Mikroorganisme dalam Kesehatan dan Penyakit Resistensi
Setelah perang dunia ke dua, dengan bertambahnya temuan antimikroba, vaksin dan terbasminya penyakit cacar, terdapat harapan besar bahwa penyakit infeksi tidak akan menjadi masalah kesehatan masyarakat lagi. Kenyataan menunjukkan bahwa dalam kurun waktu dua darsawarsa kemudian, banyak sekali mikroba baru (mutan) penyebab penyakit ditemukan lagi, diantaranya virus ebola, HIV, rotavirus dan pelbagai virus hepatitis. Pada periode yang sama, beberapa penyakit telah berkurang kekerapannya. Termasuk dalam kelompok reemerging diseases, diantaranya :dengue, difteri, demam kuning, kolera dan meningitis meningokokus. Para ahli di Center for Disease Control Amerika Serikat tahun 2000 telah meramalkan bahwa tidaklah mungkin melakukan pemberantasan penyakit infeksi di manapun. Bahwa penyakit infeksi masih terus merupakan masalah kesehatan masyarakat utama. Tahun 1996 menunjukkan bahwa diperkirakan terdapat 17 juta penderita penyakit infeksi yang meninggal tiap tahun atau 50.000 orang meninggal setiap hari.
Disamping itu, sejak ditemukannya dan dipakainya antimikroba untuk pengobatan penyakit infeksi, teramati adanya peningkatan kekerapan resistensi mikroba penyebab terhadap antimikroba tersebut dan peningkatan penyebaran geografis mikroba resisten. Beberapa faktor yang berperan dalam muncul kembalinya pelbagai infeksi, misalnya saja: cepat dan kerapnya perjalanan, padatnya penduduk kota dengan sanitasi buruk, perubahan penanganan dan pengolahan bahan pangan dan minuman, perubahan ekologi yang memungkinkan manusia mudah terpapar pada vektor terinfeksi dan reservoir mikroba, lemahnya kemampuan pengamatan dan laboratorium serta evolusi mikroba. Kondisi-kondisi tersebut memungkinkan akumulasi infeksi yang tidak mampu dideteksi secara dini dan baru disadari setelah terjadinya wabah seperti halnya pada kejadian infeksi oleh HIV.
Manusia secara konstan berhubungan dengan beribu-ribu mikroorganisme. Mikroorganisme ini tidak hanya terdapat di lingkungan, tetapi juga menghuni tubuh manusia, mikroorganisme yang menghuni tubuh manusia disebut flora normal, atau mikrobiota. Kebanyakan mikroba asli di dalam tubuh manusia adalah komensal, mereka memanfaatkan inang, tetapi inangnya tidak terpengaruh. Mikroba komensal memperoleh makanannya dari sekresi dan pruduk-produk buangan tubuh manusia.Mikroorganisme asli yang lain mempunyai hubungan mutualistik dengan inangnya yaitu, mereka memanfaatkan inangnya sambil juga menguntungkan inang.
Kadang-kadang mikroorganisme jenis lain dapat pula menyerang tubuh manusia. Mikroorganisme itu parasit yang hidup bergantung dari inang dan dapat menimbulkan bahaya terhadap inang tersebut dengan cara menimbulkan penyakit. Penyakit menular dapat timbul atau dicegah bergantung kepada hasil interaksi antara mikroba parasitik dan inangnya. Kemampuan organisme untuk menimbulkan penyakit disebut patogenitas. Bila mikroorganisme menyerang inang dan berkembang biak di situ, maka terjadilah infeksi. Respon inang terhadap infeksi ialah terganggunya fungsi tubuh yang disebut penyakit. Jadi pathogen ialah mikroorganisme apa saja yang mampu menimbulkan penyakit.
Kemampuan suatu mikroorganisme untuk menyebabkan infeksi disebut virulensi. Kemampuan suatu mikroorganisme patogenik untuk menyebabkan infeksi juga dipengaruhi oleh kemampuan inang untuk menahan infeksi. Anak-anak yang telah sembuh dari suatu penyakit seperti campak, gondong, atau cacar air, biasanya tidak rentan terhadap serangan kedua kali untuk penyakit ini. Kita katakan bahwa orang ini telah menjadi resisten terhadap penyakit yang disebabkan oleh suatu pathogen khusus. Keadaan resisten seperti ini disebut kekebalan atau imunitas.
