Mikrobiologi Udara
Mikroba di udara bersifat sementara
dan beragam. Udara bukanlah suatu medium tempat mikroorganisme tumbuh, tetapi merupakan
pembawa bahan partikulat debu dan tetesan cairan, yang kesemuanya ini mungkin
dimuati mikroba. Untuk mengetahui atau memperkirakan secara akurat berapa jauh
pengotoran udara sangat sukar karena memang sulit untuk menghitung organisme
dalam suatu volume udara, namun ada satu teknik kualitatif sederhana (Ali,
2008).
Menurut Volk & Wheeler (1989) dalam Ali (2008) yaitu mendedahkan cawan
hara atau medium di udara untuk beberapa saat. Selama waktu pendedahan ini,
beberapa bakteri di udara akan menetap pada cawan yang terdedah. Semakin banyak
bakteri maka bakteri yang menetap pada cawan semakin banyak. Kemudian cawan
tersebut diinkubasi selama 24 jam hingga 48 jam maka akan tampak koloni-koloni
bakteri, khamir dan jamur yang mampu tumbuh pada medium yang digunakan.
Jumlah dan macam mikroorganisme
dalam suatu volume udara bervariasi sesuai dengan lokasi, kondisi cuaca dan
jumlah orang yang ada. Daerah yang berdebu hampir selalu mempunyai populasi
mikroorganisme atmosfer yang tinggi. Sebaliknya hujan, salju atau hujan es akan
cenderung mengurangi jumlah organisme di udara dengan membasuh partikel yang
lebih berat dan mengendapkan debu. Jumlah mikroorganisme menurun secara menyolok
di atas samudera, dan jumlah ini semakin berkurang pada ketinggian (altitude)
yang tinggi (Volk & Wheeler, 1989
dalam Ali, 2008).
Menurut Irianto (2002) dalam Ali (2008), jumlah mikroorganisme
yang mencemari udara juga ditentukan oleh sumber pencemaran di dalam
lingkungan, misalnya dari saluran pernapasan manusia yang disemprotkan melalui
batuk dan bersin, dan partikel-partikel debu, yang terkandung dalam tetes-tetes
cairan berukuran besar tersuspensikan, dan dalam “inti tetesan” yang
terbentuk bila titik-titik cairan berukuran kecil menguap. Organisme yang
memasuki udara dapat terangkut sejauh beberapa meter atau beberapa kilometer;
sebagian segera mati dalam beberapa detik, sedangkan yang lain dapat bertahan
hidup selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan lebih lama lagi. Nasib
akhir mikroorganisme yang berasal dari udara diatur oleh seperangkat rumit
keadaan di sekelilingnya (termasuk keadaan atmosfer, kelembaban, cahaya
matahari dan suhu), ukuran partikel yang membawa mikroorganisme itu, serta ciri-ciri
mikroorganismenya terutama kerentanannya terhadap keadaan fisik di atmosfer.
1. Kandungan Mikroba di Dalam Udara
Meskipun tidak ada mikroorganisme
yang mempunyai habitat asli udara, tetapi udara di sekeliling kita sampai
beberapa kilometer di atas permukaan bumi mengandung berbagai macam jenis
mikroba dalam jumlah yang beragam.
a. Udara di Dalam Ruangan
Tingkat
pencemaran udara di dalam ruangan oleh mikroba dipengaruhi oleh faktor-faktor
seperti laju ventilasi, padatnya orang, dan sifat serta taraf kegiatan
orang-orang yang menempati ruangan tersebut. Mikroorganisme dapat terhembuskan
dalam bentuk percikan dari hidung dan mulut misalnya selama bersin, batuk dan
bahkan saat bercakap-cakap.
Titik-titik
air yang terhembuskan dari saluran penapasan mempunyai ukuran yang beragam dari
mikrometer sampai milimeter. Titik-titik air yang ukurannya jatuh dalam kisaran
mikrometer yang rendah tinggal di udara sampai beberapa lama, tetapi yang
berukuran besar segera jatuh ke lantai atau permukaan benda lain. Debu dari
permukaan ini kadang-kadang akan berada dalam udara selama berlangsungnya
kegiatan dalam ruangan tersebut (Ali, 2008).
b. Udara di Luar Atmosfer
Permukaan bumi, yaitu daratan dan
lautan merupakan sumber dari sebagian besar mikroorganisme yang ada dalam
atmosfer. Angin menimbulkan debu dari tanah, kemudian partikel-partikel debu
tersebut akan membawa mikroorganisme yang menghuni tanah. Sejumlah besar air
dalam bentuk titik-titik air memasuki atmosfer dari permukaan laut, teluk, dan
kumpulan air alamiah lainnya. Di samping itu, ada banyak fasilitas pengolahan
industri, pertanian, baik lokal maupun regional mempunyai potensi menghasilkan
aerosol berisikan mikroorganisme (Ali, 2008).
