SISI POSITIF REKAYASA GENETIKA PADA HEWAN
Latar
Belakang
Teknologi
Rekayasa Genetika merupakan inti dari bioteknologi yang didefinisikan sebagai
teknik in-vitro asam nukleat, termasuk DNA rekombinan dan injeksi langsung DNA
ke dalam sel atau organel; atau fusi sel di luar keluarga taksonomi; yang dapat
menembus rintangan reproduksi dan rekombinasi alami, dan bukan teknik yang
digunakan dalam pemuliaan dan seleksi tradisional. Prinsip dasar teknologi
rekayasa genetika adalah memanipulasi atau melakukan perubahan susunan asam
nukleat dari DNA (gen) atau menyelipkan gen baru ke dalam struktur DNA
organisme penerima. Gen yang diselipkan dan organisme penerima dapat berasal
dari organisme apa saja.
Bahan pangan
hewani merupakan kebutuhan pokok manusia untuk hidup sehat, kreatif, produktif
dan cerdas. Menurut Prof. I.K Han (1999) menyatakan adanya kaitan positif
antara tingkat konsumsi protein hewani dengan umur harapan hidup (UHH) dan
pendapatan perkapita. Delgado et. al (1999) menduga akan terjadi peningkatan produksi
dan konsumsi pangan hewani dimasa depan. Di dalam artikel “Peternakan 2020:
Revolusi Pangan Masa Depan”, mereka menduga bahwa konsumsi daging penduduk
dunia akan meningkat dari 233 juta ton (tahun 2000) menjadi 300 juta ton (tahun
2020). Konsumsi susu naik dari 568 juta ton menjadi 700 juta, sedangkan
konsumsi telur sekitar 55 juta ton. Hal tersebut disebabkan oleh bertambahnya
jumlah penduduk dunia, meningkatnya kesejahteraan hidup dan meningkatnya
kesadaran gizi masyarakat dunia.
Akan
tetapi, peningkatan kebutuhan pangan hewani, ternyata tidak diikuti oleh
ketersediaan pangan hewani secara murah, merata dan terjangkau. Teknologi
budidaya peternakan konvensional dan pertumbuhan populasi ternak yang cenderung
lambat merupakan salah satu faktor penyebabnya. Oleh karena itu, aplikasi
bioteknologi diharapkan dapat memainkan peranan penting dalam memacu
pertumbuhan populasi ternak dan meningkatkan mutu pangan hewani.
Menurut Sudrajat
(2003) aplikasi bioteknologi peternakan dilakukan pada tiga bidang utama, yaitu
bioteknologi reproduksi (inseminasi buatan, transfer embrio dan rekayasa
genetik), bioteknologi pakan ternak dan bioteknologi bidang kesehatan hewan.
Bioteknologi peternakan dapat digunakan mempercepat pembangunan peternakan
melalui peningkatan daya reproduksi dan mutu genetik ternak, perbaikan kualitas
pakan dan kualitas kesehatan ternak
B. Pembahasan
Bioteknologi
adalah penggunaan biokimia, mikrobiologi, dan rekayasa genetika secara terpadu,
untuk menghasilkan barang atau lainnya bagi kepentingan manusia. Biokimia
mempelajari struktur kimiawi organisme. Rekayasa genetika adalah aplikasi
genetik dengan mentransplantasi gen dari satu organisme ke organisme lain.
Ciri
utama bioteknologi:
1.
Adanya Benda biologi berupa mikroorganisme, tumbuhan atau hewan
2.
Adanya pendayagunaan secara teknologi dan industri
3.
Produk yang dihasilkan adalah hasil ekstraksi dan pemurnian
Obyek
rekayasa genetika mencakup hampir semua golongan organisme, mulai dari bakteri,
fungi, hewan tingkat rendah, hewan tingkat tinggi, hingga tumbuh-tumbuhan.
Bidang kedokteran dan farmasi paling banyak berinvestasi di bidang yang relatif
baru ini. Sementara itu bidang lain, seperti ilmu pangan, kedokteran hewan,
pertanian (termasuk peternakan dan perikanan), serta teknik lingkungan juga telah
melibatkan ilmu ini untuk mengembangkan bidang masing-masing.
