GENDER DAN STRATIFIKASI
Pembedaan laki-laki dan perempuan berlandaskan gender mungkin tidak akan mendatangkan masalah jika pembedaan itu tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities) baik bagi kaum laki-laki maupun bagi kaum perempuan. Meski ketidakadilan itu lebih banyak dirasakan oleh kaum perempuan, sehingga bermunculanlah gerakan-gerakan perjuangan gender.
Ketidakadilan gender tersebut antara lain termanifestasi pada penempatan perempuan dalam stratifikasi sosial masyarakat, yang pada kelanjutannya telah menyebabkan kaum perempuan mengalami apa yang disebut dengan marginalisasi dan subordinasi.
A. Pengertian Stratifikasi
Bila ditinjau dari asal katanya, istilah stratifikasi berasal dari kata stratus yang artinya lapisan (berlapis-lapis). Sehingga dengan istilah stratifikasi diperoleh gambaran bahwa dalam tiap kelompok masyarakat selalu terdapat perbedaan kedudukan seseorang dari yang berkedudukan tinggi sampai yang berkedudukan rendah, berlapis-lapis dari atas ke bawah.
Pelapisan sosial dalam masyarakat tersebut terjadi karena adanya “sesuatu” yang dihargai dalam masyarakat tersebut. Misalnya, berupa pemilikian uang atau benda-benda ekonomis lainnya seperti mobil, rumah, benda-benda elektronik dan lain sebagainya. Pemilikan kekuasaan, ilmu pengetahuan, agama atau keturunan keluarga. Untuk selanjutnya masyarakat dinilai dan ditempatkan pada lapisan-lapisan tertentu berdasarkan tingkat kemampuannya dalam memiliki “sesuatu” yang dihargai tersebut.
Proses terjadinya pelapisan dalam masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya atau sengaja disusun untuk mencapai satu tujuan bersama, misalnya pembagian kekuasaan dan wewenang yang resmi dalam organisasi formal.
Disamping itu, pelapisan dalam masyarakat juga bisa bersifat tertutup, dimana didalamnya tidak memungkinkan pindahnya seseorang dari satu lapisan ke lapisan lain, baik gerak pindahnya ke atas maupun ke bawah. Misalnya, penempatan seseorang dalam lapisan tertentu yang diperoleh berdasarkan kelahiran. Contoh paling banyak terdapat pada masyarakat dengan sistem kasta, masyarakat feodal dan masyarakat rasial. Sementara pada masyarakat dengan sistem pelapisan terbuka, setiap orang mempunyai kesempatan untuk naik ke lapisan yang lebih tinggi tetapi juga dimungkinkan untuk jatuh ke lapisan yang lebih rendah.
B. Stratifikasi Perempuan Berlandaskan Perbedaan Gender
Jika kita mengaitkan masalah gender dengan stratifikasi maka mau tidak mau kita harus melihat kembali pada proses sosialisasi yang telah mengawali pemapanan pembedaan laki-laki dan perempuan berdasarkan hubungan gender.
Selama ini telah disosialisasikan, ditanamkan sedemikian rupa, ke dalam benak, ke dalam pribadi-pribadi seseorang, laki-laki dan perempaun, bahwa karena “kodrat”-nya seorang laki-laki berhak dan sudah seharusnya untuk mendapat kebebasan, mendapat kesempatan yang lebih luas daripada perempuan. Tuntutan nilai-nilai yang ditentukan oleh masyarakat telah mengharuskan seorang laki-laki untuk lebih pintar, lebih kaya, lebih berkuasa daripada seorang perempuan. Akibatnya segala perhatian dan perlakuan yang diberikan kepada masing-masing dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan tersebut pun disesuaikan dan diarahkan untuk memenuhi tuntutan tersebut. Kepada laki-laki diberikan prioritas dan kesempatan lebih luas untuk sekolah dan menuntut ilmu lebih tinggi daripada kesempatan yang diberikan kepada kaum perempuan. Kepada kaum laki-laki pula dibuka pintu selebar-lebarnya untuk bekerja di berbagai sektor publik dalam dunia pekerjaan yang dianggap maskulin, sementara perempuan lebih diarahkan untuk masuk ke sektor domestik dengan pekerjaan-pekerjaan yang selama ini memang dianggap sebagai “urusan” perempuan.
Bertolak dari kondisi tersebut maka akses perempuan terhadap “sesuatu” yang dihargai dalam masyarakat, yang menjadi sumber kelahiran pelapisan dalam masyarakat pun menjadi sangat rendah. Sehingga kaum perempuan dengan segala keterbatasan yang sudah ditentukan oleh masyarakat untuknya terpaksa menempati lapisan yang lebih rendah di masyarakat daripada kaum laki-laki.
Kondisi yang telah menempatkan kaum perempuan dalam posisi yang tidak menguntungkan di atas telah juga melahirkan pelbagai bentuk ketidakadilan gender (gender inequalities) yang termanifestasi antara lain dalam bentuk:
a) Marginalisasi
Proses marginalisasi, yang merupakan proses pemiskinan terhadap perempuan, terjadi sejak di dalam rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga laki-laki dengan anggota keluarga perempuan. Marginalisasi juga diperkuat oleh adat istiadat maupun tafsir keagamaan. Misalnya, banyak diantara suku-suku di Indonesia yang tidak memberi hak kepada kaum perempuan untuk mendapatkan waris sama sekali atau hanya mendapatkan separuh dari jumlah yang diperoleh kaum laki-laki.
Demikian juga dengan kesempatan dalam memperoleh pekerjaan, berbeda antara laki-laki dan perempuan, yang akibatnya juga melahirkan perbedaan jumlah pendapatan antara laki-laki dan perempuan.