Beberapa
contoh antara lain:
1) Penyiraman
air irigasi tanaman pertanian atau daerah hutan dengan limbah air.
2) Pelaksanaan
penebahan air skala besar.
3) Saringan
“tricling-bed” di pabrik-pabrik
pembersih air.
4) Rumah
pemotongan hewan dan peleburan minyak.
5) Alga,
protozoa, khamir, kapang, dan bakteri telah diisolasi dari udara dekat permukaan
bumi.
Contoh udara tersebut diambil dari
daerah perindustrian selama jangka waktu beberapa bulan. Bagian terbanyak dari
mikroba yang berasal dari udara adalah spora kapang, terutama dari genus Aspergillus.
Di antara tipe-tipe bakteri yang ditemukan ada bakteri pembentuk spora dan
bukan pembentuk spora, basilus Gram positif, kokus Gram positif, dan basilus
Gram negatif (Ali, 2008).
Contoh mengenai jasad-jasad renik
yang dijumpai di atmosfer kota diperlihatkan pada tabel berikut:
Tabel 1. Jasad Renik pada Atmosfer
Tinggi (meter)
|
Bakteri (genus)
|
Cendawan (genus)
|
1.500
– 4.500
|
Alcaligenes
Bacillus
|
Aspergillus
Macrosporium
Penicillium
|
4.500
– 7.500
|
Bacillus
|
Aspergillus
Clasdosporium
|
7.500
– 10.500
|
Sarcina
Bacillus
|
Aspergillus
Hormodendrum
|
10.500
– 13.500
|
Bacillus
Kurthia
|
Aspergillus
Hormodendrum
|
13.500
– 16.500
|
Micrococcus
Bacillus
|
Penicillium
|
(Sumber: Irianto, 2002 dalam Ali, 2008)
Contoh udara tersebut diambil dari
daerah perindustrian selama jangka waktu beberapa bulan. Bagian terbanyak dari
mikroba yang berasal dari udara adalah spora kapang, terutama dari genus Aspergillus.
Di antara tipe-tipe bakteri yang ditemukan ada bakteri pembentuk spora dan
bukan pembentuk spora, basilus Gram positif, kokus Gram positif, dan basilus
Gram negatif (Ali, 2008).
2. Komposisi
Udara
Komposisi baku udara yang kita hisap
setiap saat, sudah diketahui sejak lama.
Walaupun begitu, seiring dengan semakin kompleksnya masalah pencemaran udara,
maka komposisi tersebut banyak yang berubah, khususnya karena dalam udara
banyak komponen-komponen baru ataupun asing yang masuk (Aili, 2008).
Dari data-data yang sudah ada,
komposisi baku udara tersebut tersusun oleh komponen-komponen kimia antara
lain, Nitrogen, Oksigen, Argon, CO2, Neon, Helium, metan, Kripton,
N-Oksida, Hidrogen dan Xenon. Akan tetapi selain komponen-komponen kimia
tersebut masih terdapat juga komponen lain yang bersifat hidup, yang pada umumnya
berbentuk mikroba (Suriawiria, 1985 dalam
Ali, 2008).
3. Kelompok Kehidupan di Udara
Kelompok mikroba yang paling banyak berkeliaran
di udara bebas adalah bakteri, jamur (termasuk di dalamnya ragi) dan juga
mikroalge. Kehadiran jasad hidup tersebut di udara, ada yang dalam bentuk
vegetatif (tubuh jasad) ataupun dalam bentuk generatif (umumnya spora). Menurut
Suriawiria (1985) dalam Ali (2008), pencegahan
kehadiran mikroba baik secara fisik ataupun kimia yang dapat dilakukan, yaitu:
a. Secara
Fisik:
dengan penggunaan sinar-sinar bergelombang pendek (umumnya sinar UV) sebelum
dan sesudah tempat dipergunakan, ataupun dengan cara penyaringan udara
yang dialirkan ke dalam tempat atau ruangan tersebut. Dengan pemanasan
menggunakan alat yang disebut autoclave yaitu dengan memanaskan pada suhu 121oC,tekanan
15 lbs selama 15 menit. Menggunakan sinar gelombang pendek seperti sinar alpha,
beta, gamma dan UV.
