Ekosistem Hutan
Istilah ekosistem pertama kali diusulkan oleh seorang ahli ekologi berkebangsaan Inggris bernama A.G. Tansley pada
tahun 1935, meskipun tentu saja konsep itu sama sekali bukan
merupakan konsep yang baru. Terbukti bahwa sebelum akhir tahun 1800-an,
pernyataan resmi tentang istilah dan konsep yang berkaitan dengan ekosistem
mulai terbit cukup menarik dalam literatur-literatur ekologi di Amerika, Eropa,
dan Rusia (Odum, 1993).
Beberapa penulis lain telah menggunakan istilah yang berbeda, tetapi
maksudnya sama dengan ekosistem. Misalnya pada tahun 1877 seorang ahli ekologi bangsa Jerman bernama Karl
Mobius telah menulis tentang komunitas organisme dalam batu karang,
dan menggunakan istilah yang mempunyai
makna sama dengan ekosistem yaitu biocoenosis (biokoenosis).
Pada tahun 1887 seorang ahli ekologi berkebangsaan Amerika bernama S.A. Forbes
telah menulis karangan kuno tentang danau,
dan menggunakan istilah yang mempunyai makna sama dengan ekosistem, yaitu microcosm (mikrokosm).
Pada periode tahun 1846-1903 seorang
ahli ekologi bangsa Rusia bernama V.V. Dokuchaev dan seorang ahli ekologi hutan bangsa Rusia bernama G.F.
Morozov telah menaruh perhatian besar terhadap ekosistem dan
menggunakan istilah yang mempunyai makna
sama dengan ekosistem yaitu biokoenosis, sedangkan di kalangan ahli ekologi bangsa Rusia Bering
menggunakan istilah geobiokoenosis yang memiliki makna sama dengan
ekosistem. Demikian juga masih ada ahli-ahli ekologi lainnya yang telah
menggunakan istilah yang mempunyai makna sama dengan ekosistem antara lain: Friederichs pada tahun 1930
menggunakan istilah holocoenl holokoen, Thieneman pada tahun
1939 menggunakan istilah biosystem-biosistem, Vernadsky pada
tahun 1944 menggunakan istilah bioenert body (Odum,
1993). Beberapa definisi tentang
ekosistem dapat diuraikan sebagai berikut.
Ekosistem, yaitu suatu unit ekologi yang di dalamnya terdapat struktur dan fungsi (Setiadi, 1983). Struktur yang dimaksudkan dalam definisi ekosistem tersebut adalah berhubungan dengan keanekaragaman spesies (species diversity). Pada ekosistem yang strukturnya kompleks, maka akan memiliki keanekaragaman spesies yang tinggi. Adapun kata fungsi yang dimaksudkan dalam definisi ekosistem menurut A.G. Tansley adalah berhubungan dengan siklus materi dan arus energi melalui komponen-komponen ekosistem
Ekosistem, yaitu tatanan kesatuan secara kompleks di dalamnya terdapat habitat, tumbuhan, dan binatang yang dipertimbangkan sebagai unit kesatuan secara utuh, sehingga semuanya akan menjadi bagian mats rantai siklus materi dan aliran energi (Setiadi, 1983).
3. Ekosistem, yaitu unit
fungsional dasar dalam ekologi yang di dalamnya
tercakup organisms dan lingkungannya (lingkungan biotik dan
abiotik) dan di antara keduanya saling memengaruhi (Odum, 1993). Ekosistem
dikatakan sebagai suatu unit fungsional dasar
dalam ekologi karena merupakan satuan terkecil yang memiliki komponen secara lengkap, memiliki relung
ekologi secara lengkap, serta terdapat proses ekologi secara
lengkap, sehingga di dalam unit ini siklus materi dan arus energi terjadi
sesuai dengan kondisi ekosistemnya.
4. Ekosistem, yaitu
tatanan kesatuan secara utuh menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup
yang saling memengaruhi (UU Lingkungan Hidup Tahun 1999). Unsur-unsur
lingkungan hidup baik unsur biotik maupun abiotik, baik makhluk hidup maupun
benda coati, semuanya tersusun sebagai satu kesatuan dalam ekosistem yang masing-masing tidak bisa berdiri
sendiri, tidak bisa hidup
sendiri, melainkan saling berhubungan, saling mempengaruhi, saling
berinteraksi, sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan.
5. Ekosistem,
yaitu suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan
timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Tingkatan organisasi
ini dikatakan sebagai suatu sistem
karena memiliki komponen dengan fungsi berbeda yang terkoordinasi
secara baik sehingga masing-masing
komponen terjadi hubungan timbal balik. Hubungan timbal balik
terwujudkan dalam rantai makanan yang
pada setiap proses ini terjadi aliran energi dan siklus materi.
Semua ekosistem, baik ekosistem terestrial
(daratan) maupun akuatik (perairan) terdiri atas komponen-komponen yang dapat
dikelompokkan berdasarkan segi trofik atau nutrisi dan segi struktur dasar
ekosistem (Odum, 1993). Pengelompokan masing-masing komponen ekosistem dari tiap
segi tersebut berdasarkan atas segi struktur dasar ekosistem, maka komponen
ekosistem terdiri atas dua jenis sebagai berikut (Gopal dan Bhardwaj, 1979;
Setiadi, 1983) sebagai berikut :
1. Komponen
biotik (komponen makhluk hidup), misalnya tetumbuhan dan mikroba.
2. Komponen abiotik
(komponen benda coati), misalnya air, udara, tanah, dan energi.
Berdasarkan segi trofik atau nutrisi, maka komponen biotik dalam ekosistem terdiri atas dua jenis sebagai berikut
(Odum, 1993; Gopal dan Bhardwaj, 1979; Resosoedarmo dkk., 1986;
Irwin, 1992).
1. Komponen
autotrofik (autotrophic). Kata autotrofik berasal dari
kata autos artinya sendiri, dan trophikos artinya menyediakan
makanan. Komponen autotrofik, yaitu organisme yang mampu menyediakan atau mensintesis makanannya sendiri berupa bahan
organik berasal dari bahan-bahan anorganik dengan bantuan klorofil
dan energi utama berupa radiasi matahari. Oleh karena itu, organisme yang mengandung klorofil termasuk ke dalam golongan
autotrof dan pada umumnya adalah golongan tetumbuhan. Pada
komponen autrofik terjadi pengikatan
energi radiasi matahari dan sintesis bahan anorganik menjadi bahan
organik kompleks.
