AGROFORESTRY, UPAYA KONSERVASI TANAH DAN AIR DALAM PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI
Perusakan lingkungan di
Indonesia terus menunjukkan dampaknya. Data terbaru Kementerian Negara
Lingkungan Hidup menunjukkan, puluhan daerah aliran sungai atau DAS masuk
kategori kritis. Data dalam buku laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia
(SLHI) tahun 2006 itu sekaligus juga diartikan kondisi ke-60 DAS
memprihatinkan. "Beberapa parameter daerah aliran sungai itu berarti di
bawah standar," kata Kepala Bidang Sungai Deputi III Menteri Negara
Lingkungan Hidup Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan
Pengendalian Kerusakan Lingkungan Hermono Sigit di Jakarta. (Kompas, 2007)
Dampak negatif yang
ditimbulkan oleh kerusakan DAS tersebut sangat merugikan kehidupan penduduk,
seperti banjir, kekeringan, erosi, sedimentasi, menurunnya kesuburan tanah, produksi
pertanian menurun, dan sebagainya. Kerusakan DAS tersebut perlu segera
ditangani secara komprehensif melalui perencanaan pengelolaan DAS yang baik
sehingga kerusakan lingkungan dapat segera diminimumkan dan pada gilirannya
dapat memberikan peningkatan kualitas lingkungan dan kesejahteraan penduduk.
Bagian hulu adalah zona
terpenting yang perlu diperhatikan dalam upaya pelestarian Daerah Aliran
sungai. Pengelolaan sumberdaya alam di daerah ini akan berdampak pada kualitas
tanah dan air sekitar DAS tersebut. Usaha-usaha pertanian disini haruslah
diupayakan mengadopsi teknologi-tenologi yang mangacu pada prinsip-prinsi
konservasi, karena perubahan vegetasi seperti keterbukaan lahan, maka akan
berdampak kepada peningkatan erosi, dan dampak-dampak lain yang berkaitan
dengan degradasi lahan.
Menurut Zulrasdi et, al (2005) Kerusakan daerah aliran sungai sangat erat hubungannya dengan kelestarian
hutan di daerah hulu sebagai daerah tangkapan
hujan.
Apabila hutan mengalami kerusakan, maka
dapat dipastikan terjadi banjir pada daerah aliran
sungai. Untuk itu berusaha tani di daerah DAS, harus diikuti konservasi lahan.
Agar kelestarian sumber daya alam dan
keserasian ekosistem
dapat memberikan manfaat yang berkesinambungan maka pengelolaan DAS harus dilakukan sebaik mungkin, yang meliputi :
1.
Pengelolaan sumber daya alam yang dapat
diperbaharui
2.
Kelestarian dan keserasian
ekosistem (lingkungan hidup)
3.
Pemenuhan kebutuhan
manusia yang berkelanjutan
4.
Pengendalian hubungan timbal balik antara
sumber daya alam dengan manusia
Usaha pokok
dalam pengawetan tanah dan air meliputi
(Zulrasdi et, al. 2005):
1. Pengelolaan lahan
• Sesuai kemampuan lahan
• Mengembalikan sisa-sisa tanaman ke dalam tanah
• Melindungi lahan dari ancaman erosi dengan menanam tanaman
penutup tanah
• Penggunaan mulsa.
2. Pengelolaan Air
Pengelolaan air adalah usaha-usaha
pengembangan sumberdaya air dalam hal :
• Jumlah air yang memadai
• Kwalitas air
• Tersedia air sepanjang tahun
3. Pengelolaan Vegetasi
Pengelolaan vegetasi
pada hutan tangkapan
air maupun pemeliharaan vegetasi sepanjang aliran sungai, dapat ditempuh dengan cara:
• Penanaman dengan tanaman berakar serabut seperti: bambu yang sangat dianjurkan di pinggiran sungai, kemudian diikuti dengan rumput makanan ternak seperti: Rumput
gajah, Rumput Setaria, Rumput Raja, dan lain-lain sebagainya. Penanaman
ini dimaksudkan untuk penghalang terjadinya erosi pada tanah.
• Penanaman tanaman semusim untuk lahan yang tidak memiliki kemiringan
• Pembuatan teras. Bila pada lahan tersebut terdapat kemiringan, maka perlu dibuat teras.
