KONSERVASI TANAH
A.
Pengertian
Konservasi Tanah
Konservasi tanah adalah penempatan tiap
bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah dan
memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi
kerusakan tanah. Konservasi tanah dilihat hanya sebagai control terhadap
kerusakan akibat erosi dan memelihara kesuburan tanah (Lundgren dan Nair, 1985:
Young, 1989).
Pemakaian istilah konservasi tanah
sering diikuti dengan istilah konservasi air. Meskipun keduanya berbeda tetapi
saling terkait. Ketika mempelajari masalah konservasi sering menggunakan kedua
sudut pandang ilmu konservasi tanah dan konservasi air. Secara umum, tujuan
konservasi tanah adalah meningkatkan produktivitas lahan secara maksimal,
memperbaiki lahan yang rusak/kritis, dan melakukan upaya pencegahan kerusakan
tanah akibat erosi.
Sasaran konservasi tanah meliputi
keseluruhan sumber daya lahan, yang mencakup kelestarian produktivitas tanah
dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mendukung keseimbangan ekosistem.
Penelitian tentang konservasi tanah
telah dirintis sejak zaman Belanda tahun 1911, tetapi baru mulai berkembang
pada tahun 1970-an, dengan berdirinya Bagian Konservasi Tanah dan Air, Lembaga
Penelitian Tanah, Bogor (sekarang menjadi Kelompok Peneliti Konservasi Tanah
dan Pengelolaan Air, Balai Penelitian Tanah).
Penelitian-penelitian yang dilakukan
bertujuan untuk mengetahui proses erosi mulai dari pengelupasan tanah,
pengangkutan sampai pengendapan material terangkut beserta faktor-faktor yang
mempengaruhinya serta akibat yang ditimbulkannya. Selanjutnya dilakukan pula
penelitian dasar tentang teknik-teknik pencegahan erosi. Lahan-lahan yang
diteliti sebagian besar berupa lahan dengan sifat tanah yang buruk (agregat
yang tidak stabil, aerasi buruk, permeabilitas rendah dan infiltrasi tanah
rendah, serta hara tersedia bagi tanaman rendah) dan lahan dengan kemiringan
yang curam yang rawan terhadap erosi. Lahan dengan bentuk dan sifat tanah
seperti di atas mendominasi keberadaan lahan kritis di Indonesia.
Umumnya, hasil-hasil penelitian yang
telah dicapai mampu memberikan informasi praktis dalam perencanaan teknik
konservasi tanah walaupun masih harus disempurnakan, karena sebagian besar
teknologi konservasi dihasilkan dari penelitian pada skala petak kecil.
Konservasi tanah harus mempertimbangkan
metode teknik, mekanik, dan penentuan tanaman agroforestri yang sesuai. Hal
tersebut akan dibahas selanjutnya.
B.
Metode
Konservasi Tanah
Teknik konservasi tanah di Indonesia
diarahkan pada tiga prinsip utama yaitu perlindungan permukaan tanah terhadap
pukulan butirbutir hujan, meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah seperti
pemberian bahan organik atau dengan cara meningkatkan penyimpanan air, dan
mengurangi laju aliran permukaan sehingga menghambat material tanah dan hara
terhanyut (Agus et al., 1999).
Manusia mempunyai keterbatasan dalam
mengendalikan erosi sehingga perlu ditetapkan kriteria tertentu yang diperlukan
dalam tindakan konservasi tanah. Salah satu pertimbangan yang harus disertakan
dalam merancang teknik konservasi tanah adalah nilai batas erosi yang masih
dapat diabaikan (tolerable soil loss).
Jika besarnya erosi pada tanah dengan
sifat-sifat tersebut lebih besar daripada angka erosi yang masih dapat
diabaikan, maka tindakan konservasi sangat diperlukan. Ketiga teknik konservasi
tanah secara vegetatif, mekanis dan kimia pada prinsipnya memiliki tujuan yang
sama yaitu mengendalikan laju erosi, namun efektifitas, persyaratan dan
kelayakan untuk diterapkan sangat berbeda. Oleh karena itu pemilihan teknik konservasi
yang tepat sangat diperlukan.
1. Metode
Vegetatif
Teknik
konservasi tanah secara vegetatif adalah setiap pemanfaatan tanaman/vegetasi
maupun sisa-sisa tanaman sebagai media pelindung tanah dari erosi, penghambat
laju aliran permukaan, peningkatan kandungan lengas tanah, serta perbaikan
sifat-sifat tanah, baik sifat fisik, kimia maupun biologi.
