Informasi Non-Genetik
Proses
evolusi makhluk hidup yang menjadi sorotan tajam dan menjadi perdebatan yang
hangat adalah evolusi manusia. Tegasnya kebanyakan orang (awam) mempertanyakan
apakah manusia merupakan produk evolusi
seperti halnya makhluk hidup yang lain. Dan bila benar demikian tentunya
manusia berasal dari makhluk hidup yang lebih sederhana dan inilah yang
menimbulkan “rasa tidak enak” pada orang-orang yang mempertanyakan tersebut,
lebih-lebih bila dikatakan leluhur manusia adalah kera. Namaun disamping itu
bila manusia merupakan produk evolusi, sehingga berkedudukan sebagai obyek,
sehingga konsekuensinya adalah bahwa manusia masa kini akan berevolusi terus,
dan tidak mustahil bila keturunan kita di masa mendatang adalah makhluk hidup
yang jauh lebih “sempurna” dari kita, manusia sekarang terlepas dari aspek
ragawi, yang mempunyai kemiripan dari beberapa jenis binatang tertentu, bahkan
ada kesamaan mengenai unsur pembentuk raga yang paling dasar, dengan semua
makhluk hidup, dirasakan adanya aspek tertentu yang membedakan manusia dengan
makhluk hidup yang lain.
Kalau
dalam studi biologi kita mengenal adanya informasi-genetik yang ditransmisikan
dari generasi ke generasi, yang memberi gambaran tentang ciri-ciri biologik
makhluk hidup yang bersangkutan, maupun kemungkinan perkembangannya kemudian,
serta kemungkinan asal mulanya, maka pada manusia selain informasi genetik
dikenal adanya informasi non-genetik. Informasi non-genetik mencakup cara
merespons lingkungan dan gejala perubahannya, kebiasaan perilaku, pola tradisi
dan hasil budaya yang ditransisikan pada keturunannya. Pewarisan ini dan adanya
perubahan dari apa yang diwariskan menunjukkan adanya perkembangan yang semakin
kompleks.
Hal yang menarik yang dapat dikemukakan disini adalah pemakaian dan pembuatan alat untuk menopang eksistensi makhluk hidup. Dengan alat tersebut makhluk hidup dapat memanfaatkan dan menguasai lingkungan hidupnya, mulai dari sekedar membantu mempermudah memperoleh buruan, mempertahankan diri dari lawan-lawannya, berkompetisi dengan makhluk lain untuk memperoleh makan, membangun tempat berlindung, membuat pakaian, menciptakan seni dan untuk upacara “keagamaan”.
Dari
peninggalan yang diperoleh para ahli berusaha untuk membuat interpretasi
perkembangan evolusi dari aspek psiko-sosial.
Sorotan
perkembangan aspek psiko-sosisal yang dalam judul tulisan ini dimaknakan
sebagai perkembangan informasi non-genetik dibatasi dari sorotan terhadap
makhluk bipedal, bertumpu, dan berjalan dengan dua anggota (kaki), yang
sikapnya tegak sampai yang digolongkan pada Homo sapiens.
Makhluk
bipedal yang sikapnya tegak yang paling tua yang ditemukan sampai hari ini,
adalah Australopitesin yang mungkin sudah muncul 8 – 10 juta tahun yang lalu,
yang sudah diidentifikasikan adalah apa yang sudah ditemukan oleh Bryan Pattersons
di Kenya 5,5 juta tahun yang lalu, yang selanjtnya duinamai Australopithecus
africanus (australopithecus = kera dari selatan). Yang lebih muda adalah Australopithecus
afarensis, yang berumur 3,5 juta tahun, ditemukan di Afar (Ethiopia ) oleh
Mary Leaky. Disamping kedua Australopithesin tersebut masih dijumpai
Australopithesin lain yang hidup sekitar 2 – 1 juta tahun yang lalu, yaitu Australopithecus
robustus dan Australopithecus boisei. Makhluk yang digolongkan
sebagai hominid (pra-manusia) ini sebagian makan tumbuhan dan ada pula yang
makan daging.