Teknologi
Rekayasa Genetika merupakan inti dari bioteknologi didifinisikan sebagai teknik
in-vitro asam nukleat, termasuk DNA rekombinan dan injeksi langsung DNA ke
dalam sel atau organel; atau fusi sel di luar keluarga taksonomi; yang dapat
menembus rintangan reproduksi dan rekombinasi alami, dan bukan teknik yang
digunakan dalam pemuliaan dan seleksi tradisional.
Prinsip
dasar teknologi rekayasa genetika adalah memanipulasi atau melakukan perubahan
susunan asam nukleat dari DNA (gen) atau menyelipkan gen baru ke dalam struktur
DNA organisme penerima. Gen yang diselipkan dan organisme penerima dapat
berasal dari organisme apa saja.
Dampak
produk rekayasa genetika bagi kesehatan manusia tidak perlu dikhawatirkan
sepanjang jenis produk yang dilepas ke masyarakat telah memenuhi Protokol
Cartagena dan terlebih dulu melalui proses pemeriksaan keamanan pangan dan
lingkungan. Hal yang sering dikhawatirkan para ilmuwan bioteknologi adalah
keikutan gen marker (biasanya gen tahan antibiotika) terselip ke dalam
khromosom organisme penerima, sehingga jika makan produk tersebut kita juga
akan memakan zat tahan antibiotika. Tentang hal ini telah ada teknologi untuk
menghilangkan gen tersebut agar tidak ikut terselip ke organisme penerima. Di
samping itu konsentrasi zat ini tidak tinggi untuk ukuran manusia. Kekhawatiran
juga muncul terhadap adanya gene flow yaitu menyebarnya gen baru yang
diselipkan pada organisme penerima kepada organisme lain yang sejenis di
sekitarnya melalui proses penyerbukan atau kawin silang.
BIOTEKNOLOGI
REPRODUKSI HEWAN
Bioteknologi reproduksi terus berkembang untuk
meningkatkan konsistensi dan keamanan produk dari ternak yang berharga secara
genetik dan menyelamatkan spesies langka. Bioteknologi reproduksi juga
memudahkan antisipasi kemungkinan industri yang mengarah pada produk dengan
sifat-sifat genetik bernilai ekonomis seperti pertumbuhan jaringan otot, produk
rendah lemak, dan ketahanan terhadap penyakit.
1.
Inseminasi Buatan dan Seksing Sperma
Program peningkatan produksi dan kualitas pada
ternak berjalan lambat bila 13 proses reproduksi berjalan secara alamiah.
Melalui rekayasa bioteknologi reproduksi, proses reproduksi dapat dimaksimalkan
antara lain dengan teknologi IB (inseminasi buatan). Tujuan utama dari teknik
IB ialah memaksimalkan potensi pejantan berkualitas unggul. Sperma dari satu
pejantan berkualitas unggul dapat digunakan untuk beberapa ratus bahkan ribuan
betina, meskipun sperma tersebut harus dikirim ke suatu tempat yang jauh.
Jenis kelamin anak pada ternak yang diprogram IB
dapat ditentukan dengan memanfaatkan teknologi seksing sperma X dan sperma Y.
Dewasa ini ada dua teknik yang umum dipakai untuk seksing sperma yaitu separasi
albumin yang menghasilkan 75 sampai 80 persen sperma Y dan filtrasi sephadex
yang menghasilkan 70 hingga 75 persen sperma X. Perubahan proporsi sperma X
atau Y akan menyebabkan peluang untuk memperoleh anak dengan jenis kelamin yang
diharapkan lebih besar. Seleksi gender pada hewan digunakan untuk beberapa
tujuan diantaranya:
1.
memproduksi lebih banyak anak betina dari induk superior untuk meningkatkan
produksi
susu, daging dan kulit.
2.
menghasilkan lebih banyak anak jantan untuk produksi daging dari betina-betina
yang
telah
diculling.