2. Komponen heterotrofik (heterotrofhic). Kata
heterotrof berasal dari kata hetero artinya
berbeda atau lain, dan trophikos artinya menyediakan
makanan. Komponen heterotrofik, yaitu organisme yang hidupnya selalu
memanfaatkan bahan organik sebagai bahan makanannya, sedangkan bahan organik
yang dimanfaatkan itu disediakan oleh organisme lain. Jadi, komponen
heterotrofik memperoleh bahan makanan dari komponen autotrofik, kemudian sebagian anggota komponen ini menguraikan bahan
organik kompleks ke dalam bentuk
bahan anorganik yang sederhana. Dengan demikian, binatang, jamur,
jasad renik termasuk ke dalam golongan komponen heterotrofik.
Odum (1993) mengemukakan bahwa semua ekosistem apabila ditinjau dari
segi struktur dasarnya terdiri atas empat komponen. Pernyataan yang serupa juga
dikemukakan oleh Resosoedarmo dkk. (1986) bahwa ekosistem
ditinjau dari segi penyusunnya terdiri atas empat komponen, yaitu komponen
abiotik, komponen biotik yang mencakup produsen, konsumen, dan pengurai.
Masing-masing dari empat komponen tersebut diuraikan sebagai berikut.
1. Komponen abiotik
(benda coati atau nonhayati), yaitu komponen fisik dan kimia yang terdiri etas tanah, air, udara, sinar
matahari, dan lain sebagainya yang berupa medium atau substrat
untuk berlangsungnya kehidupan. Setiadi (1983), komponen biotik dari suatu
ekosistem dapat meliputi senyawa dari elemen inorganik misalnya tanah, air, kalsium, oksigen, karbonat, fosfat, dan
berbagai ikatan senyawa organik. Selain itu, juga ada faktorfaktor fisik yang
terlibat misalnya uap air, angin, dan radiasi matahari.
2. Komponen produsen,
yaitu organisme autotrofik yang pada umumnya
berupa tumbuhan hijau. Produsen menggunakan energi radiasi matahari
dalam proses fotosintesis, sehingga mampu mengasimilasi CO2 dan
H20 menghasilkan energi kimia yang tersimpan dalam karbohidrat.
Energi kimia inilah sebenarnya merupakan sumber energi yang kaya senyawa karbon.
Dalam proses fotosintesis tersebut,
oksigen dikeluarkan oleh tumbuhan hijau
kemudian dimanfaatkan oleh semua makhluk hidup di dalam proses
pernapasan.
3. Komponen konsumen,
yaitu organisme heterotrofik misalnya binatang dan manusia yang makan organisme
lain. Jadi, yang disebut sebagai konsumen adalah semua organisme dalam
ekosistem yang menggunakan hasil sintesis (bahan organik) dari produsen atau
dari organisme lainnya. Berdasarkan kategori tersebut, make yang termasuk
konsumen adalah semua jenis binatang dan manusia yang terdapat dalam suatu
ekosistem. Konsumen dapat digolongkan ke dalam: konsumen pertama, konsumen
kedua, konsumen ketiga, clan mikrokonsumen (Resosoedarmo dkk., 1986;
Setiadi, 1983).
a. Konsumen
pertama adalah golongan herbivora, yaitu binatang yang makan tetumbuhan
hijau. Contoh organisme yang termasuk
herbivora adalah serangga, rodensia, kelinci, kijang, sapi, kerbau,
kambing, zooplankton, crustaceae, dan mollusca.
b. Konsumen
kedua adalah golongan karnivora kecil clan omnivore. Karnivora kecil, yaitu
binatang yang berukuran tubuh lebih
kecil dari karnivora besar dan memakan binatang lain yang masih hidup, misalnya
anjing, kucing, rubah, anjing hutan, burung prenjak, burung jalak,
dan burung gagak.
c. Konsumen ketiga
adalah golongan karnivora besar (karnivora tingkat tinggi). Karnivora besar, yaitu binatang yang memakan atau
memangsa karnivora kecil, herbivore, maupun omnivore, misalnya singe, harimau,
serigala, dan burung rajawali.
d. Mikrokonsumen
adalah tumbuhan atau binatang yang hidupnya sebagai parasit, scavenger, dan
saproba. Parasit tumbuhan maupun
binatang hidupnya bergantung kepada sumber makanan dari inangnya.
Sedangkan scavenger dan saproba hidup dengan makan
bangkai binatang dan tumbuhan yang telah mati.
4. Komponen
pengurai, yaitu mikroorganisme yang hidupnya bergantung kepada
bahan organik dari organisme mati (binatang, tumbuhan, dan manusia yang telah mati). Mikroorganisme pengurai
tersebut pada umumnya terdiri atas bakteri dan jamur. Berdasarkan atas tahap dalam proses penguraian
bahan organik dari organisme mati, make organisme pengurai terbagi
atas dekomposer dan transformer (Setiadi, 1983). Dekomposer, yaitu mikroorganisme yang menyerang bangkai hewan dan
sisa tumbuhan mati, kemudian memecah bahan organik kompleks ke
dalam ikatan yang lebih sederhana, dan proses dekomposisi itu disebut
humifikasi yang menghasilkan humus. Transformer, yaitu
mikroorganisme yang meneruskan proses dekomposisi dengan mengubah ikatan organik sederhana ke dalam benhik
bahan anorganik yang siap
dimanfaatkan lagi oleh produsen (tetumbuhan), dan proses dekomposisi
itu disebut mineralisasi yang menghasilkan zat hara.
Pada semua ekosistem dengan tingkat organisasi yang
berbedabeda, di dalamnya selalu terdapat empat komponen
utama, selalu terjadi interaksi antar komponen, dan terdapat
proses ekologi yang secara umum sama (Resosoedarmo dkk., 1986).