Seorang perempuan yang bekerja sepanjang hari di dalam rumah, tidaklah dianggap “bekerja” karena pekerjaan yang dilakukannya, seberapapun banyaknya, dianggap tidak produktif secara ekonomis. Namun seandainya seorang perempuan “bekerja” pun (dalam arti di sektor publik) maka penghasilannya hanya dapat dikategorikan sebagai penghasilan tambahan saja sebagai penghasilan seorang suami tetap yang utama, sehingga dari segi nominal pun perempuan lebih sering mendapatkan jumlah yang lebih kecil daripada kaum laki-laki.
Mengenai marginalisasi perempuan ini, Ivan Illich mengungkapkan sebuah fakta sebagai berikut:
Selama bertahun-tahun ini, diskriminasi terhadap perempuan dalam pekerjaan-pekerjaan yang berupah, yang terkena pajak, dan yang dilaporkan atau dipantau secara resmi, kedalamannya tidak berubah namun volumenya makin bertambah. Kini 51 % perempuan di Amerika Serikat bekerja di luar rumah, sementara tahun 1880 hanya tercatat 5%. Jika pada tahun 1880 dalam keseluruhan tenaga kerja di Amerika hanya 15% yang perempuan sekarang mencapai 42%. Kini separuh dari semua perempuan yang sudah kawin punya penghasilan sendiri dari suatu pekerjaan luar rumah, sementara seabad silam hanya 5% yang memiliki pendapatan sendiri. Sekarang hukum membuka kesempatan pendidikan serta karier bagi perempuan, sedangkan pada tahun 1880 banyak yang tertutup baginya. Sekarang rata-rata perempuan menghabiskan 28 tahun sepanjang hidupnya untuk bekerja sementara tahun 1880 angka rata-rata yang tercatat hanya 5 tahun. Ini semua kelihatan seperti langkah-langkah penting ke arah kesetaraan ekonomis, tapi tunggu sampai Anda terapkan alat ukur yang tepat. Upah rata-rata tahunan perempuan yang bekerja penuh-waktu masih mandek pada rasio magis dibanding pendapatan laki-laki, yakni 3:5 ----59%, dengan kenaikan atau penurunan 3% --- persis persentase seratus tahun silam. Kesempatan pendidikan, ketersediaan perlindungan hukum, retorika revolusioner --- politis, teknologis, atau seksual ---tak mengubah apa-apa sehubungan dengan rendahnya pendapatan perempuan dibanding laki-laki. (1998:16)
b. Subordinasi
Pandangan berlandaskan gender juga ternyata bisa mengakibatkan subordinasi terhadap perempuan. Anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional berakibat munculnya sikap menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting.
Subordinasi karena gender tersebut terjadi dalam segala macam bentuk yang berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya.
Salah satu konsekuensi dari posisi subordinat perempuan ini adalah perkembangan keutamaan atas anak laki-laki. Seorang perempuan yang melahirkan bayi laki-laki akan lebih dihargai daripada seorang perempuan yang hanya melahirkan bayi perempuan. Demikian juga dengan bayi-bayi yang baru lahir tersebut. Kelahiran seorang bayi laki-laki akan disambut dengan kemeriahan yang lebih besar dibanding dengan kelahiran seorang bayi perempuan.
Subordinasi juga muncul dalam bentuk kekerasan yang menimpa kaum perempuan. Kekerasan yang menimpa kaum perempuan termanifestasi dalam berbagai wujudnya, seperti perkosaan, pemukulan, pemotongan organ intim perempuan (penyunatan) dan pembuatan pornografi.
Hubungan subordinasi dengan kekerasan tersebut karena perempuan dilihat sebagai objek untuk dimiliki dan diperdagangkan oleh laki-laki, dan bukan sebagai individu dengan hak atas tubuh dan kehidupannya. (Mosse, 1996:76)
Anggapan bahwa perempuan itu lebih lemah atau ada di bawah kaum laki-laki juga sejalan dengan pendapat teori nature yang sudah ada sejak permulaan lahirnya filsafat di dunia Barat. Teori ini beranggapan bahwa sudah menjadi “kodrat” (sic!) wanita untuk menjadi lebih lemah dan karena itu tergantung kepada laki-laki dalam banyak hal untuk hidupnya. (Budiman, 1985: 6) Bahkan Aristoteles mengatakan bahwa wanita adalah laki-laki – yang – tidak lengakap. (Ibid.)
Demikianlah pendikotomian laki-laki dan perempuan berdasarkan hubungan gender nyata sekali telah mendatangkan ketidakadilan gender bagi perempuan yang termanifestasi dalam berbagai wujud dan bentuknya. Karena diskriminasi gender perempuan diharuskan untuk patuh pada “kodrat” –nya yang telah ditentukan oleh masyarakat untuknya. Karena diskriminasi pula perempuan harus menerima stereotype yang dilekatkan pada dirinya yaitu bahwa perempuan itu irrasional, lemah, emosional dan sebagainya sehingga kedudukannya pun selalu subordinat terhadap laki-laki, tidak dianggap penting bahkan tidak dianggap sejajar dengan laki-laki, sehingga perempuan diasumsikan harus selalu menggantungkan diri dan hidupnya kepada laki-laki.
Bertolak dari kondisi demikianlah maka jika dulu Karl Marx memperjuangkan kesamaan kelas, kini kaum feminis menggemakan perjuangannya, untuk memperoleh kesetaraan gender. Untuk memperoleh kedudukan dan hak yang sama dengan laki-laki.
No comments