3.
mencegah intersex pada kelahiran kembar (khususnya ternak sapi).
2.
Transfer Embrio
TE (transfer embrio) merupakan teknologi yang
memungkinkan induk betina unggul memproduksi anak dalam jumlah banyak tanpa
harus bunting dan melahirkan. TE dapat mengoptimalkan bukan hanya potensi dari
jantan saja tetapi potensi betina berkualitas unggul juga dapat dimanfaatkan
secara optimal. Pada proses reproduksi alamiah, kemampuan betina untuk bunting
hanya sekali dalam 1 tahun (9 bulan bunting ditambah persiapan untuk bunting
berikutnya) dan hanya mampu menghasilkan 1 atau 2 anak bila terjadi kembar.
Menggunakan teknologi TE, betina unggul tidak perlu bunting tetapi hanya
berfungsi menghasilkan embrio yang untuk selanjutnya bisa ditransfer
(dititipkan) pada induk titipan (resipien) dengan kualitas genetik rata-rata
etapi mempunyai kemampuan untuk bunting.
3.
Bayi Tabung
Kematian bukan lagi merupakan berakhirnya proses
untuk melahirkan keturunan. Melalui teknik bayi tabung, sel telur yang berada
di dalam ovarium betina berkualitas unggul sesaat setelah mati dapat diproses in
vitro di luar tubuh sampai tahap embrional. Selanjutnya embrio tersebut
ditransfer pada resipien sampai dihasilkan anak.
Secara alamiah sapi betina berkualitas unggul dapat
menghasilkan sekitar tujuh ekor anak selama hidupnya. Jumlah tersebut dapat
berkurang atau menjadi nol bila ada gangguan fungsi reproduksi atau kematian
karena penyakit. Untuk menyelamatkan keturunan dari betina berkualitas unggul
tersebut, embrio dapat diproduksi dengan cara aspirasi sel telur pada hewan
tersebut selama masih hidup atau sesaat setelah mati. Dari ovarium yang
diperoleh di rumah potong hewan bisa diperoleh sekitar 20 sampai 30 sel telur
untuk setiap ternak betina yang dipotong. Sel telur hasil aspirasi tersebut
selanjutnya dimatangkan secara in vitro. Sel telur yang sudah matang diproses
lebih lanjut untuk dilakukan proses fertilisasi secara in vitro dengan
melakukan inkubasi selama lima jam mempergunakan semen beku dari pejantan
berkualitas unggul. Sel telur yang dibuahi dikultur kembali untuk perkembangan
lebih lanjut. Pada akhirnya embrio yang diperoleh akan dipanen dan dipndahkan
rahim induk betina dan dibiarkan tumbuh sampai lahir.
4.
Kriopreservasi Embrio
Kriopreservasi merupakan komponen bioteknologi yang
memiliki peranan yang sangat besar dan menentukan kemajuan teknologi transfer
embrio. Hal ini dikaitkan dengan kemampuannya dalam mempertahankan viabilitas
embrio beku dalam waktu yang tidak terbatas sehingga sewaktu-waktu dapat
ditransfer ketika betina resipien telah tersedia, serta dapat didistribusi ke
berbagai tempat secara luas. Dengan kata lain, Kriopreservasi merupakan suatu
proses penghentian sementara kegiatan metabolism sel tanpa mematikan sel dimana
proses hidup dapat berlanjut setelah kriopreservasi dihentikan. Metode
kriopreservasi dapat dilakukan dengan dua cara yakni kriopreservasi secara
bertahap dan kriopreservasi secara cepat (vitrifikasi).
Secara umum,
mekanisme kriopreservasi merupakan perubahan bentuk fisik timbal balik dari
fase cair ke padat dan kembali lagi ke fase cair. Mekanisme fisika
kriopreservasi meliputi penurunan temperatur pada tekanan normal disertai
dengan dehidrasi sampai tingkat tertentu dan mencapai temperatur jauh di bawah
0oC (-196 oC). Proses ini harus reversibel ke kondisi fisiologis awal. Tujuan
kriopreservasi adalah mempertahankan sesempurna mungkin sifat-sifat material
biologis terutama viabilitasnya.
