Imunisasi Hepatitis B
Kata imun berasal
dari bahasa latin imunitas yang berarti pembebasan (kekebalan) yang diberikan
kepada para senator Romawi selama masa jabatan mereka terhadap kewajiban terhadap warga biasa dan terhadap
dakwaan. Dalam sejarah, istilah ini kemudian berkembang sehingga pengertiannya
berubah menjadi perlindungan terhadap penyakit, dan lebih spesifik lagi
terhadap penyakit menular. Sistem imun adalah suatu sistem dalam tubuh yang
terdiri dari sel – sel serta produk zat – zat yang dihasikannya, yang bekerja
sama secara kolektif dan terkoordinir untuk melawan benda asing seperti kuman –
kuman penyakit atau racunnya, yang masuk ke dalam tubuh (Badan Litbangkes, 2008).
Kuman disebut antigen. Pada saat pertama
kali antigen ke dalam tubuh, maka sebagai reaksinya tubuh akan membuat zat anti
yang disebut antibodi. Pada umumnya reaksi pertama tubuh untuk membentuk
antibodi tidak terlalu kuat karena tubuh belum mempunyai pengalaman terhadap
antigen yang masuk, tetapi pada reaksi yang kedua, ketiga dan seterusnya, tubuh
sudah mempunyai memori untuk mengenali antigen tersebut sehingga pembentukan
antibody terjadi dalam waktu yang lebih cepat dan dalam jumlah yang lebih banyak,
itulah sebabnya pada beberapa jenis penyakit yang dianggap berbahaya dilakukan
tindakan imunisasi atau vaksinasi. Hal ini dimaksudkan sebagai tindakan
pencegahan agar tubuh tidak terjangkit penyakit tersebut atau seandainya
terkenapun tidak akan menimbulkan akibat yang fatal (Badan Litbangkes, 2008).
Imunisasi adalah pemberian vaksin kepada
seseorang untuk melindunginya dari beberapa penyakit tertentu. Imunisasi
merupakan upaya untuk mencegah penyakit lewat peningkatan kekebalan tubuh
seseorang (Badan Litbangkes, 2008).
Imunisasi merupakan suatu upaya pencegahan
yang paling efektif untuk mencegah penularan penyakit hepatitis B. Word Health Organization (WHO) melalui program The Expanded Program on Immunisation (EPI) merekomendasikan
pemberian vaksinasi terhadap 7 jenis antigen penyakit sebagai imunisasi rutin
di Negara berkembang, yaitu BCG, DPT, Polio, Campak dan Hepatitis B.
Imunisasi ada dua macam yaitu imunisasi
aktif dan imunisasi pasif. Imunisasi aktif adalah pemberian kuman atau racun
yang sudah dilemahkan atau dimatikan dengan tujuan untuk merangsang tubuh
memproduksi antibodi sendiri contohnya imunisasi hepatitis B, sedangkan
imunisasi pasif adalah penyuntikan sejumlah antibodi sehingga kadar antibodi
dalam tubuh meningkat contohnya peningkatan ATS (Anti Tetanus Serum) pada orang
yang mengalami luka kecelakaan, contoh lain adalah yang terdapat pada bayi baru
lahir dimana bayi tersebut menerima berbagai jenis antibodi dari Ibunya
terhadap campak (Depkes RI, 2004).
Data statistik menunjukkan makin banyak
penyakit menular bermunculan dan senantiasa mengancam kesehatan. Setiap tahun
di seluruh dunia ratusan ibu, anak – anak dan dewasa meninggal karena penyakit
yang sebenarnya masih dapat dicegah, hal ini dikarenakan kurangnya informasi
tentang pentingnya imunisasi. Bayi – bayi yang baru lahir, anak – anak usia
muda yang bersekolah dan orang dewasa sama – sama memiliki resiko terserang
penyakit – penyakit menular yang mematikan seperti, hepatitis B, dipteri,
tetanus, thypus, radang selaput otak dan masih banyak penyakit lainnya yang
sewaktu – waktu muncul dan mematikan, untuk itu salah satunya pencegahan yang
terbaik dan sangat vital agar bayi –bayi tersebut terlindungi hanya dengan
melakukan imunisasi (Khalidatnnur & Masriati, 2007).
