperti Jepang dan Cina yang selalu mengembangkan hubungan harmoni dengan
alam lingkungannya dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya. Ada dorongan kuat
untuk mencapai derajat manusia dan kemanusiaanya melalui pola hubungan yang
selaras dan dengan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungannya. Emosi dan
spiritualitasnya selalu diarahkan sejalan dengan kondisi dan tatanan alam.
No comments