5.
Hewan Transgenik
Hewan transgenik
merupakan satu alat riset biologi yang potensial dan sangat menarik karena
menjadi model yang unik untuk mengungkap fenomena biologi yang spesifik
(Pinkert, 1994). Sedangkan hewan
transgenik menurut Federation of European Laboratory Animal Associations adalah
hewan dimana dengan sengaja telah dimodifikasi genome-nya, gen disusun dari suatu
organisme yang dapat mewarisi karakteristik tertentu. Dua alasan
umum mengapa hewan transgenic tetap diproduksi :
-
Beberapa hewan transgenic diproduksi untuk mempunyai
sifat ekonomis spesifik. Contoh, ternak transgenic diciptakan untuk memproduksi
susu yang mengandung protein khusus manusia, dimana mungkin dapat membantu
dalam perawatan penyakit emphysema pada manusia (penyakit pembengkakan
paru-paru karena pembuluh darah).
-
Hewan transgenic lainnya diproduksi sebagai model
penyakit (secara genetic hewan dimanipulasi untuk menunjukkan gejala penyakit
sehingga perawatan efektif dapat dipelajari). Contoh, ilmuwan Harvard membuat
terobosan besar secar ilmiah ketika mereka diterima sebuah paten U.S. untuk
keahlian tikus secara genetic, dimana tikus membawa gen yang mengembangkan
variasi kanker manusia.
Kemampuan untuk mengintroduksi gen-gen fungsional ke
dalam hewan menjadi alat berharga untuk memecah proses dan sistem biologi yang
kompleks. Transgenik mengatasi kekurangan praktek pembiakan satwa secara klasik
yang membutuhkan waktu lama untuk modifikasi genetik. Aplikasi hewan transgenik
melingkupi berbagai disiplin ilmu dan area riset diantaranya:
1.
basis genetik penyakit hewan dan manusia, disain dan pengetesan terapinya;
2.
resistensi penyakit pada hewan dan manusia;
3.
terapi gen
Hewan transgenik
merupakan model untuk pertumbuhan, immunologis, neurologis, reproduksi dan
kelainan darah);
4.
obat-obatan dan pengetesan produk;
5.
pengembangan produk baru melalui “molecular farming”
Introduksi gen ke dalam
hewan atau mikroorganisme dapat merubah sifat dari hewan atau organisme
tersebut agar dapat menghasilkan produk tertentu yang diperlukan oleh manusia
seperti factor IX dan hemoglobin manusia.
6.
produksi peternakan
a) Ternak
Pemanfaatan
teknologi transgenik memungkinkan diperolehnya ternak dengan karakteristik
unggul (Pinkert, 1994; Prather et al, 2003). Petani selalu menggunakan
peternakannya yang selektif untuk menghasilkan hewan yang sesuai dengan
keinginan. Misalnya meningkatkan produksi susu, meningkatkan kecepatan
pertumbuhan. Peternakan tradisional memakan waktu dan sulit memenuhi
permintaan. Ketika teknologi menggunakan biologi molekuler untuk mengembangkan
karakteristik hewan dengan waktu yang singkat dan tepat. Disamping itu,
transenik hewan menyediakan cara yang mudah untuk meningkatkan hasil.
b) Kualitas
produksi
Sapi
transgenic bisa memproduksi susu yang banyak dan rendah laktosa dan kolesterol,
babi dan unggas menghasilkan daging yang lebih banyak, dan domba yang memiliki
wool yang tebal. Di masa lampau, petani menggunakan hormone pertumbuhan untuk
memacu perkembangan hewan tetapi teknik ini bermasalah, khususnya sejak residu
hormone masih terkandung dalm produk.
c) Resistensi
penyakit
Ilmuwan mencoba
menghasilkan hewan yang resisten terhadap penyakit, seperti babi yang resisten
terhadap influenza, tetapi jumlah gen yang berperan masih terbatas jumlahnya.