Perbedaan antarekosistem yang tingkat organisasinya berbeda itu hanya terletak pada
beberapa hal antara lain:
1. jumlah spesies
organisme produsen yang menjadi komponen ekosistem,
2. jumlah spesies
organisme konsumen yang menjadi komponen ekosistem,
3. jumlah spesies
organisme pengurai yang menjadi komponen ekosistem,
4. jumlah
dan jenis komponen abiotik yang terdapat dalam ekosistem,
5. kompleksitas atau
kerumitan interaksi antarkomponen dalam ekosistem,
6. tiap-tiap proses
ekologi yang berjalan dalam ekosistem.
Irwan
(1992), bahwa ekosistem itu mempunyai keteraturan sebagai perwujudan dari
kemampuan ekosistem untuk memelihara diri sendiri, mengatur diri sendiri,
dan dengan sendirinya mengadakan keseimbangan kembali. Keseimbangan yang
terdapat dalam suatu ekosistem disebut homeostatis, yaitu kemampuan ekosistem
untuk menahan berbagai perubahan dalam sistem secara keseluruhan
(Resosoedarmo dkk., 1986).
Homeostatic berasal dari kata homeo yang artinya sama,
dan static yang artinya berdiri (Odum, 1993). Oleh
karena itu, homeostatis itu sesungguhnya adalah kestabilan yang dinamis, karena
perubahan-perubahan yang terjadi pada ekosistem akan tetap mengarah kepada
tercapainya keseimbangan barn. Keseimbangan ekosistem itu diatur oleh berbagai
faktor yang sangat kompleks (rumit). Faktor-faktor yang terlibat dalam mekanisme keseimbangan ekosistem
antara lain mencakup mekanisme yang mengatur penyimpanan
bahan-bahan, pelepasan hara, pertumbuhan
organisme dan populasi, proses produksi, serta dekomposisi
bahan-bahan organik.
Berdasarkan uraian tersebut, maka kondisi ekosistem dalam keseimbangan (homeostatis) mempunyai arti
bahwa ekosistem itu telah mantap atau telah mencapai klimaks,
sehingga ekosistem mempunyai daya tahan yang besar untuk menghadapi berbagai
gangguan yang menimpannya. Daya tahan
ekosistem dalam menghadapi gangguan sangat bergantung kepada usia dari ekosistem tersebut. Ekosistem muda
tentu mempunyai daya tahan yang lebih rendah dibandingkan dengan ekosistem
dewasa (tua).
Daya tahan ekosistem yang besar menunjukkan bahwa ekosistem mampu
menghadapi gangguan, sehingga perubahan-perubahan yang terjadi akibat gangguan
itu masih ditolerir bahkan ekosistem mampu pulih kembali dan menuju kepada
kondisi keseimbangan. Berkaitan dengan
daya tahan ekosistem seperti tersebut, di dalam ekologi terdapat istilah
yang dikenal dengan daya lenting. Soemarwoto (1983), daya lenting (resilience) menunjukkan
kemampuan ekosistem untuk pulih
setelah terkena gangguan. Makin cepat kondisi ekosistem itu pulih
berarti makin pendek masa pulih, makin banyak gangguan yang dapat ditanggulangi, sehingga berarti juga makin
besar atau makin tinggi daya lentingnya.
Suatu ekosistem yang ingin dipertahankan sifat-sifatnya seperti taman
nasional, cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata, taman burung, taman hutan
raga, serta jenis ekosistem lainnya, harus memiliki daya lenting yang tinggi.
Irwan (1992) mengemukakan bahwa setiap ekosistem akan
memberikan tanggapan (respons) terhadap suatu gangguan. Tanggapan ekosistem
terhadap gangguan dilakukan sesuai dengan
daya lentingnya. Daya lenting merupakan sifat suatu ekosistem yang
memberikan kemungkinan ekosistem tersebut pulih kembali ke keseimbangan semula
setelah mengalami gangguan. Oleh
karena itu, suatu ekosistem yang mendapat gangguan ada kemungkinan
kembali kepada kondisi keseimbangan seperti semula atau juga berkembang menuju
kepada keseimbangan baru yang berbeda
dengan kondisi awal, hal demikian bergantung kepada besar kecilnya
gangguan yang dialami dan bergantung kepada besar kecilnya daya lenting yang
dimiliki ekosistem.
Gangguan yang jauh melebihi daya lenting suatu eksosistem, akan
menciptakan dinamika yang mengarah kepada terbentuknya kondisi ekosistem yang menyimpang atau berbeda dengan
ekosistem sebelumnya. Bahkan
Resosoedarmo dkk. (1986) mengemukakan bahwa suatu
ekosistem itu mempunyai daya lenting (daya tahan) yang besar, tetapi pada
umumnya batas mekanisme keseimbangan dinamis (homeostatic) masih
dapat diterobos oleh kegiatan manusia. Misalnya
aktivitas penebangan/eksploitasi hutan alam yang berlebihan, apalagi
penebangan liar serta perambahan yang dilakukan terhadap kawasan pelestarian
alam (taman nasional, hutan wisata, suaka alam, dan lain sebagainya), dan hutan lindung merupakan suatu kegiatan yang seringkah melampaui batas mekanisme homeostatic dalam ekosistem
hutan. Kegiatan inilah yang disebut dengan merusak hutan karena ekosistem hutan
dapat berubah secara permanen atau bahkan rusak sama sekali.
Semua makhluk hidup mempunyai tempat hidup yang disebut habitat
(Soemarwoto, 1983; Resosoedarmo dkk., 1986;
Irwan, 1992; Odum, 1993). Kalau kita ingin mencari atau ingin
berjumpa dengan suatu organisme tertentu, maka harus tabu lebih dahulu tempat
hidupnya (habitat), sehingga ke habitat itulah
kita pergi untuk mencari atau berjumpa dengan organisme tersebut. Oleh sebab itu, habitat suatu organisme
bisa juga disebut alamat organisme itu (Resosoedarmo dkk., 1986;
Irwan, 1992).
Semua organisme atau makhluk hidup mempunyai habitat atau tempat hidup.