Tanaman ataupun sisa-sisa tanaman
berfungsi sebagai pelindung tanah terhadap daya pukulan butir air hujan maupun
terhadap daya angkut air aliran permukaan (runoff), serta meningkatkan
peresapan air ke dalam tanah.
Teknik konservasi tanah secara vegetatif
yang akan diuraikan dalam makalah ini adalah: penghutanan kembali (reforestation),
wanatani (agroforestry) termasuk didalamnya adalah pertanaman lorong (alley
cropping), pertanaman menurut strip (strip cropping), strip rumput (grass
strip), barisan sisa tanaman, tanaman penutup tanah (cover crop),
penerapan pola tanam termasuk di dalamnya adalah pergiliran tanaman (crop
rotation), tumpang sari (intercropping), dan tumpang gilir (relay
cropping).
Dalam penerapannya, petani biasanya
memodifikasi sendiri teknik-teknik tersebut sesuai dengan keinginan dan
lingkungan agroekosistemnya sehingga teknik konservasi ini akan terus berkembang
di lapangan. Keuntungan yang didapat dari system vegetatif ini adalah kemudahan
dalam penerapannya, membantu melestarikan lingkungan, mencegah erosi dan
menahan aliran permukaan, dapat memperbaiki sifat tanah dari pengembalian bahan
organik tanaman, serta meningkatkan nilai tambah bagi petani dari hasil
sampingan tanaman konservasi tersebut.
a. Penghutanan kembali ( Reforestation )
Penghutanan kembali (reforestation)
secara umum dimaksudkan untuk mengembalikan dan memperbaiki kondisi ekologi dan
hidrologi suatu wilayah dengan tanaman pohon-pohonan. Penghutanan kembali juga
berpotensi untuk peningkatan kadar bahan organic tanah dari serasah yang jauh
di permukaan tanah dan sangat mendukung kesuburan tanah. Penghutanan kembali
biasanya dilakukan pada lahan-lahan kritis yang diakibatkan oleh bencana alam
misalnya kebakaran, erosi, abrasi, tanah longsor, dan aktivitas manusia seperti
pertambangan, perladangan berpindah, dan penebangan hutan.
Hutan mempunyai fungsi tata air yang
unik karena mampu menyimpan air dan meredam debit air pada saat musim penghujan
dan menyediakan air secara terkendali pada saat musim kemarau (sponge effect).
Penghutanan kembali dengan maksud untuk mengembalikan fungsi tata air, efektif
dilakukan pada lahan dengan kedalaman tanah >3 m. Tanah dengan kedalaman
<3 m mempunyai aliran permukaan yang cukup tinggi karena keterbatasan kapasitas
tanah dalam menyimpan air (Agus et al., 2002). Pengembalian fungsi hutan
akan memakan waktu 20-50 tahun sampai tajuk terbentuk sempurna. Jenis tanaman
yang digunakan sebaiknya berasal dari jenis yang mudah beradaptasi terhadap
lingkungan baru, cepat berkembang biak, mempunyai perakaran yang kuat, dan
kanopi yang rapat/rindang.
Penelitian tentang kondisi biofisik
lahan sangat penting untuk menentukan jenis tanaman yang akan dipergunakan
dengan tujuan penghutanan kembali terutama untuk hutan monokultur. Beberapa tanaman
tahunan mempunyai intersepsi dan evaporasi yang tinggi sehingga akan banyak
mengkonsumsi air. Penelitian terhadap tanaman pinus (Pinus merkusii)
yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada/UGM, Institut Pertanian Bogor/IPB
dan Universitas Brawijaya/Unibraw (Priyono dan Siswamartana, 2002),
menyimpulkan bahwa tanaman pinus akan aman jika ditanam pada daerah yang mempunyai
curah hujan di atas 2.000 mm/tahun. Pada daerah yang mempunyai curah hujan
1.500-2.000 mm/tahun disarankan agar penanaman pinus dicampur dengan tanaman
lain yang mempunyai intersepsi dan evaporasi lebih rendah misalnya Puspa atau
Agatis.
Sedangkan untuk daerah yang mempunyai
curah hujan 1.500 mm/tahun atau kurang disarankan untuk tidak menanam pinus
karena akan menimbulkan kekurangan (deficit) air.
b. Wanatani ( Agroforestry )
Wanatani (agroforestry) adalah
salah satu bentuk usaha konservasi tanah yang menggabungkan antara tanaman
pohon-pohonan, atau tanaman tahunan dengan tanaman komoditas lain yang ditanam
secara bersama-sama ataupun bergantian. Penggunaan tanaman tahunan mampu
mengurangi erosi lebih baik daripada tanaman komoditas pertanian khususnya
tanaman semusim.