b. Secara
Kimia: dengan penggunaan senyawa-senyawa yang bersifat membunuh
mikroba, baik dalam bentuk larutan alkohol (55-75%), larutan sublimat, larutan
AMC (HgCl2 yang diasamkan), dan sebagainya. Menggunakan asam kuat,
menggunakan basa kuat, menggunakan garam, menggunakan air raksa, menggunakan
klor
c. Secara
Mekanik (Filterisasi):
Dalam melakukan percobaan ini digunakan media yang memenuhi syarat yaitu,
mengandung nutrisi atau bahan yang dapat menunjang pertumbuhan mikroorganisme.
Ketika dilakukan sterilisasi media ini tidak mengalami kerusakan. Media yang
digunakan dalam praktikum terbagi menjadi; Padat, contohnya PDA, NA, Cair, contohnya:
laktosa Broth dan Media semi padat-semi cair.
Kelompok mikroba yang paling banyak ditemukan sebagai jasad
hidup yang tidak diharapkan kehadirannya melalui udara, umumnya disebut jasad
kontaminan (hal ini mengingat apabila suatu benda/substrat yang
ditumbuhinya dinyatakan sebagai substrat yang terkontaminasi (Yursa, 2010).
Adapun kelompok mikroba yang
termasuk dalam jasad kontaminan antara lain adalah:
a. Bakteri:
Bacillus, Staphylococcus, Pseudomonas, Sarcina dan sebagainya.
b. Jamur:
Aspergillus, Mucor, Rhizopus, Penicillium, Trichoderma, dan sebagainya.
c. Ragi:
Candida, Saccharomyces, Paecylomyces, dan sebagainya.
Banyak jenis
dari jamur kontaminan udara yang bersifat termofilik, yaitu jamur yang tahan
pada pemanasan tinggi di atas 800C, misal selama suatu
benda/substrat sedang disterilkan. Ketahanan ini umumnya kalau mereka sedang
berada di dalam stadia/ fase spora. Ini terbukti bahwa walaupun suatu
substrat/media sudah disterilkan, tetapi di dalamnya setelah melewati waktu
tertentu kemudian tumbuh dan berkembang pula bakteri ataupun jamur tanpa
diharapkan sebelumnya (Suryawiria, 1985 dalam
Ali, 2008).
Ruangan tempat
pembedahan di rumah-rumah sakit sangat dihindari sekali kehadiran mikroba
kontaminannya. Karenanya ruangan tersbut akan di jaga kebersihannya sebelum
dipergunakan untuk keperluan operasi secara menyeluruh (Suryawiria, 1985 dalam Ali, 2008).
4. Komposisi
Umum Mikroorganisme di Udara
Kemungkinan lingkungan alami yang
paling tidak bersahabat dengan mikroorganisme adalah lingkungan atmosfer. Sel
mikroba berukuran sangat kecil yang tersuspensi dalam udara dapat terancam
kekeringan, rusak karena efek radiasi dari cahaya matahari ataupun dari
aktivitas kimia gas oksigen. Banyak jenis bakteri yang mati ketika terekspos ke
udara terutama dari jenis gram negatif tetapi beberapa jenis mampu bertahan dan
menggunaakan turbulensi aliran udara untuk penyebarannya. Meskipun begitu tidak
ada satu jenis pun yang mampu tumbuh dan berkembang biak dalam lingkungan
atmosfer (Pradhika, 2010).
Flora bakteri utama yang mendominasi
yaitu bakteri gram positif batang dan kokus yang sering menjadi pengontaminasi
udara yang berasal dari binatang, manusia atau lingkungan air. Dari
bakteri gram positif tersebut terdapat beberapa jenis yang sering dijumpai
yaitu Micrococci dan Corynebacteria (koloni berpigmen), Bacillus (mampu membentuk endospora dan
mempunyai bentuk koloni besar berwarna putih sampai krem), Streptomyces atau genus yang berhubungan dengan Actinomycetes (bakteri berfilamen dan
koloni kecil dan timbul/raised) (Adam dan Moss, 2000 dalam Pradhika, 2010).
