Dampak Pembangunan Di Bidang Kehutanan/Hphti Dan Pertambangan Terhadap Komponen Hayati
Hutan adalah merupakan suatu bentuk ekosistem yang komplek karena didalamnya terdapat komponen ekosistem tersebut, seperti flora, fauna, mikroorganisme, iklim dan tanah. Jika suatu ekosistem hutan diubah atau ditebang, seyogyanya kita terlebih dahulu harus mengetahui secara seksama mengenai sudut-sudut kerawanan atau kesensitifan dari ekosistem yang bersangkutan. Dengan demikian kegiatan pembangunan dapat diharapkan dapat memperhatikan elastisitas daya dukung dari suatu sistem ekologi.
Tekanan Terhadap Ekosistem Hutan Dataran Rendah
World Resources 1992-1993 menyebutkan, degradasi tanah di Bumi diperkirakan telah mencapai 1,2 milyar ha, terbesar di Asia ( 435 juta ha) dan Afrika ( 321 juta ha). Sebagian besar disebabkan erosi akibat air dan angin yang dihasilkan aktivitas pertanian, penebangan hutan ( deforestasi) dan pengumpulan kayu bakar.Proses kehancuran hutan masih terus berjalan seirama dengan perkembangan IPTEK dan waktu.Hingga hari ini hanya mungkin hutan-hutan di Irian Jaya yang belum menderita kerusakan seperti di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi,karena adanya kendala geografi yang cukup sulit.
Di Indonesia, sejak diundangkannya peraturan yang meberi peluang masuknya modal asing dan modal dalam negeri dalam kegiatan bidang kehutanan, maka pengusahaan hutan semakin meningkat.Hal ini disamping memberi devisa yang cukup besar bagi negara, di lain pihak eksploitasi yang tanpa mengindahkan prinsif-prinsif kelestarian akan menyebabkan kerawanan ekosistem hutan tersebut.Penebangan terhadap jenis-jenis dari suku Dipterocarpacea seperti meranti ( Shorea sp) dan kapur ( Dryobalanops) yang saat ini telah sangat menipis potensinya, telah pula meluas hampir kesemua jenis yang berdiameter 50 Cm.Hal ini merupakan salah satu ancaman yang serius terhadap kelestarian jenis-jenis asli Kalimantan, bila kegiatan konservasi jenis melalui reboisasi, pemeliharaan tegakan tinggal dan pencegahan tidak lebih ditinggalkan ( Brotokusumo,1990).
Pertambangan terhadap sumber daya alam nir-hayati antara lain minyak bumi, batu bara, emas, perak, besi,dan sebagainya juga merupakan sumber kerawanan terhadap kelangsungan hidup Hutan tropis dataran rendah.Tidak diingkari eksploitasi terhadap SDA nir-hayati tersebut akan meningkatkan devisa negara. Teknik penambangan dengan open mining yang relatif luas, sudah pasti memusnahkan hutan yang berada di atasnya serta merubah pula bentang alam
yang asli.Pada areal bekas penambangan, dimana hanya tinggal lapisan batuan induk, pemulihan alami vegetasi tentu saja sangat sulit dan lama .Disamping itu merusak areal berbagai spesies pohon sebagai sumber plasma nuftah mengakibatkan pula kawasan tersebut tidak dapat kembali ke aslinya. Aktivitas pertanian di hutan Dipterocarpacea dataran rendah, hutan mangrove, hutan rawa dan rawa gambut yang ada di kawasan wilayah pantai merupakan wilayah yang mendapat tekanan penduduk yang sangat kuat, dibandingkan dengan wilayah tengah dan hulu.Hal ini disebabkan adanya konsentrasi penduduk di daerah tersebut, dengan demikian wilayah hutan yang dekat dengan pusat penyebaran penduduk akan cepat terkikis oleh petani urban maupun oleh penduduk kota non petani yang membuka hutan dengan motivasi pengusahaan hutan.
