Denaturasi karena Garam logam berat
Garam logam berat mendenaturasi protein sama
dengan halnya asam dan basa. Garam logam berat umumnya mengandung Hg+2,
Pb+2, Ag+1 Tl+1, Cd+2 dan logam
lainnya dengan berat atom yang besar. Reaksi yang terjadi antara garam logam
berat akan mengakibatkan terbentuknya garam protein-logam yang tidak larut
(Ophart, C.E., 2003).
Protein akan mengalami presipitasi bila bereaksi
dengan ion logam. Pengendapan oleh ion positif (logam) diperlukan ph larutan
diatas pi karena protein bermuatan negatif, pengendapan oleh ion negatif
diperlukan ph larutan dibawah pi karena protein bermuatan positif. Ion-ion
positif yang dapat mengendapkan protein adalah; Ag+, Ca++,
Zn++, Hg++, Fe++, Cu++ dan Pb++,
sedangkan ion-ion negatif yang dapat mengendapkan protein adalah; ion
salisilat, triklorasetat, piktrat, tanat dan sulfosalisilat. (Anna, P., 1994).
Logam
berat juga merusak ikatan disulfida karena affinitasnya yang tinggi dan
kemampuannya untuk menarik sulfur sehingga mengakibatkan denaturasi protein
(Ophart, C.E., 2003).
Agen pereduksi merusak ikatan disulfida:
Ikatan
disulfida terbentuk dengan adanya oksidasi gugus sulfhidril pada sistein.
Antara rantai protein yang berbeda yang sama-sama memiliki gugus sulfhidril
akan membentuk ikatan disulfida kovalen yang sangat kuat. Agen pereduksi dapat
memutuskan ikatan disulfida, dimana penambahan atom hidrogen sehingga membentuk
gugus tiol; -SH (Ophart, C.E., 2003).
(Ophart,
C.E., 2003)
Protein yang terdenaturasi akan berkurang kelarutannya. Lapisan molekul
protein bagian dalam yang bersifat
hidrofobik akan keluar, sedangkan bagian yang hidrofilik akan terlipat ke
dalam. Pelipatan atau pembalikkan terjadi bila larutan protein mendekati pH
isoelektris, lalu protein akan menggumpal dan mengendap. Viskositas akan bertambah
karena molekul mengembang dan menjadi asimetrik, sudut putaran optis larutan
protein juga akan meningkat. Denaturasi protein dapat disebabkan oleh panas,
pH, bahan kimia, mekanik dan lain-lain. (Winarno, 1992).
Protein akan mengalami presipitasi bila bereaksi dengan ion logam.
Pengendapan oleh ion positif (logam) diperlukan ph larutan diatas pi karena
protein bermuatan negatif, pengendapan oleh ion negatif diperlukan ph larutan
dibawah pi karena protein bermuatan positif. Ion-ion positif yang dapat mengendapkan
protein adalah; Ag+, Ca++, Zn++, Hg++,
Fe++, Cu++ dan Pb++, sedangkan ion-ion negatif
yang dapat mengendapkan protein adalah; ion salisilat, triklorasetat, piktrat,
tanat dan sulfosalisilat. (Anna, P., 1994).
Protein akan mengalami kekeruhan terbesar pada saat mencapai ph
isoelektris yaitu pH dimana protein memiliki muatan positif dan negatif yang
sama, pada saat inilah protein mengalami denaturasi yang ditandai kekeruhan
meningkat dan timbulnya gumpalan. (Anna, P., 1994).
Pada umumnya
kadar protein di dalam bahan pangan menentukan mutu bahan pangan itu sendiri
(S.A. & Suwedo H. ,1987). Nilai gizi dari suatu bahan pangan ditentukan
bukan saja oleh kadar nutrien yang dikandungnya, tetapi juga oleh dapat
tidaknya nutrien tersebut digunakan oleh tubuh (Muchtadi, 1989). Salah satu
parameter nilai gizi protein adalah daya cernanya yang didefinisikan sebagai
efektivitas absorbsi protein oleh tubuh (Del Valle, 1981). Berdasarkan kandungan
asam-asan amino esensialnya, bahan pangan dapat dinilai apakah bergizi tinggi
atau tidak. Bahan pangan bernilai gizi tinggi apabila mengandung asam amino
esensial yang lengkap serta susunannya sesuai dengan kebutuhan tubuh.