Beberapa faktor yang menjadikan
jenis-jenis ini mampu bertahan hidup adalah (1) Pigmentasi pada mikroorganisme
dapat membantu melindungi dari radiasi cahaya tampak maupun UV, (2) Selubung dinding
sel yang dimiliki oleh bakteri gram positif mampu mencegah kekeringan, (3)
Pembentukan endosopra dari Bacillus dan konidiospora dari Actinomycetes
menjadikannya resisten terhadap radiasi dan kekeringan (Ray, 2005 dalam Pradhika, 2010). Bahkan spora dari
genus Streptomycetes terspesialisasi
untuk tersebar lewat udara karena spora kering tersebut terbentuk di ujung
filamen berbentuk rantai dan siap disebarkan angin. Ketika berada di udara
bakteri menjadi tidak aktif, mereka hanya melekat pada partikel debu.
Penyebaran bakteri di udara juga
sangat dipengaruhi oleh partikel-partikel/ tetesan kecil air. Volume aerosol
yang cukup ringan terbawa angin ini lebih besar dibandingkan dengan sel bakteri
sehingga bakteri dapat mudah terlarut didalamnya dan tersebar di udara. Aerosol
dapat terbentuk oleh kegiatan-kegiatan yang dapat memisahkan dan menyebarkan
formasi air seperti batuk, bersin, semprotan air, cipratan air, dan gelembung
udara di dalam air (Pradhika, 2010).
Spora fungi dan sel yeast juga
merupakan faktor pengontaminasi yang penting. Beberapa jenis umum jamur yang
sering ditemukan dan yang bertanggung jawab terhadap pembusukan adalah Aspergillus dan Penicillium. Jenis ini tidak mempunyai mekanisme penyebaran spora
secara aktif tetapi mereka memproduksi banyak spora kecil yang kering sehingga
akan beratahan lama dari kekeringan dan radiasi. Beberapa fungi seperti Fusarium menghasilkan spora yang umumnya
tersebar saat keadaan udara lembab. Saat kelembaban udara (relative
humidity) menurun seperti ketika pergantian malam ke siang, sporofor Cladosporium akan bereaksi dengan
memelintir dan lepas sehingga tersebar ke udara dan menjadikannya jenis yang
sering dijumpai di siang hari (Adam dan Moss, 2000 dalam Pradhika, 2010).
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Keberadaan Mikroorganisme di Udara
Keberadaan
mikroorganisme di udara dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kelembaban
udara, ukuran dan konsentrasi partikel debu, temperatur, aliran udara, jenis
mikroorganisme. Semakin lembab (banyak uap dan partikel air) maka kemungkinan
semakin banyak kandungan mikroba di udara karena partikel air dapat memindahkan
sel-sel yang berada di permukaan. Begitu juga dengan partikel debu, semakin
tinggi konsentrasinya dan semakin kecil ukuran partikel debu maka semakin
banyak jumlah mikroba di udara. Jika suhu di suatu ruangan dinaikkan maka akan
berdampak pada kekeringan di udara, tetapi perlu diperhatikan bahwa suhu tinggi
dapat menaikkan suhu air sehingga memudahkan proses penguapan air (Pradhika,
2010).
Aliran udara
yang tinggi juga mampu mempercepat penguapan dan menerbangkan partikel debu.
Pada umumnya keadaan udara yang kering dan mengandung sedikit debu memiliki
konsentrasi mikroorgansime yang rendah. Selain itu jenis mikroba udara juga
dipengaruhi oleh sumber-sumber pertumbuhan mikroorganisme. Lingkungan peternakan
tentunya memiliki komposisi mikroorganisme udara yang berbeda dengan lingkungan
rumah sakit atau lingkungan produksi minuman ringan (Pradhika, 2010).
Menurut
Pradhika (2010) kontaminasi mikroorganisme dari udara dapat dikurangi melalui
beberapa usaha yaitu mengontrol partikel debu dengan menyaringnya, membuat
udara positif dalam ruangan aseptik (udara positif dibuat dengan meninggikan
tekanan di suatu ruang sehingga udara akan selalu mengalir ke tekanan yang
lebih rendah), mengurangi kelembaban udara, dan memasang lampu UV.
Pengukuran
konsentrasi mikroorganisme udara dalam suatu ruangan tertutup maupun terbuka
harus memperhatikan beberapa hal penting berikut: aliran udara pernafasan,
jendela dan pintu, letak dan sitem ventilasi, ada atau tidaknya sistem
penyaringan, sirkulasi udara, kecepatan angin, letak sumber bahan pengontaminan
(sampah, saluran pembuangan, wastafel dll.), AC, tekanan udara dalam suatu
ruang, jumlah orang/ lalu-lalang operator, dan adanya kayu atau bahan berpori (Pradhika,
2010).
