Pengembangan Agroforestri
Agroforestri adalah istilah
kolektif untuk sistem-sistem dan teknologi-teknologi penggunaan lahan, yang
secara terencana dilaksanakan pada satu unit lahan dengan mengkombinasikan
tumbuhan berkayu (pohon, perdu, palem, bambu dll.) dengan tanaman pertanian
dan/atau hewan (ternak) dan/atau ikan, yang dilakukan pada waktu yang bersamaan
atau bergiliran sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar
berbagai komponen yang ada. Sebagaimana pemanfaatan lahan lainnya, agroforestri
dikembangkan untuk memberi manfaat kepada manusia atau meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat. Agroforestri diharapkan dapat memecahkan berbagai masalah pengembangan pedesaan dan seringkali sifatnya mendesak. Agroforestri utamanya diharapkan dapat membantu mengoptimalkan hasil suatu bentuk penggunaan lahan secara berkelanjutan guna menjamin dan memperbaiki kebutuhan hidup masyarakat.
masyarakat. Agroforestri diharapkan dapat memecahkan berbagai masalah pengembangan pedesaan dan seringkali sifatnya mendesak. Agroforestri utamanya diharapkan dapat membantu mengoptimalkan hasil suatu bentuk penggunaan lahan secara berkelanjutan guna menjamin dan memperbaiki kebutuhan hidup masyarakat.
Untuk daerah tropis, beberapa masalah (ekonomi dan ekologi) berikut menjadi mandat agroforestri dalam pemecahannya (von Maydell, 1986):
a.Menjamin dan memperbaiki kebutuhan bahan
pangan:.
b.Memperbaiki penyediaan energi lokal, khususnya
produksi kayu bakar: Suplai yang lebih baik untuk memasak dan pemanasan rumah
(catatan: yang terakhir ini terutama di daerah pegunungan atau berhawa dingin)
c.Meningkatkan, memperbaiki secara kualitatif dan
diversifikasi produksi bahan
d.Memperbaiki kualitas hidup daerah pedesaan,
khususnya pada daerah dengan persyaratan hidup yang sulit di mana masyarakat miskin banyak dijumpai:
e.Memelihara dan bila mungkin memperbaiki
kemampuan produksi dan jasa lingkungan setempat.
Arah Pengembangan Agroforestri
Petani agroforestri senantiasa
menghadapi berbagai hambatan dan tantangan dalam menjalankan sistem usaha
taninya, baik yang berasal dari dalam maupun yang dari luar sistem. Hambatan
dari dalam misalnya yang terkait dengan sistem produksi seperti kesuburan tanah
dan ketersediaan tenaga kerja dan modal. Hambatan dari luar misalnya fluktuasi harga produk (harga yang rendah).
Tantangan dan hambatan tersebut mengancam keberlanjutan sistem agroforestri.
Oleh karena itu perlu ada inovasi teknologi yang bisa mengatasi berbagai
hambatan yang dihadapi oleh petani agroforestri, supaya agroforestri bisa
menjadi salah satu prioritas pilihan petani.
Pengembangan agroforestri, menurut Raintree (1983) meliputi tiga aspek, yaitu (a)meningkatkan produktivitas sistem agroforestri, (b)mengusahakan keberlanjutan sistem agroforestri yang sudah ada (c)penyebarluasan sistem agroforestri sebagai alternatif atau pilihan dalam penggunaan lahan yang memberikan tawaran lebih baik dalam berbagai aspek (adoptability).
Pengembangan agroforestri, menurut Raintree (1983) meliputi tiga aspek, yaitu (a)meningkatkan produktivitas sistem agroforestri, (b)mengusahakan keberlanjutan sistem agroforestri yang sudah ada (c)penyebarluasan sistem agroforestri sebagai alternatif atau pilihan dalam penggunaan lahan yang memberikan tawaran lebih baik dalam berbagai aspek (adoptability).
