Manfaat Tanaman Pandanus
Hasil penelitian Ina dan Totok (2006), tentang peningkatan teknik
pengolaan pandan. Tujuan penelitian adalah untuk memperoleh
informasi proses pengeringan dan pewarnaan untuk meningkatkan kualitas daun
pandan sebagai bahan baku barang kerajinan. pengeringan dan pewarnaan
untuk meningkatkan kualitas daun pandan sebagai bahan baku industri kerajinan.
Metode Pegujian yang dilakukan adalah pengujian sifat mekanik (kekuatan tarik)
dan analisa kimia yang terdiri dari analisa lignin dan selulosa. Selain itu
dilakukan pengujian hasil pewarnaan ketahanan terhadap sinar. (a). Analisis
komponen kimia Cara pengambilan/persiapan bahan untuk analisis dilakukan
berdasarkan standar dan prosedur yang berlaku di laboratorium Puslitbang Hasil
Hutan, Bogor. Setiap contoh digiling halus dan diayak sampai didapat serbuk
yang lolos saringan 40 mesh dan tertahan pada saringan 60 mesh. Analisis sifat
kimia yang terdiri dari kadar lignin dilakukan berdasarkan standar D-1106-56
dan penetapan kadar holoselulosa dilakukan menurut metode Norman dan Jenkin,
(b). Analisis sifat mekanik Pengujian yang dilakukan adalah kekuatan
tarik pandan setelah diberi perlakuan dengan menggunakan SNI 08-0276. Kekuatan
tarik serat adalah beban maksimal yang dapat ditahan oleh suatu contoh uji
hingga putus. (c). Pengujian hasil pewarnaan daun pandan Metode yang
dilakukan berdasarkan pada SNI 08-0289-1989 (Tahan luntur warna terhadap cahaya
terang hari). Pengujian dilakukan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Industri Kerajinan dan Batik di Yogyakarta. Evaluasi hasil pewarnaan dilakukan
terhadap kenampakan visualnya (skala nilai 1-4). Makin tahan terhadap sinar,
maka makin tinggi nilainya.
Data hasil pengujian sifat fisiko dan mekanik daun pandan dicermati
dengan rancangan percobaan acak lengkap berpola faktorial. Sebagai faktor
adalah kondisi daun pandan (A), terdiri dari dua taraf, yaitu segar (a1) dan
kering (a2); macam zat warna yang digunakan (B), yaitu zat warna sam (b1) dan
zat warna basa (b2); dan suhu pengovenan (C) terdiri dari 3 taraf yaitu 50 °C
(c1), 60 °C (c2) dan 70 °C (c3). Ulangan masing-masing taraf kombinasi
perlakuan dilakukan sebanyak 2 kali. Sekurangnya pengaruh faktor dalam bentuk
tunggal (A, B, C) atau bentuk interaksi (AB, AC, BC, ABC) nyata, maka
pencermatan data dilanjutkan dengan uji beda jarak Duncan.
Hasilnya melaporkan bahwa komponen kimia pandan dari Banten, Pandeglang
banyaknya mengandung air di dalam struktur dinding sel suatu pohon hidup pada
dasarnya tetap konstan dari musim ke musim, meskipun banyaknya air dalam rongga
sel daun mungkin berubah-ubah. Air di dalam rongga sel pada daun digunakan
sebagai bahan untuk fotosintesis. Kandungan air daun pandan yang telah
mengalami perlakuan berkisar antara 7,88-9,14%. Selanjutnya menurut uji Duncan
(Tabel 3) menunjukkan bahwa yang berasal dari pandan segar, zat warna asam
dengan suhu pengovenan 70°C (A1B1C3) menghasilkan kadar air yang berbeda nyata
dengan semua contoh perlakuan.