6.
Berbagai macam Metode untuk Mengambil Sampel Mikoorganisme di
Udara
Berikut adalah beberapa macam metode yang
diklasifikasikan berdasarkan prinsip kerjanya yaitu:
a.
Metode
Non Kultur (non-culturable/ non-vialbe air sample dan spore trap)
Menurut Pradhika (2010) dasar metode non kultur adalah
dengan menjebak mikroorganisme pada suatu alat kemudian mikororganisme yang
terjebak dihitung secara langsung (saat itu juga tanpa inkubasi) dengan
mikroskop. Dasar teknik ini adalah sama dengan metode impaction atau
filtration yang akan dijelaskan kemudian. Cara ini hanya spesifik digunakan
untuk menghitung spora jamur maka disebut juga jebakan spora (Gambar spore
trap sampling dapat dilihat pada
gambar 1). Spora yang dihitung tidak memperdulikan apakah spora tersebut
mampu untuk berkecambah atau tidak.
Beberapa
jenis spore trap adalah Air-O-Cell, Allergenco, VersaTrap, Burkard,
Cyclex, Cyclex-d, dan Micro-5 . Cara kerjanya adalah dengan menyedot udara
memasuki alat lalu partikel yang terbawa akan ditumbukkan dengan substrat sampling
yang lengket, kemudian sisa udara keluar lewat lubang. Spora yang menempel
langsung dihitung dan diidentifikasi (Pradhika, 2010).
Kelebihan Metode Non
Kultur adalah :
1) Mudah digunakan.
2) Dapat membedakan jenis jamur secara
cepat berdasarkan bentuk spora.
3) Cepat dan dapat menghemat waktu (tanpa
inkubasi).
4) Tidak tergantung pada jenis media
pertumbuhan yang cocok.
5) Bisa juga untuk mendeteksi partikel
udara lainnya seperti hifa, polen, fragmen epitel kulit dll.
6) Cocok untuk menghitung spora yang
dihubungkan dengan dampak alergi karena alergi dapat dipicu oleh spora hidup
atau mati.
Kekurangan
Metode Non Kultur adalah :
1) Tidak dapat membedakan jenis jamur
lebih jauh atau lebih detail (misalnya morfologi Spora Aspergillus sp.
dan Penicillium sp. umumnya sama).
2) Tidak dapat membedakan spora yang
mampu untuk tumbuh atau spora mati.
3) Kurang cocok dipakai untuk mendeteksi
sel vegetatif atau endospora bakteri.
b.
Metode Kultur (Culturable/ viable air sample)
Semua metode
kultur menggunakan suatu media pertumbuhan dapat berupa agar dalam cawan petri
atau agar strips untuk menumbuhkan mikroorganisme yang terjebak.
Kelebihan Metode Kultur adalah:
1) Dapat digunakan untuk mendeteksi
bakteri (tidak hanya spora saja).
2) Memiliki gambaran berapa jumlah
mikroorganisme hidup yang berada di udara.
3) Dapat menentukan jenis mikroorganisme
sampai spesies karena mempunyai koloni tunggal yang dapat dikultur lagi.
Kekurangan Metode Kultur
adalah:
1) Membutuhkan waktu inkubasi yang lama.
2) Tidak begitu akurat mengingat spora
yang rusak dan tidak mampu tumbuh tidak terhitung.
3) Pertumbuhan jenis mikroorganisme
tergantung jenis media yang digunakan sehingga mikroorganisme yang tidak mampu tumbuh
pada media tersebut tidak akan terdeteksi.
4) Jumlah total mikrorganisme mungkin
dapat mengalami kesalahan karena koloni dapat bertindihan dan adanya perbedaan
kecepatan pertumbuhan koloni.
5) Pada umumnya dalam pengoperasiannya
metode ini dapat memakan dana yang cukup besar.
c. Metode Pasif
Disebut dengan
metode pasif karena membiarkan partikel udara mengenai sendiri pada permukaan
media pertumbuhan, yakni dapat dilakukan dengan cara:.
