Fitokimia Terhadap Empat Tumbuhan Macaranga Indonesia
Kajian fitokimia terhadap empat tumbuhan Macaranga Indonesia telah berhasil mengisolasi dan mengidentifikasi lima belas senyawa turunan aromatik, termasuk sepuluh senyawa baru. Keempat belas senyawa tersebut adalah macagigantin (1), glyasperin A (2), dan apigenin (3) dari M. gigantea (Reichb.f. & Zoll.) Műll. Arg. (Kalimantan) (Tanjung et al., 2009), macapruinosin A (4), B (5), C (6), papyriflavonol A (7), dan nymphaeol C (8) dari M. pruinosa (Kalimantan) (Syah dan Ghisalberti, 2010), macarhizinoidin A (9) dan B (10), dan ester methil 4-preniloksisinamat (11) dari M. rhizinoides (Blume) Muell Arg. (Jawa Barat) (Tanjung et al., 2010), dan macatrichocarpin A (12), B (13), C (14), dan A (13) dari M. trichocarpa (Reichb. & Zoll.) Műll.Arg (Kalimantan) (Syah et al., 2009). Sepuluh senyawa baru adalah senyawa-senyawa 1, 4 – 6, 9 - 10, 12 – 15. Selain turunan ester sinamat, empat belas senyawa lainnya mewakili kerangka dasar flavonoid dari kelompok dihidrocalkon (14 dan 15), flavanon (8, 12, dan 13), flavon (3), flavonol (1, 2, 6, 7, 9, dan 10), dan dihidroflavonol (5), sementara senyawa 4 merupakan turunan dari stilben. Struktur molekul kelimabelas senyawa tersebut ditetapkan berdasarkan data spektroskopi, termasuk spektrum UV, IR, NMR 1D dan 2D, dan spektrum massa, sementara stereokimia pada senyawa 5 sitetapkan berdasarkan konstanta kopling sinyal proton H-2/H-3 dan putaran optik.
Pola spektrum UV dari turunan flavonol dapat dibedakan dengan mudah dari turunan flavon, karena jenis yang pertama dicirikan oleh serapan maksimum pita II yang lebih besar (~ 30 nm) dan juga memiliki tambahan serapan maksimum bahu. Namun demikin, pembedaan antara pola serapan turunan stilben dan turunan flavon relatif sulit dilakukan, karena memiliki
pola serapan dan panjang gelombang maksimum yang hampir sama. Adanya ikatan rangkap pada C-2/C-3 pada kelompok flavon, flavonol, dan stilben, memberikan pola spektrum UV yang sangat berbeda dari pola serapan UV kelompok dihidrocalkon, flavanon, dan dihidrofalvonol. Sebagai konsekuensinya, pembedaan kedua kelompok tersebut berdasarkan pola spektrum UV dapat dilakukan dengan mudah. Namun demikian, pola spektrum UV tidak dapat membedakan kerangka dasar dihidrocalkon, flavanon, dan dihidrofalvonol, dan hanya dapat dilakukan dengan menggunakan spektrum NMR.
Spektrum 1H NMR turunan dihidrocalkon 14 dan 15 dicirikan oleh adanya dua sinyal triplet pada dH sekitar 3,3 – 3,4 dan 3,8 – 3,9 ppm (J ~ 8 Hz), turunan flavanon oleh tiga sinyal dobel doblet pada dH sekitar 2,7 (J ~ 17 dan 3 Hz) dan 3,1 (J ~ 17 dan 13 Hz) untuk H2-3, dan sekitar 5,3 ppm (J ~ 13 dan 3 Hz), sementara turunan dihidroflavonol dengan mudah diidentifikasi oleh adanya sepasang sinyal proton doblet pada dH sekitar 4,5 dan 5,0 ppm (J ~ 12 Hz, kopling trans). Ciri utama dari turunan flavon adalah adanya sinyal proton aromatik singlet pada dH ~ 6,6 ppm, sinyal singlet ini tidak muncul pada turunan dihidroflavonol, tetapi sebagai gantinya adalah kemunculan sinyal karbon kuarterner pada dC ~ 135 – 137 ppm. Untuk turunan stilben, ciri penting yang dapat digunakan adalah kemunculan sepasang sinyal proton doblet yang berdekatan pada dH ~ 6,6 – 6,9 ppm (J ~ 16 Hz, kopling trans) dari unit 1,2-disubstitusi etenil. Berdasarkan ciri-ciri khas sinyal 1H dan 13C NMR tersebut, maka masing-masing jenis flavonoid dan stilben dapat dengan mudah diidentifikasi.