Kadar air tertinggi terdapat pada contoh pandan segar, zat warna asam
dan pengovenan selama 50°C (A1B1C1) yaitu 9,14% dan kadar air terendah terdapat
pada contoh pandan segar, zat warna asam dan suhu oven selama 70°C (A1B1C3)
yaitu 7,36%. Dapat dilihat bahwa suhu oven 70°C menghasilkan kadar air yang
rendah bahkan bila dibandingkan dengan kontrol (pandan masyarakat) meskipun
tidak terlalu jauh berbedanya. Daun pandan memiliki kadar air yang cukup tinggi
(9%) disebabkan mempunyai epidermis yang memiliki kutikula (lapisan berlilin),
kutikula menghambat pertukaran gas antara daun dan atmosfer sehingga mencegah
kehilangan air yang berlebihan. Selanjutnya dibandingkan dengan kontrol (tanpa
perlakuan), ternyata kadar air daun pandan yang mengalami perlakuan (A, B, dan
C) lebih tinggi. Analisis keragaman menunjukkan bahwa kondisi daun (A)
berinteraksi dengan macam zat warna (B) mempengaruhi kadar lignin. Sedangkan
suhu oven (C) tidak berpengaruh nyata. Demikian pula interaksinya dengan
kondisi daun dan macam zat warna (AC, BC dan ABC) tidak berpengaruh nyata
terhadap kadar lignin. Lignin adalah suatu polimer yang komplek dengan
berat molekul yang tinggi. Lignin terdapat di antara sel-sel dan di dalam
dinding sel. Diantara sel-sel, lignin berfungsi sebagai perekat untuk mengikat
sel bersama-sama. Dalam dinding sel, lignin sangat erat hubungannya dengan
selulosa dan berfungsi memberikan ketegaran pada sel. Kandungan lignin daun
pandan berkisar antara 18-22%, Contoh pandan segar (A1) atau yang direbus
terlebih dahulu dan ditambah dengan soda kostik secara rata-rata memperlihatkan
kadar lignin yang lebih rendah dibandingkan dengan pandan yang tidak dimasak
(pandan kering) (A2). Hal ini disebabkan lignin dan mungkin lemak-lemak alam
lainnya larut bila dikerjakan dengan alkali (soda kostik). Pengerjaan dengan
soda kostik selain memberikan akibat yang menguntungkan yaitu menambah daya
serap, juga memberikan dampak yang merugikan dengan larutnya lignin dan lemak
alam yang ikut menopang kekuatan serat. Selanjutnya kadar lignin daun pandan
yang tidak mengalami perlakuan (kontrol) berada pada selang kisaran kadar
lignin daun pandan yang mengalami perlakuan berupa kondisi daun, macam zat
warna dan suhu oven. Kadar holoselulosa, ternyata macam zat warna (B)
berinteraksi dengan suhu oven (C) dan mempengaruhi kadar holoselulosa tersebut
(Tabel 2). Demikian pula interaksi antara kondisi daun (A) dengan suhu oven (C)
berpengaruh nyata terhadap kadar holoselulosa.
Selulosa adalah bentuk polisakarida sebagai hasil fotosintesis dalam
tumbuh-tumbuhan. Struktur selulosa terdiri dari unit-unit anhidro glukosa yang
terikat satu sama lain pada atom C ke satu dan atom C ke empat dengan beta
konfigurasi. Selulosa mempunyai fungsi untuk memberikan kekuatan tarik pada
suatu sel, karena adanya ikatan kovalen yang kuat pada cincin piranosa dan
antar unit gula penyusun selulosa, semakin tinggi kadar selulosa maka
kelenturan juga semakin tinggi. Selanjutnya berdasarkan hasil uji beda jarak
Duncan menunjukkan bahwa terdapat terdapatnya variasi kandungan selulosa pada
daun pandan. Kandungan selulosa pada daun pandan berkisar antara 83-88 persen.
Kandungan selulosa tertinggi terdapat pada contoh pandan segar, zat warna basa
dengan suhu oven 70°C (A1B2C3) dan contoh pandan kering, zat warna asam dengan
suhu oven 60°C (A1B1C2) dan terendah terdapat pada contoh pandan segar zat
warna asam dengan suhu oven 50 dan 60°C (A1B1C1 dan A1B1C2). Pandan dari
masyarakat memiliki nilai selulosa yang lebih kecil yaitu sebesar 76 persen.
Apabila dilihat secara keseluruhan, maka pandan yang menggunakan zat warna asam
memiliki kadar selulosa yang lebih kecil bila dibandingkan dengan yang
menggunakan zat warna basa, hal ini disebabkan karena zat warna asam, adalah
zat warna yang pada pencelupannya menggunakan asam sebagai bahan bantunya,
dengan demikian besar kecilnya dosis asam yang digunakan akan berpengaruh
terhadap serat selulosa, sebab umumnya serat selulosa tidak tahan terhadap asam
mineral, sehingga alternatif pemakaiannya harus diperhitungkan secara benar. Di
samping itu tidak semua golongan zat warna asam dapat mencelup serat selulosa.