Karena imunitas ini diperoleh setelah mula-mula terkena suatu mikroorganisme patogenik, kita menyebutnya sebagai kekebalan atau imunitas dapatan (acquired immunity).
Kekebalan dapatan dapat terjadi melalui penggunaan vaksin disamping melalui infeksi alamiah. Jadi vaksin maupun mikroorganisme dapat merangsang mekanisme resistensi inang (sistem kekebalan)
Rintangan atau hambatan mekanis meliputi kulit dan selaput lendir yang utuh (tidak sobek) yang pada umumnya mencegah masuknya mikroorganisme. Namun, cendawan tertentu dapat dengan mudah menimbulkan infeksi kulit bila kulit menjadi lembab dan lunak, misalnya cendawan yang menyebabkan athlete foot. Tetapi bakteri umumnya dihambat oleh asam laktat dan asam-asam lemah lain yang dijumpai di dalam sekresi kelenjar keringat dan pH rendah. Disamping aksi mekanis lendir, air liur dan air mata dalam rangka menghambat bakteri, beberapa dari sekresi ini mengandung substansi antimikrobial yang penting untuk mencegah infeksi. Salah satu contohnya adalah Lisosom, suatu enzim yang menghidrolisis dinding sel banyak bakteri, dijumpai dalam banyak zat alir dan sekresi tubuh, terutama air mata. Keasaman dan kebasaan beberapa zat alir tubuh mempunyai pengaruh yang merusak terhadap banyak mikroorganisme.
Menanggulangi Penyakit Infeksi
Pada masa kini telah banyak sekali upaya yang dilakukan untuk menemukan dan mengidentifikasi mikroba penyebab penyakit. Dengan datangnya bioteknologi hubungan manusia dengan mikroba memasuki fase baru, beberapa mikroba telah dimanfaatkan secara positif dalam dunia pengobatan, terutama dan salah satunya adalah dalam produksi antibiotika dan penemuan interferon.
Antibiotika.
Sesuai dengan susunan kimianya, antibiotika digolongkan menjadi 4 kelas utama yaitu; penisilin, tetrasiklin, sefalosporin dan eritromisin. Penisilin merupakan antibiotika pertama yang digunakan dalam klinik dan merupakan antibiotika yang paling banyak diteliti, baik mengenai proses seleksi maupun mutasi jamur penghasil penisilin tersebut. Penelitian dilakukan untuk memecahkan masalah berikut: (1) permintaan untuk menggunakan penisilin sangat besar untuk memenuhinya diperlukan proses fermentasi yang efisien dan efektif untuk memperoleh hasil yang tinggi, (2) penisilin merupakan antibiotika spectrum sempit, hanya aktif untuk bakteri Gram positif, sehingga diperlukan antibiotika spectrum lebar yang aktif baik untuk bakteri gram positif maupun gram negative, (3) menyebabkan reaksi alergi baik ringan ataupun berat, sehingga diperlukan antibiotika bagi pasien yang alergi pada penisilin, (4) penisilin tidak stabil dalam kondisi asam di dalam lambung, sehingga tidak dapat diberikan secara oral, (5) banyak bakteri manjadi resisten terhadap penisilin, karena dapat menghasilkan enzim penisilinase yang menyebabkan penisilin menjadi inaktif.
Pada tahun 1945 Guiseppe Brotzu seorang guru besar bakteriologi menemukan mikroorganisme jenis cendawan Cephalosporium, yang menghasilkan senyawa yang dapat membunuh berbagai jenis bakteri dalam kisaran yang luas, yang merupakan penisilin baru dan dinamakan sefalosporin yang dapat membunuh bakteri yang resisten terhadap penisilin. Memang penisilin dapat menghentikan infeksi oleh bakteri-bakteri yang berbahaya, namun infeksi yang semula secara cepat dapat disembuhkan dengan penisilin, kemudian dapat bertahan. Dengan kata lain bakteri penyebab penyakit infeksi itu menjadi resisten terhadap penisilin.
Resistensi terhadap antibiotika tertentu pada populasi bakteri melalui berbagai cara, termasuk melalui transfer plasmida resistensi terhadap antibiotika umum digunakan menyimpang dari yang semestinya, mendorong bakteri yang resisten. Misalnya bakteri yang mula-mula resisten terhadap penisilin ternyata memulai dengan membuat enzim penisilinase, yang menyerang antibiotika itu sebelum dapat bekerja.
