Breaking News

Marpologi dan Genetika Tanaman Pandanus

Hasil kajian etnobotani pandan semak ( Pandanus odoratissimus L.f) oleh Mulyati el. al (2008), Lokasi penelitian etnobotani pandan pantai di Ujung Kulon, Banten dilakukan di 3 lokasi yaitu Ciundil (di luar kawasan taman nasional), Legon Pakis dan Tanjung Lame (di dalam kawasan Taman Nasional Ujung Kulon)  tujuan penelitian adalah etnobotani tentang pemanfaatan dan peranan ekonomi pandan samak (Pandanus odoratissimus) di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon dan sekitarnya.  Metode penelitian observasi atau pengamatan langsung di lapangan dan wawancara semi structural dan open ended dengan subyek beberapa informan yang meliputi pengrajin pandan dan tokoh adat. Data yang dicatat mencakup keberadaan dan kepemilikan tanaman pandan samak (P. odoratissimus) di lapangan, proses pembuatan anyaman, dan aspek sosial-ekonomi produk anyaman tersebut bagi masyarakat setempat.  Melaporkan bahwa perawakannya berupa pandan pohon berukuran sedang hingga besar. Batang tingginya mencapai tinggi 15 m. Akar penopang tampak jelas, mencapai tinggi 1 m atau lebih, berbintil tajam, kulit luar abu-abu kecoklatan. Dedaunan tersusun dalam karangan rapat, di ujung atas batang, tersusun melingkar dalam 3 lingkaran; helaian daun berukuran 50-300 cm x 5-16 cm, kaku, agak berlilin putih, ujung meruncing, tepinya berduri kaku-sangat tajam, duri kuning pucat; permukaan atas hijau, halus, duri pada lipatan daun bagian atas tidak jelas, pertulangan daun halus; permukaan bawah hijau pucat, pertulangan daun lebih jelas, duri di sepanjang tulang daun utama, duri membalik sangat jelas.

            Perbungaan jantan di ujung, panjang ca. 1 m, tandan dengan ca. 10 cabang perbungaan, masing-masing cabang dengan daun pelindung, daun pelindung kuning pucat hingga kuning pucat-krem, panjang mencapai 50 cm; bunga jantan sangat banyak, tersusun kompak dan berjejalan dalam satu cabang perbungaan, wangi, membuka hanya dalam 1 hari, dalam 3-4 hari perbungaan jantan layu. Perbuahan tunggal, di ujung, bentuk gada, panjang ca. 1 m atau lebih. Buah berupa buah majemuk dua tingkat (cephalium), membulat hingga bulat melonjong, keras, berat mencapai 15 kg, panjang 8-30 cm, diameter 4-20 cm, hijau berubah menjadi oranye kemerahan bila masak, tersusun atas jejalan 38-200 buah majemuk tingkat satu (phalange); antara satu tingkatan dengan tingkatan lainnya dipisahkan oleh relung. Phalange bulat melonjong hingga membulat telur, menyempit di bagian bawah, hijau hingga oranye di bagian atas, kuning hingga oranye kemerahan di bagian bawah, 2.5-11 cm x 1.5-6.5 cm, terdiri dari 4-15 daun buah; tiap phalange terdiri dari jejalan 4-15 buah tunggal (drupa), tersusun kompak dan rapat. Drupa bulat melonjong hingga membulat telur, bentuk-ukuran-warna sama dengan phalange; pangkal putik pendek, coklat hingga coklat kehitaman, menghadap ke dalam.

Karakter morfologi P. odoratissimus -terutama bentuk, warna dan ukuran phalange- sangat bervariasi. Sedemikian bervariasinya sehingga banyak nama jenis baru diterbitkan untuk tiap variasi tersebut (Jebb, 1992). Beberapa nama jenis yang dipublikasi untuk takson dari Jawa saja antara lain P. littoralis Junghuhn dan P. samak Hasskarl. Kedua nama tersebut sudah dinyatakan sebagai sinonim untuk P. odoratissimus (Warburg, 1900a dan 1900b). Selain itu keabsahan nama jenis P. odoratissimus sendiri masih merupakan kontroversi hingga saat ini, terutama terkait dengan polemik di antara para ahli akan mana nama yang lebih valid Podoratissimus atau P. tectorius Parkinson ex.Z.

Heyne (1927) mencatat banyak nama daerah untuk takson yang diidentifikasi sebagai P. odoratissimus, antara lain pandan laut, pandan samak, pandan tebu, pandan nipah, pandan bau-bau, pandan putih, pandan kapur, pandan abu, pandan cucuk, pandan duri, dan masih banyak lagi. Pemberian nama daerah merujuk kepada tiga hal penting, yaitu morfologi (termasuk kemiripan dengan jenis tumbuhan lain yang lebih dikenal misalnya tebu, nipah), tempat tumbuh, dan kegunaannya. Pemberian nama daerah merujuk kepada ketiga hal tersebut merupakan praktek yang sangat umum dalam berbagai kebudayaan (Berlin, 1992).