Perladangan berpindah, suatu sistem perladangan tradisional dan telah banyak ditiru oleh pendatang justru memberi dampak terhadap hutan. Menurut Kartawinata,. et al (1981), perladangan berpindah telah mengakibatkan 400.000 ha tanah menjadi formasi alang-alang dan + 2.4 Juta ha hutan sekunder. Data pada tahun 1993, belum dapat dihimpun dan diduga setelah 12 tahun kemudian akan bertambah menjadi lebih luas.Perladangan berpindah menurut Agung (1988), telah menyebabkan hilangnya 20 m kayu komersial dan 66.57 m kayu non komersial per ha.
Jenis-jenis kehidupan tumbuhan dan hewan, serangga, cendawan, serta bakteri yang begitu kaya di hutan hujan belantara ini amat banyak macamnya, dan merupakan hasil perkembangan hutan tersebut paling tidak minimal seratus juta tahun yang lalu. Interpretasi yang menganggap bahwa tanah di hutan hujan tropis dataran rendah sangat subur adalah tidak benar. Lapisan tanah subur di top soil adalah tipis. Jika hutan ditebangi dan dibuka, maka lapisan tanah yang subur dan tipis ini segera dihanyutkan oleh hujan.Dengan demikian yang tumbuh adalah semak belukar.
Pada tahun 1986 dilaporkan di seluruh Indonesia terdapat 43 juta ha lahan yang rusak dan tidak produktif, 23 juta ha adalah semak belukar dan 20 juta yang ditumbuhi alang-alang.Jumlah lahan yang rusak tiap tahun bertambah besar akibat penebangan-penebangan di lokasi yang seharusnya dipelihara untuk terus berfungsi dan akhirnya menjadi lahan tadah hujan.
Beberapa tipe ekosistem hutan dan bentuk kerawanannya
Hutan Hujan Tropika
Pada susunan tegakan hutan dapat dilihat adanya sifat struktur hutan berupa keanekara-gaman, kerapatan, sebaran jenis dan komposisi serta sifat fungsional hutan yakni untuk siklus hara, fiksasi energi, siklus air dan stabilitas. Lahan hutan umumnya memiliki kesuburan tanah yang relatif rendah, pH rendah, kadar silika, aluminium dan besi yang tinggi sehingga posphor tersedia dalam tanah menjadi sangat rendah. Kondisi ini diperburuk oleh adanya curah hujan yang tinggi dan merata sepanjang tahun, sehingga meningkatkan kerawanan pencucian dan erosi.
Jika hutan itu dibalak atau terbakar , maka hutan menjadi terbuka dan kondisi ini akan mengakibatkan rendahnya kesuburan tanah dan biasanya ketersediaan hara hanya ada di bagian atas saja. Hal ini akan memacuk erosi akibat hutan terbuka dan menyebabkan struktur vegetasinya mudah berubah menjadi jenis-jenis pioneer yang tidak menuntut persyaratan tumbuh tinggi.
2. Hutan Rawa Gambut
Gambut yang kondisinya asam hingga sangat asam (pH < 4,0) merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan jenis-jenis. Hanya beberapa jenis saja yang mampu tumbuh antara lain : Diospuros, Plaquium dan Parastemon. Karena tanah gambut banyak mengandung serasah, maka daerah ini sangat rawan terhadap kebakaran. Apabila terjadi kebakaran di suatu tempat akan cepat meluas ketempat lainnya.
3. Hutan Kerangas
Hutan kerangas terdapat di daerah bertanah podsol dari bahan induk silika bertekstur kasar yang sangat asam dan mempunyai drainase kurang bagus. Jenis-jenis penyusun antara lain Tristania obovata, Agathis dammara dan borneensis.Karena kondisi habitat tempat tumbuhnya yang spesifik dengan keanekaragaman jenis yang relatif rendah, maka hutan kerangas sangat rawan terhadap penebangan dan kebakaran. Penebangan hutan kerangas lebih banyak memberikan kerugian dibanding keuntungan. Untuk membuat hutan baru sangat sulit, biasanya cenderung menjadi padang alang-alang.