Penisilin dan sefalosporin keduanya bekerja menghambat pembentukan dinding sel bakteri. Sefalosporin digunakan untuk melawan pneumonia yang disebabkan oleh Staphylococcus yang resisten terhadap penisilin.
Streptomisin merupakan antibiotika yang berasal dari Steptomyces griseus yang kerjanya mencegah pembentukan protein pada bakteri. Sekali dapat masuk ke dalam bakteri, streptomisin merusak ribosom yang merupakan struktur globular kecil yang padanya informasi genetik yang diemban oleh mRNA diterjemahkan menjadi protein. Streptomisin dapat menyerang bakteri yang tidak tergangu oleh penisilin dan sefalonosporin.
Interferon.
Interveron ialah bahan antivirus nonspesifik yang menghambat replikasi virus secara intraseluler dan disintesis oleh sel sebagai respons terhadap infeksi virus.
Sejarah perkembangan interferon dimulai tahun 1957, pada waktu Alick Isaacs dan Jean Lindenmann meneliti tanggapan tubuh terhadap inveksi virus. Mereka menemukan bahwa suatu substansi yang disekresikan oleh sel yang terserang dapat membantu sel lain untuk menentang pengaruh virus penyerang. Senyawa ini dinamakan oleh mereka interferon, karena mengganggu (interfere) penyebaran infeksi virus. Isaacs dan Lindenmann mencoba untuk menemukan mengapa orang yang menderita infeksi suatu jenis virus jarang terserang penyakit jenis virus lain pada waktu yang sama. Fakta ini membangkitkan minat mereka untuk menyelidiki lebih mendalam, karena telah diketahui bahwa infeksi bakteri biasanya membuka untuk infeksi bakteri lain, akibat melemahnya sistem pertahanan pasien. Mengapa tidak demikian pada infeksi virus? Mereka menemukan bahwa sebagai tanggapan terhadap serbuan virus, sel mensekresikan interferon yang bertindak sebagai tanda bahaya, membangunkan sel sekelilingnya agar bersiaga terhadap kehadiran penyerang dan memungkinkan sel-sel tadi untuk menyiapkan diri terhadap serangan yang sebentar lagi akan datang. Sekarang diketahui, bahwa paling sedikit terdapat selusin interferon yang berbeda yang dapat dihasilkan oleh sel tubuh manusia, yang semuanya adalah protein. Selain itu, jenis hewan yang berbeda menghasilkan interferon yang berbeda pula. Interferon mencit tidak mempunyai pengaruh yang berarti pada manusia.
Tidak mengherankan, bahwa sampai tahun 1980 satu-satunya sumber interferon untuk manusia adalah sel manusia, di mana sel darah putih dari donor darah dalam jumlah yang besar kemudian sengaja diinfeksi dengan virus untuk memacu pembuatan interferon oleh sel-sel tadi. Dari 90.000 donor hanya dapat menghasilkan 1 g interferon, dalam bentuk yang paling baik hanya mengandung 1% interferon murni.
Kendati banyaknya kesulitan untuk mendapatkan interferon, bukti besarnya nilai interferon dalam pengobatan beberapa penyakit virus dan barangkali dalam pengobatan penyakit kanker telah dimulai. Charles Weissmann telah mengumumkan keberhasilannya mengklonkan gen pengendali pembuatan satu tipe interferon manusia dengan menyisipkan ke dalam bakteri .
Interferon adalah kerabat protein yang akhir-akhir ini telah diklarifikasikan kembali dan dibedakan menjadi subtipe, yaitu: a-interferon (semula interferon lekosit),
b-interferon (semula interferon fibroblast), g-interferon (semula interferon kekebalan).
a-interferon dan b-interferon dikembangkan sebagai anti virus untuk melawan virus hepatitis dan cacar, sedangkan g-interferon sebagai obat antikanker.
Gen interferon leukosit manusia yang mengendalikan pembuatan interferon telah dapat disintesis, kemudian dimasukkan ke dalam plasmida, dan selanjutnya diklonkan ke dalam E.coli untuk menghasilkan b-interferon. Gen interferon manusia juga telah diekspresikan ke dalam khamir dangan interferon fibroblast telah disisipkan ke dalam E.coli dan ekspresi menghasilkan pruduk yang mempunyai aktivitas sebagai antivirus.
No comments