Pada
situs, tempat ditemukannya fosil Australopithecus africanus si pemakan
daging, ditemukan batu dengan bentuk khusus yang menunjukan bahwa batu tersebut
digunakan sebagai perkakas untuk berburu dan untuk melawan musuhnya. Ternyata
selain Australopitesin disepakati para ahli sebagai pemakai perkakas ditemukan
pula oleh suami istri Leakey tipe fosil yang lebih maju dari Australopitesin,
yang selanjutnya diberi nama Homo habilis (habilis = tukang), disbut demikian
karena ada tanda-tanda bahwa makhluk ini tidak sekedar pemakai alat, tatapi
juga sudah membuatnya.
Sekitar
700.000 tahun yang lalu beberapa tempat di Asia (Jawa), Afrika (Tanzania, Kenya)
dan Eropa (Pegunungan Atlas), dihuni oleh makhluk yang semula disebut
Pithecantropus (oleh Duboi) yang berarti “manusia kera” , namun adanya
ciri-ciri yang lebih berat pada ciri-ciri manusia, maka sebutan yang lebih
tepat adalah Homo erectus. Makhluk ini sudah mampu membuat alat
untuk berburu yang kualitasnya lebih baik dari yang dibuat oleh Homo habilis
dan ragamnya lebih banyak. Dikenal selain alat yang terbuat dari batu, juga
alat yang terbuat dari kayu maupun tulang. Yang lebih menonjol lagi adalag
bahwa makhluk ini sudah mengenal api, dengan kata lain mereka sudah mengenal
benda atau perkakas yang menghasilkan
api. Dari peninggalan kerangka binatang yang menumpuk di tempat tertentu
menunjukkan bahwa mereka adalah pemburu
ulung dan satu langkah yang lebih maju adalah adanya kehidupan
bermasyarakat yang terdiri dari sekitar 20 – 50 orang. Di Jawa peninggalan yang
ditemukan oleh Von Koeningswad yang selanjutnya dikenal dengan Meganthopus
palaeojavanicus, si manusia raksasa yang hidup 600-500.000 tahun yang lalu.
Setua manusia raksasa adalah fosil yang ditemukan di Goa Chou Kou Tien di
China, yang karenanya fosil itu ditandai dengan nama Sinanthropus atau
selanjutnya lazim disebut “Homo erectus Pekinensis” hidup sekitar
500.000 tahu yang lalu. Sampai begitu jauh penemuan fosil ini tidak menambah
perbendaharaan pelacakan evolusi manusia ditinjau dari segi
psiko-sosial/informasi non-genetik.
Penemuan
yang menyangkut makhluk yang lebih kemudian, yang berasal dari Asia (Jawa),
Afrika (Rodensia) dan Eropa (Inggris), memberi masukkan data adanya
oerkembangan yang lebih maju. Perkakas yang ditemukan digunakan untuk
menunjukkan berkembangnya keterampilan dalam membuat alat, sehingga tidak lagi
sekedar dipotong tetapi sudah di asah. Ini menunjukkan bahwa mereka telah
memiliki alat untuk mengasah dan sudah timbul pengetahuan yang berkaitan dengan
pemilihan bahan. Fosil yang hidup sekitar 400.000 tahun yang lalu itu, ada yang
menganggap sebagai pra Homo sapiens, namun ada sementara ahli yang
berpendapat, bahwa anggapan tersebut terlalu maju, mengingat bahwa dari aspek
fisik, dalam hal ini bentuk tengkorak dan volume otaknya masih jauh dari
manusia modern, begitu pula dari aspek psiko-sosialnya. Para
ahli yang disebut belakangan ini menyebutnya sebagai pra manusia Lembah
Neander, sungguhpun masih tergolong dalam Homo erectus. Mengingat bahwa
banyak penemuan fosil Homo erectus di Jawa, maka dapat diketengahkan di
sini beberapa penemuan seperti Homo erectus Mojokerto (Baca: Homo
erectus dari Mojokerto) yang paling tua, Manusia Trinil (ditemukan di desa Trinil, suatu lembah
Bengawan Solo), Manusia Sangiran (dari desa Sangiran dekat Solo), Manusia
Ngandong yang juga dari Solo, disamping fosil yang pernah disebut dimuka,
manusia raksasa dari Jawa (Meganthropus palaeojavanicus) yang juga
terdapat di Sangiran.
