Potensi Manusia dalam Evolusi
Hingga
dewasa ini evolusi yang menyangkut manusia masih saja mengundang perdebatan
yang sengit, meskipun mulai ada tanda-tanda pengertian bahwa manusia bukanlah
makhluk yang dapat terbebas dari pengaruh perubahan lingkungan dan manusia
tidak pula luput dari efek negatif perbuatannya dalam memanfaatkan alam sebagai
sumber untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Keadaan inilah yang diungkapkan
dengan kalimat “Bahwa manusia adalah bagian integral dari alam”.
Kalau
di masa lalu ulama Gereja, Uskub Oxford, yang bernama Samuel Wilberforce
(1860), dengan kemarahan yang luar biasa membakar hadirin untuk membakar teori
Darwin, maka dewasa ini orang dapat memahami teori tersebut, meskipun hal
tersebut tidak berarti menyetujuinya.
Sementara
orang awam berpendapat, bila benar manusia itu produk evolusi dan bila evolusi
itu terus berlangsung seperti yang terjadi di masa lampau, maka keturunan
manusia dikemudian hari adalah makhluk yang lebih sempurna dibanding dengan
manusia masa kini. Sudah barang tentu hal ini sekedar di dasari pada pemikiran
analogik belaka, tanpa ada kejelasan dalam hal apa kelebihannya dan bagaimana
mekanismenya. Bagaimanapun hal ini mendorong para ahli untuk mendoba mengungkap
kebenaran proses evolusi, melalui eksplorasi dari aspek Geologik,
paleontologik, maupun arkeologik,disamping mulai diadakannya eksperimentasi
dengan ilmu dan alat mutakhir yang dapat menunjang mempertajam bila perlu
membenahi atau merombak gagasan evolusi. Mereka dapat melakukan hal ini dengan
lebih terbuka.
Lebih dari itu banyak para ahli termasuk para ulama, mencoba menelaah evolusi manusia, dengan menggunakan kitab suci sebagai bahan acuannya. Jelas hal ini tidak terjadi pada abad IX dan sebelumnya.
Sebagaimana
diketahui sebelum Charles Darwin mengemukakan gagasannya tentang asal mula
spesies, kebanyakan orang berpendapat bahwa spesies (makhluk) hidup itu suatu
ciptaan. Pendapat ini jelas bersumber dari Kitab Suci. Dalam ilmu pengetahuan
saat itu berkemabang pendapat tentang tetang “Special Creation” yang intinya
pada dasarnya tidak berbeda dengan apa yang diacu dari Kitab Suci, meskipun pengungkapannya
berbeda. Ciptaan khusus (Special Creation) menyatakan bahwa setiap spesies
diciptakan secara khusus oleh suatu kekuatan yang disebut sebagai “Super
Natural Power”.
Namun
pengalaman menyedihkan dimasa lampau yang menyangkut hukuman mati terhadap
Galileo Galilei karena mempertahankan faham “Heliosentris” dari Capernicus,
membuat orang berhati-hati karena dikemudian hari ternyata teori tersebut
benar. Senada dengan itu pula setelah dipahami bahwa panjang hari di planet
bumi tidak sama dengan di planet-planet lain, orang dapat memahami bahwa
sebutan “hari” dalam Kitab Suci yang menyangkut ciptaan bumi dan seisinya tidak
dapat disamakan dengan “hari” seperti
yang dikenal oleh kebanyakan orang, yaitu 24 jam dalam sehari semalam. Para ulama kini cenderung memahami Kitab Suci tidak
secara harfiah, seperti yang tersurat, tetapi lebih pada yang tersirat.
Perkembangan ilmu pengetahuan yang juga membentuk cara berfikir dan bersikap,
memberi kemampuan pada manusia dalam abad ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK)
ini, untuk memahami apa yang ada di “balik” kata-kata dalam Kitab Suci itu.
Sudah barang tentu hal inipun mengundang perdebatan pula karena perlu diketahui
pula pendapat bahwa Agama tidak dapat dicampur adukan dengan ilmu pengetahuan dalam penggunaannya
sebagai pisau analisis masalah yang berkembang, kini mulai berubah, orang
berusaha untuk mencari titik temu yang menjembatani antara Ilmu pengetahuam
dengan Agama. Catatan khusus akan hal ini akan berlaku bagi kita yang hidup di
Negara Pancasila ini, karena disini kita mengaku bahwa Kitab Suci berisikan
Wahyu Illahi, dan bukan buatan Orang karena itu kebenaran yang terkandung
adalah mutlak dan kekal. Kini banyak buku-buku yang mencoba untuk menelaah
proses evolusi, termasuk asal-usul manusia dengan menggunakan Kitab Suci.
Pada
bab sebelumnya telah disinggung bahwa, terjadinya spesies baru menurut Charles
Darwin dapat terjadi akibat terjadinya seleksi alam. Pendapat Charles Darwin
ini lebih berupa sebagai interpretasi dari pada kenyataan, interpretasi yang
tidak dilandasi oleh teori yang kuat. Hanya enam tahun kemudian pertanyaan yang
tidak terjawab mengenai mekanisme seleksi alam, jawabannya tersimpul hasil
percobaan-percobaan oleh Mendel dan para ahli ilmu Genetika.
Dalam
pelacakan menuju perkembangan menuju manusia modern banyak dugaan yang timbul
mengenai mata rantai mulai dari makhluk yang diduga sebagai pra manusia modern.