Tanaman tahunan mempunyai luas penutupan
daun yang relatif lebih besar dalam menahan energi kinetik air hujan, sehingga
air yang sampai ke tanah dalam bentuk aliran batang (stemflow) dan
aliran tembus (throughfall) tidak menghasilkan dampak erosi yang begitu besar.
Sedangkan tanaman semusim mampu memberikan efek penutupan dan perlindungan
tanah yang baik dari butiran hujan yang mempunyai energi perusak. Penggabungan
keduanya diharapkan dapat memberi keuntungan ganda baik dari tanaman tahunan maupun
dari tanaman semusim.
Penerapan wanatani pada lahan dengan
lereng curam atau agak curam mampu mengurangi tingkat erosi dan memperbaiki kualitas
tanah, dibandingkan apabila lahan tersebut gundul atau hanya ditanami tanaman
semusim. Secara umum proporsi tanaman tahunan makin banyak pada lereng yang
semakin curam demikian juga sebaliknya.
Tanaman semusim memerlukan pengolahan
tanah dan pemeliharaan tanaman yang lebih intensif dibandingkan dengan tanaman
tahunan. Pengolahan tanah pada tanaman semusim biasanya dilakukan dengan cara
mencangkul, mengaduk tanah, maupun cara lain yang mengakibatkan hancurnya
agregat tanah, sehingga tanah mudah tererosi. Semakin besar kelerengan suatu lahan,
maka risiko erosi akibat pengolahan tanah juga semakin besar.
Penanaman tanaman tahunan tidak
memerlukan pengolahan tanah secara intensif. Perakaran yang dalam dan penutupan
tanah yang rapat mampu melindungi tanah dari erosi. Tanaman tahunan yang
dipilih sebaiknya dari jenis yang dapat memberikan nilai tambah bagi petani
dari hasil buah maupun kayunya. Selain dapat menghasilkan keuntungan dengan
lebih cepat dan lebih besar, wanatani ini juga merupakan sistem yang sangat
baik dalam mencegah erosi tanah.
Sistem wanatani telah lama dikenal di
masyarakat Indonesia dan berkembang menjadi beberapa macam, di antaranya yaitu
pertanaman sela, pertanaman lorong, talun hutan rakyat, kebun campuran, tanaman
pelindung/multistrata, dan silvipastura.
1) Pertanaman Sela
Pertanaman sela adalah pertanaman
campuran antara tanaman tahunan dengan tanaman semusim. Sistem ini banyak dijumpai
di daerah hutan atau kebun yang dekat dengan lokasi permukiman. Tanaman sela juga
banyak diterapkan di daerah perkebunan, pekarangan rumah tangga maupun usaha
pertanian tanaman tahunan lainnya.
Dari segi konservasi tanah, pertanaman
sela bertujuan untuk meningkatkan intersepsi dan intensitas penutupan permukaan
tanah terhadap terpaan butir-butir air hujan secara langsung sehingga
memperkecil risiko tererosi. Sebelum kanopi tanaman tahunan menutupi tanah,
lahan di antara tanaman tahunan tersebut digunakan untuk tanaman semusim.
Di beberapa wilayah hutan jati daerah
Jawa Tengah, ketika pohon jati masih pendek dan belum terbentuk kanopi,
sebagian lahannya ditanami dengan tanaman semusim berupa jagung, padi gogo,
kedelai, kacang-kacangan, dan empon-empon seperti jahe (Zingiber officinale),
temulawak (Curcuma xanthorrizha), kencur (Kaemtoria galanga),
kunir (Curcuma longa), dan laos (Alpinia galanga). Pilihan teknik
konservasi ini sangat baik untuk diterapkan oleh petani karena mampu memberikan
nilai tambah bagi petani, mempertinggi intensitas penutupan lahan, membantu
perawatan tanaman tahunan dan melindungi dari erosi.
Penanaman tanaman semusim bisa
berkali-kali tergantung dari pertumbuhan tanaman tahunan. Sebagai tanaman pupuk
hijau sebaiknya dipilih dari tanaman legum seperti Leucaena leucocephala,
Glyricidia sepium, Cajanus cajan, Tephrosia candida, dan
lain sebagainya. Jarak antara tanaman semusim dengan tanaman tahunan secara
periodik dilebarkan (lahan tanaman semusim semakin sempit) dengan maksud untuk
mencegah kompetisi hara, pengaruh allelopati dari tanaman tahunan, dan kontak
penyakit.
2) Pertanaman
Lorong
Sistem pertanaman lorong atau alley
cropping adalah suatu sistem dimana tanaman pagar pengontrol erosi berupa
barisan tanaman yang ditanam rapat mengikuti garis kontur, sehingga membentuk
lorong-lorong dan tanaman semusim berada di antara tanaman pagar. Sistem ini merupakan
teknik konservasi yang cukup murah dan efektif dalam mengendalikan erosi dan
aliran permukaan serta mampu mempertahankan produktivitas tanah.
