Perkembangan Kultur Spirulina sp. di Dunia
Pemanfaatan Spirulina sebagai suplemen telah berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Spirulina awalnya dipanen dari perairan bebas tanpa adanya usaha pembudidayaan. Sejarah mencatat bahwa pemanfaatan Spirulina telah terjadi di Danau Texcoco di Meksiko sekitar 400 tahun yang lalu. Pada masa itu, kolonial Spanyol menemukan bahwa penduduk asli Aztecs memanen suatu sustansi berwarna biru kehijauan dengan menggunakan jaring. Selanjutnya bahan tersebut dikeringkan dan dijadikan bahan dalam pembuatan roti maupun keju. Hal yang sama juga ditemukan di wilayah terpencil negara Chad. Masyarakat setempat memanen Spirulina dari danau-danau berair dangkal dan kemudian mengolahnya sebagai bahan makanan yang dikenal sebagai Dihe (Gambar 5a). Makanan tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai suplemen bagi ibu hamil dan anak-anak (Ciferi, 1985).
Berbagai riset nutrisi dan fakta empiris di lapangan mengenai manfaat Spirulina sebagai super food maupun sebagai obat mendorong pembudidayaan komoditas akuakultur tersebut untuk menjamin kuantitas dan kualitas. FAO (2008) meyebutkan industri Spirulina pertama dibangun adalah Sosa-Texcoco di Meksiko pada tahun 1967. Perusahaan ini memanfaatkan populasi alami Spirulina di danau Texcoco dengan membangun instalasi berupa kolam-kolam pemeliharaan. Sistem ini dikenal sebagai sistem kultur semi alami. Produksi semi alami lainnya juga dilakukan di danau Twin Taung Myanmar yang dimulai sejak tahun 1984.
Perkembangan selanjutnya mengarah kepada sistem intensif karena isu pencemaran sumber air menyebabkan keamanan produk hasil budidaya semi alami mulai ditinggalkan. Budidaya masal dalam skala komersial berkembang di 22 negara dengan jumlah produksi sebesar 41.570 ton setara dengan US$ 16.6 juta. Beberapa negara produsen utama Spirulina adalah China, Amerika, Taiwan, dan Thailand. Sistem budidaya massal dilakukan dengan pemeliharaan pada kolam terbuka yang dangkal dan dilengkapi dengan sistem pemutar massa air sehingga tercipta aliran air untuk menjamin terjadinya pengadukan Spirulina dalam kolam (Gambar 5b). Sistem budidaya massal skala industri membutuhkan input seperti cahaya, oksigen, suhu, dan nutrisi secara intensif yang seringkali membutuhkan biaya besar (FAO, 2008).
Selain budidaya skala massal berorientasi komersial, budidaya tradisional dengan skala desa telah berkembang di berbagai negara. Sistem budidaya tersebut umumnya dikelola secara mandiri oleh masyarakat dan menjadi solusi dalam pemenuhan gizi bagi masyarakat yang umumnya tergolong dalam kategori miskin. Negara-negara yang mengembangkan sistem ini antara lain India dan beberapa negara miskin di Afrika seperti Chad dan Togo (Henrikson, 2009). Pengembangan Spirulina secara tradisional di daerah Tamil Nadu, India bagian Selatan dilaksanakan dengan dasar pemikiran bahwa solusi terbaik menaggulangi kekurangan gizi di daerah miskin adalah malalui kemandirian masyarakat. Langkah nyata yang dilakukan pemerintah India adalah dengan membangun kolam-kolam kecil di pekarangan dengan skala desa dan memberdayakan kaum perempuan sebagai pengelola (Gambar 5c). Program ini terbukti berhasil memerangi kekurangan vitamin A dan kondisi defisiensi imun (Seshadri, 1993).
Peningkatan penggunaan Spirulina sp. di berbagai bidang dalam skala industri mengakibatkan tingkat konsumsi Spirulina sp. meningkat dari tahun ke tahun. Meskipun demikian, permintaan yang besar ternyata tidak diimbangi dengan peningkatan produksi Spirulina sp.. Kondisi tersebut terjadi akibat produktivitas budidaya Spirulina sp. yang cenderung masih rendah. Solusi permasalahan tersebut adalah melalui pengembangan teknik kultur agar produktivitas dan kualitas kultur Spirulina sp. dapat ditingkatkan. Hingga saat ini, berbagai penelitian dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan produksi biomassa Spirulina sp. yang antara lain mencakup pengembangan teknik kultur dalam berbagai skala produksi, optimasi kondisi lingkungan kultur, dan uji galur Spirulina sp. (Reinehr dan Costa, 2006; Vonshak dan Tomaselli, 2000).
No comments