Selanjutnya kadar holoselulosa daun pandan tanpa perlakuan atau kontrol
(76,37%) ternyata nilainya berada di bawah kadar untuk daun pandan yang diberi
perlakuan yaitu pada selang 83,27 – 88,72 %.
Selain menganalisis sifat kimia, daun pandan juga diuji sifat fisiknya
yaitu gaya tarik dan ketahanan pandan terhadap sinar. Sifat fisik dan ketahanan
pandan terhadap sinar. Kekuatan merupakan salah satu sifat serat yang sangat
penting supaya serat-serat tersebut tahan terhadap tarikan-tarikan pada waktu
pengolahan selanjutnya. Kekuatan dalam keadaan basah yang diperlukan lebih
rendah dari keadaan kering karena pengerjaan atau pengolahan selanjutnya
dilakukan pada keadaan kering. Kekuatan tarik serat adalah beban maksimal yang
dapat ditahan oleh suatu contoh uji hingga putus. Kekuatan tarik pandan
berkisar antara 2,3 – 6,0 kg. Sedangkan pandan masyarakat memiliki kekuatan
tarik 5 kg. Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa kondisi daun (A)
berinteraksi dengan suhu oven (C) mempengaruhi kekuatan tarik. Demikian pula
halnya dengan macam zat warna (B), tetapi interaksinya (BC, ABC) tidak
berpengaruh nyata terhadap kekuatan tarik. Kekuatan tarik merupakan salah satu
sifat serat yang sangat penting supaya serat-serat tersebut tahan terhadap
tarikan-tarikan pada waktu pengolahan selanjutnya. Kekuatan dalam keadaan basah
yang diperlukan lebih rendah dari keadaan kering karena pengerjaan atau
pengolahan selanjutnya dilakukan pada keadaan kering. Dari data dapat dilihat
bahwa kekuatan tarik atau gaya tarik pandan sangat bervariasi. Tetapi dapat
dilihat bahwa contoh pandan segar yang direbus dan ditambah dengan soda kostik
(A1) serta menggunakan zat warna asam (B1) memiliki nilai gaya tarik yang lebih
kecil bila dibandingkan dengan contoh pandan kering (A2) dan menggunakan zat
warna basa (B2). Hal ini kemungkinan disebabkan larutnya kadar lignin dan lemak
alam lainnya yang berpengaruh pada kekuatan serat pada waktu dikerjakan dengan
alkali dan zat warna asam pada dosis tertentu berpengaruh pada serat selulosa,
sebab pada umumnya serat selulosa tidak tahan terhadap asam mineral (Anonimous,
1985). Kekuatan tarik daun pandan tanpa perlakuan (kontrol) yaitu 5,1 kg berada
pada selang kekuatan tarik daun pandan yang diberi perlakuan yaitu 2,3 – 6,0
kg.
Nilai ketahanan sinar hasil pencelupan pandan masyarakat menunjukkan
nilai yang sama dari pandan hasil pemutihan. Nilai ketahanan sinar berkisar
antara 2-3. Meskipun nilai ketahanan sinar pandan yang menggunakan zat warna
asam lebih tinggi sedikit dari pandan yang menggunakan zat warna basa, secara
visual pandan yang menggunakan zat warna basa menghasilkan warna yang lebih
terang dan lebih meresap pada serat pandan dibandingkan bila menggunakan zat
warna asam. Hal ini mungkin disebabkan sifat zat warna itu sendiri terhadap
pandan, dimana zat warna tersebut akan terserap dengan kondisi dan konsentrasi
yang berbeda-beda, sedangkan secara teoritis, zat warna basa tidak mempunyai
afinitas terhadap serat selulosa. Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan dapat disimpulkan bahwa :
1. Hasil analisa komponen kimia daun
pandan adalah kadar air berkisar antara 7-9 persen; kadar lignin 18-22 persen;
kadar selulosa 83-88 persen. Sedangkan kekuatan tarik pandan berkisar antara
2-6 kg dan ketahan pandan terhadap sinar berkisar antara 2 - 3. 2.