Penanaman tanaman pagar akan mengurangi
5-20% luas lahan efektif untuk budi daya tanaman sehingga untuk tanaman pagar dipilih
dari jenis tanaman yang memenuhi persyaratan di bawah ini (Agus et al.,
1999):
a)
Merupakan tanaman yang mampu
mengembalikan unsure hara ke dalam tanah, misalnya tanaman penambat nitrogen (N2)
dari udara.
b)
Menghasilkan banyak bahan hijauan.
c)
Tahan terhadap pemangkasan dan dapat
tumbuh kembali secara cepat sesudah pemangkasan.
d)
Tingkat persaingan terhadap kebutuhan
hara, air, sinar matahari dan ruang tumbuh dengan tanaman lorong tidak begitu
tinggi.
e)
Tidak bersifat alelopati (mengeluarkan
zat beracun) bagi tanaman utama.
f)
Sebaiknya mempunyai manfaat ganda
seperti untuk pakan ternak, kayu bakar, dan penghasil buah sehingga mudah diadopsi
petani.
Flemingia congesta sebagai
tanaman pagar dalam budi daya lorong
Berbagai tanaman pagar yang umumnya
adalah tanaman pohon telah diteliti dan diidentifikasi sifat-sifat
pertumbuhannya. Banyak tanaman mempunyai pertumbuhan yang cepat seperti Kaliandra
dan Glirisidia yang sangat efektif untuk digunakan sebagai tanaman
pagar
3) Talun
hutan rakyat
Talun adalah lahan di luar wilayah
permukiman penduduk yang ditanami tanaman tahunan yang dapat diambil kayu
maupun buahnya. Sistem ini tidak memerlukan perawatan intensif dan hanya dibiarkan
begitu saja sampai saatnya panen. Karena tumbuh sendiri secara spontan, maka
jarak tanam sering tidak seragam, jenis tanaman sangat beragam dan kondisi umum
lahan seperti hutan alami. Ditinjau dari segi konservasi tanah, talun hutan
rakyat dengan kanopi yang rapat dapat mencegah erosi secara maksimal juga secara
umum mempunyai fungsi seperti hutan.
4) Kebun
Campuran
Berbeda dengan talun hutan rakyat, kebun
campuran lebih banyak dirawat. Tanaman yang ditanam adalah tanaman tahunan yang
dimanfaatkan hasil buah, daun, dan kayunya. Kadang-kadang juga ditanam dengan
tanaman semusim. Apabila proporsi tanaman semusim lebih besar daripada tanaman
tahunan, maka lahan tersebut disebut tegalan. Kebun campuran ini mampu mencegah
erosi dengan baik karena kondisi penutupan tanah yang rapat sehingga butiran
air hujan tidak langsung mengenai permukaan tanah. Kerapatan tanaman juga mampu
mengurangi laju aliran permukaan. Hasil tanaman lain di luar tanaman semusim
mampu mengurangi risiko akibat gagal panen dan meningkatkan nilai tambah bagi
petani.
5) Tanaman
Pelindung
Tanaman pelindung adalah tanaman tahunan
yang ditanam di sela-sela tanaman pokok tahunan. Tanaman pelindung ini dimaksudkan
untuk mengurangi intensitas penyinaran matahari, dan dapat melindungi tanaman
pokok dari bahaya erosi terutama ketika tanaman pokok masih muda. Tanaman
pelindung ini dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
·
Tanaman pelindung sejenis yang membentuk
suatu system wanatani sederhana (simple
agroforestry). Misalnya tanaman pokok berupa tanaman kopi dengan satu jenis
tanaman pelindung misalnya: gamal (Gliricidia sepium), dadap (Erythrina
subumbrans), lamtoro (Leucaena leucocephala) atau kayu manis (Cinnamomum
burmanii).
·
Tanaman pelindung yang beraneka ragam
dan membentuk wanatani kompleks (complex agroforestry atau system multistrata).
Misalnya tanaman pokok berupa tanaman kopi dengan dua atau lebih tanaman
pelindung misalnya: kemiri (Aleurites muluccana), jengkol (Pithecellobium
jiringa), petai (Perkia speciosa), kayu manis, dadap, lamtoro,
gamal, durian (Durio zibethinus), alpukat (Persea americana),
nangka (Artocarpus heterophyllus), cempedak (Artocarpus integer),
dan lain sebagainya.
