Jamur Flammulina velutipes
4.1 Potensi Flamullina velutipes
Terdapat sekitar 12 ribu jenis jamur dan hanya
sekitar 2 ribu jenis yang dapat dimakan (Chang, 1999a), sekitar 200 jenis
diambil langsung dari alam dan digunakan untuk obat tradisional, sekitar 35
jenis telah ditanam secara komersial, 20 jenis di antaranya telah dikembangkan
dalam secala industri. Total produksi jamur pada tahun 1994 sebesar 4,9 x 106
ton dan meningkat sampai 6,2 x 106 ton pada tahun 1997 dengan nilai
lebih dari 14 milyar dolar (Chang, 1999b).
Diantara jamur yang dibudidayakan adalah Flammulina velutipes dan merupakan jamur
yang dibudidayakan terbesar kelima seperti terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Produksi jamur di dunia (Chang, 1999)
Spesies
|
Produksi/tahun ( x 103 ton)
|
Agaricus
bisporus
|
1955
|
Lentinus
edodes
|
1.564
|
Pleurotus spp
|
875
|
Auricularia
spp
|
485
|
Flammulina
velutipes
|
284
|
Volvariella
volvacea
|
180
|
Hal lain yang mendorong perkembangan jumlah
produksi Flamullina velutipes adalah
cara kultivasi yang relative mudah dan tidak memerlukan teknologi tinggi, serta
telah berkembang penelitian-penelitian untuk mengoptimalakan pemanfaatan jamur
jenis ini.. Kondisi ini menjadikan Flamullina
velutipes berpotensi sangat besar
untuk terus dikembangkan.
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan
diantaranya adalah dari sisi fungsionalitas jamur pada produk pangan, seperti
fungsinya untuk pengawer makanan. Keuntungan dari ekstrak dikaitkan dengan
aktivitas antioksidan dari jamur. Proses oksidasi dalam pangan dapat
menyebabkan penurunan kualitas secara organoleptik baik dalam rasa, warna, dan
tekstur. Kemungkinan produk daging mengalami oksidasi sangat tinggi karena
kandungan lemak tidak jenuhnya tinggi. Hal ini menjadi perhatian bagi industri
pangan untuk mencari bahan tambahan pangan alami yang dapat menggantikan bahan
tambahan sintetis seperti butylhydroxyanisole (BHA) dan butylhydroxytoluene
(BHT) untuk memperpanjang umur simpan produk. Kajian dari Bao (2008) menunjukkan bahwa ekstrak dari jamur dapat
mencegah browning pada daging ketika ekstrak digunakan sebagai aditif. Reaksi pencegahan browning ialah dengan
mekanisme pencegahan reaksi oksidasi pada proses pembentukan metmioglobin.
4.2 Prospektif Pengawet Berbahan Flamullina
4.2.1 Bidang Ekonomi
Jamur toge selama ini dimanfaatkan sebagai
panganan dan obat. Namun belum termanfaatkan secara maksimal sebagai zat aditif
pangan sebagai pengawet pada produk daging dan ikan. Perluasan penggunaan
produk jamur toge sebagai zat aditif pangan akan meningkatkan nilai dan
permintaan produk jamur toge. Tren Pola konsumsi di masa mendatang ialah
konsumsi produk yang alami. Untuk itu, kebutuhan akan zat aditif pangan alami
di masa mendatang juga akan meningkat. Hal ini akan juga meningkatkan potensi
permintaan produk jamur toge. Kemampuan produktifitas tinggi ditunjang
kemudahan pengaplikasiannya membuat zat aditif pangan dari jamur toge ini
memiliki keunggulan dibandingkan dengan zat aditif alami lainnya. Estimasi
biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan pengawet alami dari jamur toge ini
ialah 2 USD dengan mengikuti harga bahan baku internasional. Namun harga ini
dapat ditekan secara drastis jika bahan baku dibudidayakan secara lokal dan
dalam jumlah masal.
Di sisi lain, produksi jamur didominasi oleh
produsen kelas menengah dan bawah. Artinya, jika ada peningkatan permintaan jamur,
maka secara tidak langsung akan menyejahterakan petani jamur di tingkat
menengah ke bawah. Selain itu, akan menyerap tenaga kerja yang tidak sedikit
jumlahnya dan akan meningkat terus setiap tahunnya. Selain itu, dengan
dibangunnya berbagai fasilitas pembudidayaan yang berada di luar daerah
perkotaan, hal ini sedikit banyak juga akan berpengaruh terhadap penghentian
laju urbanisasi. Sehingga ekonomi di pedesaan lebih bergerak dan mampu secara
mandiri.