Imunisasi merupakan salah satu cara yang
efektif dan efisien dalam mencegah penyakit dan merupakan upaya preventif yang
mendapatkan prioritas. Sampai saat ini ada tujuh penyakit infeksi pada anak
yang dapat menyebabkan kematian dan cacat, walaupun sebagian anak dapat
bertahan dan kebal. Ketujuh penyakit tersebut dimasukkan dalam program
imunisasi yaitu tuberkulosis, difteri, pertusis, tetanus, polio, campak dan
hepatitis B (Mirzal, 2008).
Imunisasi hepatitis B pada bayi adalah upaya memberikan stimulan kepada
tubuh agar secara efektif membentuk antibody terhadap virus hepatitis B (anti–HBs).
Program imunisasi hepatitis B dapat berkontribusi menurunkan angka kesakitan dan kematian sebesar 80 -90% (Idwar, 2000).
1.
Program
imunisasi Hepatitis B di Indonesia
Imunisasi hepatitis B pada individu dimaksudkan agar individu
membetuk antibodi yang ditunjukan untuk
mencegah infeksi oleh virus hepatitis B.
Tujuan utama pemberian imunisasi hepatitis B yaitu untuk menurunkan angka
kesakitan dan kematian yang disebabkan oleh infeksi hepatitis B dan
manifestasinya, secara tidak langsung menurunkan angka kesakitan dan kematian
karena kanker hati dan pengerasan hati (Depkes RI 2000).
Pemberian imunisasi hepatitis B sesuai dengan jadwal imunisasi
rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) tahun 2000 berdasarkan status
HBsAg pada saat ibu melahirkan. Bayi yang dilahirkan dari Ibu dengan status
HBsAg yang tidak diketahui, diberikan vaksin rekombinan (HB Vax-II 5μg atau engerix B 10 μg) atau vaksin
plasma derived 10 mg secara intra muscular dalam waktu 12 jam setelah
lahir. Dosisi kedua diberikan pada umur 1-2 bulan dosisi ketiga diberikan pada
umur 6 bulan. Apabila pada pemeriksaan selanjutnya diketahui HBsAg ibu positif
diberikan segera 0,5 HBIF sebelum usia
anak satu minggu. Bayi baru lahir dari Ibu HBsAg positif dalam waktu 12 jam
setelah lahir dberikan 0,5 ml BIG dan vaksin rekombinan (HB Vax-II 5 mg atau engerix B 10 mg) intra muscular disisi
tubuh yang berlalinan. Dosisi kedua di berika 1-2 bulan sesudahnya dan dosisi
ketiga pada usia 6 bulan. Bayi yang lahir dengan HBsAg negatif diberikan vaksin
rekombinan (HB Vax-II dengan dosisi minimal 2,5 μg atau engerix B 10μg, vaksin plasma
derived dengan dosisi 10μg intar
muscular saat lahir sampai 2 bulan. Dosis kedua diberikan 1-2 bulan dan dosisi
ketiga diberikan 6 bulan setelah dosis pertama. Adapun jadwal pelaksanaan
program imunisasi nasiaonal adalah sebagai berikut.
Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Program Imunisasi
Nasional
Umur
|
Vaksin
|
Tempat
|
Bayi lahir dirumah
|
|
|
0 Bulan (0-7 hari)
|
HB1
|
Dirumah
|
1 Bulan
|
BCG
|
Posyandu
|
2 Bulan
|
HB2
|
Posyandu
|
3 Bulan
|
HB2, DPT1, Polio1
|
Posyandu
|
4 Bulan
|
HB3, DPT2. Polio2
|
Posyandu
|
9 Bulan
|
Campak dan Polio 4
|
Posyandu
|
Bayi lahir
di RS/Bidan praktek
|
|
|
0 Bulan (0-7hari)
|
HB1, Polio1, BCG
|
RS/Bidan Praktek
|
2 Bulan
|
HB2, DPT1, Polio 2
|
Posyandu
|
3 Bulan
|
HB3, DPT2, Polio 3
|
Posyandu
|
4 Bulan
|
DPT3, Polio 4
|
Posyandu
|
9 Bulan
|
Campak
|
Posyandu
|
Sumber : Depkes RI
B.