Tajuk tanaman yang bertingkat
menyebabkan sistem ini menyerupai hutan, yang mana hanya sebagian kecil air
yang langsung menerpa permukaan tanah. Produksi serasah yang banyak juga
menjadi keuntungan tersendiri dari sistem ini.
6) Silvipastura
Sistem silvipastura sebenarnya adalah
bentuk lain dari system tumpang sari, tetapi yang ditanam di sela-sela tanaman
tahunan bukan tanaman pangan melainkan tanaman pakan ternak seperti rumput
gajah (Pennisetum purpureum), rumput raja (Penniseitum purpoides),
dan lain-lain. Silvipastura umumnya berkembang di daerah yang mempunyai banyak
hewan ruminansia. Hasil kotoran hewan ternak tersebut dapat dipergunakan
sebagai pupuk kandang, sementara hasil hijauannya dapat dimanfaatkan sebagai
bahan pakan ternak. Sistem ini dapat dipakai untuk mengembangkan peternakan
sebagai komoditas unggulan di suatu daerah.
c. Strip Rumput
Teknik konservasi dengan strip rumput (grass
strip) biasanya menggunakan rumput yang didatangkan dari luar areal lahan,
yang dikelola dan sengaja ditanam secara strip menurut garis kontur untuk mengurangi
aliran permukaan dan sebagai sumber pakan ternak .
Untuk lahan yang mempunyai lereng di
atas 20% dibutuhkan tindakan konservasi lainnya seperti alley cropping atau
teras bangku. Rumput yang ditanam sebaiknya dipilih dari jenis yang berdaun vertical
sehingga tidak menghalangi kebutuhan sinar matahari bagi tanaman pokok, tidak
banyak membutuhkan ruangan untuk pertumbuhan vegetatifnya, mempunyai perakaran
kuat dan dalam, cepat tumbuh, tidak menjadi pesaing terhadap kebutuhan hara
tanaman pokok dan mampu memperbaiki sifat tanah.
Strip rumput gajah (Pennisetum
purpureum) sebagai tanaman penguat
d. Mulsa
Dalam konteks umum, mulsa adalah
bahan-bahan (sisa tanaman, serasah, sampah, plastik atau bahan-bahan lain) yang
disebar atau menutup permukaan tanah untuk melindungi tanah dari kehilangan air
melalui evaporasi. Mulsa juga dapat dimanfaatkan untuk melindungi permukan tanah
dari pukulan langsung butiran hujan sehingga mengurangi terjadinya erosi percik
(splash erosion), selain mengurangi laju dan volume limpasan permukaan
(Suwardjo, 1981). Bahan mulsa yang sudah melapuk akan menambah kandungan bahan
organik tanah dan hara.
Mulsa mampu menjaga stabilitas suhu
tanah pada kondisi yang baik untuk aktivitas mikroorganisma. Relatif rendahnya
evaporasi, berimplikasi pada stabilitas kelengasan tanah. Secara umum mulsa
berperan dalam perbaikan sifat fisik tanah. Pemanfaatan mulsa di lahan
pertanian juga dimaksudkan untuk menekan pertumbuhan gulma.
Mulsa yang diberikan sebaiknya berupa
sisa tanaman yang tidak mudah terdekomposisi misalnya jerami padi dan jagung
dengan takaran yang disarankan adalah 6 t/ha atau lebih. Bahan mulsa sebaiknya
dari bahan yang mudah diperoleh seperti sisa tanaman pada areal lahan
masing-masing petani sehingga dapat menghemat biaya, mempermudah pembuangan
limbah panen sekaligus mempertinggi produktivitas lahan.
e. Sistem pertanaman menurut strip
Penanaman menurut strip (strip
cropping) adalah system pertanaman, dimana dalam satu bidang lahan ditanami
tanaman dengan jarak tanam tertentu dan berselang-seling dengan jenistanaman
lainnya searah kontur. Misalnya penanaman jagung dalam satu strip searah kontur
dengan lebar strip 3-5 m atau 5-10 m tergantung kemiringan lahan, di lereng
bawahnya ditanam kacang tanah dengan sistem sama dengan penanaman jagung, strip
rumput atau tanaman penutup tanah yang lain.
Semakin curam lereng, maka strip yang
dibuat akan semakin sempit sehingga jenis tanaman yang berselang-seling tampak
lebih rapat. Sistem ini sangat efektif dalam mengurangi erosi hingga 70-75% (FAO,
1976) dan vegetasi yang ditanam (dari jenis legum) akan mampu memperbaiki sifat
tanah walaupun terjadi pengurangan luas areal tanaman utama sekitar 30-50%.