7. Aplikasi Kesehatan
a) Pasien
yang meninggal tiap tahun karena butuh pengganti jantung, hati, atau ginjal.
Contoh, sekitar 5000 organ dibutuhkan tiap tahun di UK. Babi transgenic
menyediakan transpalantasi organ yang dibutuhkan untuk meredakan.
Xenotransplantation adalah wadah yang diproduksi oleh protein babi yang dapat
menyebabkan alergi pada penerima donor, tetapi bisa dihindarkan dengan
mengganti protein babi dengan protein manusia.
b) Suplement
nutrisi dan Obat-obatan
Produk
seperti insulin, hormone pertumbuhan, factor anti penggumpalan darah mungkin
terkandung dalam susu sapi, kambing, dan domba transgenic. Penelitian merupakan
cara untuk menghasilkan susu melalui transgenesis untuk penyembuhan penyakit
seperti phenylketonuria (PKU), penyakit pembengkakan paru-paru yang menurun,
dan penyakit kista.
Contoh
: Pada tahun 1997, sapi transgenic pertama kali, memproduksi yang kaya akan
protein 2,4 gr per liter. Susu sapi transgenic ini lebih bernutrisi daripada
susu sapi biasa. Susu ini dapat diberikan pada bayi atau dan orang dewasa
dengan gizi yang dibutuhkan dan mudah dicerna. Karena mengandung gen
alpha-lactalbumin.
c) Terapi
Gen Manusia
Terapi
gen manusia meliputi penambahan copyan gen normal pada genome orang yang
memiliki gen yang tidak normal. Perlakuan tersebut berpotensi pada 5000
penyakit genetic yang besar dan hewan transgenic. Contoh, salah satu institute
di finladia memproduksi gen anak sapi mampu memacu pertumbuhan sel darah merah
di manusia (Margawati,2009).
8. Aplikasi industri
Pada
tahun 2001, 2ilmuwan di Canada menyambung gen laba-laba ke dalam sel penghasil
susu kambing. Kambing mulai menghasilkan strand seperti serabut sutra saat
pemerahan susu. Dengan mengekstrak polimer strand dari susu dan menenunnya
menjadi benang, kemudian ilmuwan membuatnya menjadi mengkilat, keras, dan
fleksibel dan diaplikasikan pada pembuatan kain, kasa steril, dan string raket
tenis.
Hewan transgenic
yang sensitive terhadap racun telah diproduksi untuk uji keamanan kimia.
Mikroorganisme telah dirancang untuk meproduksi varietas protein yang dapat
memproduksi enzim untuk mempercepat reaksi kimia pada industri.
9.
Kualitas produk transgenic
Di masa yang akan datang hewan transgenik akan
diproduksi dengan penyisipan gen pada lokasi yang spesifik dalam genom. Teknik
ini telah terbukti berhasil pada mencit tetapi masih Iintensif diteliti pada
hewan-hewan besar.
Tabel
Contoh–contoh Locyt-Locyt Gen dan Aplikasi pada Ternak
Spesies
|
Gen
|
Aplikasi
|
Babi
|
α -1,3-galactosyl
trasferase
|
Mencegah
rejeksi hiperakut dalam
xenotransplantasi
|
Babi, sapi
|
Fas, Fas-L
|
Menekan
rejeksi yang dimediasi
sel pada
xenotransplantasi
|
Sapi
|
Menekan
rejeksi yang dimediasi
sel pada
xenotransplantasi
|
Produksi serum
labumin manusia
dalam susu
|
Sapi
|
Milk casein
|
Meningkatkan
produksi protein
dan formula
bayi
|
Semua
|
SRY dan
penentu sex lainnya
|
Produksi
daging dan susu yang
lebih efisien
|
Semua
|
Growth/differentitian
factor 8
|
Produksi
daging yang lebih efisien
|
10.
