Manajemen Reproduksi Ternak Sapi Perah
Pubertas
Dewasa kelamin adalah periode dalam kehidupan sapi dimana alat reproduksi mulai berfungsi. Pada umumnya semua hewan akan mencapai kedewasaan kelamin sebelum dewasa tumbuh (Anonim, 1995).
Perkembangan dan pendewasaan alat kelamin dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah bangsa sapi dan manajemen pemberian pakan. Dalam kondisi pemberian pakan yang baik pubertas pada sapi betina dapat terjadi pada umur 5 – 15 bulan. Bobot badan yang ideal untuk pubertas berkisar 227 – 272 kg pada umur rata – rata 15 bulan (Anonim, 2011b).
Deteksi Berahi
Berahi ternyata bertepatan dengan perkembangan maksimum folikel-folikel ovarium. Tanda-tanda sapi berahi antara lain vulva nampak lebih merah dari biasanya, bibir vulva nampak agak bengkak dan hangat, sapi nampak gelisah, ekornya seringkali diangkat bila sapi ada di padang rumput sapi yang sedang berahi tidak suka merumput. Kunci untuk menentukan yang mana diantara sapi-sapi yang saling menaiki tersebut berahi adalah sapi betina yang tetap tinggal diam saja apabila dinaiki dan apabila di dalam kandang nafsu makannya jelas berkurang (Siregar, 2003).
Siklus berahi pada sapi berlangsung selama 21 hari. Rata-rata berahi berlangsung selama 18 jam dan ovulasi dimulai 11 jam kemudian (Rioux dan Rajjote, 2004).
Menurut Prihatno (2006), bahwa pengamatan estrus merupakan salah satu faktor penting dalam manajemen reproduksi sapi perah. Kegagalan dalam deteksi estrus dapat menyebabkan kegagalan kebuntingan. Problem utama deteksi estrus umumnya dijumpai sapi-sapi yang subestrus atau silent heat, karena tidak semua peternak mampu mendeteksinya, untuk itu diperlukan metode untuk mendeteksi berahi
Deteksi berahi paling sedikit dilaksanakan dua kali dalam satu hari, pagi hari dan sore/malam hari. Berahi pada ternak di sore hari hingga pagi hari mencapai 60%, sedangkan pada pagi hari sampai sore hari mencapai 40% (Laming, 2004). Menurut Ihsan (1992), bahwa deteksi berahi umumnya dapat dilakukan dengan melihat tingkah laku ternak dan keadaan vulva.
Voluntary Waiting Period (VWP)
Prentice (2006), mendefinisikan VWP sebagai interval waktu dari saat induk melahirkan hingga waktu paling tepat untuk dilakukannya perkawinan setelah melahirkan. Lebih lanjut Miller (2007), mengemukakan VWP adalah tenggang waktu yang timbul akibat ditundanya inseminasi buatan pertama setelah kelahiran, sehingga dapat berpengaruh terhadap produksi susu pada periode selanjutnya.
VWP umumnya berlangsung selama 40-70 hari (Prentice,2006); 60 -80 hari (Inchaisri,dkk., 2010) atau 45 hari (Honarvar, dkk., 2010). Panjang pendeknya masa VWP secara mendasar berangkat dari dua pertimbangan utama, yaitu pertimbangan fisiologis dan ekonomi. Secara fisiologi, Prentice (2006) mengemukakan, bahwa VWP memberi kesempatan berlangsungnya involusi uterus atau pemulihan kondisi organ reproduksi induk setelah melahirkan hingga induk siap kembali untuk proses reproduksi selanjutnya.
Pertimbangan ekonomis dilakukan berdasarkan pengaruh VWP terhadap tingkat konsepsi, kebuntingan, efisiensi tenaga kerja dan produktivitas susu induk. Aspek reproduksi dan hubungan antara kerugian ekonomi dengan VWP ditunjukkan.
Setiap VWP di atas 6 minggu (42) hari selalu memberikan kehilangan nilai ekonomi setiap tahunnya, namun VWP yang optimum adalah VWP yang kurang dari 10 minggu (70 hari ) atau 6-10 minggu. Lebih tepatnya, VWP selama 7 minggu (49 hari) menghasilkan kehilangan nilai ekonomi sebesar 2,20€/tahun dari sekitar 27% populasi induk (Prentice, 2006).
Pada diagnosa kebuntingan hari ke-71, terlihat proporsi induk yang tidak bunting sekitar 80% pada induk dengan VWP 50 hari, sementara induk dengan VWP 71 hari baru diinseminasi. Walaupun dengan VWP yang lebih panjang, tingkat kebuntingan yang terjadi pada hari ke-80 adalah sama pada semua induk sampel (Adams, 2008). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa VWP 71 hari memiliki S/C yang lebih baik dibandingkan dengan induk dengan VWP 50 hari.