Sistem ini biasa diterapkan di daerah dengan topografi berbukit sampai bergunung dan biasanya dikombinasikan dengan teknik konservasi lain seperti tanaman pagar, saluran pembuangan air, dan lain-lain. Penanaman menurut strip merupakan usaha pengaturan tanaman sehingga tidak memerlukan modal yang besar.
f.
Barisan
Sisa Tanaman
Pada dasarnya, sistem barisan sisa
tanaman (trash line) ini sama dengan sistem strip. Sistem ini adalah
teknik konservasi tanah yang bersifat sementara dimana gulma/rumput/sisa
tanaman yang disiangi ditumpuk berbaris. Untuk daerah berlereng biasanya
berfungsi sebagai mulsa.
Ketersediaan bahan sisa tanaman harus
cukup banyak sehingga penumpukannya membentuk struktur yang lebih kuat. Sisa tanaman
tersebut lemah dalam menahan gaya erosi air dan akan cepat terdekomposisi
sehingga mudah hanyut. Penggunaan kayu-kayu pancang diperlukan untuk memperkuat
barisan sisa tanaman ini. Sistem ini cukup bagus untuk mempertahankan
ketersediaan hara melalui dekomposisi bahan organik dan melindungi tanah dari
bahaya erosi sampai umur tanaman <5 bulan (Dariah et al., 1998).
Barisan sisa tanaman tidak memerlukan banyak tenaga kerja.
g. Tanaman Penutup Tanah
Tanaman penutup tanah (cover crop)
adalah tanaman yang biasa ditanam pada lahan kering dan dapat menutup seluruh
permukaan tanah. Tanaman yang dipilih sebagai tanaman penutup tanah umumnya
tanaman semusim/tahunan dari jenis legum yang mampu tumbuh dengan cepat, tahan
kekeringan, dapat memperbaiki sifat tanah (fisik, kimia, dan biologi) dan menghasilkan
umbi, buah, dan daun. Sebagaimana dilaporkan Lal (1978), tanaman penutup tanah
mampu meningkatkan laju infiltrasi.
Tanaman penutup tanah dibedakan menjadi
empat (Agus et al., 1999), yaitu:
1)
Tanaman penutup tanah rendah seperti
centrosema (Centrosema pubescens), pueraria (Pueraria javanica)
dan benguk (Mucuna sp.)
Tanaman
penutup tanah rendah, dapat ditanam bersama tanaman pokok maupun menjelang
tanaman pokok ditanam.
2)
Tanaman penutup tanah sedang seperti
lamtoro (Leucaena leucocephala) dan gamal (Gliricidia sepium)
Tanaman
penutup tanah sedang dan tinggi pada dasarnya seperti tanaman sela dimana
tanaman pokok ditanam di sela-sela tanaman penutup tanah. Dapat juga tanaman
pokok ditanam setelah tanaman penutup tanah dipanen.
3)
Tanaman penutup tanah tinggi seperti
sengon (Periserianthes falcataria)
Tanaman
penutup tanah dimaksudkan untuk menambah penghasilan petani dari hasil
panennya, selain itu juga untuk memperbaiki sifat tanah karena mampu menambat N
dari udara dan sisa tanamannya dapat dijadikan sumber bahan organik.
4)
Belukar lokal.
h.
Penyiangan
Parsial
Penyiangan parsial merupakan teknik
dimana lahan tidak disiangi seluruhnya yaitu dengan cara menyisakan sebagian
rumput alami maupun tanaman penutup tanah (lebar sekitar 20-30 cm) sehingga di
sekitar batang tanaman pokok akan bersih dari gulma.
Tanaman penutup tanah yang tidak
disiangi akan berfungsi sebagai penahan erosi. Pada dasarnya teknik ini
menyerupai strip rumput dimana vegetasi gulma mampu menahan aliran permukaan
dan mengendapkan material terangkut. Hasil tanaman yang disiangi dikembalikan
ke lahan atau ditumpuk sebagai barisan sisa tanaman sehingga dapat menambah
bahan organik bagi tanah dan memperbaiki sifat tanah.
Teknik penyiangan yang termasuk dalam
penyiangan parsial adalah:
1) Strip
tumbuhan alami (natural vegetative strips = NVS)
Pada dasarnya teknik ini adalah
menyisakan sebagian lahan yang tidak disiangi dan tidak ditanami sehingga
rumput alami tumbuh membentuk strip yang kurang lebih sejajar dengan garis
kontur. Meskipun teknik ini efektif mengurangi erosi, tetapi teknik ini juga
mengurangi areal produktif lahan pertanian sekitar 5-15%.
2) Penyiangan
sekeliling batang tanaman pokok
Teknik ini dapat diterapkan pada
penyiangan dimana tanah tertutupi oleh gulma rumput maupun tanaman penutup
tanah lain yang sengaja ditanam. Penyiangan dilakukan di sekeliling batang tanaman
pokok dengan diameter sekitar 120 cm.