Kloning
Kloning adalah upaya multiplikasi hewan secara
asexual yang menghasilkan turunan-turunan dengan komposisi genetik yang
identik. Klon sapi dan kuda pertama kali diproduksi pembelahan embrio tahap
blastosis umur 8-10 hari (jumlah sel embrio ± 64 sel). Dengan memakai teknik bedah mikro untuk
memproduksi turunan-turunan bergenetik identik, para peneliti menemukan bahwa
setiap sel embrio dapat tumbuh menjadi satu embrio utuh dengan jumlah sel ± 128 sel. Hal ini
memungkinkan penggunaan inti sel embrio untuk memproduksi lusinan klon sapi
dari satu embrio yang tumbuh.
Kemajuan teknologi ini berlangsung cepat, tetapi
prosedur kerja membutuhkan teknik yang rumit dan efisiensi masih rendah. Untuk
saat ini, kloning belum terbukti mampu menghasilkan ternak dalam jumlah besar
secara ekonomis. Terobosan penting metode cloning hewan ditandai lahirnya
“Dolly”, domba hasil kloning para peneliti Roslin Institute (Skotlandia).
Sel-sel diperoleh dari kelenjar ambing domba betina dewasa dan dikultur di
laboratorium. Sel hasil kultur tersebut selajutnya digunakan sumber inti berisi
material genetik yang menggantikan inti sel telur domba setelah percobaan
diulang 273 kali, diperoleh seekor domba hasil kloning (Wilmut et al, 1997). Produksi ”Dolly” sangat signifikan karena: pertama,
merupakan mamalia pertama yang diproduksi menggunakan material genetik yang
berasal dari sel hewan dewasa. Kedua, memungkinkan pengembangan
metode baru dan lebih efisien untuk memproduksi hewan transgenik yang
mengandung gen sintetik manusia di dalamnya (Niswender, 2004). Menyusul
keberhasilan Dolly, kloning berhasil dibuat pada berbagai hewan lain seperti
sapi dan kuda. Penelitian tentang kloning ini berlanjut terus dan menjadi
perhatian dari banyak peneliti di berbagai negara khususnya Amerika
Serikat,Perancis, Inggris, Skotlandia, dan Jepang.
Pengembangan kloning yang sangat menarik adalah
pembuatan hewan transgenik. Embrio hasil kloning disisipi gen-gen tertentu
(umumnya gen manusia) sehingga ternak kloning yang lahir memiliki sifat genetik
baru yang bermanfaat. Hewan kloning transgenik pertama kali dihasilkan adalah
”Moly” dan ”Poly” yang juga diproduksi di Roslin Institute. Para peneliti
berharap hewan kloning transgenik akan menghasilkan substansi kimia tertentu
dalam jumlah besar (umumnya lewat air susu) untuk keperluan biomedis dan
farmasi (Stice et al., 1998).
Para
peneliti saat ini telah membuat banyak kemajuan dalam metode kloning, dan
diprediksi adanya kemungkinan produksi ratusan hingga ribuan individu yang
identik secara genetik menggunakan teknologi ini (Han et al, 2003; Wells
et al, 2003). Produksi ternak transgenik hasil kloning secara komersial
sudah dirintis di beberapa negara (Faber et al, 2003)
11. Kloning Terapeutik Dengan Teknik SCNT pada
Domba Dolly
Teknologi
SCNT meliputi suatu teknologi rekayasa terhadap sel telur, dengan cara
mentransfer inti dari sel donor ke sel telur yang telah dikeluarkan intinya
(enucleated oocyte). Kedua jenis kloning memiliki kegunaannya masing-masing.
Kloning reproduktif berperan penting dalam pelestarian hewan-hewan langka yang
hampir punah. Sedangkan, kloning terapeutik bertujuan untuk menghindari adanya
reaksi penolakan terhadap sistem imun pasien dalam terapi sel punca (stem cell)
. Keberhasilan suatu penelitian yang menghasilkan sel punca embrionik monyet
dengan teknik SCNT. Akhir-akhir ini membawa dunia semakin dekat dengan produksi
sel punca embrionik manusia dari sel somatik dewasa sehingga risiko penolakan
terhadap sistem imun akan semakin berkurang..