Salah satu kemungkinan adalah menganggap bahwa garis tersebut dimulai dari Australopithecus,-
Homo habilis – Homo erectus (Pithecanthropus) - Manusia Lembah Neander – Manusia
Cro-magnon - Manusia modern. Pendapat yang lain adalah bahwa Homo habilis lah yang merupakan
titik mula leluhur manusia, yang bipedal, untuk selanjutnya dapat digambarkan
sebagai berikut: Homo habilis – Manusia lembah Neander – Manusia
Cro-Magnon – Manusia Modern atau dengan adanya ciri-ciri yang lebih manusia
pada manusia Swanscombe maka kemungkinan urutannya menjadi Homo habilis
– Manusia :”Swanscombe” (mempunyai ciri yang sama dengan manusia Swanscombe
yang ditemukan di lembah sungai Thames) – Manusia Cro-Magnon – Manusia Modern.
Masih banyak kemungkinan yang dapat terjadi.
Dari
kemugkinan mata rantai tersebut kemungkinan yang lain adalah adanya kemungkinan
pertukaran gena antara yang diduga sebagai leluhur manusia, yang hidup dalam
saat yang bersamaan dan mempunyai relung (niche) yang sama. Ini berarti bahwa
antara mereka yang hidup pada dimensi waktu yang jauh, keturunannya tidak
mungkin untuk saling tukar-menukar gena, dan mereka disebut sebagai Chronospecies.
Pengertian ini dilandasi oleh pengertian bahwa dalam perjalanan waktu, makhluk
hidup dapat mengalami modifikasi, modifikasi berlanjut, ataupun mutasi kecil
sehingga dalam dimensi waktu tertentu, suatu saat keduanya tak mungkin
mengadakan pertukaran gena. Pengertian lain yang timbul adalah pengertian
Biospecies, yang timbul dan berkembang dalam kurun waktu yang sama. Ilustrasi
beriut memberi gambaran tentang Biospecies dan Chronospecies.
Kemungkinan
pertukran gena antar populasi kecil (sub Populasi) dapat terjadi, meskipun
tidak harus demikian. Gambar 7.5 memperlihatkan tentang kemajuan terjadinya
pertukaran gena antara sub populasi karena mengandung informasi genetik yang
sama.
Dari
percobaan-percobaan penyilangan maupun yang berlangsung secara alami selalu ada
kemungkinan munculnya varian yang jauh berbeda dengan keturunan yang lain.
Apakah varian yang khas ini dapat mengadakan pertukaran gena dengan yang lain,
mungkin saja meskipun tidak menjadi keharusan. Dimulai kemungkinan-kemungkinan
yang dapat terjadi yang menyangjut makhluk-makhluk hidup yang mendahului
manusia modern. Jelas menggunakan pengalaman dan ide dari genetika berkedudukan
sebagai analisis pikir murni. Pendekatan Biokimiawi dan Biofisikawi dapat
memberi harapan gambaran hubungan antar spesies dari peninggalan yang konkret.
Mengenai
“kesadaran batin” sesungguhnya tidak hanya dijumpai pada manusia saja, tetapi
memang bahwa kesadaran batin pada manusia merupakan bentuk paling tinggi,
Evolusi yang menuju pada manusia modern, menurut Teilhard justru dimulai dari
perkembangan internalnya, kemudian perwujudan keluarnya adalah sebagai suatu
bentuk aksi pada lingkungan. Pada evolusi manusia interaksi dengan lingkungan,
menunjukkan kecenderungan bahwa semakin muda usia geologik pendahulu manusia
modern, semakin jelaslah peran “kesadaran batinnya”. Manusia tidak semata-mata
beradaptasi terhadap lingkungannya. Hal ini mungkin benar pada Australopitesin,
tetapi selanjutnya perkemabangannya adalah terjadi suatu evolusi dalam
mewujudkan relungnya (niche). Itulah sebabnya sementara para ahli berpendapat
bahwa adaptasi manusia dalam perkembangan
evolusinya tidak semata-mata terhadap alam, tetapi juga terhadap
lingkungan kulturnya.
Evolusi
“kesadaran batin” menurut Teilhard mencapai puncaknya pada manusia, dan ini
terus berkembang samapai mendekati titik omega (w) yaitu mendekati sifat-sifat
Tuhan. Kata mendekati harus digaris bawahi karena bagaimanapun sifat itu tidak
pernah akan tercapai disamping itu menjadi pertanyaan besar, melihat keadaan
dewasa ini, yang penuh dengan hingar-bingar, penyimpangan norma dan nilai-nilau
luhur yang sudah menjadi tradisi, peperangan, perkosaan, dan segala macam
kekerasan. Sampai-sampai kekerasanpun kini sudah melembaga. Apakah manusia
sekarang memiliki sifat-sifat yang lebih luhur dari nenek moyang kita leluhur
manusia yang masih berbudaya alami?.
Komunikasi
yang terbuka, transportasi yang canggih, perubahan cara berpikir, bersikap dan
bertindak memungkinkan terjadinya alur gena secara leluasa, bahkan bukan
sekedar alur potensi tetapi sekaligus alur produk budayanya. Relung (niche)
ekologik cenderung menjadi seragam namun semakin jauh dari sentuhan alam.
Adaptasi, seleksi alam dan spesiasi tidak lagi semata-mata tergantung alam.
Manusia cenderung untuk mengarahkan sendiri ciri-ciri keturunannya di masa
datang.
No comments