4. Usaha Tani Konservasi
Usaha tani konservasi adalah penanaman
lahan dengan tanaman pangan serta tanaman
yang berfungsi untuk
mengurangi erosi (aliran permukaan) dan mempertahankan kesuburan tanah.
Prinsip usaha tani
konservasi :
• Mengurangi sekecil mungkin aliran air permukaan dan meresapkan airnya sebesar mungkin
ke dalam tanah.
• Memperkecil
pengaruh negatif air hujan yang jatuh pada permukaan tanah
• Memanfaatkan semaksimal sumber daya alam
dengan memperhatikan kelestarian.
Sistim pengelolaan lahan
dengan pendekatan konservasi difokuskan pada bentuk upaya konservasi tanah dan
air guna penanggulangan erosi permukaan dan menjaga hilangnya kesuburuan tanah.
Tanpa adanya teknik-teknik penanaman yang menitik beratkan pada konservasi,
maka akan semakin banyak lahan yang kritis, dan hanya dapat dikelola dalam
jangka pendek, sementara untuk jangka panjang, produktifitasnya akan menurun.
Lahan kritis adalah lahan
yang karena tidak sesuai penggunaan tanah dan kemampuannya, telah mengalami
atau dalam proses kerusakan fisik-kimia-biologi, yang akhirnya membahayakan
fungsi hidro-orologi, produksi pertanian, pemukiman dan kehidupan sosial
ekonomi dari daerah lingkungan pengaruhnya. Lahan kritis dan marjinal di
Indonesia mencapai 43 juta ha, diantaranya 20 juta ha kritis hidroorologisnya
dan setiap tahunnya masih terus bertambah (Soewandito, et al 2002).
Untuk memperbaiki kondisi
lahan yang telah rusak, maka dapat dilakukan upaya konservasi tanah, dengan
rekayasa-rakayasa teknis. Namun upaya konservasi tanah dan air ini dalam
memperbaiki serta meningkatkan produkstifitas lahan, haruslah benar-benar tepat
sesuai dengan kondisi lahan pemilihan vegatasi serta iklim.
Menurut
Sinukaban (1995), seperti yang dikutip Marwah (2001), dalam sistem usahatani
konservasi akan diwujudkan ciri-ciri sebagai berikut :
1. Produksi
usahatani cukup tinggi sehingga petani tetap bergairah melanjutkan usahanya
2. Pendapatan
petani yang cukup tinggi sehingga petani dapat mendisain masa depan keluarganya
dari pendapatan usahataninya.
3. Teknologi
yang diterapkan baik teknologi produksi maupun teknologi konservasi dapat
diterima dengan senang hati dan diterapkan sesuai kemampuan petani sendiri
sehingga sistem usahatani tersebut dapat diteruskan tanpa intervensi dari luar.
4. Komoditi
yang diusahakan cukup beragam, sesuai kondisi biofisik, sosial dan ekonomi
5. Erosi
lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransikan sehingga produksi yang tinggi tetap
dapat dipertahankan atau ditingkatkan dengan fungsi hidrologis tetap
terpelihara dengan baik.
6. Sistem
penguasaan/pemilikan lahan dapat menjamin keamanan investasi jangka panjang dan
menggairahkan petani untuk tetap berusahatani.
Ada beberapa teknologi
untuk merehabilitasi lahan dalam kaitannya
dengan pembangunan yang berkelanjutan (Sinukaban, 2003) dalam Suhardi (2003)
yaitu :
1. Agronomi yang meliputi teknis agronomis seperti TOT, minimum tillage, countur farming, mulsa,
pergiliran tanaman (crop rotation),
pengelolaan residu
tanaman, dll.
2. Vegetatif berupa agroforestry, alley cropping, penanaman rumput.
3. Struktur/konstruksi yaitu bangunan konservasi seperti teras, tanggul, cek dam,
Saluran, dll.
4. Manajemen berupa
perubahan penggunaan lahan.
Agroforrestry merupakan
suatu konsep yang dianggap tepat untuk memadukan konsep-konsep usaha tani dalam
rangka peningkatan ekonomi dan konservasi.