2. Pewarnaan daun pandan dengan
menggunakan zat warna basa menghasilkan warna yang lebih baik dan cerah serta
rata-rata kadar lignin dan kadar selulosa yang lebih besar daripada menggunakan
zat warna asam. Nilai ketahahan terhadap sinar untuk daun pandan yang
menggunakan zat warna basa adalah 2-3. 3.
3. Contoh daun pandan dengan perlakuan
keadaan tidak segar, menggunakan zat warna basa dengan suhu pengovenan 70°C
rata-rata menghasilkan kadar air, kadar ligin dan selulosa serta gaya tarik
yang baik.
Secara tradisional pandan digunakan oleh masyarakat di kawasan Malesia
dan Pasifik untuk berbagai macam keperluan sehari-hari. Pemanfaatan padan di
bagian barat Malesia (termasuk kawasan barat Indonesia) tidak seluas di bagian
timur Malesia (termasuk kawasan timur Indonesia) dan Pasifik (Powel, 1976;
Stone, 1982, 1984; Leigh, 2002). Di bagian barat Indonesia umumnya hanya daun
pandan yang digunakan, seperti untuk bahan penyedap makanan (pandan wangi P.
amaryllifolius Roxb.) dan pemanfaatan lain hanya sebatas untuk
peralatan rumah tangga seperti tikar, topi, keranjang, dan upacara adat (pandan
samak P. odoratissimus; pandan bidur P. dubius Spreng.
dan cangkuang P. furcatus Roxb.). Di Lombok (Nusa Tenggara
Barat), daun pandan digunakan dalam upacara adat perang-perangan yang berkaitan
dengan prosesi kesuburan tanah (Keim, 2007).
Hasil pengamatan dan wawancara diketahui bahwa pemanfaatan pandan samak
di lokasi penelitian hanya untuk kebutuhan bahan baku anyaman seperti tikar dan
keperluan rumah tangga lainnya dan tidak dijumpai adanya tradisi penggunaan
pandan samak untuk upacara adat. Selain pandan samak, masyarakat di Jawa Barat
khususnya di daerah Tasikmalaya, juga mengenal takson lain yang dibudidayakan
guna dimanfaatkan daunnya sebagaimana layaknya pada pandan samak. Takson ini
dikenal dengan nama daerah jaksi atau pandan jaksi, jaksi jalu dan pandan temen
(Susiarti dan Rahayu, 2006).
Perbedaan ketiga takson tersebut didasarkan pada ukuran panjang daun,
warna, tektur dan duri pada daun serta sistem perakaran. Di antara ketiga
tanaman pandan budidaya ini, pandan jaksi adalah yang paling umum
ditanam dan digunakan
pengrajin pandan Tasikmalaya karena tektur daunnya lebih halus sehingga lebih
mudah untuk dianyam untuk berbagai keperluan. Berbeda dengan pandan samak,
pandan-pandan tersebut di atas ditemukan dan dibudidayakan di daerah
pegunungan. Lebih jauh lagi, pandan-pandan ini ditemukan tidak pernah berbunga,
ukuran daun lebih pendek, tekstur yang lebih halus dan lunak sehingga lebih
mudah untuk dianyam.
Keim et.al (2006) bahwa pandan jaksi kemungkinan besar
adalah cangkuang, jenis yang juga diketahui terdapat di Jawa Barat, tumbuh di
pedalaman (termasuk dataran agak tinggi), dan juga dibudidayakan serta
dimanfaatkan daunnya (Backer, 1925; Backer dan Bakhuizen v.d. Brink Jr., 1968).
Cangkuang diketahui ditanam oleh masyarakat Sunda pada tempat-tempat suci
Hindu-Sunda atau yang dikeramatkan seperti yang ditemukan di Subang yang
dikenal sebagai situs candi Cangkuang. Berbeda dengan masyarakat di Tasikmalaya
dan Subang, masyarakat di Ujung Kulon hanya mengenal tanaman budidaya pandan
laut (P. odoratissimus), mereka menyebutnya dengan pandan
samak dan pandan wangi (P. amaryllifolius Roxb.) sebagai
jenis-jenis pandan yang dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Meski
di Ujung Kulon juga ditemukan P. furcatus dan bidur P.
dubius Spreng. Lebih lanjut Keim et al,. (2006),
masyarakat setempat tidak membudidayakan serta memanfaatkannya sebagaimana
pandan samak.