Contohnya, habitat pans dan ikan hie adalah air laut, habitat ikan mas adalah air tawar, habitat buaya
muara adalah perairan payau, habitat monyet dan harimau adalah
hutan, habitat pohon bakau adalah daerah pasang curet, habitat pohon butun dan
ketapang adalah hutan pantai, habitat Cemara di gunung adalah hutan
dataran tinggi, habitat manggis adalah hutan dataran rendah dan hutan rawa,
habitat ramin adalah hutan gambut dan daerah dataran rendah lainnya,
pohon-pohon anggota famili pada umumnya hidup di daerah dataran rendah, pohon
aren habitatnya di tanah darat dataran
rendah hingga daerah pegunungan, dan pohon durian habitatnya di
tanah darat dataran rendah.
Istilah habitat dapat juga dipakai untuk
menunjukkan tempat tumbuh sekelompok organisme dari berbagai spesies yang membentuk suatu.
komunitas. untuk tempat hidup suatu padang
rumput dapat menggunakan habitat padang rumput, untuk hutan
mangrove dapat menggunakan istilah habitat hutan mangrove, untuk hutan pantai dapat menggunakan habitat hutan
pantai, untuk hutan rawa dapat
menggunakan habitat hutan rawa, dan lain sebagainya. Dalam hal seperti ini, maka habitat sekelompok
organisme mencakup organisme lain yang merupakan komponen
lingkungan (komponen lingkungan biotik) dan komponen lingkungan abiotik
(Resosoedarmo dkk., 1986). bahwa habitat suatu organisme itu pada
umumnya mengandung faktor ekologi yang sesuai dengan persyaratan hidup organisme yang menghuninya. Persyaratan
hidup setiap organisme merupakan kisaran faktor-faktor ekologi yang
ada dalam habitat dan diperlukan oleh setiap organisme untuk
mempertahankan hidupnya. Kisaran
faktor-faktor ekologi bagi setiap organisme memiliki perbedaan pada
batas bawah disebut titik minimum, batas atas disebut titik
maksimum, di antara titik minimum dan titik maksimum disebut titik
optimum. Ketiga titik tersebut dinamakan titik kardinal.
Oleh karena itu, setiap organisme mempunyai habitat yang sesuai dengan kebutuhannya. Apabila ada gangguan yang
menimpa pada habitat akan menyebabkan terjadi perubahan pada
komponen habitat, sehingga ada
kemungkinan habitat menjadi tidak cocok bagi organisme yang menghuninya. Jadi, apabila kondisi habitat
berubah hingga di luar titik
minimum dan maksimum (di luar kisaran faktor-faktor ekologi) yang
diperlukan oleh setiap organisme di dalamnya, maka organisme itu dapat pindah
(migrasi) ke tempat lain. Jika perubahan
yang terjadi dalam habitat berjalan lambat, misalnya berjalan selama
beberapa generasi, maka organisme yang menghuninya pada umumnya bisa
menyesuaikan diri dengan kondisi yang baru meskipun di luar batas-batas semula.
Melalui proses adaptasi (penyesuaian diri) tersebut, lama-lama terbentuklah
ras-ras baru yang mempunyai sifat berbeda dengan sebelumnya.
Perlu diketahui bahwa habitat organisme bisa lebih
dari satu tempat. Misalnya burung pipit mempunyai habitat di sawah untuk aktivitas
mencari makan, juga mempunyai habitat di atas pepohonan untuk bertelur. Habitat
ikan salem ketika dewasa adalah di laut, waktu akan bertelur pindah habitatnya di sungai, bahkan sampai ke hulu sungai. Ikan salem bertelur di hulu sungai dan anak
yang telah ditetaskan akan tinggal bertahun-tahun di sungai,
kemudian ketika memasuki fase dewasa ikan salem itu pindah habitat lagi ke laut
(Soemarwoto, 1983). Pohon matoa (Pometia
pinnata) mempunyai habitat di pinggir sungai, juga di
daerah yang bertanah liat, tanah pasir atau lempung di hutan daratan dataran
rendah hingga di hutan pegunungan (ketinggian tempat kurang dari 1.700 m dpl.). Pohon kempas (Koompassia malaccensis) mempunyai
habitat di hutan rawa, juga di hutan daratan dengan tanah liat atau pasir yang ketinggian tempatnya adalah 0-600 m
dpl.
Relung (niche) menunjukkan peranan fungsional dan
posisi suatu organisme dalam ekosistem
(Heddy dkk., 1986). Resosoedarmo dkk. (1986),
relung yaitu posisi atau status organisme dalam suatu komunitas atau ekosistem tertentu. Relung suatu
organisme ditentukan oleh tempat
hidupnya (habitat) dan oleh berbagai fungsi yang dikerjakannya,
sehingga dikatakan sebagai profesi organisme dalam habitatnya. Profesi
organisme menunjukkan fungsi organisme dalam habitatnya. Berbagai organisme dapat hidup bersama dalam satu habitat.
Akan tetapi, jika dua atau lebih organisme mempunyai relung yang sama dalam
satu habitat, maka akan terjadi persaingan. Makin besar kesamaan relung dari
organisme-organisme yang hidup bersama dalam satu habitat, maka makin intensif
persaingannya.