Agroforestry
sebagai suatu Sistim Pengelolaan Lahan
Pengertian Agroforestry
Hudges (2000) dan Koppelman
dkk.,(1996) mendefinisikan Agroforestry sebagai bentuk menumbuhkan dengan
sengaja dan mengelola pohon secara bersama-sama dengan tanaman pertanian dan
atau makanan ternak dalam sistem yang bertujuan menjadi berkelanjutan secara
ekologi, sosial dan ekonomi. Secara sederhana adalah menanam pohon dalam sistem
pertanian. (Sa’ad, 2002)
Reijntjes, (1999),
menyatakan Agroforestry sebagai pemanfaatan tanaman kayu tahunan secara seksama
(pepohonan, belukar, palem, bambu) pada suatu unit pengelolaan lahan yang sama
sebagai tanaman yang layak tanam, padang rumput dan atau hewan, baik dengan
pengaturan ruang secara campuran atau ditempat dan saat yang sama maupun secara
berurutan dari waktu ke waktu.(Sa’ad, 2002)
King and
Chandler, (1978) dalam Andayani, (2005) mendefinisikan agroforestry adalah ;
Suatu system pengelolaan lahan yang lestari untuk meningkatkan hasil, dengan
cara memadukan produksi hasil tanaman pangan (termasuk hasil pohon-pohonan)
dengan tanaman kehutanan dan/atau kegiatan peternakan baik secara bersama-sama
maupun berurutan pada sebidang lahan yang sama, dan menggunakan cara-cara
pengelolaan yang sesuai dengan pola kebudayaan penduduk setempat.
King (1978)
dan Koppelman dkk., (1996) seperti yang dikutip Sa’ad (2002) menyebutkan bahwa
sistem agroforestry dapat dikelompokkan menurut struktur dan fungsi,
sebagaimana agroekologi dan adaptasi lingkungan, sifat sosio ekonomi, aspek
budaya dan kebiasaan (adat), dan cara pengelolaannya.
Implementasi
Sistem Agroforestry
Ada beberapa
cara klasifikasi agroforestry diantaranya : berdasarkan kombinasi komponen
pohon, tanaman, padang rumput/makanan ternak dan komponen lain yang ditemukan
dalam agroforestry (Sa’ad 2002)
1. Agrosilviculture
: Campuran tanaman dan pohon, dimana penggunaan lahan secara sadar untuk memproduksi
hasil-hasil pertanian dan kehutanan.
2. Silvopastoral
: Padang rumput/makanan ternak dan pohon, pengelolaan lahan hutan untuk memproduksi
hasil kayu dan sekaligus memelihara ternak.
3. Agrosilvopastoral
: tanaman, padang rumput/makanan ternak dan pohon, pengelolaan lahan hutan
untuk memproduksi hasil pertanian dan kehutanan secara bersamaan dan sekaligus
memelihara hewan ternak.
4. Sistem lain ,
yang meliputi :Silvofishery : pohon dan ikan Apiculture : pohon dan lebah Sericulture : pohon dan ulat sutera
Selain praktek-praktek
sistem agroforestry diatas Marseno (2004), juga menyajikan bentuk lain sistem
agroforestry yang berbasis pelestarian lingkungan yaitu ;
1. Riperian
Buffer Forest (Hutan Penyangga tepi sungai) ; fungsinya menjaga kondisi alami
di sepanjang sungai, menjaga erosi dan meningkatkan biodiversitas. Sistim
penyangga tidak hanya untuk ekosistim tepi sungai, namun juga memberikan
perlindungan terhadap pengeolahan tanah disekitarnya.
2.
Windbreaks
Fungsinya untuk
melindungi tanaman-tanaman pertanian yang sensitive terhadap angina seperti
gandum dan sayuran (gambar.5). Pola-pola ini hampir menyerupai pola penanaman
dalam agroforestry yaitu trees along
border yaitu penanaman tanaman kehutanan di sekitar tanama pertanian (Sabarnurdin,2004)
Menurut Guru Besar Fakultas
Teknologi Pertanian UGM, Prof Dr. Ir. Muhjidin Mawardi MEng, bahwa terdapat
paling tidak empat faktor utama yang menentukan keberhasilan rekayasa
konservasi tanah dan air, yaitu sifat-sifat fisik tanah dan lahan, sifat hujan,
interaksi antara hujan dengan tanah dan lahan yang menghasilkan air limpasan
permukaan dan infiltrasi, serta simpanan air dalam tanah. (Ujianto,2006).