1) Exposure Plate
Cara pengambilan sampel metode exposure
plate adalah dengan memaparkan cawan /settle plate (umumnya
digunakan cawan d=9cm) berisi media pertumbuhan non selektif ke udara terbuka
selama waktu tertentu. Partikel udara yang mengendap karena gravitasi akan
menempel pada permukaan agar (Pradhika, 2010).
Pada
umumnya cawan dibiarkan selama beberapa menit selanjutnya diinkubasi pada
temperatur yang sesuai (misalnya 35C untuk Total Count atau 25C untuk Yeast
and Mold). Exposure plate cocok digunakan pada ruangan tertutup yang
aliran udaranya tenang. Metode ini bukan merupakan metode kuantitatif dan lebih
berguna untuk mengetahui kecenderungan jumlah mikroorganisme di udara secara
mudah dan murah. Cara ini bukan tergolong metode kuantitatif karena tidak dapat
dihitung seberapa besar volume udara yang mengendap dan sangat tergantung
kecepatan aliran udara dan diameter cawan yang dipakai. Selain kekurangan
diatas, partikel udara yang sangat kecil dan tidak cukup berat untuk terendap
menjadi tidak dapat terdeteksi dengan metode ini (Pradhika, 2010).
d.
Metode Aktif
Metode pegambilan udara secara aktif
adalah dengan memaksa udara bergerak memasuki suatu pipa pada peralatan untuk
menjebak partikel yang terkandung didalamnya. Terdapat tiga prinsip dalam
pengumpulan sampel udara secara aktif, yatiu:
1)
Impingement
Dasar
teknik ini adalah dengan menjebak partikel udara saat gelembung udara
dilewatkan dalam cairan. Alat yang biasa digunakan adalah liquid impinger
AGI-30 (ACE Glass,Vineland, NJ). AGI-30 umumnya beroperasi pada debit aliran
12,5 L/menit dengan 20 ml cairan pengumpul (0,1% pepton solution+ 0,1 ml
anti-foam agent) selama 20 atau 30 menit (Pradhika, 2010).
Pelarutan
partikel udara dalam cairan terjadi ketika udara ditekan dan bertumbukan dengan
permukaan cairan. Cairan pengumpul dapat berupa air steril atau media
pertumbuhan (pepton) dan jika setelah selesai pengambilan sampel cairan ini
dapat dikultur untuk menghitung mikroorgansime yang ada dengan metode yang
tepat. Beberapa metode untuk mengkultur cairan tersebut adalah dengan mengambil
0,1 ml untuk spread plate dengan beberapa kali ulangan atau memakai
metode filtrasi membran dengan ukuran sampel yang sesuai (Pepper dan Gerba,
2004- dalam Pradhika, 2010). Jika
waktu pengambilan diperpanjang maka akan memperbesar evaporasi cairan dan dapat
menonaktifkan mikroorganisme yang telah terjebak.
Pengenaan
sel mikoroganisme ke dalam cairan dapat menyebabkan kerusakan sel dan hold
time sampel yang lama akan menyediakan waktu yang cukup untuk
mikroorganisme berkembang biak pada cairan pengumpul berupa media pertumbuhan.
Kelebihan
alat ini adalah murah, mudah digunakan, dan portable. Jika debit aliran
udara tidak dapat ditentukan berdasarkan kecepatan pompa dan diameter pipa
penyedot maka cara ini tidak tergolong cara pengambilan sampel kuantitatif
karena satuannya tidak dapat ditentukan dengan jelas. Efisiensi dari AGI-30
akan menurun tajam jika digunakan lebih dari 30 menit karena cairan pengumpul
yang memiliki viskositas rendah dapat terevaporasi dengan mudah. Untuk
mengurangi kelemahan ini telah dirancang alat biosampler dengan cairan
pengumpul dari minyak berupa non-evaporating heavy white mineral oil
(kekentalan lebih tinggi) yang mampu mengumpulkan udara selama 4 jam (Pradhika,
2010).
Hal ini memberi keuntungan saat digunakan pada udara yang memiliki sedikit partikel sehingga dibutuhkan volume sampel udara yang besar. Sebaiknya pelaporan jumlah perhitungan mikroorganisme menggunakan AGI-30 memakai satuan CFU/m3. Menurut Pepper dan Gerba (2004), berdasarkan debit aliran udara sebesar 12,5L/menit maka perhitungannya menjadi:
2) Impaction
Dasar teknik
impaction adalah dengan menempelkan partikel udara pada permukaan padat media
dengan cara menumbukkannya. Udara masuk ke dalam alat dengaan disedot oleh
pompa lalu Teknik ini biasanya menggunakan media agar padat sebagai substrat
langsung penempelan partikel udara dan secara umum teknik impaction
lebih banyak digunakan karena kelebihan tersebut (Pradhika, 2010).
