Semen Manusia
Pada saat pengamatan semen manusia, kami melakukan pengamatan dengan dua kali pengamatan, yaitu pengamatan secara makroskopik dan mikroskopik. Pada pengamatan semen secara makroskopik kami melakukan beberapa pengamatan, antara lain: volume, warna, pH, dan kekentalan, pada pengamatan mikroskopik kami melakukan beberapa pengamatan, antara lain: morfologi dan motilitas.
Pada saat pengamatan secara makroskopik, data yang kami dapatkan yaitu volume semen mencapai 4 ml, warnanya putih kuning, pH setelah diencerkan dengan menggunakan NaCl mencapai 7(bersifat netral) dan konsistensinya kental.
Warna semen pada manusia yang normal yaitu seperti lem kanji atau putih kelabu. Jika agak lama abstinensi kekuningan. Jika bewarna putih atau kekuningan itu merupakan tanda banyaknya lekosit, yang mungkin oleh adanya infeksi pada genetalia. Beberapa macam obat seperti antibiotika, juga dapat menimbulkan warna pada semen (sperma) tersebut (Yatim, 1994).
Koogulasi (kekentalan) pada semen normal yaitu jika setelah ejakulasi sel sperma tersebut segera menggumpal (koogulasi). Jika langsung encer ketika ditampung berarti ada gangguan pada vesicula seminalis atau ductus ejaculatorius (Yatim, 1994: 53).
Pada saat pengamatan semen manusia secara mikroskopik dengan bantuan mikroskop cahaya perbesaran 10 x 10, kami menemukan adanya beberapa sel sperma manusia. Dalam pengamatan dengan menggunakan mikroskop cahaya ini, kami tidak dapat mengamati gerakan massa (motilitas) dari sel sperma tersebut dikarenakan pada preparat yang kami gunakan sperma sudah tidak dapat bertahan (mati), tetapi motilitas secara individu dapat kami lihat di bawah mikroskop elektron bahwa sperma bergerak maju, ada yang bergerak mundur dan ada yang bergerak memutar-mutar dan jika kami persentase antara sperma yang motil dengan yang tidak motil maka persentasenya adalah 75% sperma motil dan 25% sperma yang tidak motil. Kemudian kami hanya mengetahui morfologi sel sperma tersebut yang meliputi bagian kepala yang berebentuk bulat agak lonjong, leher, bagian tengah dan ekornya saja.
Hal ini sesuai dengan Yatim,1994. Yang menyatakan bahwa satu spermatozoa terdiri atas kepala dan ekor. Kepala lonjong jika dilihat dari atas dan pyriform jika dilihat dari samping, lebih tebal dekat leher dan menggepeng ke ujung. Kepala 4-5 µm panjang dan 2,5-3,5 µm lebar. Sebagian terbesar kepala pada sel sperma berisi inti, yang kromatinnya sangat terkondensasi untuk menghemat ruangan yang kecil, dan untuk melindungi diri dari kerusakan ketika spermatozoa mencari ovum. Dua pertiga bagian depan inti diseliputi tutup akrosom, berisi enzim untuk menembus dan memasuki ovum.
Kepala spermatozoa berbentuk oval memanjang, bebas dan datar pada satu pandangan lain dengan bagian paling tebal pada pangkal kepala yang melangsing ke apex yang tipis. Kepala sperma terisi sepenuhnya dengan materi inti, chromosom, terdiri dari DNA yang bersenyawa dengan protein (Toelihere, 1977: 110).
Bagian ekor sel sperma dibagi atas (1) leher (2) bagian tengah (3) bagian utama (4) bagian ujung. Panjang ekor seluruhnya sekitar 55 µm dan tebalnya mulai dari 1 µm dekat pangkal ke 0,1 µm dekat ujung. Pembagian ekor atas 4 bagian tak dapat dibedakan di bawah mikroskop cahaya. Perlu teknik mikroskopis dan mikroskop elektron (Yatim, 1994: 47).
Bagian leher pada sel sperma adalah sebagai penghubung ekor dengan kepala. Tempat melekat ekor ke kepala disebut implantation fossa, dan bagian ekor yang menonjol disebut capitulum, semacam sendi peluru pada kepala. Dekat capitulum terletak sentriol depan (proximal). Sentriol ujung (distal) hanya berupa sisa pada spermatozoa matang (Yatim, 1994: 48).
Bagian tengah (midpiece, middle piece) memiliki teras yang disebut axonem, terdiri dari 9 duplet mikrotubul radial dan 2 singlet mikrotubul sentral. Susunan axonem ini sama dari pangkal ke ujung ekor. Beda dengan flagellum lain ekor spermatozoa mengandung dense fiber (serat padat) bersusun 9-9-2 di luar axonem (Yatim, 1994: 48).
Selain motilitas dan morfologi kami juga seharusnya mengamati ketahanan atau viabilitas dari sperma, namun karena preparat yang kami gunakan sudah tidak bisa, jadi kami tidak mengamati viabilitas pada sperma menusia. Sesuai dengan pernyataan Yatim, 1994. Ketahanan atau viabilitas merupakan sebuah indikator fertilitas juga. Diukur dengan melihat % motil maju/ml setelah jangka waktu tertentu. Makin lama semen tersimpan maka makin sedikit yang motil. Ketahanan semen di luar tubuh hanya perlu untuk penyimpanan lama. Dalam keadaan biasa semen langsung masuk ke dalam tubuh wanita, dan viabilitasnya dipengaruhi seluruhnya oleh saluran kelamin wanita itu. Pada manusia, sel sperma dapat bertahan hidup dan fertil sampai seminggu dalam saluran kelamin wanita (Yatim, 1994: 54).
No comments