Domba dolly yang berhasil diklon oleh Ian Wilmut
pada tahun 1996. Domba Dolly merupakan salah satu contoh dari kloning
reproduktif. Sebenarnya terdapat dua jenis kloning, yaitu kloning reproduktif
dan kloning terapeutik. Kedua jenis kloning ini merupakan penerapan dari
aplikasi teknologi Somatic Cell Nuclear Transfer atau SCNT.
12. TEKNIK SCNT
Pada
fertilisasi alami, setelah mengalami pembelahan meiosis, sel telur dan sel
sperma memiliki materi genetik haploid (n). Terjadinya pembuahan sel telur oleh
sel sperma atau fertilisasi akan menghasilkan embrio satu sel yang memiliki
materi genetik 2n. Kemudian, embrio ini akan terus berkembang ke tahapan
perkembangan selanjutnya
menjadi 2 sel, 4 sel, 8 sel, 16 sel, dan seterusnya.
Teknik SCNT merupakan suatu teknik
rekayasa sel telur dengan cara mentransfer
inti dari sel donor ke dalam sel telur yang telah
dikeluarkan intinya (enucleated oocyte). Enucleated oocyte tidak memiliki
materi genetik. Oleh karena itu, untuk mendapatkan embrio konstruksi yang diploid,
sel telur harus direkonstruksi dengan cara mentransfer sel somatik (2n) ke
dalam enucleated oocyte1. Proses enukleasi sel telur dapat dilakukan secara
mekanik menggunakan teknik mikromanipulasi. Sedangkan, proses introduksi sel
donor dapat dilakukan dengan teknik mikroinjeksi. Keberadaan cytochalasin B
(CB) pada medium kultur bertujuan untuk menghambat sitokinesis atau pembelahan
sel sehingga dapat dihasilkan klon embrio diploid2.
Aplikasi dari teknologi SCNT adalah pada
penelitian kloning reproduktif dan juga kloning terapeutik. Pada perkembangan
secara normal (A), zigot diploid terbentuk setelah terjadi fertilisasi.
Kemudian, zigot akan membelah sampai terbentuk blastosit yang akan menempel
pada dinding uterus sampai akhirnya
berakhir pada proses melahirkan. Pada kloning reproduktif (B), sel donor yang
berupa sel somatik (2n) diintroduksikan ke enucleated oocyte. Keberhasilan
proses aktivasi embrio konstruksi secara kimiawi atau mekanik mengakibatkan
terjadinya proses pembelahan sampai ke tahap blastosit. Kemudian, embrio
”dititipkan” ke surrogate mother untuk dilahirkan secara normal. Sedangkan,
pada kloning terapeutik (C), setelah embrio mencapai tahapan blastosit, embrio
dikultur secara in vitro untuk didiferensiasikan menjadi berbagai jenis sel untuk
kegunaan terapeutik.
Kloning reproduktif adalah suatu teknologi yang digunakan untuk
menghasilkan individu (hewan) baru. Genetika hewan klon tidak seluruhnya
memiliki kesamaan dengan sang induk1. Dengan menggunakan teknik SCNT, persamaan
genetika hewan klon dengan induknya hanya terletak pada inti DNA donor yang
berada di kromosom. Hewan klon juga memiliki material genetik lainnya yang
berasal dari DNA mitokondria di sitoplasma1. Teknologi kloning reproduktif
dapat digunakan untuk mencegah terjadinya kepunahan hewan-hewan langka ataupun
hewan-hewan sulit dikembangbiakkan. Namun,
laju keberhasilan teknologi ini sangatlah rendah.