Dalam kaitan dengan P. odoratissimus, masyarakat Ujung Kulon
mengenal dua entitas yang berbeda di mana mereka membedakan antara takson yang
dibudidayakan (disebut dengan pandan samak) dan yang liar (disebut dengan
pandan laut). Masyarakat Ujung Kulon memahami dengan baik meskipun menempatkan
keduanya ke dalam dua entitas yang berbeda, mereka menempatkan keduanya sebagai
berkerebat sangat dekat, lebih dekat daripada dengan cangkuang atau bidur.
Pembubuhan kata “laut” dalam nama daerah pandan “laut” dapat ditafsirkan bahwa
masyarakat Ujung Kulon memahamniya sebagai takson liar darimana pandan samak
dahulu diambil oleh leluhur mereka untuk dibudidaya.
Daun muda pandan yang masih lentur dengan panjang 1 m atau lebih diambil
untuk bahan anyaman. Bagian ujung dan pangkal daun dipotong sehingga berukuran
80-100 cm. Duri di bagian tepi daun dihilangkan dengan menggunakan alat yang
disebut “panyucuk”, kemudian daun dibelah memanjang dengan “panyoak” menjadi 4
bagian. Daun yang telah dibelah menjadi 4 tersebut dikenal dengan sebutan
“aray”. Lebar aray dapat diatur dengan panyoak. Makin sempit lebar array, hasil
anyaman semakin halus, kemudian getah atau lendir yang terdapat pada aray
dihilangkan dengan menggunakan “pamaut” sehingga aray menjadi lentur dan mudah
untuk dianyam. Setelah aray terkumpul sebanyak 1 genggam (dihasilkan dari
sekitar 20 lembar daun pandan), lalu diikat, dijemur atau dikering anginkan selama
sekitar 2-3 jam, kemudian dilipat menjadi 4 bagian, selanjutnya direbus selama
6 jam. Setelah itu didiamkan atau direndam dalam air selama 2 jam dengan tujuan
untuk menghilangkan sisasisa lendir yang masih menempel pada daun. Aray yang
telah dimasak, dijemur kembali di bawah sinar matahari selama 2 hari dan
hasilnya disebut “aray putihan” atau “aray bodas” (bodas artinya putih).
Sebelum dianyam aray putihan ini dipukul-pukul perlahan-lahan atau dipaut
kembali agar menjadi lemas dan permukaannya halus.
Proses awal menganyam disebut ”ngelabang” karena bentuknya seperti kaki
kelabang- dan akhir menganyam disebut”ngaput” yaitu menutup bagian tepi
anyaman. Sebelum dipasarkan, hasil anyaman tikar dijemur kembali agar terlihat
tidak kusam. Lamanya perebusan dan ukuran aray merupakan beberapa faktor yang
mempengaruhi mutu hasil anyaman. Jika pada penjemuran kurang sinar atau cuaca
mendung maka hasil anyaman tampak berwarna putih kusam, sedangkan jika
perebusan aray kurang lama maka aray mudah patah pada saat dianyam. Proses
menganyam “samak” tikar atau “kaneron” tas membutuhkan waktu selama 2 hari.
Setiap 1 lembar tikar dengan ukuran 1,20 x 2 m memerlukan 3 ikatan aray bodas,
sementara untuk kaneron sebanyak 2 ikatan. Menurut penuturan penduduk, selain
pandan samak, daun cangkuang dan bidur juga dapat dianyam, namun kurang umum
dilakukan karena hasil anyaman daun kedua jenis tersebut kurang halus dan
kurang awet (hanya bertahan sekitar 2 tahun saja), sementara hasil anyaman
pandan samak dapat bertahan hingga 4 tahun. Pandan “laut” (hidupan liar dari
pandan samak) tidak diminati sebagai bahan baku anyaman karena struktur daunnya
yang kaku dan getas (mudah patah) sehingga proses pemasakannya akan memakan
waktu yang jauh lebih lama.