Protein yang
mudah dicerna menunjukkan tingginya jumlah asam-asam amino yang dapat diserap
oleh tubuh dan begitu juga sebaliknya. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
daya cerna protein dalam tubuh adalah kondisi fisik dan kimia bahan. Makin
keras bahan, maka akan menurunkan daya cernanya dalam tubuh karena adanya ikatan
kompleks yang terdapat di dalam bahan yang sifatnya semakin kuat. Ikatan ini dapat
berupa ikatan antar molekul protein, ikatan protein- fitat, dan sebaginya.
Sedangkan kondisi kimia yaitu adanya senyawa anti gizi seperti tripsin
inhibitor dan fitat (Muchtadi, 1989).
Untuk
menentukan kualitas protein dalam bahan makanan dapat dilakukan secara in vitro, yaitu metode penentuan
kulaitas protein secara khemis berdasarkan pada pemecahan protein oleh enzim
proteolitik seperti pepsin, tripsin, khimotripsin, dan aminopeptidase
(Narasinga, 1978). Analisis ini memberikan gambaran berlangsungnya proses
pencernaan protein di lambung dan usus.
Enzim yang
biasa digunakan dalam percobaan adalah enzim pepsin yang merupakan golongan
dari enzim endopeptidase, yang dapat
menghidrolisis ikatan-ikatan peptida pada bagian tengah sepanjang rantai
polipeptida dan bekerja optimum pada pH
2 dan stabil pada pH 2-5. Enzim ini dihasilkan dalam bentuk pepsinogen yang
yang belum aktif di dalam getah lambung. Pepsin berada dalam keadaan inaktif
sempurna pada keadaan netral dan alkalis. Enzim ini bekerja dengan memecah
protein menjadi proteosa dan pepton (Del valle, 1981).
Analisis
protein secara in vitro terbagi atas
dua metode. Metode pertama adalah pepsin digest residue index (PDR) menggunakan
enzim pepsin sebagai penghidrolisis sampel protein. Sedangkan metode kedua
adalah pepsin pancreatin digest index yang menggunakan dua macam enzim yaitu
pepsin dan pancreatin. Pada kedua metode tersebut dibandingkan jumlah nitrogen
pada sampel dan pada residu sampel setelah dilakukan hidrolisis oleh enzim.
Peneraan
jumlah protein dilakukan dengan menentukan jumlah nitrogen yang dikandung oleh
suatu bahan. N total bahan diukur dengan menggunakan metode mikro-Kjeldahl.
Prinsip dari metode ini adalah oksidasi senyawa organik oleh asam sulfat untuk
membentuk CO2 dan H2O serta pelepasan nitrogen dalam
bentuk ammonia yaitu penentuan protein berdasarkan jumlah N. Dalam penentuan
protein seharusnya hanya nitrogen yang berasal dari protein saja yang
ditentukan. Akan tetapi teknik ini sulit sekali dilakukan mengingat kandungan
senyawaan N lain selain protein dalam bahan juga terikut dalam analisis ini.
Jumlah senyawaan N ini biasanya sangat kecil yang meliputi urea, asam nukleat,
ammonia, nitrat, nitrit, asam amino, amida, purin, dan pirimidin. Oleh karena
itu penentuan jumlah N total ini tetap dilakukan untuk mewakili jumlah protein
yang ada. Kadar protein yang ditentukan dengan cara ini biasa disebut sebagai protein kadar/crude
protein (Sudarmadji, 1996). Analisa protein cara kjeldahl pada dasarnya dibagi
menjadi tiga tahapan yaitu proses destruksi, destilasi dan titrasi.
Penentuan kandungan air dalam bahan
makanan dapat dilakukan dengan berbagai cara, dimana hal ini tergantung dari
sifat bahannya. Dalam percobaan, analisa kadar air ditentukan dengan metode
pengeringan (Thermogravimetri). Prinsipnya adalah menguapkan air yang ada dalam
bahan dengan jalan pemanasan, kemudian menimbang bahan tersebut sampai berat
konstan yang berarti semua air sudah diuapkan. Cara ini relatif mudah dan
murah, akan tetapi memiliki berbagai kelemahan. Diantaranya ialah:
v
Bahan lain selain air juga ikut menguap dan ikut
hilang bersama dengan uap. Misalnya alcohol, asam asetat, minyak aksim, dll.
v
Dapat terjadi reaksi selama pemanasan yang
menghasilkan air atau zat mudah menguap lain. Contoh: gula mengalami
dekomposisi atau karamelisasi, lemak mengalami oksidasi, dsb.
v
Bahan yang mengandung bahan yang mengikat air
secara kuat sekali melepaskan airnya meskipun sudah dipanaskan.
No comments