Tinjauan
Tentang Penyakit Hepatitis B
1.
Definisi
Penyakit Hepatitis B
Hepatitis B adalah infeksi yang terjadi pada hati yang disebabkan oleh
virus hepatitis B (VHB). Penyakit ini bisa menjadi akut atau kronis dan dapat pula
menyebabkan radang, gagal ginjal, sirosis hati, dan kematian (Laila Kusumawati,
2006).
Penyakit hepatitis adalah peradangan hati
yang akut karena suatu infeksi atau keracunan.
Hepatitis B merupakan penyakit
yang banyak ditemukan di dunia dan dianggap sebagai persoalan kesehatan
masyarakat yang harus diselesaikan. Hal ini karena selain prevelensinya tinggi,
virus hepatitis B dapat menimbulkan problema pasca akut bahkan dapat terjadi cirrhosis hepatitis dan carcinoma hepatocelluler primer (Aguslina, 1997).
Hepatitis merupakan peradangan hati yang
bersifat sistemik, akan tetapi hepatitis bisa bersifat asimtomatik. Hepatitis
ini umumnya lebih ringan dan lebih asimtomatik pada yang lebih muda dari pada
yang tua. Lebih dari 80% anak – anak menularkan hepatitis pada anggota keluarga
adalah asimtomatik, sedangkan lebih dari tiga perempat orang dewasa yang
terkena hepatitis A adalah simtomatik (Tjokronegoro, 1999).
Sepuluh persen dari infeksi virus
hepatitis B akan menjadi kronik dan 20% penderita hepatitis kronik ini dalam
waktu 25 tahun sejak tertular akan mengalami cirrhosis hepatic dan carcinoma
hepatoculler primer (hepatoma).
Kemungkinan akan menjadi kronik lebih tinggi bila infeksi terjadi pada usia
balita dimana respon imun belum berkembang secara sempurna. Pada saat ini
diperkirakan terdapat kira – kira 350 juta orang pengidap (carrier) HBsAg dan 220 juta (78%) terdapat di Asia termasuk
Indonesia (Sulaiman, 1994, dalam Aguslina, 1997).
2.
Etiologi
Hepatitis
Hepatitis B disebabkan oleh virus
Hepatitis B (VHB). Virus ini pertama kali ditemukan oleh Blumberg tahun 1965
dan dikenal dengan nama antigen Australia yang termasuk DNA virus.
Virus hepatitis B berupa partikel dua
lapis berukuran 42 nm yang disebut dengan “Partikel Dane”. Lapisan luar terdiri
atas antigen HBsAg yang membungkus partikel inti (core). Pada partikel inti
terdapat hepatitis B core antigen (HBcAg) dan hepatitis B antigen (HBeAg).
Antigen permukaan (HBsAg) terdiri atas lipoprotein dan menurut sifat
imunologiknya protein virus hepatitis B dibagi menjadi 4 subtipe yaitu adw,
adr, ayw, dan ayr. Subtype ini secara epidemiologis penting karena menyebabkan
perbedaan geografik dan rasial dalam penyebaranya (Aguslina, 1997).
3.
Patogenesis
Berbagai mekanisme bagaimana virus
hepatotropik merusak sel hati masih
belum jelas, bagaimana peran yang sesungguhnya dari hal – hal tersebut.
Informasi dari kenyataanya ini meningkatkan kemungkinan adanya perbedaan
patogenetik. Ada dua kemungkinan : (1) Efek simptomatik langsung dan (2) adanya
induksi dan reaksi imunitas melawan antigen virus atau antigen hepatosit yang
diubah oleh virus, yang menyebabkan kerusakan hepatosit yang di infeksi virus.
Organ hati pada tubuh manusia.