4. Hutan Pantai Pasir dan Karang
Pantai berpasir dan berkarang merupakan habitat berbagai jenis tanaman perdu antara lain komunitas rerumputan, terna dan tumbuhan menjalar, seperti Ichenum muticum, Widelia biflora, Ipomoea pescaprae dan Cyperus pedunculatus. Pada tempat-tempat tertentu terdapat jenis Pandan. Komunitas terna ini berkembang menjadi komunitas jenis perdu dan pohon pioneer seperti Casuarina equisetifolia. Pada pantai yang tidak berpasir karena abrasi, tidak terdapat komunitas Pascaprae, hanya komunitas Barringtonia sangat rawan terhadap terjadinya proses abrasi pantai yang dapat menghambat proses terjadinya hutan secara lengkap.
5. Hutan Pegunungan
Hutan yang berada dipegunungan terdiri dari jenis yang secara genetis dan lingkungan, mampu tumbuh dengan suhu rendah, intensitas cahaya rendah dan sebaliknya kelembaban tinggi. Jenis-jenis yang spesifik antara lain Agathis loranthifolia, dan Pinus merkusii yang dapat mengakibatkan lapangan tumbuh menjadi sangat masam. Hutan ini sangat rawan terhadap pengaruh angin, erosi dan tanah longsor. Hutan pegunungan yang terdiri atas jenis campuran biasanya akan lebih baik jika dibandingkan dengan satu jenis. Hutan dengan banyak jenis, mempunyai fungsi konservasi terhadap tanah, air yang lebih baik, disamping tingkat kerawanannya rendah.
6. Hutang Mangrove
Hutan mangrove terbentuk oleh karena keadaan tempat tumbuh, berupa pantai berkadar garam tertentu dan berlumpur. Perairan di pantai yang sifat airnya payau ini diketemukan jenis yang jumlahnya lebih sedikit jika dibandingkan dengan jenis hutan daratan. Hal yang perlu diperhatikan dalam pengelolaannya adalah :
a. Perubahan kadar garam tertentu, sebagai akibat curah hujan yang membawa lumpur dan merubah muara (estuari).
b. Adanya gangguan dari berbagai jenis benthos, dengan demi- kian dapatlah dikatakan bahwa faktor yang dapat mendorong terjadinya kerawanan perubahan pH air, kandungan NaCl sedimen dan pencemaran air.
Tekanan Terhadap Ekosistem Sungau dan Danau
Ekosistem perairan umum merupakan sumber kehidupan masyarakat sekitarnya dengan memanfaatkannya untuk menangkap ikan, untuk air rumah tangga, industri, pertanian dan sarana perhubungan.Seperti halnya dengan ekosistem pesisir, ekosistem perairan umum juga mengalami nasib yang sama.Saat ini ekosistem ini telah mendapat tekanan penduduk yang sangat besar sehingga baik kualitas maupun kualitas ekosistem tersebut cenderung menurun. Hal ini terutama disebabkan oleh masuknya berbagai bahan pencemar yang berasal dari berbagai
aktivitas manusia seperti HPH,Pertambangan, Perladangan di sekitar DAS dan Transportasi. Indikasi ini terutama ditandai dengan semakin dangkalnya perairan, berkembang pesatnya gulma air di danau, menurunnya produktivitas tangkapan ikan dari tahun ke tahun dan semakin ekslusifnya mobilitas beberapa hewan endemik ( misalnya kehidupan pesut).