Hasil penelitian Sri Endarti dan Sri Handayani (2010), tentang keragaman genetik pandan asal Jawa Barat melaporkan bahwa  hasil amplifikasi DNA dengan PCR menggunakan dua primer menunjukkan 10 jenis Pandanus menghasilkan produk PCR yang dapat dibaca dan diberi nilai sehingga hasilnya pola pita DNA setelah gel elektroforesis menunjukkan bahwa setiap jenis primer menghasilkan pita DNA yang berbeda. Jumlah pita yang dihasilkan sangat bergantung pada bagaimana primer mengenal homolognya pada cetakan DNA yang diinginkan 11. Semakin banyak situs penempelan dari primer yang digunakan, semakin banyak jumlah pita DNA yang dihasilkan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa diperoleh 19 fragmen DNA yang berukuran dari 200 bp hingga 1.5 kb dimana 17 (91,5%) diantaranya merupakan pita polimorfik. Tingkat polimorfisme yang relatif tinggi dengan penanda ISSR menunjukkan indeks penanda yang tinggi. Rata-rata setiap primer menghasilkan 9,5 pita yang dapat dideteksi dan diberi nilai. Jumlah pita polimorfik tertinggi 11 terdapat pada primer ISSR2 dan jumlah pita polimorfik terendah (2) terdapat pada primer ISSR7. Hasil ini sesuai dengan hasil seleksi primer sebelumnya. Kedua primer ini merupakan primer yang menghasilkan pola pita polimorfik untuk 10 jenis Pandanus. Hasil pengamatan menunjukkan tidak adanya fragmen DNA unik yang dideteksi pada dua primer.

Analisis ketidaksamaan genetik. Data digunakan untuk 10 jenis Pandanus berdasarkan produk amplifikasi DNA. Nilai ketidaksamaan genetik untuk 10 jenis Pandanus berkisar antara 0,267-0,957 dengan yang tertinggi (0,957) terdapat antara P. pseudolais dan P. spinistigmaticus, dan antara P. kurzii dan P. pseudolais sedangkan nilai ketidaksamaan genetik terendah 0,267 terdapat antara P. scabrifolius dan P. bidur. Jenis yang memiliki nilai ketidaksamaan genetik tertinggi menunjukkan kedua jenis ini sangat berbeda secara genetik satu dengan yang lain sedangkan jenis yang memiliki ketidaksamaan genetik terendah menunjukkan bahwa kedua jenis ini memiliki properti genetika sangat mirip satu dengan yang lain.

Analisis klaster. Berdasarkan profil pita DNA setelah diinterpretasi dan diterjemahkan ke data biner, dilakukan analisis klaster. Analisis klaster pada 10 jenis Pandanus menghasilkan.  Pengelompokan terbentuk pada jarak genetik 0,46-0,96 (tingkat kemiripan 4-54%. Hal ini menunjukkan bahwa ke 10 jenis Pandanus memiliki keragaman genetik yang tinggi. Pada jarak genetik 0,60 (tingkat kemiripan 40%) didapatkan tiga kelompok. Empat jenis Pandanus, yaitu P. bidurP. polycephalusP. multifurcatus dan P. dubius menyebar pada kelompok I, lima jenis lain Pandanus lainnya, yaitu P. spinistigmaticusP. pseudolaisP. kurziiP. nitidus dan P. scabrifolius pada kelompok II, dan satu jenis, yaitu P. amaryullifolius memencil sendiri pada kelompok III.

Nilai ketidaksamaan genetik ke 10 jenis Pandanus berkisar antara 0,267 hingga 0,957 menunjukkan keragaman genetik yang tinggi. Nilai ketidaksamaan genetika tertinggi (0,957) tercatat antara P. pseudolais dan P. spinistigmaticus, juga antara P. kurzii dan P. pseudolais, sedangkan ketidaksamaan genetik terendah (0,267) tercatat antara P. scabrifolius dan P. bidur. Berdasarkan penelitian ini diketahui bahwa Pandanus memiliki variasi genetik yang luas sehingga diduga semua jenis Pandanus yang ada di Jawa Barat semuanya bervariasi secara genetik. Hal ini mendukung beberapa pendapat bahwa tanaman pandan yang umumnya berumah dua termasuk tanaman menyerbuk silang. Populasi tanaman menyerbuk silang umumnya akan mempunyai variasi genetik yang luas  Hasil penelitian Stone (1983) tentang sistem polinasi pada tanaman pandan menyatakan bahwa tanaman pandan mempunyai jumlah polen per bunga yang sangat banyak.