3) Sieve Impactor
(six stage Andersen air sampler)
Udara yang
masuk ke dalam alat Andersen air sampler (Anderson Instruments Inc., Smyra, GA)
disedot oleh pompa udara (28,3 L/menit) sehingga udara mengalir dari atas ke
bawah. Alat ini menggunakan 6 tingkatan tumbukan yang bisa memisahkan partikel
berdasarkan ukurannya. Setiap tingkatan diisi oleh satu media pertumbuhan (27
ml) yang berada dalam cawan petri. Semakin tinggi tingkatannya (kebawah) lubang
(setiap tingkat memiliki lubang berjumlah 400) tiap tingkatan akan semakin
kecil (Maier et.al., 2000 dalam Pradhika,
2010).
Tumbukan yang terjadi pada Andersen sampler adalah dengan merubah aliran udara tangensial yang mendadak atau dengan menabrakkan partikel udara ke permukaan agar sehingga kelembaman pada pertikel akan menjatuhkannya. Kemudian angin akan melewati pinggir cawan dan menuju tingkat selanjutnya.
Kecepatan
aliran udara yang terjadi semakin ke bawah semakin cepat sehingga secara
bertahap partikel yang tertabrak dan menempel menjadi semakin kecil. Partikel
udara yang besar akan terkumpul pada tingkat 1 dan partikel udara yang tidak
memiliki potensial tumbukan yang cukup akan mengisi tingkat dibawahnya.
Kecepatan tumbukan partikel udara pada permukaan agar sekitar 11m/detik.
Partikel udara yang di benturkan dengan kecepatan seperti ini memastikan bahwa
partikel dengan ukuran lebih dari 1um akan menempel. Oleh karena itu alat ini
disebut juga sieve (ayakan) impactor karena kemampuan memisahkan
ukuran partikel tersebut.
Setelah
pengambilan sampel selesai, cawan dapat langsung diinkubasi tanpa perlakuan
apapun. Perhitungan koloni pada tingkat 1 dan 2 dilakukan dengan mata telanjang
atau jika terlalu penuh dilihat dengan mikroskop. Hasil hitungan pada tingkat
3-6 dihitung dengan metode yang sama atau dikonversikan dengan tabel konversi “positive
hole” yang berfungsi sebagai pengoreksi berdasarkan teori probabilitas.
Menurut
Andersen (1958), tabel konversi ini dibuat berdasarkan anggapan bahwa jumlah
partikel yang bertumbukan dan menempel pada cawan selama proses pengambilan
sampel akan meningkat dan probabilitas beberapa partikel yang melewati lubang
yang sama juga akan meningkat tapi kemungkinan/kesempatan partikel selanjutnya
yang akan melewati lubang kosong (empty hole) atau lubang yang belum
pernah terlewati partikel akan menurun.
Misalnya
ketika 9/10 lubang telah terlewati lebih dari 1 partikel maka partikel
selanjutnya yang akan lewat memiliki 1 kemungkinan dari 10 kesempatan untuk
melewati lubang yang belum dilewati (empty hole). Jadi rata-rata 10
tambahan partikel dibutuhkan untuk meningkatkan jumlah lubang yang terlewati (positive
hole) sebanyak satu. Sebelum semua lubang menjadi positif, kamungkinan
beberapa lubang bisa menerima beberapa partikel dalam sekali lewat.
Selain itu
terdapat suatu efek ‘kehilangan’ partikel karena menempel atau terjebak pada
permukaan alat. Contohnya saat aliran udara menuju tingkat selanjutnya
dibelokkan saat melewati antar sambungan dan dibelokkan lagi melewati lubang,
sering dijumpai terdapat kumpulan partikel yang tersangkut pada lubang tersebut
karena kelembaman partikel tidak mampu mengikuti alur udara yang dibelokkan.
Kejadian ini dinamakan wall loss. Wall loss akan mengurangi efisiensi
alat ini (Vaughan, 1988 dalam Pradhika,
2010).
4) Centrifugal
impactor
Centrifugal sampler menggunakan pola aliran melingkar udara
untuk meningkatkan tarikan gravitasi dalam mendepositkan partikel udara yang
disedot ke dalam alat. Alat yang umum memakai metode ini adalah Cyclone air
sampler (pbi International) dan Coriolis air sampler (Bertin Technologies).