Produktivitas
Produk yang dihasilkan sistem agroforestri dapat dibagi menjadi dua kelompok,
yakni (a) yang langsung menambah penghasilan petani, misalnya makanan, pakan
ternak, bahan bakar, serat, aneka produk industri, dan (b) yang tidak langsung
memberikan jasa lingkungan bagi masyarakat luas, misalnya konservasi tanah dan
air, memelihara kesuburan tanah, pemeliharaan iklim mikro, pagar hidup, dsb.
Peningkatan produktivitas sistem
agroforestri diharapkan bisa berdampak pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan
petani dan masyarakat desa.
Peningkatan
produktivitas sistem agroforestri dilakukan dengan menerapkan perbaikan
cara-cara pengelolaan sehingga hasilnya bisa melebihi yang diperoleh dari
praktek sebelumnya, termasuk jasa lingkungan yang dapat dirasakan dalam jangka
panjang. Namun demikian, keuntungan (ekonomi) yang diperoleh dari peningkatan
hasil dalam jangka pendek seringkali menjadi faktor yang menentukan apakah
petani mau menerima dan mengadopsi cara-cara pengelolaan yang baru. Perbaikan
(peningkatan) produktivitas sistem agroforestri dapat dilakukan melalui
peningkatan dan/atau diversifikasi hasil dari komponen yang bermanfaat, dan
menurunkan jumlah masukan atau biaya produksi. Contoh upaya penurunan masukan
dan biaya produksi yang dapat diterapkan dalam sistem agroforestri: penggunaan
pupuk nitrogen dapat dikurangi dengan pemberian pupuk hijau dari tanaman
pengikat nitrogen sistem agroforestri berbasis pohon ternyata memerlukan jumlah
tenaga kerja yang lebih rendah dan tersebar lebih merata per satuan produk
dibandingkan sistem perkebunan monokultur.
Keberlanjutan
Sasaran keberlanjutan sistem agroforestri tidak bisa terlepas dari pertimbangan
produktivitas maupun kemudahan untuk diadopsi dan diterapkan. Sistem
agroforestri yang berorientasi pada konservasi sumber daya alam dan
produktivitas jangka panjang ternyata juga merupakan salah satu daya tarik bagi
petani. Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan petani pada saat mereka
merencanakan untuk menerapkan upaya konservasi, misalnya kepastian status
lahan, pendapatan dalam jangka pendek, dan sebagainya. Ada pendapat yang
menyarankan agar petani diberi insentif untuk mendorong supaya mereka mau
menerapkannya. Seringkali insentif ini diwujudkan dalam bentuk subsidi bagi
petani (khususnya di negara maju). Di negara berkembang, insentif tersebut
diberikan dalam bentuk bantuan teknologi seperti teknikteknik konservasi lahan.
Dalam
sistem agroforestri terdapat peluang yang cukup besar dan sangat terbuka untuk
melakukan pendekatan yang memadukan sasaran keberlanjutan untuk jangka panjang
dengan keuntungan produktivitas dalam jangka pendek dan menengah.
Kemudahan untuk diadopsi Kegagalan penyebarluasan praktek agroforestri di
kalangan petani seringkali disebabkan oleh kesalahan strategi, bukan karena
keunggulan komparatif sistem itu sendiri. Oleh sebab itu alasan bahwa petani
sangat konservatif dan ketidak-berhasilan penyuluh sebenarnya kurang tepat.