Sinkronisasi Berahi/ Induksi Berahi
Penyerentakan berahi atau sinkronisasi estrus adalah usaha yang bertujuan untuk mensinkronkan kondisi reproduksi ternak sapi donor dan resipien. Sinkronisasi atau induksi estrus adalah tindakan menimbulkan berahi, diikuti ovulasi fertil pada sekelompok atau individu ternak dengan tujuan utama untuk menghasilkan konsepsi atau kebuntingan. Angka konsepsi atau kebuntingan yang optimum merupakan tujuan dari aplikasi sinkronisasi estrus ini (Salverson dan Perry, 2007).
Menurut Patterson., dkk (2005), metode pertama sinkronisasi estrus dengan pemberian sediaan berbasis progestin. Hormon ini bekerja dengan kemampuannya menimbulkan pengaruh umpan-balik negatif ke hipotalamus, sehingga penghentian pemberiaannya akan menyebabkan pembebasan GnRH dari hipotalamus, diikuti dengan pembebasan FSH dan LH dari pituitari anterior, serta terjadilah estrus dan diikuti ovulasi. Sediaan implan progesteron yang kini masih banyak digunakan adalah implan progesteron intravagina controlled internal drug release (CIDR, eazibreedTM, InterAg, Hamilton, New Zealand). Pemberian progesteron lebih dari 14 hari akan menyebabkan sinkronisasi estrus, namun fertilitas yang diinduksi akan sangat menurun.
Metode kedua sinkronisasi estrus dengan pemberian sediaan berbasis PGF2α. Prostaglandin F2α yang bekerja melisiskan korpus luteum yang berakibat turunnya kadar progesteron plasma dengan tiba-tiba. Lisisnya korpus luteum diikuti dengan penurunan progesteron yang dihasilkan, akibatnya terjadi pembebasan serentak GnRH dari hipotalamus, diikuti dengan pembebasan FSH dan LH dari pituitari anterior, sehingga terjadilah estrus dan ovulasi. Keberhasilan sinkronisasi estrus tergantung dari penurunan serentak kadar progesteron dalam darah, serta perkembangan dan ovulasi dari folikel ovaria. Prostaglandin F2α hanya efektif bila ada korpus luteum yang berkembang, antara hari 7 sampai 18 dari siklus estrus; sedangkan penurunan progestagen eksogen hanya efektif bila terjadi regresi korpus luteum secara alami atau induksi (Salverson dan Perry, 2007).
Penyakit Reproduksi
Gangguan kesehatan pada sapi perah terutama berupa gangguan klinis dan reproduksi. Salah satunya abortus yang menunjukkan ketidakmampuan fetus sapi untuk bertahan hidup sebelum waktunya dilahirkan, namun proses pembentukan organ pada fetus tersebut telah selesai. Jika kebuntingan berakhir sebelum terjadinya organogenesis, prosesnya dinamakan kematian embrio dini. Jika fetus mati sesaat setelah dilahirkan, prosesnya dinamakan kelahiran mati. Kebuntingan pada sapi terjadi selama 9 bulan. Abortus yang terjadi sebelum bulan kelima masa kebuntingan tidak disertai dengan retensi plasenta, tetapi abortus yang terjadi sesudah bulan kelima sering disertai dengan retensi plasenta (Anonim, 2011c).
Beberapa gangguan reproduksi yang sering terjadi pada ternak sapi perah di Indonesia (Anonim ,2011c) adalah sebagai berikut :
1. Nimfomania (berahi setiap hari)
Penyebab dari nimfomania itu sendiri karena produksi susu yang tinggi tetapi tidak diimbangi dengan nutrisi (intake nutrisi rendah) sehingga kekurangan hormon LH (Luteinizing hormone). Jika dilakukan palpasi per rektal pada bagian ovarium maka akan terasa salah satu ovarium atau kedua-duanya membesar dan terdapat cairan, dindingnya tipis, diameter lebih dari 2,5 cm serta gejala berahi terus menerus. Penanganan kasus ini sapi akan diberikan injeksi hormon LH (Lutenizing Hormon) sebanyak 3 ml. Hormon tersebut akan disuntikkan secara intrauteri menggunakan gun plastik.
2. Endometriris (Lendir Infeksi)
Infeksi endometrium merupakan peradangan pada bagian uterus yang paling ringan. Pada umumnya disebabkan oleh infeksi jasad renik yang masuk ke dalam uterus melalui cerviks dan vagina. Kuman-kuman yang sering masuk melalui cerviks dan vagina adalah Strepthococcus, Staphylococcus, Coli (berasal dari feses, mungkin pada waktu inseminasi buatan, atau pertolongan distokia maupun retensio.
Endometritis ditandai dengan sapi yang siklus berahinya normal, hanya saja saat dikawinkan sulit bunting, sedangkan pada gejala endometritis klinis ditunjukkan dengan adanya leleran (lendir) yang berwarna keruh atau keputihan. Banyak sekali macam dan cara pengobatan yang dilakukan dan pada umumnya berhasil baik. Pengobatan yang dilakukan dengan menyutikkan OTC (Oxytetracyclin) untuk menstimulir organ reproduksi betina lalu membasmi jasad renik yang meradang dalam uterus
daftar pustakanya?
ReplyDelete