Secara umum kegiatan pembalakan hutan meliputi kegiatn /tahapan antara laian pembukaan wilayah hutan, seperti penataan batas, pembuatan jalan angkutan, jalan sarad, tempat pengumpulan sementara, penebangan, penyeradan dan lain sebagainya yang merupakan sumber dampak. Dalam proses penebangan kerusakan tanaman terjadi karena kerobohan pohon, akibat dari penebangan dan atau penyeradan oleh kendaraan berat. Banyak pohon yang bukan sararan roboh dan melebihi banyaknya pohon yang ditebang, dari berbagai tingkat pertumbuhan. Dampak lanjutan dapat menimbulkan erosi gen. Pohon induk tidak mampu bertahan hidup dengan baik untuk menghasilkan keturunan (buah), dengan demikian proses regerasi akan terputus. Perkembangan hutan tidak dapat mengembalikan sifat hutan semula. Keanekaragaman hayati menurun, terutama pada tempat dimana kegiatan berlangsung, yang mungkin merupakan konsekuensi jangka panjang sangat merugikan. Kerusakan DAS akan menimbulkan banjir dan pencemaran. Di hilir ikan-ikan yang baru menetas hilang dan menurunnya kemampuan penyangga dari hutan mangrove, serta hilangnya daya serap organisme rawa gambut. Habitat fauna gilirannya akan hilang begitu saja, sehingga yang tadinya hewan-hewan liar familiar berkeliaran. Pada habitatnya tidak terlihat lagi, yang tahan terhadap lingkungan baru akan tetap tinggal, sedangkan yang lain akan lenyap secara pelan-pelan. Berkurangnya hutan akan meningkatkan kandungan CO2 di udara, yang timbul terutama dari pembakaran bahan bakar fossil, ditambah lagi dengan pembakaran hutan, yang akhirnya dapat meningkatkan suhu di atmosfir sebagaimana halnya dengan efek rumah kaca.
Berkurangnya permukaan transpirasi dan payung tajuk hutan, dapat menyebabkan kenaikan suhu, yang selanjutnya dapat mengganggu ekosistem, bahkan dapat meningkatkan frekuensi kebakaran hutan. Jenis-jenis yang terdapat di lahan basah akan menghadapi ancaman yang sama dengan lahan/hutan kering, dengan kehilangan habitat alami. Hal ini terjadi karena perubahan penggunaan lahan dan penurunan keanekaragaman karena kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh pemungutan sumber daya yang berlebihan.
Dampak Terhadap Fauna :
Punahnya jenis-jenis penting dengan significansi tertentu pada suatu ekosistem, dapat membahayakan dan mengakibatkan punahnya jenis-jenis lain. Hilangnya predator akibat mengecilnya habitat yang diakibatkan oleh pengrusakan kawasan bervegetasi. Kepunahan herbivora juga turut membahayakan kehidupan predator. Apabila suatu sistem kekurangan jenis penting tertentu, seperti burung, lebah atau kalong, yang berperan dalam proses penyerbukan dan penyebaran biji, maka reproduksi tumbuhan yang ada hubungannya juga terlambat.
Hanya 15% saja biji pepohonan tropis yang disebarkan oleh angin, sebagian besar tergantung kepada hewan, sehingga apabila hewan-hewan ini punah, juga akan mengakibatkan punahnya jenis-jenis pohon yang berhubungan.
Demikian juga sebaliknya, apabila rusaknya habitat dalam skala besar, riskan akan kepunahan hewan-hewan tersebut. Kepunahan jenis yang demikian tidak dapat dilihat secara langsung, tetapi hanya nampak pada saat masing-masing pohon/jenis tanaman yang mengalami proses penyebaran biji dimasa lalu menjadi mati dengan sendirinya. Hal yang sama juga terjadi pada jenis hewan yang berperan sebagai polinator. Apabila habitat alamiah, seperti sarang terancam, akan membahayakan kehidupan jenis tanaman yang tergantung kepadanya.
Hutan tropis dominansi tanaman angiospermae, sangat tergantung pada hewan penyerbukannya, selain mamalia dan burung-burung yang berperan ekologis penting.
No comments