Sebuah pendekatan yang lebih konstruktif yang bisa dilakukan adalah dengan
memikirkan permasalahan dalam penyusunan rancangan dan memasukkan pertimbangan
kemudahan untuk diadopsi sedini mungkin (sejak tahap rancangan). Hal ini tidak berarti
bahwa kedua alasan di atas tidak benar, melainkan lebih ditekankan kepada
proses penyuluhan dan adopsinya yang sangat kompleks. Peluang untuk berhasil
akan lebih besar apabila proses itu dimulai dengan dasar teknologi yang dapat
diadopsi. Salah satu cara terbaik adalah dengan melibatkan secara aktif pemakai
(user) teknologi tersebut (petani agroforestri) dalam proses pengembangan
teknologi sejak dari tahap penyusunan rancangan, percobaan, evaluasi dan
perbaikan rancangan inovasi teknologi.Perlu dipahami bahwa agroforestri
bukanlah jawaban dari setiap permasalahan penggunaan lahan, tetapi keberagaman
sistem agroforestri merupakan koleksi opsi pemecahan masalah yang dapat dipilih
oleh petani sesuai dengan keinginannya. Apa yang dibutuhkan adalah cara yang
sistematis untuk memadukan (matching) kebutuhan teknologi agroforestri dengan
potensi sistem penggunaan lahan yang ada.
Sasaran Pengembangan Agroforestri
Pengertian sistem agroforestri mencakup upaya untuk memperoleh hasil atau
produksi dari kombinasi tanaman (semusim), pepohonan, dan/atau ternak (hewan)
secara bersama baik sekaligus atau secara bergiliran melalui pengelolaan lahan
yang terjangkau secara sosial, ekonomi dan budaya. Pengertian ini mencakup
bagaimana seharusnya sistem agroforestri dilaksanakan untuk mencapai tujuannya.
Salah satu sasaran utama dari setiap usaha pertanian termasuk agroforestri
adalah produksi yang berkelanjutan (sustainable) yang dicirikan oleh stabilitas
produksi dalam jangka panjang. Beberapa indikator terselenggaranya sistem
pertanian yang berkelanjutan adalah
(a) dapat dipertahankannya sumber daya alam sebagai penunjang produksi tanaman
dalam jangka panjang,
(b)penggunaan tenaga kerja yang cukup rendah,
(c)tidak adanya kelaparan tanah,
(d)tetap terjaganya kondisi lingkungan tanah dan
air,
(e)rendahnya emisi gas rumah kaca serta
(f)terjaganya keanekaragaman hayati (Van der
Heide et al., 1992; Tomich et al., 1998). tidak adanya kelaparan tanah pada sistem
tersebut, dapat diartikan sebagai cukupnya kandungan bahan organik tanah,
terpeliharanya kesetimbangan unsur hara, terpeliharanya struktur dan kondisi
biologi tanah serta adanya perlindungan tanaman terhadap gulma, hama dan
penyakit.
Pengembangan agroforestri meliputi berbagai
tingkatan: mikro, meso dan makro. Keberlanjutan sistem produksi usaha tani
agroforestri pada tingkatan mikro merupakan titik berat bahan kuliah ini. Namun
demikian, upaya ini tidak bisa terlepas dari tingkatan yang lebih tinggi (meso
dan makro). Kebijakan nasional, regional dan internasional melalui pemberlakuan
berbagai peraturan dan undang-undang (hukum) dapat mendorong pengembangan atau
justru menghancurkan praktek-praktek agroforestri. Produk pertanian atau
agroforestri yang dipasarkan di tingkat lokal sampai regional seringkali tidak
dapat terlepas dari pengaruh sistem yang lebih tinggi seperti perdagangan
internasional, aliran penanaman modal (investasi) dan kebijakan fiskal melalui
pajak. Pengembangan agroforestri di tingkat petani (mikro) memerlukan dukungan
kebijakan nasional maupun regional yang tepat secara terus-menerus bagi
kelembagaan keuangan, teknis, penelitian, danpemasaran.
Sistem agroforestri memiliki keluwesan dalam merespons berbagai gejolak atau
perubahan mendadak, baik fisik (iklim, hama), maupun perubahan ekonomi dan
moneter (pasar, harga). Keluwesan berbagai praktek agroforestri memungkinkan
menjadi penyangga (buffer) terhadap berbagai gejolak, paling tidak untuk
sementara waktu atau jangka pendek. Oleh karena itu sistem agroforestri
merupakan salah satu alternatif penggunaan lahan yang diharapkan mampu bersaing
dengan sistem-sistem lainnya.
No comments