Pada hepatitis kronik terjadi peradangan
sel hati yang berlanjut hingga timbul kerusakan sel hati. Dalam proses ini
dibutuhkan pencetus target dan mekanisme persistensi. Pencetusnya adalah
antigen virus, autogenetic atau obat. Targetnya dapat berupa komponen struktur
sel, ultrastruktur atau jalur enzimatik. Sedangkan persistensinya dapat akibat
mekanisme virus menghindar dari sistem imun tubuh, ketidakefektifan respon imun
atau pemberian obat yang terus - menerus (Stanley, 1995).
4.
Patofisiologi
Pada hati manusia merupakan target organ
bagi virus hepatitis B. Virus Hepatitis B (VHB) mula – mula melekat pada
reseptor spesifik di membran sel hepar kemudian mengalami penetrasi ke dalam
sitoplasma sel hepar. Dalam sitoplasma virus Hepatitis B (VHB) melepaskan
mantelnya, sehingga melepaskan nukleokapsid. Selanjuntnya nukleokapsid
akan menembus dinding sel hati. Di dalam
asam nukleat virus Hepatitis B (VHB) akan keluar dari nukleokapsid dan akan
menempel pada DNA hopses dan berintegrasi pada DNA tersebut. Selanjutnya DNA
virus hepatitis B (VHB) memerintahkan sel hati untuk membentuk protein bagi
virus baru. Virus ini dilepaskan ke peredaran darah, mekanisme terjadinya
kerusakan hati yang kronik disebabkan karena respon imunologik penderita
terhadap infeksi. Gambaran patologis hepatitis akut tipe A, B, Non A dan Non B adalah sama yaitu adanya
peradangan akut di seluruh bagian hati dengan nekrosis sel hati disertai
infiltrasi sel – sel hati dengan histosit (Aguslina, 1997).
Perubahan morfologi hati pada hepatitis A,
B dan non A dan B adalah identik pada proses pembuatan billiburin dan urobulin.
Penghancuran eritrosit dihancurkan dan melepaskan Fe + Globulin + billiburin.
Pengahancuran eritrosit terjadi di limpa, hati, sum – sum tulang belakang dan
jaringan limpoid.
a. Billiburin
I
Hasil penelitian eritrosit di lien adalah billiburin I atau billiburin
indirect. Billiburin I masih terkait dengan protein. Di hati billiburin I
dipisahkan protein dan atas pengaruh enzim hati, billiburin I menjadi
billiburin II atau hepatobilliburin.
b. Billiburin
II
Billiburin dikumpulkan didalam vesica
falea (kandung empedu) dan dialirkan ke usus melalui ductus choleducutus. Billiburin yang keluar dari vesica falea masuk ke usus diubah
menjadi stercobilin, kemudian keluar bersama feces lalu sebagian masuk ke
ginjal, sehingga disebut urobillinogen. Bila billiburin terlalu banyak dalam
darah akan terjadi perubahan pada kulit dan selaput lendir kemudian kelihatan
menguning sehingga disebut ikterus (Tjokronegoro, 1999).
5.
Manefestasi
Klinis Hepatitis B
Berdasarkan gejala klinis dan petunjuk
serologis manefestasi klinis hepatitis B dibagi dua, yaitu :
a.
Hepatitis
B akut
Hepatitis B
akut yaitu manefestasi infeksi virus
hepatitis B terhadap individu yang sistem imunologinya matur sehingga berakhir
dengan hilangnya virus hepatitis B dari tubuh hopses. Hepatitis B akut terdiri
atas 3, yaitu:
1) Hepatitis
B akut yang khas
Bentuk hepatitis ini meliputi 95% penderita dengan gambaran ikterus yang
jelas. Gejala klinis terdiri atas 3 fase
yaitu, fase praikterik (prodromal),
gejala non spesifik, permulaan penyakit tidak jelas, demam tinggi, anoreksia,
mual, nyeri di daerah hati disertai perubahan warna air kemih menjadi gelap.
Pemeriksaan laboratorium mulai tampak kelainan hati, fase ikterik, gejala demam
dan gastrointestinal mulai tambah hebat, disertai hepatomegali dan spinomegali.
