Breaking News

Menggunakan Flow Cytometry untuk Memahami Fisiologi Penyakit

Pengantar flow cytometry

Menurut definisi, flow cytometry mengacu pada teknik imunofenotipe di mana suspensi sel diwarnai dengan antibodi spesifik yang diberi label fluoresensi. Suspensi sel ini dapat diturunkan dari berbagai jenis sampel, termasuk darah, sumsum tulang, cerebrospinal fluid (CSF), cairan pleura, mikroorganisme, antigen terlarut, dan bahkan jaringan padat. Setelah disuntikkan ke dalam flow cytometer, teknik ini dapat memberikan banyak informasi tentang sel-sel dalam sampel.

Misalnya, flow cytometry dapat membedakan sifat seluler yang berbeda dari morfologi hingga tahap siklus sel. Selanjutnya, informasi yang diberikan oleh flow cytometer mencerminkan sel-sel individu dalam populasi daripada memberikan rata-rata yang sering kali merupakan hasil dari teknik biologi molekuler lainnya seperti Western blotting.

Flow cytometry dan fisiologi penyakit

Aplikasi klinis pertama flow cytometry dilaporkan pada akhir 1980-an ketika digunakan untuk mengelola pasien dengan human immunodeficiency virus (HIV). Sejak itu, flow cytometry telah menjadi alat yang sangat diperlukan untuk berbagai bidang medis, terutama di bidang hematologi, imunologi, dan patologi klinis.


Penyakit imunologis

Primary immunodeficiencies (PID) dapat diklasifikasikan ke dalam sembilan kategori, yang meliputi severe and combined immunodeficiencies (SCID), imunodefisiensi gabungan dengan ciri-ciri sindrom, terutama defisiensi antibodi, gangguan imunodisregulasi, defek yang mempengaruhi fagosit, defek imunitas bawaan, gangguan autoinflamasi, defisiensi komplemen, dan fenokopi PID. Biasanya, PID parah akan menyebabkan gejala berkembang segera setelah lahir; namun, diagnosis yang tepat dari gangguan ini memerlukan tes yang spesifik dan sensitif.

Akibatnya, flow cytometry sering dianggap sebagai metode pilihan untuk mendiagnosis dan mempelajari PID. Biasanya, uji flow cytometry digunakan setelah dokter menilai presentasi klinis pasien dan menjalankan tes laboratorium dasar tertentu. Jika penyedia layanan kesehatan mencurigai adanya defek imunitas adaptif, fenotipe limfosit dasar kemudian akan dilakukan untuk menilai jumlah dan proporsi sel imun, serta memberikan gambaran umum tentang proses seluler pasien, termasuk proliferasi seluler, sekresi sitokin, dan sitotoksisitas, untuk beberapa nama.

Flow cytometry juga dapat digunakan untuk menilai subpopulasi sel imun yang berbeda untuk memahami lebih baik fisiologi keadaan penyakit pasien tertentu. Misalnya, jika seorang dokter tertarik untuk menilai subpopulasi limfosit pasien, mereka dapat meminta uji flow cytometry pada sel T CD4+ dan CD8+, serta informasi tentang sel B dan sel natural killer (NK) di dalam tubuh pasien. Sampel. Selain kegunaannya dalam mendiagnosis defisiensi imun primer atau sekunder, flow cytometry yang digunakan untuk menilai subpopulasi limfosit juga dapat sangat berguna dalam memantau bagaimana pasien merespons imunoterapi tertentu, seperti pengobatan antibodi anti-CD20 yang dikenal sebagai rituximab.

Secara komparatif, analisis fenotipik yang diperluas dapat lebih memahami perilaku subpopulasi sel dendritik, sel T pengatur, dan emigran timus baru-baru ini.

Hematologi dan onkologi

Salah satu aplikasi yang paling menonjol dari flow cytometry untuk tujuan fisiologi penyakit dapat ditemukan dalam hematologi dan onkologi, terutama ketika neoplasma hematopoietik dicurigai dalam sampel darah, sumsum tulang, atau biopsi jaringan. Untuk tujuan ini, sel neoplastik diidentifikasi melalui flow cytometry dengan mengukur secara kuantitatif perubahan yang muncul dalam distribusi subset sel dari perubahan ekspresi antigen kualitatif.

Misalnya, dalam kasus limfoma sel B, flow cytometry berguna dalam menentukan klonalitas sel B, yang sering disamakan dengan neoplasia. Sel T neoplastik yang mengindikasikan limfoma sel T dan proses limfoproliferatif juga dapat dinilai dengan flow cytometry dari subset sel T dan/atau penilaian ekspresi antigen sel T.

Sampel yang berasal dari pasien yang diduga memiliki kelainan trombosit juga sering dikenai flow cytometry. Misalnya, flow cytometry sering digunakan untuk menentukan keberadaan autoantibodi terhadap trombosit yang sering menunjukkan trombositopenia imun. Pendekatan ini dianggap lebih unggul daripada tes laboratorium lain yang mendeteksi antibodi antiplatelet, terutama yang berdensitas rendah atau labil. Beberapa kelainan trombosit lainnya, termasuk trombastenia Glanzman dan sindrom Bernard-Soulier, juga dapat didiagnosis dan dipantau melalui flow cytometry dengan menilai keberadaan antigen pada permukaan trombosit ini.


Kesimpulan

Meskipun flow cytometry sering dianggap sebagai alat diagnostik utama, tetapi juga banyak digunakan untuk memantau kemanjuran pengobatan dan perkembangan penyakit tertentu. Bersama-sama, aplikasi flow cytometry ini berkontribusi pada pemahaman global yang lebih baik tentang berbagai kondisi kesehatan untuk pada akhirnya meningkatkan hasil pasien di masa depan.


References

Virgo, P. F., & Gibbs, G. J. (2011). Flow cytometry in clinical pathology. Annals of Clinical Biochemistry: International Journal of Laboratory Medicine. doi:10.1258/acb.2011.011128.

Salzer, U., Sack, U., & Fuchs, I. (2019). Flow Cytometry in the Diagnosis and Follow Up of Human Priamry Immunodeficiencies. EJIFCC 30(4); 407-422. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6893889/.

Meyerson, H. (2018). Flow Cytometry in Hematology. Concise Guide to Hematology 253-275. doi:10.1007/978-3-319-97873-4_22.

No comments