3.2.2
Bidang
Pertanian
Meningkatnya permintaan terhadap produk jamur
toge akan membawa dampak yang baik di bidang pertanian. Pembudidayaan jamur
akan menggalakkan pertanian non tanah. Hal ini sangat penting sebab, konversi
lahan pertanian sebagai sarana pemukiman dan industrialisasi membuat
pemanfaatan ruang dan tanah menjadi semakin sempit. Pembudidayaan jamur tidak
memerlukan luas lahan untuk memaksimalkan produksi, namun secara intensif
dengan penggunaan lahan sempit pun, budidaya jamur dapat mencapai target
produksi yang diinginkan. Penggunaan pertanian system non tanah juga akan
memberikan resiko lebih kecil terhadap residu pestisida dan zat berbahaya lain
dari tanah.
Budidaya jamur toge memerlukan media tanam yang
mudah didapat, murah, dan memanfaatkan limbah yang sudah tidak terpakai yakni
sisa kayu/limbah kopi. Hal ini membuktikan, budidaya jamur juga ramah
lingkungan dan memanfaatkan limbah sebagai bahan produksi yang bernilai. Untuk
menghasilkan jamur toge yang berkualitas, dibutuhkan suhu dan kelembaban yang
sesuai. Iklim dan kelembaban di Indonesia sangat cocok untuk pengembangan jamur
toge. Pengaturan suhu ialah dengan memanfaatkan system sirkulasi udara,
penyemprotan air, dan faktor pencahayaan. Budidaya jamur tidak memerlukan
penambahan pupuk. Zat nutrisi telah terkandung dari limbah yang digunakan. Hal
ini membuat produksi jamur menjadi ekonomis. Penggunaan pestisida juga
dihindari dan diminimalisasi dengan pengaturan ruangan produksi. Dan
meminimalisasi aktifitas manusia di ruang produksi. Jamur ini juga tidak
memiliki zat metabolit sekunder yang berbahaya bagi tubuh. Hal ini menjadikan jamur
toge memiliki kualitas yang baik dan aman bagi kesehatan.
3.2.3
Bidang
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Melalui berbagai penemuan terbaru mengenai
senyawa antioksidan alami yang mampu diaplikasikan sebagai pengawet alami akan
mendorong perkembangan teknologi dan penelitian lain yang bahan bakunya berasal
dari local. Ke depan, pengembangan teknologi juga akan membuat produksi jamur
menjadi semakin efektif dan efesien. Selain itu, dengan produksi yang optimal
dengan biaya yang dapat dijangkau. Proses ekstraksi dan penyimpanannya juga
menjadi bahan penelitian lanjutan yang diarahkan untuk menunjang produk
pengawet alami ini. Karena produksi missal akan digalakkan, untuk itu, butuh
system persediaan yang membutuhkan pendugaan umur simpan dan efektifitas
penggunaannya.
Jamur toge menjadi salah satu sumber
antioksidan baru yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai hal. Bukan hanya
sekedar pengawet bagi produk daging, tetapi juga mampu diaplikasikan ke
berbagai produk lain sesuai dengan spesifikasinya. Pengembangan antioksidan
masa depan yang tidak hanya berasal dari buah, sayur, dan teh. Melainkan juga
jamur. Saat ini pengembangan jamur sebagai bahan antioksidan belum berkembang.
Padahal Indonesia memiliki potensi yang baik untuk menghasilkan jamur. Di
samping itu, tidak menutup kemungkinan bahwa spesies jamur yang lain juga
memiliki kandungan antioksidan yang kaya seperti jamur toge.
4.2.3 Bidang Kesehatan
Bahan
tambahan pangan golongan antioksidan
yang umum digunakan untuk mencegah oksidasi pangan terutama minyak dan
lemak, antara lain BHA (Buthylated Hydroxy Anisole), BHT (Buthylated Hydroxy Toluene), PG (Propil
Galat) dan TBHQ (Tert-Butyl Hidroxy Quinon).
Antioksidan tersebut bekerja memutus rantai. Penggunaan antioksidan pangan sebagai BTP
berpengaruh besar pada status antioksidan
dalam saluran pencernaan. Sebagian
dapat diserap dan juga memiliki efek antioksidan
dalam tubuh. Kemungkinan efek
toksik antioksidan sintetik masih terus dipelajari. Antioksidan sintetik dan metabolitnya juga
diserap dan memiliki efek pada beberapa jaringan. BHA diserap dalam jumlah besar (70-100%) dan
dieksresi di urin sebagai konjugat glukoronida.
