Breaking News

Keragaman bakteri usus terkait dengan berat badan, atlet menunjukkan profil yang lebih sehat

Dalam dekade terakhir, semakin banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui hubungan antara komposisi mikrobioma usus dan berat badan. Tinjauan sistemik baru-baru ini yang diterbitkan di Nutrients mengeksplorasi profil mikrobioma usus dan korelasinya dengan komposisi tubuh sepanjang umur manusia.

Tentang penelitian

Untuk tinjauan sistematis saat ini, semua artikel yang relevan diperoleh dari database PubMed, Cochrane, dan Scopus. Patient, Intervention, Controls, Outcome (PICO) strategi digunakan untuk menentukan kriteria inklusi dan eksklusi.

Sebanyak 995 penelitian diperoleh pada pencarian awal. Namun, setelah mempertimbangkan kriteria kelayakan dan menghapus duplikat, enam puluh artikel dipertimbangkan untuk ditinjau.


Peran mikrobioma usus dalam tubuh manusia

Mikrobioma usus manusia terdiri dari jutaan mikroorganisme, terutama bakteri, yang berkontribusi signifikan terhadap fungsi normal tubuh. Pembentukan mikrobioma usus bergantung pada faktor genetik dan lingkungan, seperti usia, merokok, pola makan, pengobatan, aktivitas fisik, dan jenis kelamin.

Mikrobioma usus mengatur komunikasi dua arah antara sistem saraf pusat dan enterik melalui poros usus-otak. Oleh karena itu, mikrobioma usus berdampak pada fungsi emosional dan kognitif manusia.

Di hipotalamus otak, neuron neuropeptida Y/agouti-related peptida (NPY/AGRP) diaktifkan oleh ghrelin, suatu hormon yang memiliki efek orexigenic. Aktivasi ini meningkatkan nafsu makan dan mengurangi pengeluaran energi.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ghrelin berkorelasi negatif dengan beberapa genera bakteri, termasuk Lactobacillus, Eubacterium rectale, Bifidobacterium, dan Blautia coccoides, dan berkorelasi positif dengan Prevotella dan Bacteroides.

Penekanan neuron NPY/AGRP dan aktivasi pro-opiomelanocortin/cocaine-amphetamine-related transcript (POMC/CART) menyebabkan efek anoreksigenik. Banyak dari mekanisme ini diatur oleh insulin, peptide YY (PYY), glucagon-like peptide 1 (GLP-1), leptin, oxyntomodulin (OXM), dan cholecystokinin (CCK).

Hubungan antara profil mikrobioma usus dan komposisi tubuh

Tinjauan sistematis saat ini mengidentifikasi profil mikrobioma usus pada populasi anak-anak dan orang dewasa yang sehat dan menghubungkannya dengan komposisi tubuh mereka. Perbedaan yang signifikan dalam populasi dan frekuensi mikrobiota usus diamati antara individu yang mengalami obesitas dan atlet pada kelompok umur yang berbeda. Misalnya, dibandingkan dengan anak-anak, penurunan keragaman α diamati pada profil mikrobioma usus orang yang kelebihan berat badan dan obesitas.

Banyak penelitian menunjukkan bahwa keragaman α terkait dengan peningkatan fungsi mikrobioma usus. Oleh karena itu, penurunan keanekaragaman α dapat mengakibatkan gangguan fungsi mikrobioma usus dan disbiosis mikroba usus.

Sebuah studi baru-baru ini juga menemukan hubungan positif antara keragaman α dan individu dengan tingkat kebugaran tinggi. Selain itu, penurunan kadar filum Bacteroidetes dan peningkatan kadar filum Firmicutes diamati pada individu yang mengalami obesitas dibandingkan dengan orang dengan berat badan normal.

Korelasi positif antara filum Firmicutes dan parameter obesitas, seperti peningkatan indeks massa tubuh (BMI), massa lemak, dan lingkar pinggang, diamati, bersama dengan korelasi negatif antara filum Bacteroidetes dan parameter obesitas. Filum Bacteroidetes juga berkorelasi positif dengan otot dan massa tubuh tanpa lemak. Mikroba usus ini lebih banyak terdapat pada atlet dibandingkan individu dengan berat badan normal.

Beberapa bakteri yang umum dan banyak ditemukan pada penderita obesitas antara lain Eubacterium, Lactobacillus, Megasphaera, Dorea, Streptococcus, dan Dialister. Dibandingkan dengan individu dengan berat badan normal, penurunan kadar Alistipes, Bifidobacterium, Oscilibacter, dan Faecalibacterium telah diamati pada populasi obesitas.

Beberapa mekanisme mungkin terlibat dalam cara mikrobioma usus berkomunikasi dengan otak dan memengaruhi pengeluaran energi, komposisi tubuh, dan berat badan. Misalnya, satu percobaan in vivo menggunakan tikus mengungkapkan perubahan berat badan setelah dilakukan transplantasi tinja dari tikus obesitas ke tikus non-obesitas tanpa mikrobioma.

Ada tiga mekanisme yang mungkin mendasari hubungan antara mikrobioma usus dan berat badan. Mekanisme pertama dikaitkan dengan lipopolisakarida (LPS), yang terdapat di dinding sel makrofag, bakteri Gram-negatif, dan jaringan adiposa. LPS memicu serangkaian respons pro-inflamasi yang terlibat dalam peradangan kronis, yang merupakan tanda umum obesitas.

Mekanisme kedua terkait dengan short-chain fatty acids (SCFAs) yang memetabolisme komponen makanan yang tidak tercerna seperti serat menggunakan energi 10% lebih banyak. Proses ini juga berhubungan dengan sintesis hormon anoreksia.

Mekanisme ketiga berhubungan dengan asam empedu yang melibatkan pengeluaran energi yang tinggi dan peningkatan sekresi GLP-1 anorexigenic.


Kesimpulan

Tinjauan sistematis saat ini memiliki beberapa keterbatasan, termasuk pertimbangan studi cross-sectional, yang tidak mencerminkan hubungan sebab-akibat. Heterogenitas dalam definisi obesitas dan taksonomi bakteri yang diteliti juga dilaporkan.

Terlepas dari keterbatasan ini, penelitian ini menyoroti perbedaan komposisi mikrobioma usus pada individu dan atlet yang kelebihan berat badan, tanpa memandang usia. Namun demikian, penelitian di masa depan diperlukan untuk memvalidasi temuan ini.


Journal reference:

Komodromou, I., Andreou, E., Vlahoyiannis, A., et al. (2024) Exploring the Dynamic Relationship between the Gut Microbiome and Body Composition across the Human Lifespan: A Systematic Review. Nutrients 16(5); 660. doi:10.3390/nu16050660.

No comments