Penyiangan sekeliling batang tanaman
pokok ini dimaksudkan untuk mencegah
hama dan penyakit menyerang tanaman pokok dengan tetap memelihara keberadaan tanaman
penutup tanah.
i.
Penerapan
Pola Tanam
Pola tanam adalah sistem pengaturan
waktu tanam dan jenis tanaman sesuai dengan iklim, kesesuaian tanah dengan
jenis tanaman, luas lahan, ketersediaan tenaga, modal, dan pemasaran. Pola
tanam berfungsi meningkatkan intensitas penutupan tanah dan mengurangi
terjadinya erosi.
Sistem ini bertujuan untuk mempertinggi
intensitas penggunaan lahan, dan dapat mengurangi risiko gagal panen untuk
salah satu tanaman, meningkatkan nilai tambah bagi petani dan juga termasuk
tindakan pengendalian hama dan pengendalian erosi.
Dengan penerapan pertanaman majemuk,
penutupan tanah akan lebih rapat sehingga mampu melindungi tanah dari pukulan
air hujan secara langsung dan menahan aliran permukaan. Sistem pertanaman yang
termasuk sistem pertanaman majemuk adalah sistem pergiliran tanaman (crop
rotation), tumpang sari (inter cropping), dan tumpang gilir (relay
cropping).
1) Pergiliran
tanaman
Pergiliran tanaman (crop rotation)
adalah sistem bercocok tanam dimana sebidang lahan ditanami dengan beberapa
jenis tanaman secara bergantian. Tujuan utama dari sistem ini adalah untuk memutuskan
siklus hama dan penyakit tanaman dan untuk meragamkan hasil tanaman.
Dari segi konservasi tanah, pergiliran
tanaman memberikan peluang untuk mempertahankan penutupan tanah, karena tanaman
kedua ditanam setelah tanaman pertama dipanen. Demikian seterusnya, sehingga
sepanjang tahun intensitas penutupan tanah senantiasa dipertahankan. Kondisi
ini akan mengurangi risiko tanah tererosi akibat terpaan butir-butir air hujan
dan aliran permukaan.
2) Tumpang
sari
Tumpang sari (intercropping)
adalah sistem bercocok tanam dengan menggunakan dua atau lebih jenis tanaman
yang ditanam serentak/bersamaan pada sebidang tanah. Sistem tumpang sari sebagian
besar dikelola pada pertanian lahan kering yang hanya menggantungkan air hujan
sebagai sumber air utama. Sistem tumpang sari adalah salah satu usaha
konservasi tanah yang efektif dalam memanfaatkan luas lahan.
Tanaman yang ditanam dapat berupa jagung
dengan kacang tanah, jagung dengan kedelai, dan sebagainya. Tanaman tersebut
dapat berupa tanaman penambat nitrogen, berperakaran dalam maupun dangkal yang
pada prinsipnya saling menguntungkan.
3) Tumpang
gilir
Tumpang gilir (relay cropping)
adalah cara bercocok tanam dimana satu bidang lahan ditanami dengan dua atau
lebih jenis tanaman dengan pengaturan waktu panen dan tanam. Pada system ini,
tanaman kedua ditanam menjelang panen tanaman musim pertama. Contohnya adalah
tumpang gilir antara tanaman jagung yang ditanam pada awal musim hujan dan
kacang tanah yang ditanam beberapa minggu sebelum panen jagung.
2. Metode
Mekanik
Teknik konservasi tanah secara mekanis
atau disebut juga sipil teknis adalah upaya menciptakan fisik lahan atau
merekayasa bidang olah lahan pertanian hingga sesuai dengan prinsip konservasi
tanah sekaligus konservasi air. Teknik ini meliputi: guludan, pembuatan teras gulud,
teras bangku, teras individu, teras kredit, pematang kontur, teras kebun,
barisan batu, dan teras batu (Agus et al., 1999).
a. Sistem
terasering.
Sistem terasering adalah perubahan
bentuk terasering searah garis kontur, seperti teras gundul, teras bangku,
teras tunggal, dan teras kredit.
b. Sistem
pematang kontur.
Adalah system pematang menurut kontur
dengan fungsi utama menyimpan air.
c. Sistem
barisan batu.
Adalah dengan menyusun bebatuan dengan
membentuk model ruang terbuka.
d. Sistem
teras bangku batu.
Adalah pembuatan terasan berbentuk
bangku pada tanah.
e. Sistem
saluran pengelak.
Pembuatan saluran searah dengan garis
kontur.
f. Sistem
saluran pembuangan akhir.