Adanya gugus samping prenil, geranil, dan farnesil dengan mudah diidentifikasi keberadaanya berdasarkan adanya sinyal-sinyal yang khas bagi ketiga gugus tersebut. Gugus prenil ditandai oleh adanya empat sinyal proton pada dH ~ 5,1 – 5,4 ppm untuk gugus trisubstitusi etenil berupa tripel dari multiplet (tm), dH ~ 3,3 – 3,5 ppm sebagai doblet yang sedikit melebar (br d), dan dua sinyal metil singlet melebar pada dH ~ 1,6 – 1,8 ppm. Adanya dua gugus prenil tentu saja ditandai oleh adanya dua kali lipat sinyal-sinyal tersebut, sehingga sinyal gugus metil menjadi ada empat buah. Namun demikian, adanya empat buah gugus metil juga dapat berasal dari gugus farnesil, tetapi dalam hal ini disertai oleh munculnya tiga sinyal trisubstitusi etenil dan empat sinyal metilen yang berimpit, selain satu gugus metilen doblet. Dengan penalaran yang sama keberadaan gugus geranil ditandai dengan munculnya dua sinyal dari gugus trisubstitusi etenil, dua sinyal metilen yang hampir berimpit, satu sinyal metilen berupa doblet, dan tiga gugus metil singlet yang melebar. Posisi gugus-gugus prenil, geranil, dan farnesil tersebut dapat dengan mudah ditetapkan berdasarkan multiplisitas dari sinyal-sinyal aromatik.
Munculnya sepasang sinyal aromatik berkopling-meta berarti gugus samping terpenoid tersebut berada di cincin B, dan dengan menganalisis multiplisitas sinyal-sinyal aromatik, maka posisi gugus tersebut dapat ditentukan, tentu saja dengan mempertimbangkan pola oksigenasi di cincin B tersebut yang dapat ditentukan berdasarkan jumlah sinyal oksiaril pada spektrum 13C NMR (dC ~ 140 – 165 ppm). Apabila gugus samping terpen berada di cincin A, maka seringkali dijumpai sinyal aromatik singlet, yang berarti gugus tersebut dapat di C-6 atau C-8. Kepastian posisi gugus samping tersebut dapat dengan mudah ditetapkan berdasarkan analisis spektrum NMR 2D HMBC, terutama salah satunya mengandalkan korelasi yang berasal dari sinyal –OH kelat berupa singlet sekitar dH ~ 13 ppm. Apabila korelasi 1H-13C jarak jauh dari sinyal ini terjadi kepada tiga sinyal karbon kuarterner, salah satunya pasti kepada sinyal karbon oksiaril, maka gugus terpen tersebut (prenil, geranil, atau farnesil) partilah berada di C-6. Akan tetapi, apabila salah satu dari ketiga korelasi 1H-13C jarak jauh tersebut dengan sinyal karbon metin aromatik, maka gugus samping tersebut di C-8. Dengan penalaran yang sama, posisi gugus metoksi, apabila ada, dapat ditetapkan dengan tanpa ragu melalui analisis spektrum HMBC. Dalam beberapa kasus, lebih baik dilakukan pengukuran spektrum NMR 2D NOESY untuk lebih memudahkan penentuan posisi gugus metoksi melalui interaksi NOE yang ditimbulkan antara sinyal proton metil metoksi dengan sinyal-sinyal aromatik atau –OH fenol tertentu sesuai dengan posisi dari gugus metoksi tersebut.
Dalam rangka mengkonfirmasi struktur molekul yang disarankan, maka pengukuran spektrum massa resolusi tinggi mutlak dilakukan untuk menetapkan, sekaligus mengkonfirmasi, rumus molekul. Karena flavonoid umumnya relatif stabil, metoda pengionan elektron (EI) masih dapat dilakukan dan menghasilkan puncak ion molekul radikal dengan kelimpahan tinggi sehingga massa yang dihasilkan akan sangat akurat. Penionan dengan metoda tumbukan atom (FAB) juga dapat dilakukan sebagai ion [M+H]+, tetapi seringkali, karena massa turunan flavonoid berada di sekitar 300 – 500 Da, seringkali terkotori oleh massa yang sama dari matriks sampel, sehingga keakuratan penentuan massanya menjadi terganggu. Metoda yang relatif bersih dapat dilakukan dengan menggunakan metoda pengionan spray (ESI) dengan monitoring sebagai ion negatif [M-H]- melalui penambahan sedikit amonia dalam pelarut aseton-air.
No comments