LUMUT KERAK SEBAGAI BIOINDIKATOR PENCEMARAN UDARA
Pencemaran
Udara dan Permasalahannya
Pencemaran
udara adalah masuknya atau dimasukkannya komponen lain ke dalam udara ambien
sehingga kualitas udara ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang
menyebabkan udara ambien tidak dapat berfungsi sesuai peruntukannya (Chandra;
Buwono X, 2007). Udara ambien adalah udara bebas di permukaan bumi pada lapisan
troposfer yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia, mahluk hidup dan
unsur hidup lainnya (Buwono X, 2007).
Menurut
petugas Bank Dunia di Jakarta, angka kerugian yang dibebankan pada ekonomi
Indonesia diperkirakan mencapai setidaknya 3,8 triliun rupiah setiap tahunnya
(EIA, 2004). Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang disebabkan oleh pencemaran udara menduduki peringkat pertama dari sepuluh penyakit
terbanyak yang berjangkit di masyarakat. Pencemaran udara juga merupakan
penyebab terjadinya pemanasan global, kerusakan tumbuhan dan kerusakan bangunan
(BAPPENAS).
Pemantauan
Kualitas Udara Ambien di Indonesia
Mempertimbangkan dampaknya pada ekonomi, kesehatan, dan lingkungan, pencemaran udara merupakan masalah lingkungan yang sangat mendesak untuk ditangani. Oleh karena itu diperlukan sistem pemantauan tingkat pencemaran udara untuk mencegah terjadinya pencemaran
udara lebih jauh (IAEMS).
Di dalam “Dokumen Strategi dan Rencana
Aksi Peningkatan Kualitas Udara Perkotaan DKI Jakarta”, sistem pemantauan yang digunakan adalah pemantauan
kualitas udara ambien (Zahra et al, 2006). Pemantauan kualitas udara ambien antara lain penting
untuk mengevaluasi dan mengestimasi tingkat serta dampak pencemaran udara dan
juga untuk menilai keberhasilan program pengendalian pencemaran udara. (BAPPENAS,
2006; Sutardi, 2008).
Pemantauan kualitas udara ambien di
Indonesia telah dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu di antaranya adalah dengan mengoperasikan jaringan pemantau kontinu
otomatis di 10 kota sejak tahun 2000 yang memantau konsentrasi CO, debu (PM10), SO2, NOx, dan O3 (BAPPENAS, 2006). Namun, pemantauan
kualitas udara ambien dengan cara ini memerlukan biaya investasi, operasional, dan perawatan yang tinggi (Sutardi, 2008). Di samping
itu secara keseluruhan kendala dalam pemantauan kualitas udara ambien antara
lain adalah terbatasnya alat pemantau dan dana serta terfokusnya pengamatan
pada jalan raya sehingga pengambilan sampel tidak mewakili lingkungan secara
keseluruhan.
Alat Pemantau
Otomatis
Alat pemantau otomatis yang telah disebutkan di atas menggunakan light atteniation (pelemahan kekuatan atau amplitudo sinyal yang
ditransmisikan ketika sinyal tersebut bergerak menjauhi titik asalnya (KKTI))
seperti infra merah atau absorpsi ultra violet atau reaksi fotokimia antara
polutan dan pengkatalis yang kemudian dikoresponsdensikan dengan tingkat
pencemaran (KY. Gov, 2008). Untuk membeli, memelihara dan
mengoperasikannya alat ini diperlukan biaya besar yaitu 4,2 milyar rupiah untuk
membeli lima alat dan 500 juta rupiah untuk perawatan setiap tahunnya (ETA, 2000).
Oleh karena itu perlu dipertimbangkan penggunaan cara lain
yang tidak mahal dan lebih sederhana namun tetap efektif serta akurat. Salah
satu di antaranya adalah dengan biomonitoring.
Biomonitoring
Biomonitoring adalah penggunaan respons biologi secara sistematik untuk
mengukur dan mengevaluasi perubahan dalam lingkungan (NCSU; Mulgrew et al, 2006), dengan menggunakan bioindikator. Biondikator adalah organisme atau respons
biologis yang menunjukan masuknya zat tertentu dalam lingkungan (Mulgrew et al, 2006). Sistem pemantauan dengan biomonitoring tidak memerlukan biaya
besar karena menggunakan organisme yang telah tersedia di alam. Bioindikator terpapar
secara langsung di alam sehingga mencerminkan sistem lingkungan secara keseluruhan.
Oleh karena itu biomonitoring memberi
kesempatan untuk melakukan pemantauan yang tidak terkendala oleh alat yang mahal dan daerah sampel
yang terbatas. Selain itu, sistem pemantauan dengan biomonitoring tidak perlu dilakukan secara terus-menerus, tetapi
dapat dilakukan secara periodik.