Agroforestry dalam konservasi
tanah dan air adalah bagaimana pengaruh kondisi vegetasi suatu hamparan lahan
didalam mengatur tata air memperbaiki kesuburan lahan. Bagaimana perpaduan pola
tanam dan kolaborasi antar macam kegiatan ekonomi yang berbasis agroforestry yang
mengarah perbaikan kondisi lingkungan, sehingga manfaat multi fungsi dapat dirasakan.
Pengaruh tutupan
pohon terhadap aliran air adalah dalam
bentuk (Noordwijk,
et al. 2004 ) :
1.
Intersepsi air hujan. Selama kejadian hujan, tajuk pohon dapat mengintersepsi dan menyimpan sejumlah air hujan dalam
bentuk lapisan tipis
air.
2.
(waterfilm) pada permukaan
daun dan batang
yang
selanjutnya akan mengalami evaporasi
sebelum jatuh ke tanah. Banyaknya air yang dapat diintersepsi dan dievaporasi tergantung
pada indeks luas daun (LAI),
karakteristik permukaan daun, dan karakteristik hujan. Intersepsi merupakan komponen penting jika jumlah curah hujan rendah, tetapi dapat diabaikan jika curah
hujan tinggi. Apabila curah hujan
tinggi, peran intersepsi
pohon penting dalam kaitannya dengan pengurangan banjir.
3.
Daya pukul air hujan. Vegetasi dan lapisan seresah melindungi permukaan tanah dari pukulan langsung
tetesan air hujan yang dapat menghancurkan agregat tanah, sehingga
terjadi pemadatan tanah. Hancuran
partikel tanah akan menyebabkan penyumbatan pori tanah makro
sehingga menghambat infiltrasi air tanah,
akibatnya limpasan permukaan akan meningkat. Peran lapisan seresah dalam melindungi permukaan tanah sangat dipengaruhi oleh
ketahanannya terhadap pelapukan; seresah
berkualitas tinggi (mengandung hara, terutama N tinggi) akan mudah melapuk sehingga fungsi
penutupan permukaan tanah
tidak bertahan lama.
4.
Infiltrasi air. Proses infiltrasi tergantung pada struktur
tanah pada lapisan permukaan dan
berbagai lapisan dalam profil tanah. Struktur tanah juga dipengaruhi oleh aktivitas biota yang sumber energinya tergantung kepada bahan organic (seresah di permukaan, eksudasi organik oleh akar, dan akar-akar yang mati). Ketersediaan makanan bagi biota (terutama cacing tanah), penting untuk
mengantisipasi adanya proses peluruhan
dan penyumbatan pori makro tanah.
5.
Serapan air. Sepanjang tahun tanaman menyerap air dari berbagai lapisan
tanah untuk mendukung proses transpirasi pada permukaan
daun. Faktor– faktor yang mempengaruhi jumlah serapan air oleh pohon adalah fenologi pohon, distribusi akar dan respon fisiologi
pohon terhadap cekaman
parsial air tersedia. Serapan air oleh pohon diantara kejadian hujan akan mempengaruhi
jumlah air yang dapat disimpan dari kejadian hujan berikutnya,
sehingga selanjutnya akan mempengaruhi proses infiltrasi dan aliran
permukaan. Serapan air pada musim kemarau, khususnya
dari lapisan tanah bawah akan
mempengaruhi jumlah air tersedia untuk ‘aliran
lambat’ (slow flow).
6.
Drainase lansekap. Besarnya drainase suatu lansekap (bentang lahan) dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara
lain kekasaran permukaan tanah, relief permukaan tanah yang memungkinkan air tinggal di permukaan tanah lebih lama sehingga mendorong terjadinya
infiltrasi, tipe saluran yang terbentuk akibat aliran permukaan yang dapat memicu
terjadinya ‘aliran cepat air
tanah’ (quick flow).
Peran Agroforestry dalam konteks hidrologi lebih pada skala Lansekap (Widianto,2004)
:
1. Infiltrasi
Ã
Peresapan
2. Evapotranspirasi
3. Penyaringan
(filter) sedimen, hara
4. Limpasan
permukaan Ã
Banjir
5. Menjaga
base-flow Ã
Kekeringan
Kesuburan
tanah adalah kemampuan tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman, pada kondisi
iklim dan lingkungan yang sesuai. Untuk mempertahankan produksi tetap
lestari, maka cara untuk memelihara atau mempertahankan kesuburan adalah dengan
memciptakan penggunaan lahan dalam kondisi ekosistem alami (Barrow, 1991, cit
Maylinda et al, 2003).