Timbulnya ikterus makin hebat dengan puncak pada minggu ke dua. Setelah timbul
ikterus, gejala menurun dan pemeriksaan laboratorium tes fungsi hati abnormal
dan fase penyembuhan, ditandai dengan menurunya kadar enzim aminotransferase,
pembesaran hati masih ada tetapi tidak terasa nyeri, pemeriksaan laboratorium
menjadi normal.
2) Hepatitis
Fulminan
Bentuk ini sekitar 1% dengan gambaran sakit berat dan
sebagian besar mempunyai prognosa buruk dalam 7 – 10 hari, 50% akan berakhir
dengan kematian.
b. Hepatitis B kronik
Hepatitis B kronik yaitu kira
– kira 5 -10% penderita hepatitis B akut akan mengalami hepatitis B kronik.
Hepatitis ini terjadi jika setelah 6 bulan tidak menunjukan perbaikan yang
mantap (Aguslina, 1997)
6.
Sumber
dan Cara Penularan
a.
Sumber
Penularan Virus Hepatitis B
Sumber penularan berupa darah, saliva, kontak dengan mukosa
penderita virus, feses, dan urine, pisau cukur, selimut, alat makan, alat
kedokteran yang terkontaminasi virus hepatitis B.
b.
Cara
penularan Virus Hepatitis B
Penularan virus hepatitis B melalui berbagai cara yaitu parenternal dimana terjadi penembusan
kulit atau mukosa misalnya melalui tusuk jarum atau benda yang susah tercemar
virus Hepatitis B dan pembuatan tattoo, kemudian secara non parenteral yaitu
karena persentuhan yang erat dengan benda yang tercemar virus hepatitis B.
secara epidemiologi penularan infeksi virus hepatitis B dari Ibu yang HBsAg
positif kepada anak dilahirkan yang terjadi selama masa perinatal, dan secara
horizontal yaitu penularan infeksi virus Hepatitis B dari seseorang pengidap
virus kepada orang lain disekitarnya, misalnya melalui hubungan seksual
(Aguslina, 1997)
7.
Faktor
– Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Hepatitis B
Faktor
– faktor yang mempengaruhi penyakit Hepatitis B menurut Aguslina (1997) dapat
dibagi menjadi :
a.
Faktor
Host (Pejamu)
Faktor
host adalah semua faktor yang terdapat pada diri manusia yang dapat
mempengaruhi timbul serta perjalanan penyakit Hepatitis B yang meliputi:
1) Umur,
dimana penyakit Hepatitis B dapat menyerang semua golongan umur. Paling sering
bayi dan anak (25,45%). Resiko untuk menjadi kronis menurun dengan bertambahnya
umur, dimana bayi pada 90% menjadi kronis, pada anak usia sekolah 23 – 46% dan
pada orang dewasa 3 – 10% (Aguslina, 1997).
2) Jenis
Kelamin, wanita tiga kali lebih sering terinfeksi Hepatitis B dibanding pria.
3) Mekanisme
pertahanan tubuh, bayi baru lahir atau bayi dua bulan pertama setelah lahir
sering terinfeksi Hepatitis B, terutama pada bayi yang belum mendapat imunisasi
Hepatitis B. Hal ini karena sistem imun belum berkembang sempurna.
4) Kebiasaan
hidup, dimana sebagian besar penularan pada masa remaja disebabkan karena
aktivitas seksual dan gaya hidup seperti homoseksual, pecandu obat narkotika
suntikan, pemakaian tattoo, dan
pemakaian akupuntur.
5) Pekerjaan,
kelompok resiko tinggi untuk mendapatkan infeksi Hepatitis B adalah dokter,
dokter bedah, dokter gigi, perawat, bidan, petugas kamar operasi, petugas
laboratorium dimana pekerjaan mereka
sehari – hari kontak dengan penderita dan material manusia (darah,
tinja, air kemih).
b.
