Breaking News

Kaitan “Evolusi Kultural” dan “Evolusi Biologik”

Di awal bab ini telah dibicarakan adanya peninggalan-peninggalan “budaya” yang menunjukkan bahwa semakin muda umur fosil, semakin kompleks peninggalan “budayanya”. Apakah peninggalan yang semakin kompleks atau maju itu disebabkan oleh adanya informasi non-genetik yang ditransmisikan dari generasi ke generasi, tentunya hal itu yang harus dijawab, kalau kita akan bicara masalah evolusi kultural. Perkembangan aspek psiko-sosial dari individu tidak lepas dari perkembangan biologiknya, dan atas dasar inilah orang cenderung untuk mencoba mencari hubungan antara peninggalan yang mempunyai aspek psiko-sosial dan aspek ragawinya.
Analisis untuk mencari kaitan dimaksud sudah barang tentu bersifat interpretatif dengan menggunakan modal objek konkret berupa peninggalan dan modal analisis dan perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini. Hal ini penting dikemukakan oleh karena bertambahnya ilmu pengetahuan yang melaju dengan pesat dan bertambahnya penemuan hasil eksplorasi dengan teknologi canggih, sangat boleh jadi mengubah pendapat, hasil analisis tersebut. Lebih-lebih karena membicarakan evolusi manusia adalah membicarakan diri kita sendiri, oleh karena itu tidak dapat dielakkan adanya rancu ilmiah (Scientific bias) dan rancu kultural (Cultural Bias).
Upaya untuk mencari hubungan seperti dimaksud di atas, menurut ahli antropologi, merupakan suatu keharusan, karena manusia adalah bagian integral dari alam, dari suatu segi mempunyai kedudukan yang sama dengan makhluk hidup yang lain, jadi merupakan produk evolusi dan dari segi lain mempunyai kemampuan dan potensi yang khas, yang dapat mempengaruhi alam sekelilingnya.
Sotoran pada aspek biologik pada makhluk-makhluk yang dianggap leluhur manusia, atau setidak-tidaknya diduga mempunyai leluhur yang sama dengan manusia atau hidup berdampingan pada waktu yang lama.
Pada fosil makhluk-makhluk tersebut analisis utama dapat ditunjukkan pada bagian-bagian yang paling pokok, yaitu: kaki, pinggul, tangan dan kepala. Ketiga bagian tersebut merupakan kunci yang antara lain  dapat memberikan gambaran tentang posisi tubuh, perilaku gerak dalam kaitannya dengan tanggapan terhadap rangsang, perilaku gerak dalam kaitannya dalam upaya pemenuhan kebutuhan fisologik, kemampuan memilih, menggunakan dan membuat alat bantu untuk pemenuhan kebutuhan fisiologik, kedudukan alat indera dan besarnya potensi penginderaanya, volume otak dan perkembangan bagian-bagiannya, kedudukan kepala dalam kaitannya dengan kedudukan otot-otot tertentu, bentuk dan perilaku makan.
Dari bentuk tulang pinggul dapat diperkirakan posisi tubuh fosil yang diteliti, sewaktu masih hidup (Lihat Gambar 7.3).
Panjang tulang-tulang, panjang kaki ikut menentukan gerak atau kegesitan gerak, kemudian pula besarnya tulang-tulang tersebut, kondisi tulang, lurus atau bengkok ikut pula menentukan, begitu juga kedudukan tulang telapak kaki. Pada manusia sekarang kedudukannya tulang-tulang tersebut, sedemikian rupa keadaannya, sehingga bila kaki ditapakkan, telapak kaki tidak seluruhnya secara merata menapak di landasan.