Menurut Sitanala Arsyad
(1989), konservasi tanah adalah penempatan setiap bidang tanah pada cara
penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukkannya
sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah.
Konservasi tanah mempunyai hubungan yang erat dengan konservasi air. (Beydha,
2002)
Keberlanjutan sistem
penggunaan lahan sangat tergantung pada fleksibilitasnya dalam keadaan
lingkungan yang terus berubah. Adanya keanekaragaman sumberdaya genetik yang
tinggi pada tingkat usahatani akan menunjang fleksibilitas ini (Reijntjes,
1999).
Beberapa tindakan mendekati
sasaran pertanian berkelanjutan (Padmowijoto, 2004);
1. Lebih mendekati pada proses alami, seperti siklus hara, dan fixasi N atmosfer.
2. Mengurangi penggunaan input eksternal yang tidak bisa diperbarui, yang potensial merusak lingkungan atau mengancam kesehatan petani dan konsumen.
3. Lebih produktif dalam menggunakan potensi
biologi dan genetik tanaman dan species
ternak.
4. Produksi lebih menguntungkan dan efisien dengan menekankan pada
manajemen usaha secara integrasi, dan konservasi tanah, air, energi dan sumber
biologi.
Menurut FAO (1989), agroforestri
merupakan suatu sistem penggunaan lahan yang tepat untuk mendukung pertanian
berkelanjutan, karena disamping memiliki konstribusi produksi yang nyata dan
beragam, juga fungsi konservatif terhadap lingkungan dan keadaan sosial
sehingga menjamin ekonomi yang lebih luas dan keamanan pangan lebih tinggi.
Agroforestry pada dasarnya
adalah pola pertanaman yang memanfaatkan sinar matahari dan tanah yang
`berlapis-lapis` untuk meningkatkan produktivitas lahan. Ambil contoh berikut
ini. Pada sebidang tanah, seorang petani menanam sengon (Paraserianthes
falcataria) yang memiliki tajuk (canopy) yang tinggi dan luas. Di
bawahnya, sang petani menanam tanaman kopi (Coffea spp) yang memang
memerlukan naungan untuk berproduksi. Lapisan terbawah di dekat permukaan tanah
dimanfaatkan untuk menanam empon-empon atau ganyong (Canna edulis) yang
toleran/tahan terhadap naungan. Bisa dimengerti bahwa dengan menggunakan pola
tanam agroforestry ini, dari sebidang lahan bisa dihasilkan beberapa komoditas
yang bernilai ekonomi. Akan tetapi sebenarnya pola tanam agroforestry sendiri
tidak sekedar untuk meningkatkan produktivitas lahan, tetapi juga melindungi
lahan dari kerusakan dan mencegah penurunan kesuburan tanah melalui mekanisme
alami. Tanaman kayu yang berumur panjang diharapkan mampu memompa zat-zat hara
(nutrient) di lapisan tanah yang dalam, kemudian ditransfer ke permukaan
tanah melalui luruhnya biomasa (Budiadi,2005).
Manfaat
Lingkungan yang dapat diperoleh dari sistem Agroforestry (Sabarnurdin,
2004) ;
1. Mengurangi
tekanan terhadap hutan, sehingga fungsi kawasan hutan tidak terganggu (tata
air, keanekaragaman hayati dll);
2. Lebih efisien
dalam recicling unsur hara melalui pohon berakar dalam di lokasi tsb.;
3. Perlindungan
yang lebih baik terhadap sistem ekologi daerah hulu
DAS;
4. Mengurangi
aliran permukaan, pencucian hara dan erosi tanah ;
5. Memperbaiki
iklim mikro, mengurangi suhu permukaan tanah, mengurangi evapotranspirasi
karena kombinasi mulsa dari tanaman setahun/semusim dan naungan pohon;
6. Meningkatkan
hara tanah dan struktur tanah melalui penambahan yang kontinyu hasil proses
dekomposisi bahan organik ;
Dari teori-teori yang
dikemukakan diatas, dapat diartikan bahwa sistem agroforestry cukup flexible
untuk diterapkan di bagian hulu sungai yang mengalami kekritisan lahan, dalam
rangka pemulihan kondisi lahan tersebut. Hanya yang perlu diatur adalah ;
1. Pemilihan
perpaduan atau kombinasi sistem agroforestry yang tepat yang disesuaikan dengan
karakteristik lahan.