Energi didefinisikan sebagai kemampuan untuk melakukan kerja (Odum,
1993). Manusia memerlukan energi untuk berjalan, untuk berpikir, dan untuk
aktivitas lainnya. Bentuk-bentuk energi yang nyata berguna bagi organisme hidup dapat berupa energi mekanik, energi
kimia, energi radiasi, dan energi panas. Energi yang dimiliki oleh setiap
organisme hidup adalah energi kimia
yang diperoleh dari makanannya dalam bentuk protein, karbohidrat, lemak, dan sebagainya. Energi
tersebut diciptakan pertama kali pada tingkatan produsen, yaitu
tumbuhan hijau dengan mengubah energi matahari ke dalam bentuk energi
potensial. Energi potensial adalah energi yang tersimpan dan dapat digunakan
untuk melakukan kerja, contohnya
protein, karbohidrat, dan lemak. Adapun energi kinetik merupakan energi yang terlepaskan atau
energi yang dibebaskan oleh organisme berupa energi gerak. bahwa energi di alam bebas atau di dalam ekosistem
ini tunduk pada hukum termodinamika, yaitu hukum termodinamika I dan hukum
termodinamika II (Odum, 1993 dalam Indriyanto, 2005), sebagai kerikut :
1. Hukum termodinamika I
berbunyi: "energi dapat diubah dari satu bentuk energi ke bentuk energi
yang lain, tetapi tidak pernah dapat diciptakan
atau dimusnahkan". Misalnya, energi cahaya sebagai bentuk energi dapat diubah menjadi energi kinetik,
dapat diubah menjadi energi
panas, dan dapat diubah menjadi energi potensial dalam suatu
makanan bergantung kepada keadaan, tetapi tak satu pun dari energi tersebut
dimusnahkan, bahwa penyerapan radiasi matahari oleh daratan dan lautan akan
mengakibatkan adanya suatu daerah yang panas dan dingin, timbul perbedaan
tekanan udara antar daerah panas dan dingin, sehingga timbullah gerakan udara
dari daerah bertekanan udara tinggi ke daerah bertekanan udara rendah. Gerakan
udara itu yang disebut angin dan dapat dimanfaatkan untuk menggerakkan kincir
angin untuk berbagai keperluan. Hal itu suatu bukti bahwa energi tidak dimusnahkan, tetapi diubah dari bentuk energi
yang satu ke bentuk energi lainnya. Memang hukum tersebut menerangkan bahwa
energi itu dapat diubah-ubah bentuknya, dan
semua energi yang memasuki organisme, populasi, atau ekosistem
dapat dianggap sebagai energi yang tersimpan atau terlepaskan. Jadi, organisme dapat dianggap sebagai salah
satu komponen pengubah energi dalam sistem ekologi.
2. Hukum termodinamika
II berbunyi: "setiap terjadi perubahan bentuk energi, pasti terjadi
degradasi energi dari bentuk energi yang terpusat menjadi bentuk energi yang
terpencar, dan di dalam proses transformasi
energi selalu melepaskan panas dalam bentuk energi yang tidak dapat
digunakan". Misalnya, benda yang panas pasti akan menyebarkan panas ke lingkungan yang suhunya
lebih rendah. Dalam proses
fotosintesis tidak semua energi radiasi matahari yang diterima oleh
tumbuhan hijau diubah menjadi energi kimia (energi potensial) dalam bentuk
pangan (karbohidrat, protein, dan
lemak), tetapi sebagian dari energi itu dilepaskan ke lingkungan sebagai
energi panas. Oleh karena itu, tidak ada sistem pengubahan energi yang berjalan secara efisien (tidak ada.
yang 100%). Hukum ini berguna
untuk menerangkan bahwa meskipun energi itu tidak pernah hilang
(tidak pernah musnah atau hancur) dari sistem alam, tetapi energi tersebut
sebagian akan berubah menjadi bentuk energi yang kurang bermanfaat. Misalnya, suatu energi yang diambil binatang dari tumbuhan atau dari binatang lain biasanya
dalam bentuk makanan padat dan
bermanfaat untuk keperluan hidupnya. Akan tetapi, sebagian dari
energi itu akan keluar dari tubuh binatang berupa energi panas karena melakukan
kegiatan. Energi panas inilah merupakan energi yang terbuang tanpa guna.
Kedua proses tersebut (aliran energi dan siklus
materi) berjalan melalui rantai makanan.
Adanya aliran energi dan siklus
materi yang berjalan melalui rantai makanan, menyebabkan rantai makanan menjadi salah
satu proses ekologi yang mewujudkan hubungan timbal balik antar organisme atau dengan lingkungannya. Di samping
itu, berdasarkan tingkat energi yang diperoleh setiap komponen
dalam rantai makanan (mencakup produsen dan konsumen), maka komponen tersebut dapat digolongkan ke dalam beberapa
golongan sesuai dengan tingkat
energi atau tingkat nutrisi yang disebut dengan tingkat trofik.
Rantai makanan, yaitu transfer atau pemindahan energi dari
sumbernya melalui serangkaian organisme yang dimakan dan yang memakan
(Odum, 1993). Mengingat energi makanan itu ada dalam bentuk energi kimia
atau energi potensial, dan di dalamnya mengandung energi dan materi, maka
rantai makanan dapat didefinisikan sebagai
transfer atau pemindahan energi dan materi melalui serangkaian
organisme.
Di dalam suatu ekosistem hanya tumbuhan hijau yang mampu menangkap energi radiasi matahari dan mengubahnya
ke dalam bentuk energi kimia dalam tubuh tumbuhan, misalnya
karbohidrat, protein, dan lemak. Energi makanan yang dibuat oleh tumbuhan hijau
itu sebagian digunakan untuk dirinya
sendiri dan sebagian lagi merupakan sumber daya yang dimanfaatkan
oleh herbivore. Herbivore dimangsa oleh karnivora, dan karnivora dimangsa oleh
karnivora lainnya, demikian seterusnya
terjadilah proses pemindahan energi dan materi dari satu organisme ke organisme lain dan ke
lingkungannya. Dari hal tersebut dapat terlihat bahwa suatu
kehidupan dapat menyokong kehidupan
lainnya. Dengan kata lain, dari satu organisme ke organisme yang
lain akan terbentuk suatu rantai yang disebut dengan rantai makanan. Semakin pendek rantai makanan, maka
semakin dekat jarak antara organisme pada permulaan rantai dan
organisme pada ujung rantai, sehingga semakin besar energi yang dapat disimpan
dalam tubuh organisme di ujung rantai
makanan (Resosoedarmo dkk., 1986).
Pada prinsipnya, rantai makanan dapat dibedakan ke dalam tiga kelompok
sebagai berikut.
1. Rantai pemangsa,
yaitu pemindahan energi dan materi dari produsen (tumbuhan) ke binatang kecil,
kemudian ke binatang yang besar, dan berakhir pada binatang paling besar
termasuk manusia.
2. Rantai
parasit, yaitu pemindahan energi dan materi dari organisme besar ke organisme
kecil.
3. Rantai
saprofit, yaitu pemindahan energi dan materi dari organisme coati (bahan organik)
ke mikroorganisme atau jasad renik.