Bioindikator yang digunakan dapat
dipilih berdasarkan
beberapa faktor, antara lain: dapat mudah diukur dan menunjukkan respons yang diamati pada ekosistem; memiliki respons spesifik yang mampu
memprediksi bagaimana spesies atau ekosistem akan merespons
terhadap tekanan; mengukur respons dengan akurasi dan presisi yang dapat
diterima; didasarkan pada pengetahuan tentang zat pencemar dan karakteristik (Mulgrew
et al, 2006).
Banyak studi menunjukkan bahwa organisme
yang memenuhi syarat untuk digunakan sebagai bioindikator adalah lumut kerak (lichen). Sehingga menurut hemat saya
alternatif lumut kerak perlu dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh.
Lumut Kerak
sebagai Bioindikator
Telah diketahui bahwa lumut kerak sangat
sensitif terhadap pencemaran udara sehingga dapat dijadikan bioindikator
pencemaran udara (Aryulina, 2007; Syamsuri, 2004; Campbell, 2003).
Lumut
kerak adalah asosiasi simbiotik berjuta-juta mikroorganisme fotosintetik
(fotobion) yang disatukan dalam jaringan hifa fungi (mikobion) (Campbell, 2003; Barreno). Fotobion dan mikobion membentuk “mikro-ekosistem” yang
sangat stabil dan tangguh. Oleh karena itu lumut kerak mampu bertahan dalam
kondisi suhu sangat panas atau suhu sangat dingin. Lumut kerak dapat berumur lebih dari 4000 tahun (VIPPPU, 2006).
Lumut kerak tidak memiliki kutikula
sehingga mengabsorpsi nutrien dan air dari atmosfer (Bungartz). Hal ini
menjelaskan mengapa lumut kerak dapat menjadi bioindikator pencemaran udara.
Perubahan lingkungan menyebabkan lumut kerak berubah dalam keanekaragamannya,
morfologinya, fisiologinya, genetik, dan kemampuan mengakumulasi zat pencemar
udara (Barreno). Kesensitifannya ini memenuhi faktor-faktor pemilihan
bioindikator.
Pada
tahun 1866, diketahui bahwa penyebab hilangnya komunitas lumut kerak di Jardin
de Luxembourg dekat Paris disebabkan oleh sulfur dioksida (Boonpragob, 2003).
Kejadian ini dan kejadian-kejadian lain serupa
menyadarkan bahwa kerak memiliki potensi
besar sebagai bioindikator.
Penggunaan lumut kerak sebagai
bioindikator telah digunakan sejak lama dengan cara membuat
peta penyebaran lumut kerak. Sistem Skala Polusi Lumut kerak Hawkssworth
& Rose pada tahun 1970 menggunakan ada atau tidak adanya spesies sensitif
tertentu untuk mengetahui konsentrasi sulfur dioksida dalam udara ambien.
Begitu juga dibuat skala untuk zat-zat pencemar udara yang lain (Bell, 2001).
Berdasarkan
morfologinya, lumut kerak umumnya dibedakan menjadi Crustose, Foliose,
Squamulose, dan Fructicose (NSTA, 2003). Fructicose merupakan lumut kerak yang
paling sensitif terhadap pencemaran udara dan merupakan jenis lumut kerak yang
akan pertama kali hilang ketika terpapar pada udara tercemar. Sedangkan
Cructose merupakan jenis lumut kerak yang paling resisten terhadap pencemaran
udara (Boonpragob, 2003).
Lumut Kerak sebagai
Bioindikator Versus Alat Pemantau Otomatis
Penggunaan lumut kerak sebagai
bioindikator tidak memerlukan biaya besar, mengingat yang diperlukan hanyalah
membuat peta penyebaran lumut kerak dibandingkan dengan menggunakan alat
pemantau otomatis yang mahal. Namun penggunaan lumut kerak sebagai bioindikator
dengan cara seperti ini hanya mengukur kualitas udara secara kualitatif dan
tidak secara kuantitatif. Ini berbeda dengan penggunaan alat pemantau
otomatis yang langsung memberikan data kualitas udara ambien secara
kuantitatif. Pengukuran zat pencemar udara
secara kuantitatif dengan menggunakan lumut kerak juga dapat dilakukan, namun
memerlukan biaya yang lebih besar dari pada pengukuran secara kualitatif, walau
tetap lebih murah dibandingkan penggunaan alat pemantau otomatis.
Penggunaan lumut kerak sebagai bioindikator memiliki banyak kelebihan lain dibandingkan dengan alat pemantau otomatis. Ia dapat dilakukan di daerah yang luas dan terpencil sekalipun. Berbeda dengan penggunakan alat
pemantau otomatis yang membutuhkan listrik, penggunaan lumut kerak sebagai
bioindikator tidak memerlukan enerji, karena langsung terpapar dan berfluktuasi
di alam. Selain itu penggunaan lumut kerak sebagai bioindikator tidak harus
dilakukan secara terus-menerus tapi dapat dilakukan secara
periodik.