Faktor
Agent
Penyebab
Hepatitis B adalah Virus Hepatitis B (VHB). Berdasarkan sifat imunologik
protein pada HBsAg, virus dibagi menjadi 4 subtipe yaitu adw, adr, ayw dan ayr
yang menyebabkan perbedaan geografi dalam penyebaranya. Subtype adw terjadi di
Eropa, Amerika dan Australia. Subtipe ayw terjadi di Afrika Utara dan Selatan.
Subtipe ayw dan adr terjadi di Malaysia, Thailand, Indonesia. Sedangkan subtipe
adr terjadi di jepang dan China.
c.
Faktor
Lingkungan
Faktor
lingkungan merupakan keseluruhan kondisi dan pengaruh luar yang mempengaruhi
perkembangan hepatitis B, yang termasuk faktor lingkungan adalah lingkungan
dengan sanitasi jelek daerah dengan prevelensi virus hepatitis B (VHB) tinggi,
daerah unit pembedahan, daerah unit laboratorium, daerah bank darah, daerah tempat
pembersihan, daerah dialias dan transplantasi, daerah unit penyakit dalam.
8.
Epidemilologi
Hepatitis B
Prevelensi
penyakit Hepatitis B di dunia terendah berada di benua Amerika dan sebelah
Eropa dimana sebesar kurang dari 2% populasi yang terinfeksi kronik melalui
peyalahgunaan obat – obatan injeksi, seksual tanpa pengaman dan faktor – faktor
penting yang lainnya. Prevelensi sedang berada di Eropa Timur, Rusia, dan
Jepang sebesar 2 -7 % yang umumnya menyerang anak – anak. Prevelensi tinggi berada
di wilayah China, Asia tenggara dan Afrika, dimana penularan terjadi umumnya
pada baru lahir dengan endemisitas > 8%.
9.
Komplikasi
Komplikasi hepatitis virus yang paling
sering dijumpai adalah perjalanan
penyakit yang panjang hingga 4
sampai 8 bulan, keadaan ini dikenal sebagai hepatitis kronik persisten, dan
terjadi pada 5% hingga 10% pasien. Akan tetapi meskipun kronik persisten dan
terjadi pada 5 % hingga 10% pasien. Akan tetapi meskipun terlambat, pasien –
pasien hepatitis kronik persisten akan sembuh kembali.
Pasien hepatitis virus sekitar 5% akan
mengalami kekambuhan setelah serangan awal. Kekambuahan biasanya dihubungkan
dengan kebiasaan minum alkohol dan aktivitas fisik yang berlebihan. Ikterus
biasanya tidak terlalu nyata dan tes fungsi hati tidak memperlihatkan kelainan
dalalm derajat yang sama. Tirah baring biasanya akan segera di ikuti
penyembuhan yang tidak sempurna.
Akhirnya suatu komplikasi lanjut dari
hepatitis yang cukup bermakna adalah perkembangan carcinoma hepatoselular, kendatipun tidak sering ditemukan, selain
itu juga adanya kanker hati yang primer. Dua faktor penyebab utama yang
berkaitan dengan patogenesisnya adalah infeksi virus hepatitis B kronik dan
sirosis terakit dengan virus hepatitis C dan infeksi kronik telah dikaitkan pula
dengan kanker hati (Sylvia, 1995).
10.
Prognosis
Dengan penanggulangan yang cepat dan
tepat, prognosisnya baik dan tidak perlu menyebabkan kematian. Pada sebagian
kasus penyakit berjalan ringan dengan perbaikan biokimiawi terjadi secara
spontan dalam 1 – 3 tahun. Pada sebagian kasus lainnya, hepatitis kronik persisten dan kronk aktif
berubah menjadi keadaan yang lebih serius, bahkan berlanjut menjadi sirosis.
Secara keseluruhan, walaupun terdapat kelainan biokimiawi, pasien tetap
asimtomatik dan jarang terjadi kegagalan hati (Tjokronegoro, 1999).