Jaringan makanan, yaitu gabungan dari berbagai rantai makanan
(Odum, 1993). Semua rantai makanan dalam suatu ekosistem tidak
berdiri sendiri, melainkan saling berkaitan antar rantai makanan. Bahkan di dalam ekosistem, ketiga kelompok rantai
makanan yang telah disebutkan di
etas (rantai pemangsa, rantai parasit, dan rantai saprofit) saling berkaitan. Dengan kata lain, jika
tiap-tiap rantai makanan yang ada di dalam ekosistem
disambung-sambungkan dan membentuk gabungan
rantai makanan yang lebih kompleks, maka terbentuk jaringan makanan.
Jaringan makanan dalam suatu ekosistem dapat menggambarkan kestabilan ekosistem tersebut. Makin banyak
rantai makanan dan makin besar kemungkinan terbentuknya gabungan
dalam jaringan makanan, akan
menunjukkan kestabilan ekosistem makin tinggi. Oleh karena itu, untuk
menjaga kestabilan ekosistem, di dalam setiap kegiatan pengelolaan sumber daya
alam tidak diperkenankan memutuskan rantai
makanan yang ada, apalagi menghilangkan satu atau lebih rantai makanan
yang ada dalam ekosistem.
Dalam ekosistem alam dikenal adanya tingkat trofik suatu kelompok
organisme. Heddy dkk. (1986), menyatakan bahwa tingkat
trofik menunjukkan urutan organisme dalam rantai makanan pada suatu ekosistem.
Oleh karena itu, berbagai organisme yang memperoleh sumber makanan melalui
langkah yang sama dianggap termasuk ke dalam
tingkat trofik yang sama (Resosoedarmo dkk., 1986; Odum,
1993).
Berdasarkan atas pemahaman tingkat trofik, maka organisme dalam
ekosistem dikelompokkan sebagai berikut.
a. Tingkat trofik
pertama, yaitu semua organisme yang berstatus sebagai produsen. Semua jenis tumbuhan hijau membentuk tingkat trofik
pertama.
b. Tingkat
trofik kedua, yaitu semua organisme yang berstatus sebagai herbivora.
Semua herbivora (konsumen primer) membentuk tingkat trofik kedua.
c. Tingkat
trofik ketiga, yaitu semua organisme yang berstatus sebagai karnivora kecil
(konsumen sekunder).
d. Tingkat trofik
keempat, yaitu semua organisme yang berstatus sebagai karnivora besar
(karnivora tingkat tinggi).
e. Tingkat trofik
kelima, yaitu semua organisme yang berstatus sebagai perombak (dekomposer dan
transformer) atau semua mikroorganisme.
Odum (1993), bahwa fenomena interaksi yang terjadi dalam rantai
makanan dan hubungan antara ukuran organisme dan metabolismenya menghasilkan
berbagai komunitas dengan struktur trofik
tertentu. Oleh karena itu, setiap tipe ekosistem, misalnya danau, hutan, terumbu karang, dan padang rumput akan
memiliki struktur trofik dengan sifat tertentu.
Struktur trofik dapat diukur dan dideskripsikan dengan istilah
biomassa (standing crop) per satuan luas atau dengan pemyataan
jumlah energi yang terikat per satuan
luas per satuan waktu pada setiap tingkat trofik secara berurutan.
Jika diperhatikan dengan saksama bahwa pada setiap tahap dalam rantai makanan akan ada sejumlah energi yang hilang
karena tidak terasimilasi atau lepas sebagai panas, sehingga organisme yang berada pada ujung tingkat trofik
akan memperoleh energi lebih
kecil. Dengan kata lain, jika makin panjang rantai makanan, energi
yang tersedia bagi kelompok organisme yang terakhir semakin kecil (sedikit). Apabila energi yang tersedia
dalam suatu rantai makanan itu disusun secara berurutan berdasarkan
urutan tingkat trofik, maka membentuk sebuah kerucut yang dikenal dengan
piramida ekologi. Dengan demikian,
sesungguhnya piramida ekologi itu merupakan susunan tingkat trofik (tingkat nutrisi atau tingkat energi)
secara berurutan menurut rantai
makanan atau jaringan makanan dalam ekosistem.
Sumber daya energi yang utama untuk semua tingkat trofik adalah radiasi
matahari. Suatu permukaan di alam yang tidak terlindung dan mendapat radiasi
matahari secara langsung, maka permukaan itu akan menerima energi dari radiasi
matahari dengan kecepatan 1,94 g-kalori/cm2/menit, akan tetapi pada
umumnya radiasi matahari yang dapat mencapai permukaan bumi hanya 46%, hal itu
disebabkan adanya penyerapan dan pemantulan sebagian energi oleh atmosfer,
asap, partikel-partikel debu, dan awan (Kendeigh, 1980).
Manfaat utama dari energi matahari yang bisa sampai
ke permukaan bumi adalah untuk kepentingan tetumbuhan
hijau yang dalam proses kehidupan tumbuhan dikenal dengan fotosintesis dan
respirasi. Dalam proses fotosintesis, organisme-organisme yang berfotosintesis (autotrof) hanya memanfaatkan 50%
dari radiasi matahari yang diterima dan efisiensi pemanfaatan
energi yang diserap oleh autotrof hingga mencapai produktivitas primer bersih
hanya lebih kurang 1% (Odum, 1993). Vickery (1984) menyatakan bahwa
energi radiasi matahari yang memasuki
sebuah ekosistem hanya sebagian kecil saja yang secara nyata diterima oleh organisme-organisme autotrof
dan diubah menjadi energi kimia. Tumbuh-tumbuhan hijau
berfotosintesis selama lebih kurang 10 jam per hari dalam waktu siang hari.
Jika intensitas radiasi matahari dalam kondisi maksimal, maka faktor yang menjadi pembatas efektivitas proses fotosintesis
adalah ketersediaan air, CO2 dan unsur hara-unsur
hara lainnya dari lingkungan. Pada ekosistem
hutan alam yang kondisi vegetasinya sempurna, jumlah klorofil per
satuan luas lebih banyak dibandingkan dengan ekosistem lainnya, hal itu
disebabkan karena keanekaragaman yang tinggi dari spesies tumbuhan penyusunnya
dan stratifikasi yang kompleks menempatkan daun-daun pada setiap strata tajuk,
sehingga jumlah energi radiasi matahari yang dapat diubah menjadi energi kimia
pada ekosistem hutan tersebut menjadi lebih banyak.