Kesimpulan
Penggunaan lumut kerak sebagai
bioindikator memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan, khususnya
di Indonesia. Mengingat luasnya wilayah Indonesia, terbatasnya dana dan
pentingnya dilakukan pemantauan kualitas udara ambien. Oleh karena itu diadakannya penelitian lanjut tentang lumut kerak sebagai bioindikator dan dibuatnya
standar pembuatan peta distribusi lumut kerak serta skala pencemaran udara
berdasarkan peta distribusi tersebut, sangatlah mendesak.
KEPUSTAKAAN
Sutardi, Tata (2008). “Tehnik Pengukuran Udara Ambien”.
Tersedia:
http://www.ccitonline.com/mekanikal/tiki-print_article.php?articleId=97 [27 November 2008]
“Warning System Tingkat Polusi Udara di Jalur Padat
Transportasi Kota Surabaya:
Deteksi Konsentrasi Gas Polutan Berbasis
Integrated Atmospheric Environment
Sistem pemantauan (IAEMS)”
Tersedia: http://ep.its.ac.id/wp-content/makalah.pdf.
[27 November 2008]
Zahra, dkk. (2006). “Analisis Pencemaran Udara di DKI
Jakarta dengan Pemodelan Kualitas Udara”. Puslitbang
Ekologi dan Status Kesehatan, Badan Litbang Kesehatan [Online]. Tersedia: http://www.litbang.depkes.go.id/risbinkes/Buku%20Laporan%20Penelitian%202006/analisis_pencemaran_udara_di_dki.htm
[27 November 2008]
Aryulina Ph.D., Diah. Biologi SMA dan MA untuk Kelas X.
Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama, 2007.
Syamsuri, Istamar dkk. Biologi untuk SMA kelas X. Jakarta: PT
Gelora Aksara Pratama, 2004.
Campbell, dkk. Biologi. Jakarta: Erlangga, 2003.
Chandra, Dr. Budiman. Pengantar Kesehatan Lingkungan. EGC
Buwono X, Hamengku. Peraturan Daerah Provinsi D.I.Y. No. 5 Tahun 2007 Tentang Pengendalian
Pencemaran Udara.
Buwono X, Hamengku(2007). “Peraturan Daerah Provinsi
D.I.Y. No. 5 Tahun 2007 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara”. [Online]. Tersedia:
http://www.cess.or.id/docs/1111_5_TAHUN_2007.pdf
[28 November 2008]
ETA (2000). “Pencemaran Udara Surabaya Dideteksi”. Kompas Cybermedia [Online]. Tersedia: http://64.203.71.11/kompas-cetak/0004/01/iptek/penc10.htm
[29 November 2008]
EIA (2004). “Indonesia: Environmental Issues”. Energy Information Administration
[Online]. Tersedia: http://72.14.235.132/search?q=cache:Z4j6gwZKhQwJ:www.eia.doe.gov/emeu/cabs/indoe.html+air+pollution+indonesia&hl=id&ct=clnk&cd=1&gl=id&client=firefox-a [29
November 2008]
BAPPENAS. “Dampak dari Pencemaran Udara”. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional[Online].
Tersedia: http://udarakota.bappenas.go.id/view.php?page=dampak [29
November 2008]
BAPPENAS. Strategi dan Rencana Aksi Nasional Peningkatan Kualitas Udara.
BAPPENAS 2006.
KKTI. Kamus Komputer dan Teknologi Informasi [Online] Tersedia: http://www.total.or.id/info.php?kk=attenuation
[3 Desember 2008]
KY Gov. (2008)“Air Monitoring” Kentucky Division for Air Quality[Online]
Tersedia: http://www.air.ky.gov/programs/airmonitoring/ [3 Desember 2008]
NCSU “Biomonitoring” North Carolina State University [Online] Tersedia: http://www.water.ncsu.edu/watershedss/info/biomon.html [7 Desember 2008]
Mulgrew, Angela and Peter Williams (2000) ”Biomonitoring of Air Quality Using
Plants” [Online] WHO Collaborating Centre
for Air Quality Management and Air Pollution Control Tersedia: http://umweltbundesamt.de/whocc/AHR10/I-Introd.htm [7 Desember 2008]
Barreno, Eva. “Lichens as bioindicators pf forest health,
biodiversity and ecological continuity” Universitat
de Valencia [Online]Tersedia: http://www.nerium.net/plantaeuropa/Download/Workshops/Workshop_4/Barreno_Eva_W4.pdf[7 Desember 2008]
Visual Ilmu dan
Pengetahuan Populer untuk Pelajar dan Umum(VIPPPU): memahami Keragaman Tumbuhan. Jakarta
PT Bhuana Ilmu Populer, 2006.
Boonpragob, Dr. Kansri “Using lichen as bioindicator of air
pollution” Department of Biology,
Ramkhamhaeng University [Online]Tersedia:
http://infofile.pcd.go.th/air/31_LichenAcidDep.pdf [7 Desember 2008]
Bungartz, Frank. Arizona State University [Online] Tersedia:http://nhc.asu.edu/lichens/lichen_info/lichen_info.jsp [7
Desember 2008]
No comments