Infeksi Hepatitis B dikatakan mempunyai
mortalitas tinggi. Pada suatu survey dari 1.675 kasus dalam satu kelompok,
tertnyata satu dari delapan pasien yang menderita hepatitis karena tranfusi (B
dan C) meninggal sedangkan hanya satu diantara dua ratus pasien dengan
hepatitis A meninggal dunia (Tjokronegoro, 1999). Di seluruh dunia ada satu
diantara tiga yang menderita penyakit hepatitis B meninggal dunia (WHO, 2005).
11.
Penatalaksanaan
Hepatitis B
Tidak ada pengobatan spesifik untuk hepatitis virus,
akan tetapi secara umum penatalaksanaan pengobatan hepatitis adalah sebagai
berikut :
a.
Istirahat
Pada periode akut dan keadaan lemah diharuskan cukup
istirahat. Istirahat mutlak tidak terbukti dapat mempercepat penyembuhan.
Kecuali mereka dengan umur tua dan keadaan umum yang buruk.
b.
Diet
Jika pasien mual, tidak ada nafsu makan atau muntah – muntah,
sebaiknya diberikan infus. Jika tidak mual lagi, diberikan makanan cukup kalori
(30-35 kalori/kg BB) dengan protein cukup (1 gr/kg BB), yang diberikan secara
berangsur – angsur disesuaikan dengan nafsu makan klien yang mudah dicerna dan tidak merangsang serta rendah garam
(bila ada resistensi garam/air).
c.
Medikamentosa
Kortikosteroid tidak diberikan bila untuk mempercepat
penurunan billiburin darah. Kortikosteroid dapat digunakan pada kolestatis yang
berkepanjangan, dimana transaiminase serumsudah kembali normal tetapi billburin
masih tinggal. Pada keadaan ini dapat dberikan prednisone 3 x 10 mg selama 7
hari, jangan diberikan antimetik, jika perlu sekali dapat diberikan fenotiazin.
Vitamin K diberikan pada kasus dengan kecenderungan perdarahan. Bila pasien
dalam keadaan perkoma atau koma, penanganan seperti pada koma hepatik (Arif,
2000).
d.
Pencegahan
Penularan Hepatitis B
Menurut Park ada lima pokok tingkatan
pencegahan yaitu :
1)
Health promotion
Helath promotion yaitu dengan usaha
penigkatan mutu kesehatan. Helath
promotion terhadap host berupa
pendidikan kesehatan, peningkatan higiene
perorangan, perbaikan gizi, perbaikan system tranfusi darah dan mengurangi
kontak erat dengan bahan - bahan yang
berpotensi menularkan virus hepatitis B (VHB).
2)
Specific protection
Specific protection yaitu perlindungan
khusus terhadap penularan hepatitis B dapat dilakukan melalui sterilisasi benda–benda
yang tercemar dengan pemanasan dan tindakan khusus seperti penggunaan yang
langsung bersinggungan dengan darah, serum, cairan tubuh dari penderita
hepatitis, juga pada petugas kebersihan, penggunaan pakaian khusus sewaktu
kontak dengan darah dan cairan tubuh, cuci tangan sebelum dan sesudah kontak
dengan penderita pada tempat khusus selain itu perlu dilakukan pemeriksaan
HBsAg petugas kesehatan (unit onkologi dan dialisa) untuk menghindarkan kontak
antara petugas kesehatan dengan penderita dan juga imunisasi pada bayi baru
lahir.
3)
Early diagnosis and prompt treatment
Menurut Noor (2006), diagnosis dan
pengobatan dini merupakan upaya pencegahan penyakit tahap II. Sasaran pada
tahap ini yaitu bagi mereka yang menderita penyakit atau terancam akan
menderita suatu penyakit. Tujuan pada pencegahan tahap II adalah :
a)
Pencarian penderita secara dini dan aktif melalui
pemeriksaan berkala pada sarana pelayanan kesehatan untuk mematiskan bahwa
seseorang tidak menderita penyakit hepatitis B, bahkan gangguan kesehatan lainnya.
b)
Melakukan screening
hepatitis B (pencarian penderita penyakit Hepatitis) melalui suatu tes atau uji
tertentu pada orang yang belum mempunyai atau menunjukan gejala dari suatu
penyakit dengan tujuan untuk mendeteksi secara dini adanya suatu penyakit hepatitis
B.
c)
Melakukan pengobatan dan pearwatan penderita
hepatitis B sehingga cepat mengalami pemulihan atau sembuh dari penyakitnya.