Bipedalisme, sungguhpun tidak menjamin kecepatan gerak, tetapi ada keleluasaan gerak, yang memberi keuntungan pada usaha membela diri. Dari segi lain bipedalisme memberi kebebasan pada ekstremitas superior yang memberi keuntungan dalam rangka membela diri, mencari makan dan menghasilkan karya mulai bentuk yang paling sederhana seperti kapak genggam sampai karya yang bernilai seni seperti halnya Manusia Cro-Magnon (Lihat Gambar 7.2). Karya bentuk lukisan tersebut hanya akan terwujud bila ibu jari dapat bergerak secara luwes (prehensil) dan dapat dipertemukan dengan jari-jarinya atau paking tidak dengan jari telunjuk. Keuntungan lain dari ekstremitas superior dari fungsi lokomosi adalah dipengaruhinya fungsi lain, seperti pemeliharaan atau mengasuh anak/keturunan dan meraba serta untuk komunikasi dalam bentuk isyarat, disamping bentuk-bentuk lambang lain yang telah dikemukakan di awal bab ini dinyatakan sebagai transmisi informasi non-genetik, suatu bentuk aktivitas psiko-sosial.
Letak alat indera, misalnya mata, yang terletak pada suatu bidang memungkinkan adanya penginderaan binokuler, dan pada perkembangannya memungkinakan penginderaan stereoskopik, sehingga obyek tiga dimensi dapat tertangkap sebagaimana keadaan yang sebenarnya. Pada makhluk arboreal, yang hidup di pepohonan, jarak dahan ke dahan dapat terindera secara tepat. Pada makhluk teresterial penginderaan stereoskopik memberikan kemampuan pandang dalam yang memungkinkan dapat mengindera dengan cermat. Pada makhluk arboreal dan teresterial dan teresterial perkembangan penglihatan dan perabaan yang semakin maju, melebihi perkembangan indera penciuman dan pendengar. Bagi makhluk arboreal ini sangat berarti untuk ketepatan sasaran yang akan dicapai, sedang pada makhluk teresterial koordinasi tangan dan mata merupakan sarat pembutan alat perkakas.
Bentuk tengkorak memberi kemungkinan perkembangan bagian-bagian otak tertentu, seperti bagian frontal yang berkaitan dengan gerak, bagian temporal berkaitan dengan tutur dan ingatan, bagian occipital ada hubungannya dengan penyimpanan informasi.
Semakin luas dan kompleksnya pengideraan baik melalui indera penglihatan maupun peraba, membawa konsekuensi perkembangan sistem masukkan sensorik, mekanisme neural untuk mengevaluasi masukkan sensorik, dalam hal ini terjadi di cortek cerebri, yang juga berfungsi untuk formulasi dan inisiasi tanggapan terhadap stimulasi lingkungan yang diindera.
Rahang bawah yang masif dan karenanya berat, serta menonjol ke muka, mengisyaratkan sulitnya komunikasi secara lisan, demikian pula adanya guratan yang menunjukkan tempat pertautan otot yang kuat. Gigi geligi pada rahang memberi ilustrasi apakah sewaktu hidup makanannya berasal dari tumbuhan atau berupa daging. Geligi yang merupakan indikator apakah pemakan daging dapat dikaitkan dengan bentuk dan susunan tangan yang luwes.
Makhluk bipedal yang berpostur tegak atau hampir tegak yang oleh sementara ahli digolongkan pada homonid (menyerupai manusia) adalah Australopitesin (kera dari selatan). Dibedakan Australopitesin pemakan tumbyhan seperti Australopithecus robustus, dilihat dari geliginya dan pemakan daging seperti Australopithecus boisei. Volume otak berkisar antara 400 – 530 cc, ciri ke-kera-an selain dilihat dari volume otaknya juga dari dahi yang rendah, tulang kening yang menonjol, rahang masif dan geligi kekeraan. Kepala menggantung karena foramen magnum berada di belakang. Di antara Australopithesin yang dikenal diantaranya yang paling muda adalah Australopithecus boisei. Sementara para ahli beranggapan bahwa makhluk tersebut telah mampu membuat alat, nyata dapat dibedakan dari yang ada disekitarnya. Namun kemudian dari hasil penggalian Leaky suami istri, ditemukan di Olduval (tanganyika) fosil yang oleh mereka disebut sebagai Homo habilis si manusia tukang. Dari tengkorak yang ditemukan terlihat bahwa kapasitas otaknya lebih besar dari Australopitesin, tengkoraknya halus cenderung membulat, dan tangannya menurut Napier, yang ahli dalam penelaahan fungsi tangan, mempunyai kapabilitas untuk membuat alat. Namun sengketa tentang julukan Homo berkembang dan ada yang beranggapan bahwa “Homo habilis” adalah Australopitesin yang sudah maju.