Misalnya Cyclone air sampler mampu menyedot udara dengan kecepatan 1-1400
L/menit (Pradhika, 2010).
Menurut Maier et.al. (2000) dalam Pradhika (2010). Cara kerja pertama alat ini yaitu udara
masuk kedalam alat melalui pipa dengan sudut tertentu sehingga menimbulkan pola
udara tangensial dan udara disedot oleh pompa pada pipa keluar. Udara masuk
akan berputar pada permukaan corong sehingga dapat dipercepat seiring semakin
kecilnya diameter pada corong. Percepatan ini menimbulkan gaya sentrifugal yang
semakin besar sehingga sedimentasi partikel udara semakin mudah.
Pendepositan partikel terjadi pada ujung corong yang
terhubung pada wadah di bagian bawah berisi cairan pengumpul (collection
liquid). Untuk menghitung mikroorganisme yang masuk ke dalam alat, maka
cairan pelarut partikel dianalisa menggunakan metode yang sesuai. Dalam
prakteknya alat yang menggunakan metode ini tidak mampu memisahkan ukuran
partikel dan kurang efisien dalam menjebak partikel udara.
e. Metode Filtration
Metode ini menggunakan prinsip menyaring partikel udara
berdasarkan ukurannya menggunkan kertas membran filter. Membran filter biasanya
tersedia dalam kaset plastik sekali buang (Plastic Filter Cassettes)
berdiameter 25, 37 atau 47 mm. Seperti halnya teknik membran filter untuk
menyaring cairan, cara ini juga menggunakan tekanan negatif dari pompa (4
L/menit) untuk menekan udara menembus kertas membran yang terbuat dari polycarbonate
atau cellulose acetate selama 30 menit (Hung et.al., 2005 dalam Pradhika, 2010).
Partikel udara yang berukuran lebih besar daripada pori
membran akan tersaring. Keunggulan metode filtrasi adalah sangat akurat dalam
menangkap partikel udara namun sangat tidak direkomendasikan untuk menghitung
sel vegetatif bakteri karena kemungkinan besar sel akan mengalami kekeringan
dan mati selama pengambilan sampel berlangsung. Oleh karena itu cara ini lebih
tepat digunakan untuk mendeteksi spora jamur atau endospora bakteri yang
resisten kekeringan (Pradhika, 2010). Setelah selesai pengambilan sampel,
membran filter dapat dipindahkan kedalam media pertumbuhan lalu diinkubasi,
dapat juga spora dihitung manual dengan bantuan mikroskop atau kertas membran
dibilas dengan cairan pengekstrak (5 ml) selanjutnya dianalisa memakai metode
yang sesuai. Pemilihan diameter membran filter juga berpengaruh terhadap
perhitungan sel yang tertangkap. Untuk menghitung mikroorganisme dengan
konsentrasi rendah maka sebaiknya menggunakan filter dengan diameter yang lebih
kecil (luas permukaan lebih sempit sehingga meningkatkan densitas sel) untuk
membantu menghitung sel di bawah mikroskop. Contoh air sampler modern yang
menggunakan teknik ini adalah Airport MD 8 (Sartorius, Goettingen, Germany).
Airport MD 8 memiliki kecepatan mengambil udara yang dapat
diatur yaitu 30, 40, 50 dan 125 L/menit dan menggunakan gelatine membrane
filter. Keunggulan gelatine membrane filter dapat mengurangi
kekurangan metode filtrasi dengan menjaga sel dari kekeringan saat pengambilan
sampel yang lama karena gelatin tetap mempertahankan kelembabannya (Pradhika,
2010).
Gelatine membrane filter juga memiliki
sifat yang mudah larut sehingga saat ditempatkan diatas permukaan agar filter
akan larut dan meninggalkan sel sehingga bersentuhan langsung dengan permukaan
agar. Alat lainnya yaitu MD 8 Airscan (Sartorius, Goettingen, Germany). Prinsip
kerjanya mirip dengan Airport MD8 tetapi mempunyai sampling head yang
terpisah (dihubungkan dengan selang) dari alat utama. Hal ini dapat mempermudah
saat mengambil sampel dengan titik sampling yang tinggi atau pada daerah
tertentu yang kritis (Sartorius Stedim Biotech).
No comments