4) Disability
limitation
Disability limitation merupakan upaya
pencegahan tahap III dengan tujuan
untuk mencegah terjadinya kecacatan dan kematian karena suatu penyakit.
Upaya mencegah kecacatan akibat penyakit
hepatitis B dapat dilakukan dengan upaya mencegah proses berlanjut yaitu dengan
pengobatan dan perawatan secara khusus berkisanambungan dan teratur sehingga proses
pemulihan dapat berjalan dengan baik dan cepat. Pada dasarnya penyakit
hepatitis B tidak membuat penderita menjadi cacat pada bagian tubuh tertentu.
Akan tetapi sekali vitus hepatitis B masuk ke dalam tubuh maka seumur hidup
akan menjadi carrier dan menjadi
sumber penularan bagi orang lainnya.
5) Rehabilitation
Rehabilitasi merupakan serangkaian dari tahap
pemberantasan kecacatan (disability
limitation) dengan tujuan untuk berusaha mengembalikan fungsi fisik,
psikologis dan sosial. (Noor, 2006).
Rehabilitation yang dapat dilakukan dalam
menanggulangi penyakit hepatitis B yaitu sebagai berikut :
a)
Rehabilitasi fisik, jika penderita mengalami
gangguan fisik akibat penyakit hepatitis B
b)
Rehabilitasi mental dari penderita hepatitis B,
sehingga penderita tidak merasa minder dengan orangtua masyarakat sekitarnya
karena pernah menderita penyakit hepatits B.
c)
Rehabilitasi sosial bagi penderita penyakit
hepatitis B sehingga tetap dapat melakukan kegiatan di lingkungan sekitar
bersama orang lainnya.
I want every herpes patient to please read my testimony, my name is SARAH MORGAN am from California in USA, I contacted genital herpes from my ex boyfriend who never had any symptoms. I have had it for 4 months now., and it has affected my life. I have told my boyfriends who I trusted about it and I have never had a bad reaction, it has affected my new relationships with Smith and people think herpes is really a minor skin irritation herpes has a long term effects on health. The stigma attached to this virus by ignorant people is ridiculous. Most people have herpes in one form or another. I would like to advise people on how I get rid of my herpes and I was reading a comment on the internet,and I saw a testimony posted by a woman from Germany that she get rid of her herpes with the help of DR AHKIGBE and so I was so happy when I saw that post, that his herbal medication is free and I quickly collected the herbal doctor email and I email him within 3 hr he respond to my email and I explain things to him he told me not to worry that he is going to cure me totally with his herbal medicine he only request for little money that he will use to buy the items for the preparation of the herbal medicine, wish I send to him because the pain was too much for me to bear and after some days he told me that he has prepare the herbal medicine, that I should send him my address that he want to sent it to me via DHL or FED-EX that was how I got the herbal medication and I use it as I was told and after few days I found out that my herpes was no more, i went to hospital for confirmation and it was true really that was how i got my cured. DR AKHIGBE also cure other deadly diseases like, HIV/AIDS, HERPES, DIABETES,CANCER, ALS, ASTHMA, HERPAPITIS A&B, DENGUE FEVER, RABIES, THYROID, MENINGITIS ,LUPUS, EPILEPSY, CHRONIC DISEASE, MALARIA, BACTERIAL DIARRHEA HEART DISEASE., JOINT PAIN, STOMACH PAIN, SCHIZOPHRENIA, POLIO,MULTIPLES SCLEROSIS, HIGH BLOOD PRESURE, TUBERCULOSIS, ALZHEIMER , PENIS ENLARGEMENT, PARKINSON'S, to get your rid kindly via his email: drrealakhigbe@gmail.com contact his number: +2349010754824 website: https://drrealakhigbe.weebly.com you can still write me on Instagram to get more information. on Sarah Morgan.
ReplyDelete