Pengamatan Makroskopik spermatozoa
Pada pengamatan makroskopik, praktikan mengamati, volume, warna, viskositas, dan PH sebelum dan setelah sperma diencerkan.
a. Volume
Pengamatan yang praktikan lakukan terhadap sperma manusia dengan tiga macam sperma, yaitu sperma perokok berat, sedang, dan tidak merokok. Pada perokok berat volume yang diperoleh adalah 1 ml, perokok sedang 1,5 ml, dan pada manusia yang tidak merokok adalah 2,5 ml. Selain sperma pada manusia praktikan juga mengamati sperma kambing yang memiliki volume 1,8 ml.
Volume semen yang dipancarkan oleh pejantan berbeda-beda menurut umur pejantan, ras hewan, besar dan beratnya, frekuensi penampungan dan beberapa faktor lainnnya (Iqbal, 2006).
Yatim (1994), memaparkan bahwa pada kambing atau domba volume sperma sekali ejakulasi 1 ml sedangkan pada manusia volume sperma sekali ejakulasi tercatat 3,5 ml.
Sesuai dengan pengamatan yang didapat, setelah dibandingkan dengan literatur yang ada ternyata ada sedikit perbedaan. Pada pengamatan volume sperma pada manusia yang dimati adalah, 1 ml, 1,5 ml, dan 2,5 ml, sedangkan pada literatur dijelaskan bahwa sperma manusia sekali ejakulasi adalah 3,5. Ketidak sesuaian tersebut diperkirakan beberapa penyebab, diantaranya mungkin karena perokok, umur, besar tidaknya frekuansi, atau setres saat mengejakulasikannya. Begitu juga yang terjadi pada kambing, penelitian membuktikan bahwa volume sperma kambing adalah 1,8 ml, sedangkan pada literatur adalah 1 ml, hal itu dimungkinkan frekuensi penampungnyam lebih besar, atau mungkin kabing di masa-masa birahi puncak, sehingga mampu mengejakulasikan sperma sampai 1,8 ml. Selain beberapa penyebab di atas, juga dimungkinkan kekurang telitian saat mengamati sehingga hasilnya tidak akurat.
a. Warna
Warna pada sperma yang praktikan amati adalah putih susu pada manusia perokok berat, putih kekuning-kuningan pada perokok sedang dan yang tidak merokok, dan pada kambing juga putih susu. Putih susu pertanda sperma masih baik, karena paling baiknya warna sperma adalah putih susu. Yang kami herankan warna sperma pada perokok berat lebih baik dari pada perokok sedang bahkan yang tidak merokok. Hal itu terjadi dimungkinkan adanya beberapa penyebab, yaitu pola makan yang tidak baik, sehingga walaupun tidak merokok sperma dimungkinkan warna sperma kurang baik. Untuk warna sperma yang merokok tetap berwarna putih susu dimungkinkan rokok hanya berpengaruk pada kualitas sperma selain warna, seperti normal atau abnormalnya sperma, atau lain sebagainya.
Warna sperma pada kambing yang praktikan amati adalah putih susu, hal itu menandakan kualitas sperma masih baik, dan tidak ada hal-hal yang menyebkan ketidak ketidak baikan warna pada sperma.
Semen domba meskipun sedikit volumenya tetapi tampak keruh dan berawan. Awan-awan ini bila diperhatikan secara seksama makan akan mengalami pergerakan, pergerakan inilah yang dinamakan gerak massal (Partidiharjo, 1992).
Pada manusia warna sperma yang normal adalah seperti warna lem kanji atau putih kelabu, jika agak lama maka abstinensi kekuningan, dan jika berwarna kuning berarti terjadi infeksi pada saluran genitalia (Yatim, 1994).
Kebingungan praktikan akhirnya terjawab dengan pemaparan dari yatim (1994), bahwa warna kekuningan pada sperma menunjukkan adanya infeksi pada saluran genitalia, berarti sperma yang praktikan amati merupakan sperma dari oarang yang mengalami infeksi pada saluran genitalianya.
c. pH
Pengamatan pH sperma dilakukan dua kali, yaitu sebelum dan sesudah dilakukan pengenceran. Untuk pengamatan sperna dilakukan dengan menggunakan kertas lakmus, yaitu dengan meneteska sperma pada kertas tersebut, kemudian dicocokkan dengan penunjuk warna yang ada pada label kemasannya. Dari hasil pengamatan sebelum melakukan pengenceran, dapat diketahui bahwa sebelum pengenceran manusia perokok berat memiliki pH 7 yang menunjukkan asam normal, manusia perokok sedang adalah 8 yang menunjukkan basa, manusia tidak merokok adalah 9 yang menunjukkan asam, dan pada kambing adalah 5 yang menunjukkan asam.
Setelah dilakukan pemgenceran ternyata pH pada perokok berat, dan sedang berubah menjadi 8. Sedangkan pada manusia yang tidak merokok pHnya tetap 9.
Toelihere (1982), pada umumnya sperma sangat aktif dan hidup pada pH 7,0. Motilitas partial dapat dipertahankan pada pH antara 5 dan 10. Walupun seandainya sperma diimmobliser oleh kondisi-kondisi asam, pada sebagia spesies tertentu akan tetap bisa hidup, jika mutilitas dipulihkan kembali pada pH netral dalam waktu kurang dari 1 jam.
Dari segi pH yang didapat ternyata perokok berat yang praktikan teliti spermanya termasuk orang yang memiliki kekebalan tubuh yang kuat, sehingga rokok tidam mempengaruhi kualitas sperma jika dilihat secara makroskopik.
d. Viskositas
Untuk mengetahui viskositas pada sperma, yaitu dengan menggunakan alat yang disebut dengan visikometer, berhubung di laboratorium tidak disediakan, maka pada pengamatan ini praktikan hanya memeriksa spermatozoa dengan cara menggetar-getarkan tabung yang berisi spermatozoa tersebut. Hasil pengamatan yang praktikan lakukan menunjukkan bahwa pada spermatozoa kambing dan manusia dapat dikatakan kental, yaitu karena dari pengamatan kami kedua jenis spermatozoa tersebut kekentalannya agak mirip.
Kekentalan semen diperiksa dengan menggunakan alat yang disebut dengan viskometer. Secara sederhana dapat dilakukan, dengan jalan dicelupkan batang kaca ke obyek yang ditetesi semen, diangkat secara pelan-pelan ,diukur tinggi benang yang terjadi anatar batang dan kaca obyek sampai batas putus. Visikositas normal jika pada panjang benang 3-5 cm. Jika semen terlalu kental (> 5 cm), berarti kurang enzim leufikasi dari prostat. Terlalu encer (< 3 cm) yaitu disebabkan karena zat koagulasi yang dihasilkan oleh epididymis terlalu sedikit, atau enzim pengenceran dari prostat terlalu banyak (Djoko, 2009).
Konsistensi atau derajat kekentalan pada semen juga dapat diperiksa dengan cara menggetar-getarkan tabung yang berisi semen. Semen yang baik derajat kekentalannya hampir sama atau sedikit lebih kental dari susu. Sedangkan yang jelek baik warna dan kekentalannya hampir sama dengan air kelapa (Partidiharjo, 1992).
No comments