Kalau
pada fosil manusia pra Neanderthal (Pra Manusia dari lembah Neander),
perkembangan yang lebih hanya yang menyangkut alat, maka pada manusia lembah
Neander yang hidup sekitar 150.000 – 60.000 tahun yang lalu ada perkembangan
dalam bidang lain.
Alat
yang digunakan tidak terbatas pada alat berburu dan mempertahankan diri, tetapi
juga tempat makanan dan minuman. Pada manusia Lembah Neander sudah berkemabang
benih adanya kepercayaan Supra Natural, benih-benih keagamaan sebagai contoh
adalah ditemukannya kuburan di Le Moustier yang berisi kerangka yang
dikebumikan secara terhormat. Ini ditandai dengan adanya perkakas yang terpilih
berada dalam kuburan tersebut, juga diletakkannya tengkorak tersebut pada batu
yang seakan–akan berfungsi sebagai bantal. Keadaan ini ada yang menterjemahkan
sebagai benih kepercayaan adanya hidup sesudah mati. Contoh lain adalah
ditemukannya kuburan yang berisikan kerangka manusia yang didampingi beruang
raksasa lengkap. Besar dugaan bahwa beruang tersebut dijadikan korban
persembahan. Ini mengingatkan bahwa kuburan tersebut terletak pada ketinggian
15.000 m di Juriss pada lereng gunung yang terjal dan hampir-hampir tak
terjangkau oleh manusia.
Pada
manusia Cro-Magnon yang hidup sekitar 40.000 tahun yang lalu yang menarik
adalah bahwa mereka sudah mengembangkan kesenian, dalam hal ini seni lukis.
Interpretasi terhadap lukisan-lukisan yang ada di goa antara lain, sebagai
bentuk informasi tetang masalah perburuan, macam binatang buruan, cara-cara mematikan
atau menjebak dan yang khusus adalah adanya lukisan yang cenderung budaya
menangis, misalnya gambar manusia dengan kepala bertanduk rusa dengan sorot
mata yang tajam dan membawa tongkat sihir. Mungkin sekali gambar ini bertujuan
untuk keberhasilan perburuan (Gambar 7.2). Suatu hal yang mengagumkan adalah
bahwa mereka sudah menggunakan pewarna, yang menurut para ahli dapat bertahan
tetap cemerlang selama 40.000 – 20.000 tahun. Lukisan daya magis yang lain
adalah suatu bangunan berwujud patung wanita dengan tekanan pada ukuran buah
dada, perut dan pinggul yang besar yang diduga digunakan sebagai lambang
kesuburan. Manusia Cro-Magnon diduga mengadakan pemujaan lewat lukisan-lukisan
di dinding goa, khususnya lukisan-lukisan di dinding goa atau celah-celah
tebing terasing dan membahayakan bagi pelukisnya. Alat yang digunakan selain
dibuat dari batu juga dari tulang atau tanduk, mereka sudah mengenal adanya
jarum yang dipergunakan untuk menjahit pakaian yang berupa kulit binatang.
Dengan
membandingkan “produk budaya”/Budaya yang berupa benda-benda peninggalan, baik
yang dipakai, dibuat maupun karya-karya seni dan pola pemujaan, dapat
disimpulkan bahwa semakin muda umur geologiknya semakin kompleks
peninggalannya. Kemiripan dengan hasil budaya makhluk modern semakin nyata.
Dengan demikian adanya arus informasi non-genetik dari generasi ke generasi
rupanya mendekati suatu kenyataan. Dan mengingangat bahwa perkembangan hasil
“Budaya”/budaya tersebut memakan waktu yang absolut lama, maka orang cenderung
menyebut sebagai evolusi psiko-sosisal, evolusi budaya atau kultural.
Hubungan
manusia purba dengan lingkungannya menunjukkan bahwa ketergantungan mereka
dengan alam, semakin muda usia geologiknya, semakin berkurang. Bila semula mereka
tergantung dari kemurahan alam, menyesuaikan diri dengan alam sekitarnya,
mereka berkembang menuju pada penguasa alam. Dari pegunungan api jelas
bahwa manusia adalah satu-satunya
makhluk yang tidak lari dari api, bahkan menggunakannya untuk melawan alam,
terhadap udara yang dingin dan menggunakannya sebagai sarana untuk mengusir
binatang-binatang liar, disamping sebagai sarana berburu.
No comments