Parameter yang dijadikan sebagai tolak
ukur keberhasilan dalam SCNT adalah kemampuan sitoplasma pada sel telur untuk
mereprogram inti dari sel donor dan juga kemampuan sitoplasma untuk mencegah
terjadinya perubahan-perubahan secara epigenetik selama dalam
perkembangannya12. Dari semua penelitian yang telah dipublikasikan, tercatat
hanya sebagian kecil saja dari embrio hasil rekonstruksi (menggunakan sel
somatik dewasa atau fetal) yang berkembang menjadi individu muda yang sehat,
dan umumnya laju keberhasilannyakurang dari 4%
SCNT merupakan bagian dari terapi sel
punca yang bertujuan untuk menghindari Adanya reaksi penolakan terhadap system
imun pasien pada saat dilakukan terapi. Dalam beberapa dekade terakhir, minat
terhadap penelitian sel punca terus meningkat tajam. Sel punca memiliki potensi
yang sangat menjanjikan untuk terapi berbagai penyakit sehingga menimbulkan
harapan baru untuk mengobatinya. Sampai saat ini, ada 3 golongan penyakit yang
dapat diatasi dengan penggunaan sel punca
di antaranya adalah:
1. Penyakit autoimun,contoh penyakit lupus.
2. Penyakit d e g e n e r a tif, contoh stroke,
Parkinson, Alzhimer.
3. Penyakit kanker, contoh leukemia.
Sel punca embrionik sangat plastis dan
mudah dikembangkan menjadi berbagai macam jaringan sel, seperti neuron,
kardiomiosit, osteoblast, fibroblast, dan sebagainya. Oleh karena itu, sel
punca embrionik dapat digunakan untuk transplantasi jaringan yang rusak14.
Selain itu, sel punca embrionik memiliki tingkat imunogenisitas yang rendah
selama belum mengalami diferensiasi .
Salah satu cara untuk menghindari
terjadinya graft versus host disease (GVHD) adalah dengan menggunakan sel punca
embrionik dengan sel somatik yang bersumberdari pasien itu sendiri sehingga
tidak akan ada penolakan lagi terhadap sistem imunnya. Dengan menggunakan
teknologi SCNT, sel punca embrionik yang dihasilkan akan identik dengan
induknya (dalam hal ini adalah pasien itu sendiri).
Hal itu mengakibatkan tidak akan adanya
reaksi penolakan terhadap system imun pasien apabila dilakukan transplantasi.
Secara teoritis,teknik SCNT memiliki potensi besar dalam dunia kesehatan karena
dapat dipergunakan untuk transplantasi berbagai organ dan jaringan pada
manusia. Secara singkat tahapan untuk melakukan kloning terapeutik pada
manusia adalah mengambil biopsy sel
somatik dari tubuh pasien dan inti dari sel somatic tersebut ditransfer ke
dalam sel telur donor yang telah dikeluarkan intinya (unfertilized enucleated
oocyte). Sel telur hasil manipulasi dikultur sampai ke tahapan tertentu dan
setelah mengalami berbagai proses akan didapatkan sel punca embrionik. Sel
punca embrionik ini diarahkan perkembangannya menjadi suatu jaringan atau organ
tertentu yang akan dapat digunakan untuk transplantasi jaringan atau organ dan
tidak akan mengalami rejeksi sistem imun pada pasien itu sendiri
(immunologically compatible transplant).
13. Kultur Sel Hewan
Kultur sel hewan adalah sisitem menumbuhkan sel manusia maupun hewan
untuk tujuan memproduksi metabolit tertentu. Pada saat sekarang aplikasi dari
system ini banyak digunakan untuk menghasilkan untuk menghasilkan produk-produk
farmasi dan kit diagnostik dengan kebanyakan jenis produk berupa molekul
protein kompleks. Hal yang paling mendorong kearah aplikasi ini adalah karena
biaya operasionalnya yang tinggi, terutama medium. Selain itu system
metabolisme sel hewan tidak “seramai” pada system metabolisme sel tanaman.
Sekalipun demikian ada aplikasi yang berhubungan tidak langsung dengan masalah
pangan, misalnya: penetapan jenis kelamin dari embrio yang akan ditanam,
penentuan masa ovulasi dari sapid an fertilisasi in vitro untuk hewan. Aadapun
contoh-contoh produk yang biasa dihasilkan oleh sel hewan misalnya: interferon,
tissue plasminogen activator, erythroprotein, hepatitis B surface antigen.
No comments