Breaking News

PENGEMBANGAN AKUAKULTUR INDONESIA

Perikanan budidaya (akuakultur) merupakan subsektor pangan yang pertumbuhannya paling cepat di dunia. Pada 1984 produksi akuakultur dunia hanya 10 juta ton dengan nilai 12 miliar dollar AS untuk kemudian meningkat menjadi 20 juta ton dengan nilai sekitar 33 miliar dollar AS pada 1992. Selanjutnya 10 tahun kemudian (2002) produksi akuakultur dunia telah mencapai 51,4 juta ton dengan nilai sekitar 60 miliar dollar AS.
Kajian Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), dari sejumlah potensi ekonomi sumber daya kelautan dan perikanan sebesar 82 miliar dollar AS per tahun, perikanan budidaya bisa menghasilkan 61,9 miliar dollar AS (sekitar 75,5 persen). Bandingkan dengan perikanan tangkap, termasuk di perairan umum, yang hanya memberi peluang sekitar 16,2 miliar dollar AS. Dengan kata lain perikanan budidaya di Indonesia sebenarnya mampu melebihi nilai produksi akuakultur dunia pada 2002 (60 miliar dollar AS). Ketinggalan
Akuakultur adalah kegiatan bisnis budidaya organisme akuatik yang sebarannya hampir ada di setiap negara di dunia. Kegiatannya dilakukan di laut, perairan payau, perairan tawar, termasuk perairan umum berupa danau, waduk, dan sungai. Produksi akuakultur dunia pada 1998 mencapai 30,8 juta ton dan Indonesia menduduki ranking ke lima di bawah China, India, Jepang, dan Filipina. Pada 2003 Indonesia menduduki ranking ketiga setelah China dan India.
Ragam komoditasnya berupa ikan air tawar (44,01 persen), siput-siputan/kerang (23,19), tanaman air (21,37), ikan diadromus (4,84), udang-udangan (3,97), ikan laut (1,98), serta golongan hewan air lainnya (0,28). Berdasarkan data FAO 2004, Asia menyumbang hasil terbanyak 94,37 persen (China memberi kontribusi sebesar 71,2 persen dari total produksi dunia), disusul Amerika Selatan (1,77), Eropa (1,53), Amerika Serikat (1,42), Amerika Utara (0,47), negara-negara bekas kesatuan Uni Soviet (0,23), dan Afrika (0,21).
Mencermati status dan potensi akuakultur negara kita, walau secara keseluruhan produksi perikanan nasional masih didominasi perikanan tangkap, kontribusi akuakultur memiliki pertumbuhan produksi jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perikanan tangkap. Data DKP 2003 menunjukkan bahwa kontribusi akuakultur terhadap produksi nasional meningkat dari 18,05 persen pada 1999 menjadi 20,56 persen pada 2002. Sebaliknya sumbangan perikanan tangkap menurun dari 81,95 persen pada 1999 menjadi sekitar 79,44 persen pada 2002. Ini memberi kesan bahwa akuakultur ke depan akan memegang peran yang semakin penting, tetapi sudah barang tentu harus disertai dengan beberapa catatan perbaikan kelemahan yang selama ini ditemukan.
Permintaan dalam negeri dan dunia terhadap produk perikanan terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan meningkatnya kesadaran manusia akan manfaat ikan yang menyehatkan dan mencerdaskan. Kemampuan produksi produk perikanan dari kegiatan perikanan tangkap pada tataran global maksimum sebesar 90 juta ton per tahun (FAO, 2004), dan nasional 6,4 juta ton per tahun. Kini kuantitas tangkapannya cenderung mengalami penurunan.
Adapun potensi produksi perikanan budidaya yang dimiliki Indonesia sekitar 57,7 juta ton per tahun (terbesar di dunia). Sementara pada 2005 total produksi perikanan budidaya nasional baru mencapai 1,5 juta ton (2,6 persen). Dengan demikian, apabila akuakultur lebih digali dan diberdayakan melalui perubahan dan pembenahan, bukan mustahil ke depan akan menjadi andalan perekonomian serta meningkatkan efek domino yang sangat besar lagi. Dalam arti memberikan peluang bagi pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan mereduksi kemiskinan.
Komoditas yang berperan menjadi unggulan, di antaranya pertama, komoditas untuk kebutuhan dalam negeri, yaitu bandeng, nila, patin, baung, lele, mas, gurami, nilem, udang galah, udang vaname, udang windu, dan ikan hias. Kedua, komoditas untuk ekspor, seperti udang vaname, udang windu, udang galah, lobster air tawar, kepiting, rajungan, kerapu, baronang, kakap, nila, patin, teripang, abalone, ikan hias, mutiara, dan rumput laut. Ketiga, komoditas untuk bioenergi, di antaranya micro algae (fitoplankton) dan macro algae (rumput laut). Keempat, komoditas untuk industri farmasi, kosmetik, dan industri lainya, seperti rumput laut dan beberapa jenis invertebrata (bryozoa, echinoderm, sea urchins, sea cucumbers).
Mengingat lebih dari 90 persen produksi akuakultur dunia berasal dari Asia, sangatlah wajar seandainya negara-negara di Asia adalah yang paling berpotensi menggaet devisa dari bisnis akuakultur. Indonesia berpeluang dan mampu menjadi pemimpin dunia dalam akuakultur sekaligus menjadi andalan perekonomian. Apalagi, perhatian pemerintah pada sektor ini terasa semakin nyata. Satu di antaranya, perikanan telah ditangani langsung oleh seorang menteri. MUHAMAD HUSEN Ketua Komisi Sosial dan Kemitraan Masyarakat Perikanan Nusantara.

No comments