Penggunaan BTP sintetis memiliki potensi untuk
membahayakan tubuh. Karena BTP ini akan menjadi xenobiotik yang turut
mempengaruhi system metabolism tubuh. Sedangkan BTP yang alami cenderung tidak
menyebabkan efek negatif bagi tubuh. Bahkan memiliki sifat fungsional bagi
tubuh. Penggunaan antioksidan alami dalam pangan telah berkontribusi dalam menurunkan kejadian
kanker lambung. Studi yang telah dilakukan, menunjukkan
bahwa jamur toge memiliki sifat antioksidan yang tinggi. Selain itu, jamu toge
memiliki kekuatan mereduksi dan pengkelat yang baik, serta total fenol yang tinggi
dibandingkan jamur lain (Bao, 2008).
4.3 Teknologi Proses
Teknologi proses untuk
mendapatkan jamur meliputi persiapan media tanam, penanaman (inokulasi), dan
pemanenan. Jamur yang dipanen kemudian diolah untuk mendapatkan ekstrak jamur
yang selanjutnya digunakan sebagai pengawet.
1.
Persiapan Media Tanam
Sebelum dilakukan penanaman ( inokulasi ) bibit kedalam
media tanam, perlu dilakukan persiapan-persiapan antara lain: Menyiapkan
bahan dan alat yang digunakan. Mencampur serbuk kayu dengan bahan-bahan lain seperti
bekatul, tepung jagung dan kapur sampai merata (homogen) kemudian diayak.
Menambah air hingga kandungan air dalam media menjadi 60-65 % lalu tentukan
pH-nya dengan kertas lakmus.
2.
Penanaman ( Inokulasi
Inokulasi dilakukan setelah media tanam dingin dengan suhu antara 22 -
28 OC. Menyiapkon alat dan bahan yang diperlukan dalam proses penanaman
(inokulasi). Sterilisasi semua alat dan bahan yang akan digunakan membuka penutup/
kertas lilin dan memasukkan bibit dari dalam botol kedalam media tanam dengan menggunakan
stik inokulasi.
3.
Panen
Setelah 10 - 15 hari kemudian dapat dipanen untuk pertama kali, panen
berikutnya setiap dua hari sekali secara teratur selama 6 bulan.
Setelah pemanenan, dilakukan proses ekstraksi
jamur dengan cara mengekstraksi
menggunakan air kemudian diaplikasikan langsung kedaging/ikan. Jamur yang
dibutuhkan untuk mengawetkan daging/ikan perkilogramnya ialah 500 gram dengan
ditambahkan air sebanyak 50 mililiter. Berikut ini ialah diagram proses
ekstraksinya.
Air 50 ml
|
Setiap 50 ml larutan,
dapat digunakan untuk 1 kg daging
3.3
Aplikasi Flamullina sebagai Pengawet
Menurut Huynh Bao (2008) formulasi yang
paling efektif dibandingkan dengan vitamin C atau vitamin E pada konsentrasi
500 ppm adalah 5 ml ekstrak jamur/ 100 gram daging. Itu artinya untuk mengawetkan 1 kg daging
diperlukan ekstrak jamur sebanyak 50 ml. Larutan ini diperoleh dari badan jamur toge. Dalam
larutan ini terkandung senyawa ergothioneine (ERT) dengan konsentrasi 3.03 ± 0.07 mg/mL, menunjukkan
efek antioksidan dan pengkelat yang lebih tinggi serta menahan oksidasi lemak
lebih baik dari bentuk asli L-ERT pada konsentrasi yang sama. Daging dan ikan yang telah diberi perlakuan
pengawet alami tetap memiliki warna asli yang tidak berubah hingga lebih dari
12 hari untuk daging dan 7 hari untuk ikan pada penyimpanan dingin. Sedangkan
pada control, reaksi pencoklatan telah terjadi pada hari ke 6 untuk daging dan
hari ke 2 untuk ikan pada penyimpanan dingin. Hal ini membuktikan terdapat
korelasi yang signifikan antara warna daging dan parameter kimia terhadap
penggunaan pengawet alami jamur toge. Parameter kimia yang diuji meliputi total
peroksida lipid, senyawa reaktif TBA (thiobarbituric acid) dan metMioglobin. Meskipun
demikian, tidak ditemukan korelasi yang signifikan antara nilai pH value
diskolorasi daging.
No comments