Adalah saluran yang dibuat searah lereng
pada cekungan terendah dari topografi yang ada.
3. Metode
Kimiawi
Teknik konservasi tanah secara kimiawi
adalah setiap penggunaan bahan-bahan kimia baik organik maupun anorganik, yang
bertujuan untuk memperbaiki sifat tanah dan menekan laju erosi. Teknik ini
jarang digunakan petani terutama karena keterbatasan modal, sulit pengadaannya
serta hasilnya tidak jauh beda dengan penggunaan bahan-bahan alami.
Bahan kimiawi yang termasuk dalam
kategori ini adalah pembenah tanah (soil conditioner) seperti polyvinil
alcohol (PVA), urethanised (PVAu), sodium polyacrylate (SPA),
polyacrilamide (PAM), vinylacetate maleic acid (VAMA) copolymer,
polyurethane, polybutadiene (BUT), polysiloxane, natural
rubber latex, dan asphalt (bitumen). Bahan-bahan ini diaplikasikan
ke tanah dengan tujuan untuk memperbaiki struktur tanah melalui peningkatan
stabilitas agregat tanah, sehingga tahan terhadap erosi.
C.
Hambatan
Konservasi Tanah
Dalam pelaksanaan konservasi sering
ditemui hambatan-hambatan yang dapat dibedakan menjadi :
1. Hambatan
fisik
Biasanya kita mendapatkan sumber daya
dalam keadaan sedemikian rupa (sudah tertentu), misalnya tempatnya atau
lokasinya, sehingga untuk menggunakannya manusia yang harus menyesuaikan.
Misalnya untuk dapat menggunakan suatu sumber daya dengan baik maka kita harus
membuat dulu dam, teras, menanam tanaman hutan dan menerapkan teknik teknik
lain untuk mengubah keadaan alam.
2. Hambatan
ekonomi.
Hambatan ekonomi dapat berupa kurangnya
modal untuk melaksanakan konservasi, kurangnya pengetahuan dan yang ketiga
adalah tidak stabilnya perekonomian.
3. Hambatan
kelembagaan.
Banyak orang melaksanakan konservasi ini
sebagai suatu kebiasaan atau adat istiadat, sehingga mereka kurang
memperhatikan manfaatnya.Konservasi ini harus dilakukan secara terpadu oleh
institusi yang dimiliki oleh negara agar ada arah yang jelas dan ini perlu
dibentuk lembaga yang menangani konservasi sumberdaya di setiap daerah.
4. Hambatan
teknologi.
Penggunaan sumberdaya-sumberdaya akan
tergantung antara lain oleh bentuk penyesuaian diri manusia dan
teknologi.Hubungan sumberdaya-sumberdaya dengan macam dan tingkat teknologi
sangat erat.Sebagai contoh tenaga matahari, yang dulu tidak banyak digunakan,
dengan adanya perkembangan teknologi sekarang ini banyak digunakan.Hambatan
teknologi ini dapat diatasi dengan cara meningkatkan kemampuan pegetahuan
teknologi yang dapat dipelajari dari negara-negara yang sudah maju atau
melakukan penelitian terhadap teknologi yang telah ada.
Selain itu Sekretariat Tim Pengendali
Bantuan P&RP (2000) mencatat kendala utama penerapan teknologi konservasi
sebagai berikut:
1.
Tingginya biaya serta lambatnya
pengembalian investasi dari tindakan konservasi.
2.
Ketidakpastian penguasaan lahan.
3.
Petani tidak melihat keuntungan langsung
dari penerapan teknik konservasi tanah.
Masalah konservasi dan penggunaan sumberdaya yang bijaksana berbeda-beda
bagi masing-masing tipe sumberdaya. Untuk fund resources atau sumber daya yang
tidak dapat diperbaharui, konservasi dimaksudkan sebagai usaha mengembangkan
penggunaan sumberdaya yang persediannya relatif tetap, sehingga dapat memenuhi
kebutuhan dalam waktu yang lebih panjang, hal ini melalui pengurangan tingkat
konsumi atau melakukan penghematan. Untuk flow resources atau sumberdaya yang
dapat diperbaharui, konservasi dimaksudkan sebagai usaha pengurangan pemborosan
yang bersifat ekonomi, dan sekaligus memaksimumkan penggunaan yang dapat
dilaksanakan secara ekonomis. Sebagai contoh adalah penggunaan
sumberdaya-sumberdaya selain air, cara yang terbaik untuk membuat sumberdaya
ini tetap ada atau bertahan dalam jangka waktu yang panjang adalah dengan cara
menghemat atau kebijakan non use (tidak menggunakan sumberdaya) tersebut.
No comments