Di dalam setiap ekosistem baik daratan maupun perairan, terdapat organisme hidup dan benda coati (lingkungan
abiotik) yang menunjang proses
kehidupan. Proses kehidupan di alam tersebut merupakan kejadian
yang mengubah bentuk energi pada berbagai komponen ekosistem. Proses-proses yang terlibat dalam pengubahan energi
dalam ekosistem meliputi proses metabolisme, aliran energi pada
berbagai tingkat trofik, dan siklus
biogeokimia (Chapman dan. Reiss, 1997; Odum, 1993). Proses
metabolisme merupakan proses fisiologi yang terdapat pada tubuh organisme hidup
dan proses ini menjadi ciri yang membedakan
antara organisme hidup dengan benda coati. Metabolisms meliputi
proses anabolisme dan katabolisme. Anabolisme yaitu proses penyusunan
(asimilasi) kimiawi yang dilakukan dalam proses fotosintesis dan menghasilkan
zat-zat kimia seperti karbohidrat, protein, lemak, dan lain sebagainya.
Katabolisme, yaitu proses pembongkaran (disimilasi)
energi yang tersimpan dalam zat-zat kimia hasil anabolisme untuk menyelenggarakan proses kehidupan, dan
katabolisme ini dikenal juga sebagai proses respirasi. Hasil dari
kegiatan metabolisms adalah pertumbuhan dan penambahan biomassa, dan
penimbunan biomassa itu disebut
produksi (Odum, 1993; Kormondy, 1991). produksi selama periode
waktu tertentu disebut produktivitas. Baik produksi maupun produktivitas kedua-duanya secara umum
berhubungan dengan biomassa pada tingkat trofik tertentu (Kendeigh,
1980).
Resosoedarmo dkk. (1986) bahwa setiap ekosistem atau
komunitas atau bagian-bagian lain dalam organisme makhluk hidup memiliki produktivitas. Kecepatan energi radiasi
matahari yang diubah oleh
tetumbuhan hijau menjadi energi kimia dikenal sebagai produktivitas primer (Vickery, 1984; Chapman dan
Reiss, 1997). Odum (1993) menyatakan bahwa produktivitas primer
merupakan kecepatan energi radiasi
matahari yang disimpan melalui aktivitas fotosintesis oleh organisme produsen dalam bentuk bahan organik
yang dapat digunakan sebagai bahan pangan. Produktivitas primer digolongkan
menjadi dua, yaitu produktivitas primer kotor dan produktivitas primer bersih.
1. Produktivitas primer
kotor, yaitu kecepatan total fotosintesis, mencakup banyaknya bahan organik yang digunakan dalam respirasi atau pernapasan selama periode
pengukuran. Produktivitas primer
kotor disebut juga fotosintesis total atau asimilasi total.
2. Produktivitas primer
bersih, yaitu kecepatan penyimpanan bahan organik dalam jaringan tumbuhan sebagai kelebihan bahan organik yang sebagian telah dipakai untuk respirasi
tumbuhan selama proses pengukuran. Produktivitas primer bersih
disebut juga fotosintesis yang kelihatan atau asimilasi bersih.
Di dalam suatu ekosistem hutan pada umumnya terjadi distribusi vertikal
dari produktivitas primer bersih, hal itu berhubungan dengan terjadinya distribusi vertikal dari biomassanya.
Data distribusi biomassa dan produktivitas
primer bersih pada setiap kelompok komponen vegetasi yang menyusun
ekosistem hutan disajikan pada tabel sebagai berikut.
Kelompok Komponen Vegetasi |
Biomassa (g/m2) |
Produktivitas Primer Bersih (g/m2/tahun) |
Pohon (bagian batang dan tajuk) |
6.403 |
796 |
Perdu (bagian batang dan tajuk) |
158 |
61 |
Semak dan herba (bagian batang dan |
2 |
|
Tajuk |
2 |
|
Pohon (bagian akar) |
3.325 |
260 |
Perdu (bagian akar) |
305 |
73 |
Semak dan herba (bagian akar) |
1 |
4 |
(Sumber: Odum, 1993)
Produktivitas primer bersih memiliki kegunaan yang
sangat penting untuk memahami sebuah ekosistem karena hal itu dapat
menggambarkan energi yang memiliki
produktivitas primer bersih rendah, akan menyokong organisme
heterotrof yang jumlahnya sedikit dibandingkan dengan ekosistem yang memiliki
produktivitas primer bersih tinggi. Produktivitas primer bersih pada hutan tropik, secara kasar dapat dikaitkan dengan
banyaknya hujan di suatu daerah. Pada hutan hujan yang selalu hijau
(ever green) mempunyai produktivitas
primer bersih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan savana (padang rumput yang sangat luas).
Produktivitas komunitas bersih, yaitu kecepatan penyimpanan bahan organik yang tidak digunakan oleh pemakan (heterotrof)
selama satu tahun atau selama
musim pertumbuhan. Dengan kata lain bahwa produktivitas komunitas bersih, yaitu kecepatan penyimpanan bahan organik pada penghasil-penghasil primer yang telah
ditinggalkan oleh pemakai. Adapun produktivitas sekunder, yaitu
kecepatan penyimpanan energi pada organisme hidup tingkat konsumen. Sudah
tentu bahwa energi yang tersimpan pada
tingkat trofik yang lebih tinggi akan semakin kecil atau menurun. Total arus energi pada tingkatan
heterotrof sebaiknya disebut asimilasi dan bukan produksi karena
organisme heterotrof mengambil bahan organik dari organisme autotrof dan
mengasimilasikannya ke dalam jaringan tubuh mereka, maka konsep produktivitas
kotor dan produktivitas bersih pada tingkatan heterotrof tidak digunakan.
Dengan demikian, peningkatan biomassa pada, heterotrof merupakan laju asimilasi
dan bukan produksi (Odum, 1993).