Darjanto dan Satifah (1990), bahwa tanaman yang memiliki polen yang banyak merupakan ciri dari tumbuhan menyerbuk silang. Dengan adanya variasi ini, untuk selanjutnya kegiatan seleksi dapat dilakukan. Baihaki  menyatakan bahwa seleksi akan berhasil apabila tanaman yang akan diseleksi memiliki variasi. Informasi jarak genetik dapat dijadikan dasar untuk menentukan aksesi yang akan dipilih sebagai materi persilangan untuk merakit pandan hibrida. Semakin jauh jarak genetik antar aksesi, maka akan memiliki efek heterosis yang tinggi apabila disilangkan. Walaupun demikian, dalam seleksi materi untuk persilangan, tidak hanya faktor jarak genetik yang diperhitungkan, tapi karakter-karakter lain yang menarik dan menonjol perlu diikutsertakan untuk menghasilkan rekombinan yang baik. Untuk itu perlu diketahui korelasi antara karakter vegetatif dan generatif, sehingga lebih terarah dan efektif. Dan dapat disimpulkan bahwa  keragaman genetik 10 jenis Pandanus asal Jawa Barat dapat dideteksi menggunakan penanda ISSR. Hasil ini memperkuat laporan sebelumnya bahwa penanda ISSR dapat digunakan secara efektif untuk menduga keragaman genetik pada tingkat jenis. Dari dua primer ISSR diperoleh 19 pita DNA, dan 17 pita (91,5%) diantaranya merupakan pita polimorfik.

Hasil dendrogram menunjukkan pada jarak genetik 0,60 terdapat tiga kelompok utama, kelompok pertama terdiri atas empat jenis Pandanus, yaitu P. bidurP. polycephalusP. multifurcatus dan P. dubius, kelompok kedua terdiri atas lima jenis, yaitu P. spinistigmaticusP. pseudolaisP. kurziiP. nitidus, dan P. scabrifolius, dan kelompok ketiga terdiri atas satu jenis, yaitu P. amaryllifolius. Untuk memperoleh gambaran yang lebih menyeluruh mengenai kondisi keragaman genetika Pandanus, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan berbagai jenis yang ada di Jawa menggunakan lebih banyak primer ISSR dan/atau menggunakan marka   molekuler selain ISSR, seperti AFLP dan SSR untuk mendeteksi keragaman genetik yang lebih akurat.

Siti dan Mulyati (2010), menyatakan bahwa  Pengetahuan lokal masyarakat setempat tentang  keanekaragaman jenis pandan ini menunjukkan bahwa masyarakat Sunda di Tasikmalaya mengenal 3 jenis pandan, yakni:

1.    Pandan wangi (P. amaiyllifolius Roxb.) daunnya dimanfaatkan untuk pewangi makanan.

2.    Pandan samak (Pandanus tectorius Sol.) daunnya
merupakan bahan baku kerajinan anyaman.

3.    Cangkuang (P.fiircatus Roxb.), daunnya dimanfaatkan untuk pembungkus gula kelapa dan garam.

4.      Pandan wangi ditanam di pekarangan rumah, meskipun jarang dijumpai.

Pandan samak ditanam di pekarangan dan kebun. Hasil pengamatan yang dilakukan menunjukkan bahwa pertumbuhan dari pandan samak di pekarangan kurang berkembang dengan baik (perawakannya kecil). Di kebun jenis ini ditanam secara tumpangsari dengan tanaman lain seperti pisang dan kelapa.

Cangkuang kurang dikenal oleh masyarakat lokal di Tasikmalaya dan jenis ini dijumpai tumbuh liar menggerombol di tepi jalan meniju Cipatujah. Pandanus tectorius dikenal dengan beberapa nama lokal, seperti pandan darat atau pandan laut. Pemberian nama lokal tersebut disesuaikan dengan habitat hidupan liamya. Setelah dibudidayakan, jenis ini dikenal dengan beberapa nama, daerah seperti "pandan temen", "pandan jaksi" atau "jaksi", dan "jaksi jalu" atau jaksi jantan.

Pandan temen mempunyai ciri-ciri morfologi sebagai berikut: panjang daun dapat mencapai 3 m, lebar 6 cm, warna hijau keabuan, tekstur agak kasar; duri pada tepi daun agak rapat; daun muda tumbuh menjulai/jatuh; sistem perakarannya tidak melebar. Menurut penuturan masyarakat kultivar ini peka terhadap hama dan penyakit.

Pandan jaksi mempunyai ciri-ciri morfologi sebagai berikut: panjang daun kurang dari 2 m, lebar kurang dari 6 cm, warna hijau muda, tekstur halus, berduri jarang; daun muda tumbuh sedikit melengkung; sistem perakarannya melebar. Masyarakat menuturkan bahwa kuttivar ini lebih kuat terhadap serangan hama dan penyakit.

Pandan jaksi jalu memiliki ciri hampir sama dengan pandan jaksi hanya panjang daun lebih pendek (kurang dari 1 m), warna daun lebih hijau; duri­duri pada tepi daun lebih rapat, lebih panjang, lebih tajam dan bentuknya agak melengkung seperti taji ayam.

No comments