2. Pemilihan
jenis yang tepat didalam rangka pengembalian kesuburan tanah dan terbentuknya
kembali sistim hidrologi lahan.
3. Upaya
pembentukan strata yang tepat dalam rangka rekayasa konservasi tanah dan air,
tanpa mengeyampingkan fungsi ekonomi dari kegiatan agroforestry tersebut.
Pemillihan
Jenis Tanaman, dan Perpaduan Kegiatan Dalam Agroforestry terkait upaya
konservasi
Peran
agroforestry dalam mengatasi lahan yang marginal, Padmowijoto (2004),
menyebutkan bahwa tanaman leucaena (lamtoro) yang ditanam rapat dengan jarak
antara baris satu meter, mampu
menghasilkan pupuk hijau sebanyak 120 ton/ha/tahun, sehingga dapat memberikan 1000 kg nitrogen,
200 kg asam fosfat dan 800 kg potasium, berturut-turut setara dengan 100 sak
(50 kg) ammonium sulfat, 20 sak (50 kg) super fosfat dan 24 sak (50 kg)
potasium muriate Fixaksi n atmosfer menambah kesuburan, murah dan tidak
mengganggu lingkungan. Penambahan pupuk hijau gliricidia maculata meningkatkan
kandungan phosphorus sekitar 26-37% pada berbagai tipe tanah serta meningkatkan
N, Fe dan Mn.
Akar legume
dalam sistem alley cropping (penanaman
sistem jalur) berfungsi sebagai pompa mineral. Batang legume yang berada diatas
tanah dalam bentuk alley cropping mampu menahan
run off dan mampu menurunkan besaran erosi tanah miring dari 96,9 ton/ha menjadi hanya 0,8 ton/ha dan
setelah tiga tahun program berjalan, balance hara tanah jadi positif artinya
lebih banyak hara yang kembali kedalam tanah dibanding yang hilang.
Menurut
Oosterling (1927), yang berperan langsung bukanlah keadaan tegakan hutan,
melainkan kemampuan serasah menyerap air dan kesarangan tanah hutan. Meskipun
hutan berada dalam keadaan utuh, akan tetapi seresah tidak terbentuk atau
hilang dan tanah bersifat mampat, penyaluran permukaan pada waktu hujan deras
tetap besar (Notohadiprawiro,1981).
Dengan demikian
pemilihan jenis sangat diperlukan didalam perpaduan tanaman pada sistem
agroforestry. Kombinasi agroforestry dalam upaya konservasi lebih di
konsentrasikan pada komposisi jenis, dan strata tajuk yang dibentuk. Hal ini
terkait dengan penutupan lahan yang sangat berpengaruh terhadap hidrologi suatu
lahan.
Selain itu
dalam rangka mengembalikan kesuburan tanah maka diperlukan jenis-jenis dan pola
perpaduan kegiatan yang mampu meningkatkan produktifitas lahan, seperti tanaman
legume yang mampu mengikat N di udara, serta sistem agrosilvopasoral (kombinas tanaman pertanian, kehutanan dan
peternakan) yang dapat meningkatkan unsur hara tanah, dan porositas tanah yang memudahkan terjadinya infiltrasi, sehinggga
memperbaiki sistem hidrologi.
Kesimpulan dan Saran
1. Pengelolaan sumberdaya alam di bagian hulu DAS telah menyebabkan kualitas lahan menurun (banyaknya lahan kritis dan perlu upaya perbaikan)
2. Upaya untuk memperbaiki kualitas DAS dapat diterapkan bentuk pertanian berkelanjutan melalui sistem agroforestry dengan kombinasi berbagai kegiatan usaha.
Agroroforestry dengan input teknologi yang lain
dan didukung oleh kearifan lokal (indigeneous
knowledge) dapat mengembalikan kesuburan dan kondisi tata air suatu
lingkungan DAS dengan mempertimbangkan perpaduan kegiatan agroforestry dan
pemilihan jenis tanaman, tanpa mengabaikan tatanan sosial dan ekonomi
masyarakat
No comments