Dari pendapat yang pertama dapat diartikan bahwa Australopiesin dan leluhur Homo haiblis bersia sekitar 2,5 juta tahun. Perkiraan ini didasarkan pada penemuan Richard Leaky di danau Turkana yang mempunyai keistimewaan antara lain mempunyai tulang kening yang tidak menjorok, kapasitas otak ± 800 cc, dan dikenal sebagai pemakan daging. Fosil ini kemudian dikenal sebagai manusia 1470, disebut demikian karena di Musium Nasional Kenya tercatat sebagai fosil yang  bernomor 1470. Fosil yang lebih muda adalah fosil yang semula dijuluki sebagai manusia kera atau Pithecanthropus, yang karena berdiri tegak, disebut Pithecanthropus erectus. Namun kemudian julukan tersebut dirubah menjadi Homo erectus karena ciri-ciri manusianya lebih menonjol. Dengan demikian statusnya kebalikan dari Australopithecus yang dijuluki kera yang mirip manusia.
Volume otak Homo erectus berkisar antara 700 – 900 cc, seperti yang dikemukakan oleh Von Koenigswald di Jawa, manusia jawa yang berkapasitas 900 cc. Tengkorak dari anak-anak dari apa yang disebut Homo erectus Mojokerto saja, kapasitas otaknya 700 cc, fosil yang sangat mirip dengan Homo erectus penemuan Von Koenigswald adalah Homo erectus Peking yang semula disebut sebagai Sinanthropus.
Fosil yang lebih muda yang kemudian disebut manusia Trinil dan manusia Ngandong (Homo erectus Soloensis) disebut demikian karena letak kedua kota tersebut adalah dekat Bengawan Solo, mempunyai kapasitas otoak antara 900 – 1.000 cc. Besarnya otak ini selanjutnya dikaitkan pula dengan ditemukannya ± 2.400 perkakas dekat Pacitan. Mereka sudah menggunakan api, sebagaimana diketahui api adalah suatu yang menarik, melalui penginderaan mata, tetapi sekaligus menakutkan bagi binatang. Diperkirakan otak Homo erectus mempu memanipulasi api tidak saja untuk memanasi tubuh tetapi untuk keperluan yang lain.
Ciri yang mendekati ciri manusia adalah adanya prosessus mastoideus, tonjolan tulang tengkorak, oss, mastoideus, yang letaknya dibelakang telinga. Disamping itu gigi geligi yang serupa manusia , tidak ada taring yang muncul, sedang proporsi rahangnya mirip proporsi rahang manusia. Namun demikian ciri kekeraan yang masih terlihat adalah tulang kening yang menonjol dan masif serta dahi yang melereng (agak kurang), pada Homo erectus Peking, fosil ini di juluki Pra-Neanderthal.
Tengkorak manusia Lembah Neander menunjukkan semakin dekat ciri manusia modern, namun belum dapat digolongkan pada manusia modern. Bentuk bagian tengkorak tidak seekstrim pada Homo erectus ataupun Australopiithecus, meskipun ciri adanya tulang kening dan tidak adanya dagu masih mewarnai bentuk tengkorak keseluruhan. Yang mengherankan adalah besarnya otak sama dengan otak manusia modern. Manifestasi dengan semakin besarnya volume otak tersebut adalah adanya gejala pemujaan suatu yang abstrak, mereka telah mulai berabstraksi dan setidak-tidaknya berkhayal.