Vickery (1984), hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe vegetasi hutan tertua yang telah menutupi
banyak lahan yang terletak pada
10° LU dan 10° LS. Ekosistem hutan hujan tropis terbentuk oleh vegetasi klimaks pada daerah dengan curah
hujan 2.000-4.000 mm per tahun,
rata-rata temperatur 25°C dengan perbedaan temperatur yang kecil sepanjang tahun, dan rata-rata
kelembapan udara 80%. Arief (1994) mengemukakan bahwa hutan hujan tropis adalah
klimaks utama dari hutan-hutan
di dataran rendah yang mempunyai tiga stratum tajuk, yaitu stratum A, B, dan C,
atau bahkan memiliki lebih dari tiga stratum tajuk.
Santoso (1996) dan Direktorat Jenderal Kehutanan (1976) mengemukakan
bahwa tipe ekosistem hutan hujan tropis terdapat di wilayah yang memiliki tipe
iklim A dan B (menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson), atau dapat
dikatakan bahwa tipe ekosistem tersebut berada pada daerah yang selalu basah,
pada daerah yang memiliki jenis tanah Podsol, Latosol, Aluvial, dan Regosol
dengan drainase yang baik, dan terletak jauh dari pantai.
Tegakan hutan hujan tropis didominasi oleh
pepohonan yang selalu. hijau. Keanekaragaman spesies tumbuhan dan binatang
yang ada di hutan hujan tropis sangat tinggi. Vickery (1984) menyatakan bahwa
jumlah spesies pohon yang ditemukan dalam hutan hujan tropis lebih banyak
dibandingkan dengan yang ditemukan pada ekosistem yang lainnya. Misalnya, hutan hujan tropis di Amazonia
mengandung spesies pohon dan semak sebanyak 240 spesies.
Haeruman (1980) juga menyatakan bahwa hutan alam tropis yang masih utuh
mempunyai jumlah spesies tumbuhan yang sangat banyak. Hutan di Kalimantan mempunyai
lebih dari 40.000 spesies tumbuhan, dan merupakan hutan yang paling kaya
spesiesnya di dunia. Di antara 40.000 spesies tumbuhan tersebut, terdapat lebih
dari 4.000 spesies tumbuhan yang termasuk golongan pepohonan besar dan penting.
Di dalam setiap hektar hutan tropis
seperti tersebut mengandung sedikitnya
320 pohon yang berukuran garis tengah lebih dari 10 cm. Di samping
itu, di hutan hujan tropis Indonesia telah banyak dikenali ratusan spesies rotan, spesies pohon tengkawang,
spesies anggrek hutan, dan
beberapa spesies umbi-umbian sebagai sumber makanan dan
obat-obatan.
Tajuk pohon hutan hujan tropis sangat rapat, ditambah lagi adanya
tetumbuhan yang memanjat, menggantung, dan menempel pada dahan-dahan pohon, misalnya rotan, anggrek, dan
paku-pakuan. Hal ini menyebabkan sinar matahari tidak dapat
menembus tajuk hutan hingga ke lantai
hutan, sehingga tidak memungkinkan bagi semak untuk berkembang di
bawah naungan tajuk pohon kecuali spesies tumbuhan yang telah beradaptasi
dengan baik untuk tumbuh di bawah naungan (Arief, 1994). Itu semua merupakan ciri umum bagi ekosistem
hutan hujan tropis. Selain ciri umum yang telah dikemukakan di
atas, masih ada ciri yang dimiliki
ekosistem hutan hujan tropis, yaitu kecepatan daur ulang sangat tinggi, sehingga semua komponen vegetasi
hutan tidak mungkin kekurangan unsur hara (Vickery, 1984). Jadi,
faktor pembatas di hutan hujan tropis
adalah cahaya, dan itu pun hanya berlaku bagi tetumbuhan yang terletak di lapisan bawah. Dengan demikian,
herba dan semak yang ada dalam hutan adalah spesies-spesies yang
telah beradaptasi secara baik untuk tumbuh di bawah naungan pohon.
Menurut ketinggian tempat dari permukaan laut,
hutan hujan tropis dibedakan menjadi tiga zona atau wilayah
menurut (Santoso, 1996; Direktorat Jenderal Kehutanan, 1976).
1. Zona
1 dinamakan hutan hujan bawah karena terletak pada daerah dengan ketinggian
tempat 0-1.000 m dari permukaan laut.
2. Zona
2 dinamakan hutan hujan tengah karena terletak pada daerah dengan ketinggian
tempat 1.000-3.300 m dari permukaan laut.
3. Zona 3 dinamakan
hutan hujan atas karena terletak pada daerah dengan ketinggian tempat
3.300-4.100 m dari permukaan laut.
Ekosistem hutan musim merupakan ekosistem hutan
campuran yang berada di daerah beriklim meson (monsoon), yaitu
daerah dengan perbedaan antara musim
kering dan basah yang jelas (Arief, 1994). Tipe ekosistem hutan musim terdapat pada daerah-daerah
yang memiliki tipe iklim C dan D
(tipe iklim menurut klasifikasi Schmid dan Ferguson) dengan
rata-rata curah hujan 1.000-2.000 mm per tahun dengan rata-rata suhu bulanan
sebesar 21°-32°C (Santoso, 1996; Direktorat Jenderal Kehutanan, 1976; Arief,
1994).
Penyebaran lokasi ekosistem hutan musim meliputi wilayah negara-negara yang beriklim musim (monsoon), misalnya di India, Myanmar, Indonesia, Afrika Timur, dan Australia Utara (Vickery, 1984). Di Indonesia, tipe ekosistem hutan musim berada di Jawa (terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur), di kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian. Vegetasi yang berada dalam ekosistem hutan musim didominasi oleh spesies-spesies pohon yang menggugurkan daun di musim kering, sehingga tipe ekosistem hutan musim disebut juga hutan gugur daun atau deciduous forest (Vickery, 1984). Pada ekosistem hutan ini umumnya hanya memiliki satu lapisan tajuk atau satu stratum dengan tajuk-tajuk pohon yang tidak saling tumpang-tindih, sehingga masih banyak sinar matahari yang bisa masuk hutan sampai ke lantai hutan, apalagi pada saat sedang gugur daun. Hal itu memungkinkan tumbuh dan berkembangnya berbagai spesies semak dan herba yang menutup lantai hutan secara rapat, sehingga menyulitkan bagi orang untuk masuk ke dalam hutan.
No comments