Kebiasaan menganyam tampaknya merupakan tradisi yang telah dilakukan
sejak dahulu oleh masyarakat di Jawa (Backer 1925; Hofstede 1925), termasuk di
Ujung Kulon. Menurut informasi masyarakat, saat ini kegiatan menganyam pandan
di Ujung Kulon hanya dijumpai di beberapa daerah seperti Ciundil, Legon Pakis,
Tanjung Lame dan Cegok. Hanya di Ciundil bahan baku daun pandan untuk kerajinan
anyaman dipanen dari tanaman yang dibudidaya, sementara di kedua lokasi lainnya
diambil dari tumbuhan liar. Menurut keterangan masyarakat, pandan samak pertama
kali dibudidayakan di Ciundil pada tahun 1950-an. Kegiatan budidaya tersebut
ditengarai sudah jauh lebih tua dari yang diketahui, karena Hofstede (1925) dan
Backer (1925) telah mencatat bahwa masyarakat di Jawa Barat, termasuk Ujung
Kulon, telah lama menanam pandan samak untuk kebutuhan seharihari. Catatan di
seputar tahun 1950-an lebih mengacu kepada penanaman secara luas untuk kegiatan
perekonomian. Kegiatan menganyam daun pandan di Ciundil sebagian besar
dilakukan oleh kaum wanita. Kaum pria umumnya membantu dalam pengambilan daun
dan memasarkan hasil anyaman. Sekitar 90% dari jumlah KK di Ciundil dapat
menganyam daun pandan samak untuk tikar (tikar samak). Pembuatan tikar selain
untuk memenuhi kebutuhan sendiri, juga untuk diperdagangkan. Dalam 1 bulan
pengrajin dapat menghasilkan 10-15 lembar tikar samak yang diperdagangkan
dengan harga jual Rp. 10.000-15.000 per lembarnya. Karena tidak semua penduduk
mempunyai pohon pandan samak, maka pembagian hasil penjualan antara pemilik
pohon dan pengrajin adalah 2 : 1.
Kendala yang dihadapi pengrajin pandan adalah pemasarannya. Menurut
mereka saat ini dalam 1 bulan hanya terjual 5-10 tikar. Berdasarkan hasil
pengamatan penyebab rendahnya daya jual tikar samak masyarakat Ujung Kulon
terutama disebabkan oleh masih sederhananya teknik penganyaman serta tidak
digunakannya pewarna sehingga tikar masih nampak kusam dan kurang menarik.
Penyuluhan tentang teknik penganyaman yang lebih baik dengan ditunjang oleh
pewarnaan yang lebih kaya dan variatif sangat dianjurkan dengan harapan dapat
meningkatkan nilai jual tikar produksi masyarakat Ujung Kulon tersebut.
Berbeda dengan Ciundil, di Legon Pakis dan Tanjung Lame kegiatan
menganyam tikar samak hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Kedua lokasi
tersebut terletak di dalam kawasan Taman Nasional Ujung Kulon, sehingga
pengambilan daun sangat dibatasi karena eksploitasi yang berlebihan
dikhawatirkan dapat mengganggu pelestarian ekosistem kawasan Taman Nasional.
Lebih lanjut susiarti dan Rahayu (2010) bahwa masyarakat Ujung Kulon
memanfaatkan daun pandan pantai (Pandanus odoratissimus) untuk pembuatan
aneka kebutuhan rumah tangga, terutama tikar. Masyarakat mengenal dua entitas
yang berbeda untuk dua taksa yang diidentifikasi sebagai P.
odoratissimus, pandan samak dan pandan “laut”. Keduanya dianggap berkerabat
dekat dengan pandan “laut” yang merupakan hidupan liar untuk pandan samak.
Meskipun mengenal dengan baik cangkuang (P. furcatus) dan bidur (P.
dubius), keduanya tidak dipakai sebagai bahan baku anyaman. Hanya di
Ciundil pandan samak tercatat dibudidayakan masyarakat. Perlu adanya penyuluhan
tentang teknik menganyam dan penerapan model (desain) dan tata warna yang lebih
bervariasi guna meningkatkan nilai jual tikar samak masyarakat Ujung Kulon.
Peningkatan nilai jual diharapkan akan meningkatkan volume penjualan dan pada
akhirnya akan menarik lebih banyak keterlibatan anggota masyarakat dalam
industri kerajinan tersebut serta akhirnya akan melestarikan tradisi kerajinan
daun pandan Ujung Kulon.
No comments