Catatan fosil yang khusus adalah fosil manusia Swanscombe dari lembah sungai Thames (London) yang ternyata kemungkinan besar lebh tua dari manusia lembah Neander, namun mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan Homo sapiens. Sementara ahli beranggapan bahwa Manusia Swanscombe, juga yang lain, yaitu Steinheim merupakan manusia modern yang muncul terlalu dini, garis-garis primitif memang masih kelihatan, namun lebih berkemang dibanding dengan manusia Lembah Neander.
Fosil manusia Cro-Magnon, yang hidup 40.000 – 10.000 tahun yang lalu, adalah benar-benar makhluk yang mirip dengan Homo sapiens. Tengkorak tipis, dahi tinggi, mulut tidak monyong sedang besarnya otak sama dengan manusia modern.
Secara lepas makin muda umur geologik fosil, makin kompleks perkembangan budaya, dan aspek psiko-sosialnya, semakin muda umur geologik fosil, perkembangan bagian tubuh tertentu semakin mirip dengan manusia modern.
Pertanyaan yang timbul adalah apakah perkembangan raga tersebut ada kesinambungannya, untuk dapat dikatakan sebagai suatu proses evolusi.
Munculnya Homo hibilis pada masa  “kejayaan” Australopithecus, dan munculnya manusia Swanscombe bersamaan waktunya dengan Homo erectus, memberikan gambaran kemungkinan adanya kesinambungan informasi genetik.
Hal tersebut mendorong para ahli untuk mencoba mencari bentuk-bentuk antara, antara manusia dengan kera. Hal ini penting oleh karena hebatnya pro dan kontra terhadap teori yang dikemukakan oleh Charles Darwin yang menyatakan bahwa spesies itu mengalami perubahan dari masa ke masa, tanpa dapat mengelak dari pengaruh lingkungan, perubahan itu dapat begitu jauh hingga dapat menjadi spesies baru.
Dari penemuan Australopitesin yang dianggap sebagai kera yang mempunyai ciri manusia, kemudian manusia kera yang dinyatakan cenderung sebagai manusia tetapi masih mempunyai ciri kera, semua itu tidak melegakan harapan, karena ciri-ciri yang ada pada Australopitesin, maupun manusia kera (Pithechantropus) masih terlalu harus. Para ahli masih mencari bentuk peralihan yang lebih “halus”, suatu bentuk “campuran”  dalam arti sebenarnya.
Sehingga pada tahun 1912, Charles Dawson menemukan fosil di Piltdown (Inggris) yang benar-benar dapat mewakili bentuk antara yang dicari. Fosil tersebut menunjukkan adanya campuran yang lebih, integral, karena telah direkonstruksi bentuk fosil itu nyata-nyata merupakan tengkorak manusia modern, dengan rahang bawah yang mempunyai ciri kera. Fosil tersebut pernah dinamai Eoanthropus Dawnsoni, meskipun demikian dengan membandingkan fosil tersebut dengan penemuan lain, para ahli merasa curiga, karena fosil yang ditemukan adalah cenderung menunjukkan tengkorak yang menyerupai kera dan rahang yang menyerupai manusia. Lalu arah evolusi manakah yang benar?
Ternyata kemudian pada permulaan 1950, dengan pengujian kimiawi, melalui Horine Test serta melalui analisis anatomi, ternyata bahwa fosil tersebut palsu. Tengkorak tersebut adalah hasil rakitan yang cermat tentunya oleh orang yang mengenal kimia dan anatomi. Hal ini menilik warna tulang yang kepurba-purbaan dan bentuk gigi yang kekera-keraan, hasil suatu kikiran yang cukup halus.
Akhirnya manusia Piltdown disisihkan dari percaturan penelitian fosil-fosil antara, dan dianggap sebagai suatu lelucon yang menyakitkan hati. Betapa tidak, selama ± 40 tahun, para ahli berdebat dan terdorong untuk mencari kelengkapan informasi tentang fosil tersebut.

No comments